Pages

31 Agustus 2009

Sebarluaskan Cinta Kasih





Dalam suatu acara reuni keluarga, seorang anak kagum akan semangat bapaknya. Dengan antusias dan bangga, ayahnya menceriterakan seluruh perjuangan dan pengalaman hidupnya. Ia berbagi keprihatinan, tantangan dan kesulitan yang telah berhasil ia lewati dan atasi. Kini seluruh anggota keluarga mengecap kebahagiaan hidup berkat pengorbanan sang ayah. Keteguhan dan kesetiaan beliau mengatasi badai kesulitan dan keprihatinan.

Kata anak itu, “Sekarang kami menuai gelombang kasih dari orangtua. Bapak bangga dapat mengungkapkan kegigihan usaha, perjuangan dan pengorbanan kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Ia sudah mewariskan nilai kehidupan dan mempersatukan anak-anak dan cucu-cucunya. Ia sungguh berusaha memberikan kebahagiaan hidup kepada mereka. Melalui peristiwa reuni keluarga, semua dapat berkumpul bersama. Hal ini ternyata semakin mempererat persaudaraan kami. Semua anggota keluarga dapat memahami jerih payah orangtua dalam upaya memberikan kebahagiaan kepada anak dan cucu pada masa berikutnya. Kami semakin mengenal cinta mereka yang murni. Kami menghargai usaha dan pengorbanan mereka yang sungguh istimewa, mengagumkan sekaligus membanggakan ini.”

Setiap orangtua selalu berusaha memberikan kebahagiaan hidup kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Cita-cita memberikan kebahagiaan kepada keturunan mereka itu mereka wujudkan dan ungkapkan dalam bentuk yang nyata. Mereka mau berkorban, menderita asal anak cucu mereka bisa hidup lebih baik, bersatu dan bahagia.

Karena itu, mereka berjuang dengan penuh sukacita kendati menemukan keprihatinan, tantangan dan kesulitan. Kesulitan dan penderitaan itu tidak mereka rasakan sebagai beban hidup. Sebaliknya, mereka merasakan sukacita dan kebahagiaan. Cinta akan anak-anak membuat orangtua mampu mengatasi penderitaan, bahkan mereka merasa bahagia dalam kesulitan dan perjuangan itu.

Ini yang namanya berbagi cinta. Cinta itu disebarluaskan. Cinta itu mesti menjadi seperti virus yang menyebar ke mana-mana. Dengan demikian, semakin banyak orang mengalami cinta itu.

Dalam hidup ini, setiap orang ingin berbagi cinta. Tuhan sendiri telah memberikan cintaNya yang begitu besar kepada kita. Cinta Tuhan itu tampak dengan menciptkan manusia, memeliharanya dan mengarahkan manusia kepada kebaikan.

Untuk itu, tugas seorang beriman adalah menyebarluaskan cinta itu kepada setiap orang yang ia jumpai dalam hidup ini. Ia mesti merasa bangga bahwa ia mampu membagikan cintanya kepada semua orang. Ini yang namanya cinta universal. Cinta yang tidak memandang siapa yang dicintai. Cinta yang ditujukan kepada semua orang, karena Tuhan mencintai semua orang. Mari kita sebarluaskan cinta dengan setulus hati, agar setiap orang mengalami cinta Tuhan dalam hidupnya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.




152

30 Agustus 2009

Cinta yang Mengubah Hidup Manusia




Pepatah mengatakan, cinta bisa mengalahkan segalanya. Hal tersebut sepertinya dihayati benar oleh Antonio Cassano yang mengaku dirinya kini telah berubah dan tak lagi bengal, gara-gara cinta.

Terkenal sebagai salah satu pesepakbola paling bengal di Italia, Cassano menunjukkan prilaku di luar dugaan banyak orang selama Piala Eropa lalu. Nyaris tak terdengar berita negatif seputar tindak-tanduk striker Sampdoria itu selama di Austria-Swiss.

Soal sikap santun yang belakangan ditunjukkan, Cassano mengaku dirinya sudah berubah. Kalau dulu sanksi dari klub dan hukuman berupa denda tak membuatnya jera, kunci untuk menjinakkan Cassano ternyata ada pada Carolina Marcialis, wanita yang dipacarinya dalam beberapa bulan terakhir.

Tentang hal ini, ia berkata, “Carolina Marcialis telah mengubah hidup saya. Saya mencintai malaikat ini. Karena dialah saya tak lagi bersikap seperti yang sudah-sudah karena saya tak ingin mengecewakan dia.”

Pada awalnya kisah cinta dua insan ini sempat mengalami hambatan. Karena status Cassano yang cuma pinjaman dari Real Madrid, kepulangan sang pemain ke Spanyol akan membuat hubungan mereka kandas.

Ia berkata, “Saya sangat bahagia. Jika saya tidak bertahan di Genoa saya pikir kisah cinta ini bisa bertahan, saya katakan ini dengan sangat hormat pada Carolina. Saya sangat takut kalau saya harus kembali ke Madrid, jadi saya menunggu mencoba menikmatinya. Sekarang saya dipastikan bertahan, saya tak bisa berbicara tentang wanita lain di kehidupan saya.”

Cinta itu kuat laksana air yang deras yang menguasai hidup manusia. Orang yang mengandalkan cinta di atas segala-galanya akan dikuasai oleh cinta itu. Namun yang dibutuhkan adalah cinta yang tulus dan murni. Bukan cinta yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri.

Cinta yang murni itu biasanya cinta yang menumbuhkan harapan. Orang memiliki harapan yang besar untuk senantiasa bertahan dalam cinta yang murni itu. Orang juga memiliki kepastian dalam hidup ini, karena orang yang dicintai itu tidak bermain-main dengann cinta.

Cinta yang murni itu biasanya membahagiakan. Orang mengalami kebahagiaan dalam hidupnya, karena ia mendapatkan cinta dari sesamanya. Tetapi kebahagiaan itu terjadi dalam hidup seseorang, karena ia juga mampu mencintai sesamanya dengan cinta yang tulus pula.

Kisah Antonio Casano menjadi contoh bagi kita bahwa cinta itu mesti dapat mengubah hidup manusia. Cinta yang tulus dan murni itu membawa perubahan dalam hidup manusia dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu, orang beriman mesti selalu membuka hatinya kepada Tuhan untuk diisi oleh rahmat dan cinta Tuhan. Mari kita bertumbuh dalam cinta yang murni, agar hidup kita dapat berubah ke arah yang lebih baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.151

29 Agustus 2009

Mendidik Hati Nurani





Suatu hari seorang anak membuang sampah di halaman rumah tetangganya. Sampah itu berupa kotoran sapi yang sangat banyak. Hal tersebut menimbulkan bau yang tidak sedap bagi tetangganya itu. Melihat hal itu, pemilik rumah itu sangat marah. Lantas ia menegur anak itu.

Namun anak itu tidak mau mendengarkan teguran itu. Ia bahkan berbalik marah terhadap pemilik rumah itu. Ia merasa diri tidak bersalah. Ia merasa benar. Terjadilah pertengkaran di antara mereka. Pemilik rumah itu merasa heran, mengapa anak itu merasa tidak bersalah. Padahal ia melakukan sesuatu yang tidak senonoh terhadap orang lain. Sampah, apalagi kotoran sapi, itu mesti dibuang pada tempatnya.

Melihat kondisi itu, pemilik rumah itu mengalah. Ia tidak mau bertengkar dengan orang yang tidak tahu sopan santun. Beberapa saat kemudian, anak itu pulang ke rumah dan melaporkan kejadian itu kepada kakaknya. Tanpa pikir panjang, kakaknya mendatangi tetangganya itu dengan sebuah golok. Tidak banyak bicara, ia langsung menghujamkan goloknya ke pemilik rumah itu. Untung, sang istri langsung menangkap golok itu. Kalau tidak, kepala suaminya yang kena bacok. Akibatnya, telapak tangannya hampir putus.

Sang kakak itu tidak merasa bersalah atas perbuatan kejinya. Pemilik rumah itu tidak mau menerima kejadian itu. Ia menuntut kakak dari anak itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Setelah berrembug dengan alot, akhirnya, jalan damai dilakukan. Kakak dari anak itu mesti mengganti semua pengobatan atas luka yang diderita oleh istri pemilik rumah itu. Ia menyesali perbuatannya. Namun nasi telah menjadi bubur.

Kisah ini mau mengatakan kepada kita bahwa hati nurani manusia mulai mati terhadap sesama. Dalam kehidupan bersama semestinya orang saling menghargai dan menghormati. Apalagi dalam hidup bertetangga. Tetangga yang baik itu sebenarnya jauh lebih dekat daripada keluarga besar yang tinggal jauh dari kita. Tetangga yang saling peduli merupakan harta yang lebih berharga daripada harta benda yang kita miliki.

Karena itu, dibutuhkan suatu pendidikan hati nurani. Hati nurani yang baik dan bersih akan membantu manusia dalam membangun relasi dengan sesamanya. Orang yang memiliki hati nurani yang baik itu memberi kesempatan bagi sesamanya untuk selalu bertumbuh dan berkembang. Ia tidak akan merusak hubungan yang baik dengan sesamanya.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar relasi kita dengan sesama terjalin dengan baik dan harmonis. Untuk itu, kita mesti mendidik hati nurani kita untuk peka terhadap orang-orang di sekitar kita. Dengan demikian, kita dapat menjadi sahabat bagi sesama kita. Kita dapat menjadi orang-orang yang membawa sukacita bagi sesama di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


150

28 Agustus 2009

Menaburkan Harapan





Seorang ibu tertegun memandang putrinya yang baru saja dilahirkannya. Ia tersenyum menatap mata anaknya yang begitu bening. Namun air matanya pun menetes satu per satu. Anak yang ia lahirkan itu ternyata cacat. Kakinya hanya sebelah. Meski begitu, ibu itu tetap mencintai anaknya.

Di telinga anak itu, ia berkata, “Nak, ibu menyayangimu. Ibu mencintaimu dengan segenap hati. Meski engkau lahir cacat, ibu tidak akan menolak engkau.”

Ia menggendong anaknya dengan penuh kasih. Tak terbersit sedikit pun rasa benci atau penolakan. Ia menerimanya apa adanya. Bayi itu telah ia pelihara selama sembilan bulan dalam kandungannya. Ia berjanji untuk membesarkan dan memberinya pendidikan yang sebaik-baiknya.

Suatu ketika, ibu itu mensharingkan pengalamannya. Ia mengatakan bahwa anak yang dikasihinya itu pemberian Tuhan. Tuhan menghendaki ia merawat anak itu dengan baik. Itulah tandanya ia mengasihi Tuhan dan sesama. Ia berkata, “Tuhan begitu baik kepadaku. Ia memberi saya seorang anak yang cacat, supaya saya dapat meneruskan kebaikan Tuhan itu.”

Inilah iman. Iman ibu itu telah meluputkan dia dari rasa benci atau menolak kehadiran buah hatinya yang cacat itu. Sumber iman itu ia timba dari Tuhan sendiri yang telah mengaruniakan seorang buah hati baginya. Masihkah iman seperti ini tumbuh dalam diri kita?

Dalam banyak peristiwa kita menyaksikan ada orang yang begitu putus asa menghadapi suatu kegagalan dalam hidup. Bahkan mereka sampai tega mengakhiri hidup ini dengan minum racun atau gantung diri. Seolah-olah tidak ada secercah harapan dalam hidup mereka. Mereka kehilangan iman dalam hidup ini. Mereka kehilangan Tuhan dalam hidup ini.

Tentu sebagai orang beriman, hal ini merupakan suatu tragedi besar dalam kehidupan manusia. Semestinya orang beriman itu memiliki sikap pasrah kepada Tuhan. Suatu penyerahan diri yang total kepada kehendak Tuhan. Dalam iman itu tumbuh kreativitas. Dalam iman itu muncul berbagai usaha dan upaya untuk keluar dari kesulitan hidup.

Iman semestinya membangkitkan semangat hidup untuk semakin berproses dalam hidup ini. Sebagai orang beriman, kita diajak untuk berani membantu sesama yang berada dalam situasi putus harapan. Kita dipanggil untuk menaburkan harapan bagi mereka yang kehilangan harapan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

149

27 Agustus 2009

Belajar dari Pengalaman Hidup





Aktris Teri Hatcher mengumpulkan sumbangan sebesar 35.000 dollar AS untuk membantu kaum miskin di Kenya. Pemain film seri televisi The Desperate Housewives ini menyampaikan sumbangan itu di sela-sela kunjungannya ke Nairobi, ibu kota Kenya, selama dua minggu.

Hatcher tidak pergi sendirian ke Kenya. Ia membawa putrinya, Emerson Rose, yang baru berusia sepuluh tahun. Di sana Rose mengikuti sekolah bersama murid-murid setempat. Tentang anaknya, Hatcher yang juga bermain dalam film Spy Kids ini berkata,

”Anak-anak itu begitu bersemangat. Awalnya mereka sempat malu-malu. Mereka tidak mau berbicara langsung dengan saya. Anak-anak itu hanya mau bicara dengan anak saya.”

Perempuan kelahiran Palo Alto, California, Amerika Serikat, 8 Desember 1964, ini sangat terkesan dengan teman-teman sekolah Rose selama di Nairobi. Ia mengatakan bahwa mereka menyayangi anaknya. Rose pun menjalin persahabatan dengan anak-anak di Nairobi. Suatu persahabatan lintas suku bangsa dan negara. Tentu kondisi seperti ini sangat menyenangkan semua pihak.

Tentang pengalamannya selama dua minggu di Nairobi, Hatcher berkata, “Kami kemudian berbicara berbagai hal, dari soal serius seperti matematika sampai hal ramah-tamah. Apa saja hal yang paling kami sukai dalam hidup ini. Kami juga ngobrol tentang olahraga favorit kami masing-masing.”

Pengalaman itu guru yang sangat berharga. Melalui pengalaman itu orang dapat belajar berbagai hal tentang kehidupan ini. Kisah di atas menunjukkan bahwa persahabatan itu dapat dibangun melalui pengalaman hidup bersama. Saling menghargai dapat dibangun, kalau orang mau bergaul dengan sesamanya.

Kunci untuk semua ini adalah keterbukaan hati kepada sesama. Orang yang mampu membuka hatinya terhadap kehadiran sesama akan menimba begitu banyak hal yang indah bagi hidupnya. Orang yang mau menerima kehadiran sesamanya biasanya orang yang mau belajar dari sesamanya itu.

Dari kisah tadi kita belajar bahwa seorang bintang film terkenal tidak segan-segan menimba ilmu dari anak-anak yang miskin di negeri miskin. Baginya, ilmu kehidupan itu dapat ditimba dari mana saja. Yang penting orang mau membuka hati dan dan mau belajar sesuatu yang baru.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mau belajar sesuatu yang baru dari orang lain. Pengalaman hidup bersama orang lain memperkaya hidup kita. Untuk itu, kita mesti membuka hati bagi sesama yang ada di sekitar kita. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

26 Agustus 2009

Mengalirkan Kasih Tuhan




Seorang pengelana pernah menulis bahwa di suatu wilayah gurun terdapat dua buah danau yang dialiri oleh banyak sungai. Letak danau-danau itu tidaklah berjauhan, namun keduanya menampakkan perbedaan fenomena alam yang luar biasa.

Danau pertama adalah danau biasa berair tawar yang segar. Ia memiliki beberapa anak sungai yang mengalir ke hilir. Ia adalah danau sebagaimana danau lain dengan kehidupan sewajarnya.

Sedangkan danau kedua, yang lebih besar, menjadi keanehan yang tiada taranya. Ia tidak memiliki anak sungai yang mengalirkan airnya ke laut. Hanya sengat panas gurun yang menguapkan airnya. Tak heran, kandungan mineral dan garamnya amat tinggi. Begitu tinggi sehingga kita dapat mengapung di permukaan begitu saja. Hampir-hampir tidak ada kehidupan dalam danau itu. Pantaslah bila peta mencatatnya dengan nama "Laut Mati".

Hidup manusia itu bagai danau. Kalau manusia mau memberi hidup bagi orang lain, ia akan terus-menerus mengalirkan kasih. Ia selalu berkelimpahan meski ia selalu memberi kepada sesama. Rahmat Tuhan senantiasa menyertainya. Ia juga menjadi sahabat bagi banyak orang, karena ia dikenal sebagai orang yang murah hati.

Sebaliknya, manusia akan menjadi seperti danau yang beku, kalau ia tidak peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Banyak orang akan mengeluh berhadapan dengan orang seperti ini. Apa saja yang dibuat orang lain selalu salah dari sudut pandangnya. Hidup menjadi hambar. Tidak ada kasih yang mengalir dari diri orang ini. Orang seperti ini tidak pernah membuka tangannya untuk sesama. Tangannya selalu erat menggenggam.

Dalam kehidupan ini selalu saja muncul orang-orang yang begitu baik. Mereka selalu peduli terhadap sesamanya. Mengapa bisa terjadi? Karena pada dasarnya manusia itu baik. Manusia yang baik itu semestinya memiliki hati yang terbuka kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Manusia yang baik itu membiarkan Tuhan bekerja dalam dirinya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk tidak hanya berupaya mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Kita diajak untuk berani membagikan apa yang kita punyai kepada orang lain di sekitar kita. Dengan cara ini, kita mampu mengalirkan kasih Tuhan kepada sesama. Kasih Tuhan itu selalu kita peroleh setiap saat. Kita ingin agar kasih Tuhan itu tidak hanya menjadi milik kita. Kita ingin kasih Tuhan itu juga menjadi milik sesama yang ada di sekitar kita. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.147

25 Agustus 2009

Menabur Kasih dalam Hidup





Anne Frank adalah seorang gadis Yahudi yang mati di kamp konsentrasi Nazi Jerman. Di sana ia disiksa bersama ratusan ribu warga Yahudi pada masa Perang Dunia Kedua. Penderitaannya luar biasa hingga akhir hayatnya.

Namun aneh. Meskipun mengalami begitu banyak penderitaan, dalam buku hariannya Anne Frank menulis bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Padahal kekejaman tentara-tentara Nazi begitu luar biasa ia alami. Soalnya, mengapa manusia itu bisa berbuat jahat? Menurut Anne Frank, hal itu disebabkan karena manusia tidak bisa menjaga hati. Akibatnya, hati manusia itu menjadi rusak.

Berbuat dosa atau kejahatan itu mudah. Semudah orang membalikkan telapak tangannya. Melakukan kejahatan itu tidak perlu dipikirkan terlalu lama. Sekali lewat saja orang bisa jatuh ke dalam kejahatan yang sangat kejam. Peristiwa kamp konsentrasi di Ausswitch adalah salah satu contoh. Tempat ini menjadi saksi bisu sekitar satu juta orang Yahudi yang dibunuh dengan gas beracun. Adolf Hitler yang kejam telah menyebabkan kejahatan yang luar biasa hebat terhadap hidup manusia.

Lain halnya menabur kasih. Menabur kasih itu belum tentu mudah dilakukan. Banyak pikiran yang keluar masuk dalam benak manusia. Seolah-olah melakukan kebaikan itu sesuatu yang berasal dari diri manusia. Semestinya kebaikan itu berasal dari hati manusia yang jernih. Anne Frank mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Jadi kebaikan itulah yang semestinya menjadi bagian dari hidup manusia. Kebaikan itu mesti ditumbuhkembangkan dalam diri manusia.

Apa jadinya kalau manusia tidak membiarkan kebaikan dan kasih tumbuh dalam dirinya? Yang terjadi adalah hati yang rusak. Hati yang dikuasai oleh iri hati, permusuhan dan balas dendam. Manusia lebih dikuasai oleh dosa. Kasih hanya menjadi sebuah mimpi hampa. Kasih hanya menjadi dambaan manusia yang tak pernah terwujud.

Karena itu, manusia beriman mesti selalu mengasah kasih dalam hidupnya sehari-hari. Untuk itu, manusia mesti selalu mendengarkan firman Tuhan. Tuhan selalu berbicara kepada kita tentang kasih dan kebaikan dalam hari-hari hidup kita. Kalau kita sungguh-sungguh mendengarkan firman Tuhan dan melaksanakannya dalam hidup kita, saya yakin hidup kita akan menjadi semakin baik. Kita akan selalu mendapat rahmat dan berkat Tuhan.

Kita mesti ingat bahwa pada dasarnya kita ini baik. Dosa dan kejahatan tidak berasal dari diri kita. Dosa itu berasal dari si jahat yang selalu berusaha untuk menjerumuskan manusia ke dalam kejahatan. Kalau kita bertahan dalam kebaikan dan kasih, si jahat tidak akan berani mendekati kita.

Mari kita berusaha untuk hidup baik di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan hidup baik itu kita menyebarkan kabar sukacita bagi sesama. **



Frans de Sales, SCJ



NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.146

24 Agustus 2009

Memiliki Hati yang Terbuka bagi Sesama





Ada seorang pasien yang dirawat di salah satu rumah penampungan Ibu Teresa di Calcuta. Menjelang akhir hidupnya, pasien itu berkata, “Semasa hidupku, aku gelandangan seperti binatang. Tidak ada yang mau peduli. Tetapi sekarang aku mau mati, kok bisa seperti bidadari. Ada yang merawat, ada yang mengasihi...”

Begitulah cara Ibu Teresa peduli terhadap penderitaan sesamanya. Ia membawa para penderita di jalan-jalan kota Calcuta ke tempat penampungan miliknya. Di sana ia merawat mereka. Ia memberi mereka kesempatan untuk menghabisi hari-hari hidup mereka secara manusiawi. Bukan seperti binatang yang tergolek lesu di sudut-sudut kota.

Kata-kata pasien itu merupakan suatu cetusan hati yang tulus dan jujur. Ia mengucapkan terima kasih atas semua pelayanan kasih dari Ibu Teresa. Suatu jamahan kasih yang memberikan pengharapan hidup bagi mereka yang menderita.

Tentang kepeduliannya terhadap sesama, Ibu Teresa berkata, “Kalau semasa hidup mereka tidak layak sebagaimana seorang manusia hidup, biarlah sewaktu mati, mereka boleh mati sebagaimana layaknya seorang manusia mati.” Menurutnya, mereka yang miskin dan menderita harus tahu bahwa kita mengasihi mereka. Mereka tidak perlu rasa iba, tetapi mereka perlu tindakan nyata.

Begitu penting perhatian kita terhadap sesama yang mengalami penderitaan. Coba kita bayangkan kalau kita adalah orang yang sedang menderita. Kita tidak punya apa-apa untuk membantu kita keluar dari penderitaan kita. Apa jadinya? Kita pasti butuh bantuan sesama. Kita perlu perhatian dari sesama. Sedikit bantuan pasti sangat bermakna bagi hidup kita.

Kisah pasien di atas menunjukkan bahwa hidup itu begitu bernilai. Kasih seorang Ibu Teresa menggerakkan hati sang pasien untuk memiliki semangat dalam meneruskan hidupnya. Hidup itu tidak bisa dimusnakan begitu saja. Hidup itu berharga di mata Tuhan.

Karena itu, Tuhan mengirim orang-orang yang memiliki hati yang terbuka oleh penderitaan sesamanya. Tuhan sendiri tidak menghendaki ada ciptaanNya yang binasa. Tuhan selalu peduli terhadap keselamatan manusia. Untuk itu, Tuhan menggerakkan manusia untuk mempunyai kepedulian terhadap sesama.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk membuka hati kita bagi penderitaan sesama di sekitar kita. Hati yang terbuka itu akan membuat kita mudah mengulurkan tangan bagi mereka yang mengalami duka nestapa.

Mari kita berusaha untuk semakin memiliki hati yang peduli terhadap mereka yang sedang menderita. Hati kita juga semestinya merasa menderita ketika menyaksikan sesama menderita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

145

23 Agustus 2009

Menumbuhkan Iman dalam Hidup




Nelson Mandela, siapa tidak kenal? Pria berusia 90 tahun ini terkenal sangat gigih memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Ia pernah dipenjara selama 27 tahun oleh regim apartheid Afrika Selatan. Perjuangan kemudian ia lakukan dari dalam penjara sampai akhirnya kaum kulit hitam Afrika Selatan mendapatkan hak yang sama dengan kaum kulit putih.

Setelah ia terpilih menjadi presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela mengadakan suatu rekonsiliasi. Ia tidak membalas kekejaman yang telah dilakukan kaum kulit putih terhadapnya. Ia mengampuni semua yang bersalah dan mulai membangun Afrika Selatan bangkit dari keterpurukan.

Akhir Juni tahun 2008 lalu diadakan sebuah konser untuk ulang tahunnya di London. Dalam kesempatan itu, Nelson Mandela menyerukan kepada para pemimpin dunia untuk ambil bagian dalam perjuangan melawan kemiskinan, penindasan, dan penyakit yang melanda dunia. Ia berkata, “Inilah saatnya untuk mengangkat beban secara bersama-sama. Malam ini, kita berdiri di sini. Kami kembali ke London untuk memberikan penghargaan atas perayaan yang indah ini. Tetapi, kendati kita mengadakan perayaan malam ini, marilah kita kenangkan kembali bahwa pekerjaan kita belumlah rampung. Di mana kemiskinan, penyakit, termasuk AIDS dan kemanusiaan masih ditindas, maka menjadi tugas kitalah untuk membebaskan itu semua.”

Kepedulian terhadap sesama yang menderita mesti menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Ada begitu banyak peristiwa mengenaskan yang terjadi di sekitar kita. Peristiwa-peristiwa itu menuntut kita untuk memiliki kepedulian. Kita mesti menjadi pembawa solusi yang berguna bagi sesama.

Soalnya adalah ada begitu banyak orang yang kurang peduli terhadap penderitaan sesamanya. Mereka cuek. Mereka tidak mau tahu. Mengapa ini semua bisa terjadi? Tentu saja hal ini bisa terjadi karena kurangnya kesadaran bahwa semua manusia itu memilik harkat dan martabat yang sama. Kalau ada kesadaran mengenai kesamaan ini, saya yakin banyak orang akan mudah tergerak hatinya oleh belas kasihan.

Nelson Mandela telah melakukan hal yang sangat indah dalam hidupnya. Ia berjuang untuk kesamaan hak bangsanya. Ia juga telah memaafkan semua orang yang telah menghukum dan menganiaya dia. Sosok Nelson Mandela menjadi contoh bagi kita bagaimana kita semestinya memiliki kepedulian terhadap sesama. Kita adalah bagian dari sesama kita.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memiliki kepedulian terhadap sesama kita. Inilah iman yang hidup yang mesti terus-menerus berkembang dan bertumbuh dalam hidup kita. Tuhan memberkati.**



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

144

Mendidik Kepekaan Hati







Ada seorang anak yang begitu peduli terhadap sesamanya yang menderita. Waktu terjadi gempa bumi di Bengkulu tanggal 12 September 2007 lalu, ia memecahkan celengannya. Ketika ditanya oleh ibunya untuk apa ia memecahkan celengannya, anak itu mengatakan bahwa ia ingin menyumbang untuk sesamanya. Banyak korban gempa yang membutuhkan pertolongan. Jadi ia ingin membagikan apa yang dimilikinya untuk sesamanya.

Untuk itu, ia sendiri membawa hasil tabungannya yang sudah bertahun-tahun ia kumpulkan itu kepada para korban. Banyak orang heran melihat sikap anak itu. Seorang ibu yang melihat perbuatan anak itu meneteskan air mata. Lantas ia bertanya kepada anak itu, “Nak, apa kamu tidak merasa rugi memberikan hasil tabunganmu yang sudah bertahun-tahun kamu kumpulkan itu?”

Anak itu tersenyum. Lantas ia menjawab, “Ibu, saya memberi dengan sepenuh hati. Saya tidak pernah merasa rugi.”

Dalam hidup ini banyak hal tidak terduga terjadi dalam hidup kita. Ada anak yang menurut kita memiliki egoisme yang begitu tinggi, ternyata begitu rela memberikan apa yang dimilikinya untuk sesamanya. Padahal yang dimilikinya itu sudah ia tabung bertahun-tahun. Hal seperti ini bisa terjadi, kalau orang memiliki hati yang mudah tergerak oleh penderitaan sesamanya.

Dalam hidup kita, kita berjumpa dengan banyak orang yang mengalami kesulitan. Mereka akan tetap tidak mendapatkan bantuan, kalau tidak ada orang yang tergerak hatinya untuk membantu. Siapa yang mesti membantu? Yah, kita yang ada di dekatnya. Kita yang mesti memiliki kepekaan hati untuk mereka. Kalau kita tidak mau membantu, siapa lagi yang akan membantu?

Untuk itu, kita perlu mendidik kepekaan hati. Hati yang peka itu tidak datang dengan sendirinya. Dibutuhkan suatu proses pendidikan yang berlangsung terus-menerus. Dibutuhkan banyak waktu untuk memiliki kepekaan hati itu. Ada kalanya orang merasa jenuh, karena orang yang dibantu tidak pernah mengucapkan sepatah kata terima kasih pun. Dalam hal ini orang ditantang untuk tetap bertahan dalam berbuat baik. Orang mesti tetap bertahan dalam membangun hati yang peka terhadap sesama.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk selalu memiliki kepedulian terhadap mereka yang menderita. Artinya, kita mau agar mereka yang menderita itu mendapatkan bantuan dari kita. Hanya dengan membantu itu kita memupuk kepekaan hati terhadap sesama yang menderita. Mari kita berusaha untuk selalu tetap setia pada komitmen kita untuk membantu sesama yang menderita. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.143

22 Agustus 2009

Mengenal Kehendak Tuhan


Suatu hari seorang bapak kehilangan anjing yang sangat disayanginya. Ia berusaha keras untuk menemukan anjingnya yang hilang itu. Tetapi usaha kerasnya belum membuahkan hasil. Karena itu, ia memasang iklan di sebuah surat kabar dan memberikan ciri-ciri anjing yang hilang itu. Ia juga menjanjikan hadiah bagi siapa saja yang dapat menemukan anjing kesayangannya itu.

Dua hari kemudian ia menerima telepon dari seseorang yang tinggal lebih kurang 150 km dari rumah, tempat tinggalnya. Penelepon itu berkata bahwa ia telah menemukan anjing yang sangat cocok dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam iklan surat kabar yang dibacanya. Anjing itu dibawa ke rumahnya dalam keadaan sangat lemah. Tetapi tetap tidak mau makan walaupun sudah dibujuk sekuat tenaga untuk makan. Pemilik anjing itu berkata, “Cobalah saya bicara dengan anjing itu.” Telepon itu dibawa ke dekat anjing itu dan pemiliknya berbicara memanggil-manggil nama anjing itu.

Mendengar suara tuannya, anjing yang tadinya lemah dan murung itu segera tampak segar dan ceria. Anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya. Lantas ia mencari-cari tuannya di ruang itu serta berputar-putar di kolong meja. Ketika anjing itu tahu suara tuannya bersumber dari telepon, ia menghampiri telepon itu. Ia mendengar suara tuannya dengan penuh perhatian. Pemilik anjing itu mencatat alamat penelepon dan segera mengendarai mobilnya menuju ke sana. Ketika sampai di rumah itu, ia melihat anjingnya sudah segar kembali sebab sudah makan dengan lahapnya.

Dalam hidup ini sering kita lupa akan sesama kita. Kita lupa wajahnya. Kita lupa kulitnya. Kita lupa suaranya. Ketika suatu saat kita bertemu lagi, kita menjadi gembira. Yang kita lupakan itu ternyata masih hidup. Yang kita lupakan itu ternyata mampu menggembirakan kita. Mungkin seutas senyumnya dapat membuat kita bahagia. Mungkin suara merdunya membuat hati kita lega.

Kisah di atas mau menunjukkan kepada kita bahwa mengenali sesama itu sesuatu yang penting dalam hidup ini. Orang yang kita kenal itu membantu kita untuk membangun persahabatan yang baik dan harmonis. Kita bisa menghindari pertengkaran atau salah paham, karena kita mengenal sesama dengan baik.

Dalam hidup berkeluarga, suami istri mesti sungguh-sungguh saling mengenal. Hal ini akan membantu mereka untuk membangun hidup bersama. Percecokan itu muncul, karena mereka kurang saling mengenal dengan baik. Untuk itu, suami istri mesti belajar mengenai pasangannya. Tidak cukup belajar hanya satu dua hari. Belajar tentang pasangan ini berjalan seumur hidup. Tidak pernah berhenti.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kita juga mengenal suara dan kehendak Tuhan dalam hidup kita. Apa yang dikehendaki oleh Tuhan bagi hidup kita? Orang beriman mesti yakin bahwa Tuhan selalu menghendaki yang terbaik bagi umatNya. Nah, mari kita berusaha untuk mengenal kehendak dan kebaikan seperti apa yang diharapkan dari kita. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

141

Meraih Cita-cita dengan Kerja Keras



Suatu hari seorang pemburu berangkat ke hutan dengan membawa busur dan tombak. Dalam hatinya, dia berkhayal akan membawa hasil buruan yang paling besar, yaitu seekor rusa. Cara berburunya pun tidak menggunakan anjing pelacak atau jaring penjerat, tetapi menunggu di balik sebatang pohon yang memang sering dilalui oleh binatang-binatang buruan.

Tidak lama ia menunggu, seekor kelelawar besar kesiangan hinggap di atas pohon kecil, tepat di depan si pemburu. Dengan ayunan parang atau pukulan gagang tombaknya, kelelawar itu pasti bisa diperolehnya. Tetapi si pemburu berpikir, “Untuk apa merepotkan diri dengan seekor kelelawar? Apakah artinya ia dibanding dengan seekor rusa besar yang saya incar?”

Tidak lama berselang, seekor kancil lewat. Kancil itu sempat berhenti di depannya bahkan ia menjilat-jilat ujung tombaknya. Sang pemburu itu berpikir, “Ah, hanya seekor kancil, nanti malah tidak ada yang makan, sia-sia.”

Agak lama pemburu itu menunggu. Tiba-tiba, terdengar langkah-langkah kaki binatang mendekat dan pemburu pun mulai siaga penuh. Tetapi ternyata seekor kijang. Ia pun membiarkan binatang itu berlalu. Lama sudah ia menunggu, tetapi tidak ada rusa yang lewat, sehingga ia tertidur.

Baru setelah hari sudah sore, rusa yang ditunggu lewat. Rusa itu sempat berhenti di depan pemburu, tetapi ia sedang tertidur. Ketika rusa itu hampir menginjaknya, ia kaget. Spontan ia berteriak, “Rusa!” Rusa itu pun kaget dan lari terbirit-birit sebelum sang pemburu menombaknya. Alhasil, sang pemburu itu pulang tanpa membawa apa-apa.

Banyak keinginan yang mau kita raih dalam hidup ini. Banyak idealisme yang kita khayalkan bakal terjadi. Namun yang sering terjadi adalah kita kehilangan keinginan dan idealisme itu. Mengapa? Karena kita terlalu tenggelam dalam keinginan dan idealisme diri sendiri.

Dalam hidup ini orang berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup yang biasa. Hal-hal itu mesti diraih. Hal-hal yang sederhana itu mesti ditangkap untuk kehidupan sehari-hari. Orang tidak perlu menunggu sampai hal-hal besar dan ajaib datang menghampirinya. Hal-hal yang besar dan ajaib itu bisa datang kalau orang berusaha untuk mendatangkannya. Bukan menunggu sampai di depan hidung.

Untuk itu, orang mesti berjuang. Orang tidak bisa duduk manis berpangku tangan. Orang mesti berani menyingsingkan lengan baju untuk bekerja keras meraih apa yang diinginkannya. Hanya dengan bekerja keras orang dapat meraih sukses dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk memiliki ketetapan hati dalam meraih apa yang kita inginkan. Orang mengatakan bahwa yang sedikit itu dikumpulkan lama kelamaan menjadi gunung. Kita ingin agar apa yang kita kejar dalam hidup ini bukan hanya hal-hal yang besar. Tetapi kita ingin meraih hal-hal sederhana yang berguna bagi hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.//142

21 Agustus 2009

Usaha Melepaskan Diri dari Dosa



Seorang anak kecil berlari masuk ke dalam rumah setelah bermain-main di tempat becek. Ibunya bertanya kepada anak itu apa yang ada di tangan kanannya. Dengan santai anak itu menjawab, “Bu, yang ada di tangan kananku hanyalah lumpur kotor. Tadi waktu bermain-main tanganku memegang lumpur.”

Ibunya bertanya dengan cara bagaimana anaknya itu akan membersihkan tangannya yang kotor penuh lumpur itu. setelah berpikir sejenak, anak itu menjawab, “Ah, itu gampang. Aku akan pakai tangan kiriku untuk membersihkan tangan kananku yang kotor ini.”

Dengan segera ia melakukan apa yang ia katakan. Tangan kirinya berusaha keras membersihkan tangan kanannya. Tetapi apa yang terjadi? Bukannya bersih, melainkan justru kedua tangannya menjadi kotor oleh lumpur.

Dalam hidup ini banyak orang berpikir dan melakukan hal yang sama yang dilakukan anak kecil itu. Banyak pejabat publik tahu dan sadar bahwa korupsi itu dosa. Manipulasi itu tidak baik. Mereka mengerti kalau mereka melakukan tindakan korupsi, penjara telah menanti kedatangan mereka. Banyak orang tahu dan sadar bahwa menjual, mengedarkan dan menggunakan narkoba itu hukumannya sangat berat. Tetapi mereka masih tetap melakukannya.

Ada prinsip aji mumpung. Mumpung lagi enak dan tidak ketahuan, orang melakukan hal-hal yang tidak senonoh dan jahat. Mereka tahu kalau ketahuan, mereka akan dihukum dengan berat. Tetapi itu tadi, mumpung belum ketahuan, berbuat dulu. Ini kan berarti orang sedang memasukkan diri ke dalam pencobaan. Tahu bahwa di depannya itu ada jurang yang menganga lebar, tetapi orang masih saja nekad untuk terus berjalan.

Hal seperti ini yang mesti diwaspadai. Orang mengatakan bahwa hidup ini adalah trial and error. Orang mesti berani melakukan kesalahan dalam hidupnya untuk sampai pada kebenaran. Tetapi tidak berarti orang boleh memasukkan diri ke dalam kejahatan yang jelas-jelas sudah ada di depan matanya.

Untuk itu, dibutuhkan suatu kesadaran yang terus-menerus tentang makna kehidupan ini. Orang beriman itu mesti berani menghadapi berbagai tantangan dan resiko dalam hidupnya. Tetapi orang beriman itu tidak perlu memasukan diri ke dalam kejahatan. Bahkan orang beriman mesti berusaha untuk keluar dari lingkup kejahatan yang sedang membelenggunya.

Kisah tadi mau menunjukkan kepada kita bahwa kita mesti semakin bijaksana dalam hidup ini. Hidup ini begitu indah. Karena itu, janganlah membuat hidup yang indah ini mubazir. Janganlah membiarkan hidup yang begitu indah ini lenyap begitu saja hanya karena nikmatnya melakukan dosa dan kejahatan.

Dosa itu membuat orang tergiur dan nikmat. Tetapi kenikmatan yang dirasakan itu hanya sesaat. Selebihnya adalah penderitaan yang berkepanjangan. Mari kita berusaha untuk melepaskan diri dari dosa dan kejahatan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

140

20 Agustus 2009

Mewartakan Kebaikan Tuhan

Setiap hari seorang kepala suku Indian selalu bersaksi tentang betapa baiknya Tuhan bagi hidupnya. Di mana saja, kapan saja dan kepada siapa saja, ia pasti menceritakan betapa besar kasih Tuhan atas dirinya. Teman-temannya heran melihat sikap kepala suku itu. Apalagi sebelumnya ia selalu mengandalkan kemampuan dirinya sendiri.

Karena itu, mereka bertanya, “Mengapa Anda selalu membicarakan kebaikan Tuhan? Apa tidak ada topik pembicaraan lain yang lebih menarik?”

Kepala suku itu terdiam sejenak. Lalu ia mengumpulkan rumput dan ranting-ranting pohon yang ada di sekitarnya. Dengan bahan-bahan itu, ia membuat sebuah lingkaran kecil. Kemudian di tengah-tengah lingkaran itu ia meletakkan seekor ulat. Teman-temannya semakin heran melihat perbuatannya. Namun mereka menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh.

Lantas ia menyalakan api dan menyulut rumput dan ranting yang membentuk lingkaran itu. Dengan cepat api menyala dan ulat yang berada di tengah-tengahnya menggeliat mencari jalan keluar dari panas yang membara itu. Namun sia-sia saja perbuatannya itu. Sebentar lagi ulat itu akan hangus ditelan api yang kian berkobar. Tetapi ketika api semakin mendekati ulat, ulat itu mengangkat kepalanya setinggi-tingginya. Ia mengharapkan pertolongan. Ia tidak bisa menyelamatkan diri sendiri. Ia butuh pertolongan dari luar dirinya.

Beberapa saat kemudian kepala suku itu mengulurkan jari telunjuknya kepada ulat yang sedang mengangkat kepalanya. Dengan cepat ulat itu merapat di jari tangan kepala suku itu lalu keluar dengan selamat.

Kepala suku itu berkata, “Seperti itulah kebaikan Tuhan kepada saya. Saya ini orang berdosa yang terancam hukuman di api neraka yang kekal. Saya sungguh-sungguh tidak berdaya. Saya sudah terjebak dalam dosa yang begitu ngeri. Tetapi belas kasihan Tuhan telah menyelamatkan saya. Bukankah Tuhan begitu baik?”

Memang Tuhan itu baik. Tuhan tidak memandang betapa besar dosa manusia. Tuhan mau menyelamatkan manusia, meskipun begitu banyak dosa manusia. Meskipun manusia sering membangkang dan tidak setia, Tuhan tetap setia. Tuhan terus-menerus mendekati manusia untuk menawarkan belas kasihanNya.

Sadarkah manusia akan kebaikan Tuhan ini? Bukankah manusia lebih suka mengandalkan kemampuan dirinya sendiri? Bukankah manusia lebih setia kepada dirinya sendiri, meskipun dosa dan kejahatan sering menjadi bagian hidupnya? Kalau manusia mau menerima belas kasihan Tuhan, pasti Tuhan akan selalu hadir dalam hidupnya. Namun Tuhan selalu hadir dalam setiap pergumulan hidup manusia. Tuhan juga hadir dalam kegelapan dan penderitaan manusia.

Karena itu, orang beriman mesti selalu memberi kesaksian tentang kebaikan Tuhan. Di mana pun, kapan pun dan kepada siapa pun semestinya kita menceritakan bahwa Tuhan itu sungguh baik. Tuhan selalu terlibat dalam suka dan duka hidup kita. Mari kita senantiasa setia kepada Tuhan, karena Tuhan lebih dahulu telah setia kepada kita. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

139

Hidup Ini Sangat Berharga



Ada seorang janda kaya yang kesehatan tubuhnya menurun drastis. Berkali-kali ia jatuh sakit. ketika dibawa ke dokter, dokter menyatakan bahwa jantungnya sangat parah. Dokter itu memberi taksiran bahwa umur janda itu tinggal satu tahun lagi.

Janda itu merasa sangat sedih. Ia merasa belum terlalu tua, tetapi hidupnya tidak lama lagi. Ia tidak percaya, kalau ia akan begitu cepat meninggalkan dunia ini. Ia ingin hidup lebih lama lagi. Paling kurang sepuluh tahun lagi. Tetapi kenapa umurnya tinggal satu tahun lagi?

Pikir punya pikir, ia akhirnya menyerah kepada kenyataan itu. Ia tidak mau berlama-lama menyiksa diri dengan mengurus perusahaan miliknya yang sedang maju. Kepada para bawahannya, ia meminta mereka untuk menunggu. Tidak usah terlalu ekspansif. Ia meminta mereka menunggu hingga satu tahun berlalu.

Janda itu berkata, “Kita mau lihat, apakah ramalan dokter itu terjadi. Kalau memang tahun depan saya meninggal, kalian harus berani mengambil alih semua usaha ini. Tetapi dalam sisa waktu satu tahun ini saya masih mau berusaha untuk mengobati jantung saya. Saya yakin, Tuhan masih memelihara hidup saya.”

Satu tahun berlalu. Kesehatan janda itu justru membaik. Ia merasa bahwa kondisi ini merupakan rahmat dari Tuhan. Tuhan ternyata begitu baik kepadanya. Tuhan masih mau memelihara hidupnya. Ia pun bersyukur atas karunia Tuhan itu.

Hidup manusia itu tidak ditentukan oleh manusia. Hidup manusia itu ada di tangan Tuhan. Karena itu, apa pun yang terjadi, manusia mesti menyerahkan hidupnya ke dalam tangan Tuhan. Manusia tidak memiliki hak untuk menyatakan berakhirnya hidup manusia. Manusia tidak punya hak untuk mengakhiri hidup seseorang.

Karena itu, yang mesti dilakukan manusia adalah memberikan penghargaan dan dukungan terhadap kehidupan. Manusia mesti memperjuangkan kehidupan itu sampai detik terakhir. Mereka yang sedang mengalami penderitaan oleh penyakit yang ganas diharapkan tidak begitu saja menyerah.

Kisah di atas menunjukkan betapa hidup itu mesti diperjuangkan dengan berbagai cara. Janda kaya itu tidak begitu saja percaya terhadap vonis dokter atas hidupnya. Ia lebih percaya pada penyelenggaraan Tuhan. Ia yakin, Tuhan yang baik itu akan memberikan yang terbaik bagi hidupnya. Karena itu, ia tidak menyerah kalah begitu saja pada penyakit jantung yang sedang menderanya. Baginya, Tuhan itu segalanya. Biarlah Tuhan yang telah memberi hidup ini, Dia pula yang mengambilnya.

Bagi orang beriman, hidup ini mesti selalu diperjuangkan. Hidup ini sangat berharga. Hidup ini tidak boleh berakhir dengan kesia-siaan. Mari kita perjuangkan hidup ini, karena hidup ini sangat berharga di mata Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
138

19 Agustus 2009

Tuhan selalu Mengasihi Manusia

Suatu hari seorang pemuda tampak begitu loyo. Wajahnya pucat. Ia tidak bergairah. Ia tidak bersemangat. Cara pandangnya kosong. Gerak-geriknya lambat. Ketika ditanya tentang keadaannya, pemuda itu menjawab sekenanya, “Saya tidak lagi enak badan. Tidak usah pikirkan saya.”

Namun teman-temannya tidak ingin pemuda itu tenggelam dalam kondisi seperti itu. Mereka ingin memberinya semangat. Mereka tidak ingin seorang pemuda larut dalam kesedihan yang mendalam. Karena itu, mereka mengajaknya untuk makan bakso.

Begitu mendengar bakso, ia langsung bergairah. Memang, satu-satunya hal yang membuat ia sedikit bergairah ialah kalau ia diajak makan bakso. Paling senang ia makan bakso. Apalagi tidak usah bayar. Ia dapat meluapkan sukacitanya kepada teman-temannya.

Dalam hidup sehari-hari orang bisa mengalami situasi seperti yang dialami pemuda itu. Para pengungsi, misalnya, menjadi loyo karena merasa terbuang. Korban banjir atau bencana alam lainnya juga mengalami hal yang sama. Mereka merasa tidak bergairah untuk hidup. Apa saja yang mereka miliki telah hilang. Seolah-olah mereka hidup tanpa harapan. Masa depan mereka sepertinya sudah habis.

Benarkah demikian? Haruskah situasi tanpa harapan membelenggu hidup manusia yang beriman? Bukankah orang beriman mesti bangkit dari kelesuan hidup? Selalu ada hari esok yang cerah bagi setiap orang beriman. Karena itu, orang beriman tidak perlu larut dalam kondisi tanpa harapan. Masa depan selalu ada. Di hadapan orang beriman selalu terbentang masa depan yang terang benderang.

Untuk itu, orang beriman mesti membangun hidupnya di atas kasih dan persaudaraan. Kasih itu mengatasi segalanya. Orang yang hidup dalam kasih akan menemukan kebahagiaan hidup. Kasih itu mengubah hidup. Mengapa? Karena kasih itu memberi makna yang lebih dalam bagi perjalanan hidup manusia. Kasih itu membangkitkan situasi yang loyo menjadi semangat yang bergairah untuk meneruskan perjalanan hidup.

Tetapi kasih itu tidak datang dengan sendirinya. Orang mesti membangun kasih itu. Orang beriman mesti membuka hatinya bagi kasih Tuhan. Tuhan selalu mengasihi manusia. Ini fakta yang tidak bisa ditolok. Tuhan selalu menawarkan kasihNya kepada manusia meski manusia tidak peduli terhadap kasih Tuhan itu.

Kalau orang beriman mau membangun harapan dan masa depan yang terang benderang, ia mesti memiliki kasih Tuhan. Kasih itu mesti ditumbuhkembangkan di dalam dirinya. Tetapi ia juga mesti menumbuhsuburkan kasih Tuhan itu dalam hidup sehari-hari. Caranya dengan memiliki kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan bantuannya. Ia mesti memiliki tangan yang ringan untuk menolong sesamanya. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
137

Membangun Hidup di atas Kejujuran





Sudah lama seorang pemuda dari Montreal, Kanada, hidup menganggur. Suatu sore ia menemukan sebuah dompet milik seorang janda yang juga berstatus penganggur. Isi dompet itu hanyalah sehelai undian yang kelihatannya tidak berarti.

Tetapi pemuda itu menyimpannya baik-baik di saku celananya. Ia berharap, nomor undian itu akan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi perjalanan hidupnya. Benar. Betapa terkejutnya pemuda itu, ketika ia pada suatu hari mencocokkan angka-angka di dalam lotere itu dan mendapati bahwa hadiah utama sebesar 1,2 juta dolar ternyata tepat dengan nomor kupon yang ada di saku celananya.

Timbullah pergumulan berat dalam hatinya. Apakah lotere itu akan ia kembalikan kepada pemiliknya yang sah atau diam saja pura-pura tidak tahu dan mengantongi uang yang demikian banyak seorang diri. Lama sekali ia memikirkan hal ini.

Akhirnya hati nuraninya tidak mengijinkan pemuda itu berbuat serakah. Dengan penuh percaya diri, ia mendatangi rumah janda penganggur itu dan menceritakan keadaan yang sebenarnya. Ternyata janda ini juga cukup baik hati. Ia rela membagi hadiah uang itu dengan pemuda itu. Masing-masing mereka kemudian membangun hidup yang bahagia dengan hasil undian itu.

Kita hidup dalam dunia yang kata orang sulit sekali menemukan orang-orang yang jujur. Orang lebih mudah saling mempecundangi daripada berusaha bersama untuk meraih sukses secara bersama-sama. Kita menyaksikan sesama saudara sampai bentrok. Tidak akur. Mengapa hal ini mesti terjadi? Hal ini terjadi karena kurangnya kejujuran. Hal ini menyebabkan kepercayaan terhadap sesama, bahkan saudara, menjadi luntur.

Kisah di atas mau mengingatkan kita bahwa hidup jujur itu lebih menguntungkan daripada hidup yang tidak jujur. Seandainya pemuda penganggur itu tidak jujur, ia akan hidup dalam ketidaktenangan. Hati nuraninya akan selalu mempertanyakan kejujuran dirinya. Ia selalu dikejar-kejar oleh hati nuraninya sendiri. Hidup yang selalu dikejar-kejar oleh hati nurani itu tidak membahagiakan. Orang menjadi tidak damai.

Karena itu, kedamaian mesti didukung oleh kejujuran dalam hidup ini. Para pendiri agama-agama di dunia selalu menekankan pentingnya kejujuran dalam hidup. Orang yang jujur itu berkenan kepada Tuhan dan sesama. Orang yang jujur dalam hidupnya itu senantiasa dipercaya oleh Tuhan dan sesama untuk mengemban tugas-tugas yang besar.

Sebagai orang beriman, kita ingin hidup kita dihiasi oleh kejujuran. Kita ingin agar kejujuran menjadi mahkota bagi hidup kita. Untuk itu, kita mesti mendasarkan hidup kita pada ajaran Tuhan. Tuhan selalu mengajarkan kita untuk hidup bersahaja dan jujur. Dengan cara hidup seperti ini, kita akan mampu menjadi orang-orang yang berkenan kepada Tuhan. Kita dapat menjadi orang-orang yang dipercaya oleh sesama.

Mari kita terus-menerus membangun hidup kita dalam kejujuran. Hanya dengan kejujuran kita akan menemukan damai dan ketenangan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

136

18 Agustus 2009

Berani Menolak Kejahatan



Di kota besar, papan reklame yang memancarkan cahaya warna-warni di waktu malam sudah merupakan pemandangan biasa. Suasana malam yang gelap menjadi semarak dan meriah dengan adanya cahaya papan reklame yang mempromosikan berbagai produk. Ada sebuah papan reklame yang mempromosikan perusahaan minyak bumi SHELL. Iklan itu berbunyi: Anda can be sure of SHELL. Iklan itu berusaha meyakinkan konsumen apabila mereka memakai bensin dari merek Shell pasti akan nyaman dan enak dipakai.

Entah mengapa pada suatu malam ada kerusakan pada papan reklame itu tepat pada huruf S. Akibatnya, bunyi iklan itu berubah menjadi: You can be sure of HELL. Artinya, Anda boleh yakin bahwa neraka betul-betul ada!

Suatu malam, seorang pemuda baru saja pulang mabuk-mabukan dan mobilnya berhenti di lampu merah perempatan jalan di mana iklan papan reklame itu berada. Pemuda itu terkejut membaca iklan yang berbunyi, You can be sure of HELL.

Ketika lampu hijau menyala, pemuda itu mengemudikan mobilnya pulang. Namun sepanjang jalan, pikirannya tidak bisa lepas dari iklan yang tadi dibacanya. Sesampai di rumah, ia segera naik ke tempat tidur dan berusaha tidur melupakan iklan tadi. Ternyata tidak bisa! Iklan itu terus-menerus terbayang di mata pemuda ini: Neraka, neraka, neraka, engkau harus tahu neraka itu bukan omong kosong, tetapi betul-betul ada!

Pemuda ini tahu bahwa dirinya adalah orang berdosa dan kalau malam itu ia mati, ia pasti masuk neraka. Maka pagi harinya tanpa pikir panjang lagi, ia mencari seorang imam. Ia meminta bimbingan, agar ia beroleh pengampunan dosa. Ia ingin bertobat.

Manusia hidup dalam dunia yang penuh godaan. Ada orang yang tergoda oleh enaknya minuman keras. Mabuk-mabukan sudah menjadi bagian hidupnya. Orang seperti ini baru sadar, ketika penyakit menyerang dirinya. Ada orang tergoda oleh gemerlap uang, sehingga ia mengejar uang sebanyak-banyaknya. Orang seperti ini tidak peduli apakah usaha itu halal atau tidak halal. Orang seperti ini baru sadar, ketika ia mengalami penderitaan akibat ganasnya uang.

Sebenarnya tawaran dunia berupa godaan-godaan itu netral. Artinya, semua itu tergantung dari manusia itu sendiri. Apakah manusia mau mengambil semua godaan itu atau manusia mau secara selektif menghadapi godaan-godaan itu?

Kisah tadi mau mengingatkan kita bahwa kita perlu hati-hati dalam hidup ini. Ada begitu banyak hal yang tampak baik bagi hidup kita, namun ternyata menyimpan penderitaan bagi hidup manusia itu sendiri. Pemuda yang mabuk dalam kisah di atas disadarkan oleh papan iklan. Ia menyesal atas tingkah lakunya yang mabuk-mabukan. Ia berbalik ke jalan yang benar. Ini salah satu contoh bagaimana manusia mesti hidup dalam dunia ini. Orang mesti memilih yang baik. Orang mesti menolak yang jahat. Memang tidak mudah menolak yang jahat. Tetapi orang mesti berani untuk mengambil sikap. Untuk itu, orang beriman mesti kuat dalam iman. Orang beriman tidak boleh menyerah begitu saja terhadap godaan-godaan. Orang beriman mesti berani menolak kejahatan yang mengganggu hidupnya. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.135

Hati yang Remuk Redam Tidak akan Ditolak Tuhan





Ada seorang pencuri yang sudah berpengalaman dan belum pernah tertangkap polisi. Suatu malam ia memasuki sebuah rumah untuk mencuri barang-barang berharga yang ada di dalamnya. Sebelumnya, pada siang hari ia sudah menyelidiki dan mengamati rumah yang akan dijadikan mangsa itu.

Ia masuk ke dalam sebuah kamar di rumah itu, sebab ia tahu di dalam ruangan itu banyak barang yang bisa diambil. Menurut perhitungannya, penghuni rumah itu sudah tidur sebab lampu-lampu sudah dimatikan. Tetapi ketika ia sedang asyik meneliti barang-barang yang ada di dalam ruangan itu, ia mendengar bunyi langkah kaki dan suara orang mendekati ruang tersebut. Dengan cepat pencuri ini bersembunyi di kolong ranjang untuk menyelamatkan dirinya.

Ternyata yang masuk adalah bapak kepala rumah tangga disertai istri dan dua anaknya. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja dan mengadakan ibadah keluarga. Mereka menyanyikan puji-pujian untuk kemuliaan nama Tuhan dan juga membaca firman Tuhan bersama-sama tentang betapa besar kasih Allah kepada dunia yang berdosa ini.

Semua yang dilakukan oleh keluarga ini didengar dengan jelas sekali oleh pencuri yang bersembunyi di kolong ranjang. Setelah ibadah keluarga selesai, semua keluar dari ruangan dan lampu dimatikan. Perlahan-lahan pencuri itu keluar dari tempat persembunyiannya, namun sekarang keinginannya untuk mencuri sudah hilang dari dalam hatinya. Hatinya begitu terkesan oleh apa yang telah didengarnya. Ia segera pulang ke rumahnya dan sepanjang malam itu ia tidak bisa tidur.

Keesokan harinya, ia memberanikan diri mengetuk pintu rumah yang tadi malam dimasukinya. Ia menceritakan kepada pemilik rumah apa yang diperbuatnya tadi malam. Bapak pemilik rumah itu tidak marah kepada si pencuri tersebut. Malah dengan penuh kasih ia memberitakan kebenaran firman Tuhan sehingga pada hari itu juga, pencuri itu bertobat. Ia pulang dengan sukacita karena mengetahui bahwa Tuhan mengasihi dirinya dan perbuatannya diampuni oleh pemilik rumah.

Tuhan itu baik kepada semua orang. Termasuk orang yang jahat. Ia memberikan matahari untuk semua orang. Ia memberikan tanah yang subur untuk semua orang. Tuhan tidak peduli apakah seseorang itu punya dosa besar atau tidak. Namun yang selalu dituntut dari Tuhan adalah hati yang mau bertobat.

Bertobat berarti orang mau menerima Tuhan bagi hidupnya. Orang tidak mengandalkan kemampuan dan kekuatan dirinya sendiri. Kasih Tuhan justru hidup dan bertumbuh dengan subur dalam diri seseorang. Bukan lagi dosa dan kejahatan yang menjadi andalan dalam hidup. Untuk itu, orang mesti berani mengakui semua kesalahan dan dosanya di hadapan Tuhan. Setelah itu, orang berjanji untuk tidak melakukan lagi dosa.

Untuk itu, orang mesti berani menyerahkan seluruh hidupnya kepada penyelenggaraan Tuhan. Tuhan tidak akan pernah menolak umatNya yang datang kepadaNya. Tuhan akan menerimanya kembali seperti domba yang hilang yang ditemukan kembali. Tuhan selalu memberikan kasihNya bagi kehidupan manusia.

Karena itu, jangan takut untuk datang kepada Tuhan. Jangan kita ragu mendekatkan diri kita kepadaNya. Apa pun dan seberapa pun besar dosa kita, Tuhan akan menerima kita dengan tangan terbuka. Mari kita melangkahkan kaki kita menuju Tuhan yang sudah menanti kedatangan kita. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.



134

17 Agustus 2009

Memberi Teladan Hidup

Suatu hari seorang ibu berambut uban dan sedang patah semangat mendatangi seorang ulama. Ia ingin meminta pertolongan dari ulama itu. Ia berkata, “Pak, tolonglah anak saya yang ada di penjara. Sudah sepuluh tahun ia ada di penjara dan belum sekalipun dia membalas surat-surat yang saya kirim kepadanya. Saya ingin sekali mengetahui keadaannya. Tolong juga sampaikan surat dan foto ini kepadanya.”

Ulama itu menyanggupi permohonan ibu itu. Ketika ia pergi ke kota, ia mengunjungi pemuda itu. Ketika bertemu, ulama itu menunjukkan surat dan foto ibu itu kepada pemuda itu.

Dengan dingin pemuda itu berkata, “Benar, ini foto ibu saya. Dulu rambutnya hitam, tetapi sekarang semua sudah putih...”

Ulama itu bertanya mengapa selama bertahun-tahun ia tidak membalas surat ibunya. Dengan geram dan mata melotot, ia berkata, “Pak, maukah bapak pergi ke rumah ibuku dan mengembalikan foto dan surat ini? Saya sama sekali tidak menyukai ibu saya. Bagi saya, dia adalah wanita paling jahat di dunia. Pertama kali saya mengenal judi di meja ibu saya yang selalu berjudi setiap hari bersama kawan-kawannya? Saya diajari minum alkohol oleh ibu saya sendiri. Karena itulah akhirnya saya masuk penjara selama sepuluh tahun. Kalau sekarang dia mengatakan mencintai saya, itu hanya omong kosong belaka. Sungguh saya membenci ibu saya dan kebiasaannya.”

Ulama itu hanya terbengong. Ia kembali dengan seribu satu pertanyaan di benaknya.

Teladan hidup ternyata sesuatu yang masih sangat dibutuhkan dalam hidup manusia. Pepatah mengatakan, buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pohon yang baik menghasilkan buah yang baik pula. Karena itu, teladan orangtua sangat penting dalam proses pendidikan seorang anak. Teladan yang baik membawa kebaikan dalam hidup. Teladan yang buruk membawa pengaruh negatif dalam pertumbuhan kejiwaan seorang anak.

Untuk itu, orangtua mesti membangun hidup yang baik. Hidup yang dekat dengan Tuhan. Caranya adalah dengan mendengarkan firman Tuhan dan berdoa kepada Tuhan. Namun berdoa saja tidak cukup. Orangtua mesti membangun kedekatan dengan anak-anak.

Di jaman sekarang banyak anak mengeluhkan orangtua mereka yang terlalu sibuk mencari nafkah. Seolah-olah penghasilan keluarga itu yang utama. Sampai-sampai mereka lupa bahwa kasih sayang dan perhatian kepada anak-anak merupakan tugas utama dari orangtua. Apa gunanya mengumpulkan harta yang banyak, tetapi anak-anak kekurangan cinta kasih dan perhatian.

Karena itu, orangtua perlu berefleksi diri akan peranannya dalam konteks tanggungjawabnya terhadap pendidikan anak-anak mereka. Memberi teladan hidup menjadi suatu kesempatan bagi anak-anak untuk belajar tentang cara hidup yang baik. Belajar tentang kehidupan itu mesti dimulai dari keluarga. Orangtualah yang memberi teladan untuk hal ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.133

16 Agustus 2009

Menimba Semangat Hidup Sesama



Pada suatu musim panas yang panjang, seekor rubah berjalan-jalan di hutan. Ia menemukan sebatang pokok anggur. Pokok anggur itu berbuah lebat dan ranum. Butir-butir anggur kelihatan segar menggantung pada ranting-rantingnya.

Rubah ingin makan buah anggur itu. Namun telah mencoba sebisa-bisanya, ia tak dapat menggapai buah anggur itu. Dia berdiri di atas kaki belakangnya. Dia melompat, bahkan dia mencoba memanjat pokok anggur itu. Tetapi buah anggur itu tergantung jauh di atas sana. Ia tidak dapat menjangkaunya. Beberapa lama rubah itu mencoba memetiknya. Akhirnya dia kepayahan dan menyerah.

Dalam kekesalan hatinya, ia berkata, “Huh... buah-buah anggur asam. Aku tidak menginginkan anggur-anggur itu.” Ia pun pergi dengan hati yang sedih.

Sering sekali hal seperti ini terjadi dalam hidup kita. Kekesalan hati sering membuat orang tidak mau menghargai sesamanya. Meskipun ada begitu banyak hal baik yang ada dalam diri sesama, tetapi kalau hati lagi kesal orang cuek. Orang tidak peduli terhadap kebaikan sesama yang berlimpah-limpah itu.

Benarkah hal ini mesti terjadi dalam hidup? Bukankah kita mesti pandai memilah-milah antara yang kita sukai dengan hal yang tidak kita sukai? Janganlah kita sedang terlibat permusuhan dengan orang lain, sesama dekat menjadi korban.

Kisah Rubah yang kesal hati itu menjadi contoh bagi kita. Kebaikan sesama mesti kita gunakan sebaik-baiknya untuk hidup kita. Kebaikan sesama itu menjadi kekayaan yang mesti memperkaya pengalaman hidup kita. Sesama itu bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita. Hadirnya mereka di sekeliling kita sangat membantu kita dalam membentuk watak dan karakter kita.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kemampuan dan semangat hidup yang diberikan oleh sesama kita menjadi suatu tambahan semangat bagi hidup kita. Kita ingin agar apa yang mereka miliki dapat menjadi kontribusi bagi kelangsungan hidup kita. Kita mesti mampu membawa kabar sukacita bagi sesama yang ada di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

132

15 Agustus 2009

Menghargai Setiap Manusia




Suatu hari seekor rusa jantan berhenti di sebuah sungai yang jernih untuk memuaskan dahaganya. Ketika sedang minum, dia melihat bayangan dirinya. Dia sangat kagum pada tanduknya. “Betapa bagusnya tanduk-tanduk yang kumiliki,” pikir rusa jantan itu.

Ia berkata lagi, “Aku adalah binatang paling ganteng di hutan ini. Kekuranganku hanya pada kaki. Kaki-kakiku begitu kecil dan kurus. Jika dapat, aku akan menggantinya dengan sepasang kaki yang lebih bagus.”

Karena itu, rusa jantan itu menjadi sedih memikirkan bagaimana dapat mengganti kaki-kakinya, supaya ia sungguh-sungguh kelihatan gagah.

Suatu hari lain ketika dia berjalan-jalan melalui rimba sambil memikirkan masalah itu, ia mendengar anjing-anjing pemburu menyalak. Mendengar itu, ia pun lari. Tetapi anjing-anjing itu telah melihatnya. Mereka terus mengejarnya. Rusa jantan itu berlari cepat.

Ketika berlari melalui semak belukar, tanduknya yang indah itu tersangkut. Dia berjuang untuk melepaskan diri sementara itu anjing-anjing semakin dekat. Dia merasa ajalnya sudah dekat. Akan tetapi, dengan sekali sentakan keras akhirnya rusa jantan itu dapat melepaskan diri, keluar dari semak-semak. Dia pun selamat. Dengan masih terengah-engah, ia bergumam dalam hati, “Kakiku yang kurus ini telah menyelamatkanku. Sedangkan tanduk-tandukku yang indah justru menyusahkanku. Kalau begitu aku tak akan mengganti kaki-kakiku.”

Dalam hidup ini ada hal-hal kecil yang begitu berguna bagi hidup kita. Otak yang kita miliki, misalnya. Otak yang kecil itu ternyata sangat berperan bagi kelangsungan hidup manusia. Tanpa otak, tangan dan kaki kita tidak bisa bekerja dengan baik. Otak yang memerintah organ tubuh yang lain untuk melakukan aktivitasnya. Otak yang menjadi sumber inspirasi bagi hidup manusia.

Namun otak tidak bisa bekerja sendirian. Tanpa urat-urat syaraf yang kecil, perintah dari otak tidak bisa terlaksana dengan baik. Karena itu, otak tidak bisa membanggakan diri sebagai yang paling hebat dan utama dalam kerja tubuh manusia. Otak dapat bekerja dengan baik selalu dalam konteks keterkaitan dengan keseluruhan organ tubuh.

Dalam hidup sehari-hari ada orang yang menempatkan diri sebagai yang paling penting dan berpengaruh. Lalu muncul kecenderungan untuk sombong dan membanggakan diri. Kesombongan lalu memenuhi dirinya. Ini bahaya. Semestinya ia menyadari bahwa penting dan berpengaruhnya dia dalam hidup ini karena bantuan dari masyarakat sekitar. Ada banyak orang kecil dan sederhana yang memberikan kontribusi yang besar kepadanya, sehingga ia memiliki pengaruh.

Karena itu, melalui kisah di atas kita diajak untuk senantiasa menghargai orang-orang yang ada di sekitar kita. Mereka memiliki pengaruh terhadap hidup kita. Mereka memiliki kemampuan untuk selalu berperan aktif dalam kehidupan kita.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa menghargai hidup setiap orang. Setiap orang memiliki kemampuan dan kelebihan sendiri-sendiri yang memberikan kontribusi bagi hidup kita. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

131

14 Agustus 2009

Membangun Bangsa dengan Semangat Persatuan





Ada seorang kaya mempunyai tiga orang anak laki-laki yang selalu bertengkar. Orang kaya itu sedih karenanya. Namun dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Pada suatu hati ia mendengar salah seorang anaknya berkata kepada yang lain, “Apabila ayah kita meninggal, kita harus membagi harta ini. Karena kita tidak dapat hidup bersama dalam perselisihan terus-menerus.”

Orang kaya itu kaget mendengar perkataan itu. Dia kemudian memanggil ketiga anaknya dan meminta mereka membawa seberkas sapu lidi. Ketika anak-anaknya berkumpul dan menyerahkan sapu, orang kaya itu mengambil satu lidi dan mematahkannya menjadi dua.

Lalu ia menjelaskan, “Lihat! Satu lidi dapat dengan mudah dipatahkan.”

Kemudian dia menyatukan ketiga sapu yang dibawa oleh anak-anaknya dan menyerahkannya kepada salah seorang anaknya. Lantas dia memberi perintah kepada mereka, “Sekarang coba patahkan sapu itu!”

Secara bergilir ketiga anak itu berusaha mematahkannya, tetapi berkas sapu itu tidak dapat dipatahkan. Kemudian ayah itu berkata lagi, “Anak-anakku, jika kalian sendirian kalian lemah. Tetapi jika bersama-sama kalian akan kuat. Jangan bodoh, membiarkan pertengkaran melemahkan persatuan kalian.”

Anak-anak itu pun mengerti dan tidak pernah lagi berselisih.

Gaung persatuan selalu dikumandangkan di negeri ini sejak negeri ini berdiri. Mengapa dibutuhkan persatuan? Karena hanya dengan persatuan itu kita dapat membangun negeri yang kita cintai ini. Hanya melalui persatuan yang teguh kita dapat melangkahkan kaki kita sebagai sebuah bangsa.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa selama perjalanan waktu, bangsa kita juga tergoda untuk melepaskan diri. Ada gerakan-gerakan separatisme. Mereka merasa lebih beruntung memiliki sebuah negara sendiri. Mungkin selama ini mereka merasa kurang diperhatikan sebagai bagian dari negara kesatuan RI. Tentu hal ini patut disayangkan.

Sebagai bangsa yang bersatu, kita semua dipanggil untuk mengambil bagian dalam usaha membangun negeri ini. Negara ini milik semua warga bangsa ini. Negara ini bukan hanya milik orang-orang yang berada di pulau tertentu, kota tertentu. Setiap warga bangsa ini mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara kesatuan RI ini.

Setiap tahun kita merayakan proklamasi kemerdekaan RI. Sebagai bangsa, semestinya perayaan ini bukan hanya sebuah upacara seremonial. Tetapi menjadi sebuah perayaan yang penuh makna. Menjadi sebuah perayaan yang membawa setiap warga bangsa ini kepada kesadaran akan kesatuan dan persatuan sebagai sebuah bangsa.

Ada pepatah ‘Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.’ Apa makna pepatah ini bagi kita di jaman sekarang? Artinya, kita ingin membangun kekohonan hidup kita dan bangsa kita melalui persatuan. Hanya dengan persatuan itu, kita dapat membangun sebuah bangsa yang sejahtera, aman dan damai. Mari kita satukan hati dan tekad kita untuk membangun sebuah bangsa yang kuat dalam berbagai bidang kehidupan. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.130

13 Agustus 2009

Memilih Cara-cara yang Halal





Pada suatu hari seekor rubah menyusuri hutan untuk mencari sebuah sumur tua. Setelah menemukan, rubah berhenti untuk mengagumi bayangan dirinya di dalam air sumur yang jernih itu. Begitu asyiknya mengagumi diri hingga dia terjatuh ke dalam sumur dan tak dapat keluar.

Beberapa lama kemudian datanglah seekor kambing. Kambing menengok ke dalam sumur melibat rubah di dalamnya. Tanya kambing ingin tahu, “Apa yang kau lakukan di situ?”

Jawab rubah singkat, “Menikmati air yang manis dan enak yang tidak pernah kuminum.”

Kambing itu berseru, “Oh sangat menyenangkan! Sungguh nikmat bila aku juga merasakannya.”

Rubah bertanya, “Mengapa engkau tidak ikut denganku?”

Tanpa berpikir panjang, kambing itu melompat ke dalam sumur. Dan secepat kilat rubah melompat ke atas punggung kambing dan keluar dari sumur. Begitu lambat kambing itu menyadari bahwa rubah menipunya. Dia sekarang terperangkap di dalam sumur tua itu.

Di sekeliling kita ada begitu banyak tawaran yang menggiurkan untuk kebutuhan hidup kita. Pertanyaannya, apakah kita mesti mengambil semua tawaran itu bagi hidup kita? Atau kita mesti memiliki sikap yang selektif dan kritis? Rasanya tidak semua tawaran mesti kita ambil. Ada tawaran-tawaran yang sangat berguna bagi hidup kita. Namun ada tawaran-tawaran yang bisa menjerumuskan hidup kita.

Kisah rubah dan kambing dalam sumur di atas menjadi salah satu contoh betapa hidup ini tidak bisa dijalani begitu saja. Hidup ini mesti dijalani dengan penuh pertimbangan dan perhitungan. Kalau orang membangun rumah yang baru, ia mesti duduk membuat perhitungan-perhitungan. Dengan demikian anggaran untuk rumah yang baru itu cukup.

Bagaimana kalau anggaran itu tidak cukup? Ada berbagai cara untuk memenuhi anggaran itu. Ada cara yang halal dengan meminjam di bank atau pinjam sama lembaga. Tetapi ada juga cara yang tidak halal, misalnya dengan korupsi. Orang beriman tentu memilih cara-cara yang halal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bukan dengan cara yang tidak halal.

Cara yang tidak halal itu menyengsarakan diri sendiri di kemudian hari. Misalnya, di saat-saat ini kita menyaksikan ada begitu banyak pejabat atau mantan pejabat yang mesti duduk di kursi pesakitan. Mereka mesti mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan tidak halal mereka di hadapan hakim dan jaksa.

Tetapi cara yang tidak halal itu juga menyengsarakan banyak orang. Semestinya dana yang dianggarkan itu untuk kepentingan banyak orang, tetapi digunakan hanya oleh satu orang. Akibatnya, banyak rakyat menderita. Kelaparan, busung lapar yang terjadi di negeri ini lebih banyak disebabkan oleh hal seperti ini.

Karena itu, orang beriman mesti berani memilih cara-cara yang halal dalam membangun hidupnya. Cara-cara yang halal akan membantu diri dan sesama mengalami kebahagiaan dalam hidup ini. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. 129

12 Agustus 2009

Berusaha dengan Cara yang Wajar





Pada suatu waktu ada sekumpulan katak tinggal di pinggir sebuah sungai. Mereka adalah satu keluarga bahagia dengan sejumlah besar anak. Induk katak mengasihi anak-anaknya dan memberi perhatian penuh kepada mereka.

Pada suatu hari induk katak harus pergi berbelanja. Dia berpesan kepada anak-anaknya supaya waspada sementara dia tidak di rumah. Mereka tidak boleh pergi dari luar tepian sungai. Segera sesudah induk katak pergi, katak-katak kecil keluar tepian sungai. Mereka mengira ada sesuatu yang menarik di luar, sehingga induk mereka melarang mereka pergi ke luar.

Kata katak yang tertua kepada saudara-saudarinya, “Mari kita melihat-lihat daerah sekitar ini.”

“Ya mari!” kata mereka beramai-ramai.

Lalu mereka melompat ke padang melewati seekor binatang besar yang sedang berdiri dan mengunyah rumput.

Dengan hati senang anak-anak katak mengamati binatang besar itu. Ketika tiba-tiba binatang besar itu berpaling ke arah mereka dan membunyikan suara, ”Moo!”, anak-anak katak itu berlarian karena takut.

Ketika mereka kembali ke tepi sungai, induk mereka telah menanti. Mereka dimarahi karena nakal. Akan tetapi anak-anak katak itu begitu senang dengan petualangan mereka. Mereka serentak berseru, “Oh Ibu, ada yang ingin kami sampaikan. Di luar ada binatang begitu besar. Dia mempunyai mata besar dan suaranya seperti guruh.”

Induk mereka tersenyum. Si induk kemudian menjelaskan dengan tenang, “Itu sapi yang kamu lihat. Apakah binatang itu sebesar ini?” induk katak bertanya sambil membuka dadanya.

“Tidak, lebih besar dari itu,” jawab anak-anak katak.

“Kalau begitu binatang itu sebesar ini,” kata induk katak sambil merentangkan dadanya lebih besar lagi.

Anak-anak katak itu menggelengkan kepala mereka. Induk katak itu terus merentangkan dadanya hingga ukuran sangat besar. Akan tetapi tiba-tiba terdengar letusan.. Dada induk katak itu pecah.

Banyak orang berusaha untuk meraih ketenaran. Namun mereka tidak memiliki dasar yang kuat. Mereka berusaha, tetapi sering kali mentok di tengah jalan. Segala macam cara ditempuh untuk meraih ketenaran itu. Sampai akhirnya mereka terpuruk dalam derita batin yang luar biasa. Mereka menjadi stress. Hidup kemudian tidak begitu berarti lagi.

Mengapa ini semua bisa terjadi? Kisah tadi menunjukkan bahwa banyak orang ingin menjadi lebih besar dari dirinya yang sebenarnya. Usaha terus-menerus dilakukan. Tetapi akibtanya bisa fatal bagi kehidupannya.

Karena itu, apa yang mesti dibuat oleh orang beriman? Orang beriman boleh berusaha sekuat tenaga untuk memberi makna yang baik bagi hidup ini. Namun orang mesti tahu diri sampai sejauh mana kemampuannya. Kalau mau sungguh-sungguh maju, orang mesti berani untuk bersikap rendah hati. Orang mesti berani mengakui kekurangan dan kelemahannya. Hal ini menjadi starting point yang sangat baik untuk meraih kesuksesan dalam hidup. Mari kita berusaha untuk menjadi sukses dengan cara-cara yang wajar dan halal. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB

128

11 Agustus 2009

Usaha Mengendalikan Diri




Suatu hari seekor anjing bernasib baik. Ia menemukan sepotong tulang penuh sumsum. Ia menggondolnya sambil mengamati ke sekeliling, jangan-jangan ada anjing lain yang ingin merebutnya.

Ia bermaksud membawa tulang itu ke taman yang tenang, supaya dapat menikmatinya dengan aman. Dalam perjalanannya, anjing itu harus menyeberangi sebuah sungai.

Ketika melewati jembatan, dia melihat bayangan dirinya di dalam air sungai yang jernih. Dia berpikir bahwa bayangan itu adalah seekor anjing lain, maka dia berhenti untuk melihat lebih teliti.

Dia perhatikan pada mulut anjing lain itu terdapat tulang lebih besar dari yang dibawanya. Amarahnya mulai muncul. Dia ingin sekali merebut tulang itu. Dia berpikir dengan menyalak keras dan buas, anjing itu akan melepaskan tulang yang digigitnya dan dia akan mendapatkannya.

Dia kemudian membuka mulutnya untuk menyalak. Ketika dia membuka mulut, tulang yang digigitnya jatuh ke dalam air. Sekarang anjing yang rakus itu melihat bahwa anjing di dalam air itu tidak membawa tulang lagi. Dia juga tidak. Dia sangat menyesal. Dia pulang ke rumahnya dengan wajah yang sedih.

Situasi seperti ini juga sering menimpa manusia. Orang ingin mengumpulkan barang-barang kebutuhan hidupnya sebanyak-banyaknya. Sampai-sampai lupa bahwa sudah ada sesuatu yang sangat berharga di tangannya yang mesti dipertahankan. Orang terus mencari dan mengumpulkan. Padahal tangannya sudah penuh dengan barang-barang kebutuhan hidupnya.

Ada pepatah yang berbunyi, “Ayam di tangan dilepaskan demi mendapatkan ayam yang masih di halaman rumah”. Hal yang lebih berharga itu tidak dijaga dengan baik. Bahkan dilepaskan untuk sesuatu yang tidak berharga. Ada seorang anak yang selalu menuntut orangtuanya untuk membelikan baju baru setiap bulan. Ia sudah punya baju yang harganya sangat mahal. Tetapi ia ingin baju yang baru lagi. Baju yang mahal ia lepaskan. Ia buang. Padahal baju itu sangat baik dan masih sangat layak dipakai. Orangtuanya mesti memenuhi kebutuhannya. Ia mengancam mereka, kalau tidak dibelikan baju yang baru. Ketika orangtuanya tidak punya uang untuk memenuhi kebutuhannya, anak itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Ia gantung diri. Berakhirlah hidupnya yang sebenarnya masih panjang itu.

Ini contoh kerakusan yang membawa bencana bagi hidup manusia. Kerakusan itu ternyata dapat membuat hidup ini menjadi tragis. Padahal kita semestinya mempertahankan hidup ini. Hidup ini lebih berharga dari apa pun yang kita miliki. Hidup ini memiliki nilai yang sangat luhur, karena merupakan pemberian dari Tuhan sendiri.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar hidup kita ditandai oleh usaha-usaha untuk menumbuhkan penghargaan terhadap hidup manusia. Kita ingin kritis dalam menilai apa yang kita butuhkan dalam hidup sehari-hari. Kita ingin agar kerakusan tidak menguasai hidup kita. Justru kita ingin agar kita menguasai diri kita. Dengan demikian kita dapat menjadi orang-orang yang berguna bagi sesama kita. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.




127

10 Agustus 2009

Menggunakan Pikiran Kreatif

Musim panas. Tidak ada hujan di seluruh daerah. Sungai-sungai dan sumber-sumber air kering. Akibatnya, burung-burung dan binatang-binatang lain kehausan.

Seekor burung gagak terbang kian ke mari mencari air, tetapi sia-sia. Akhirnya, ia terbang ke kota. Burung gagak itu mengintai di dalam sebuah rumah. Ia melihat di atas meja ada sebuah tempayan besar berisi air.

Burung gagak itu sangat beruntung. Langsung saja ia terbang menerobos rumah itu menuju tempayan itu. Sayang, hanya ada sedikit air di dalam tempayan itu. Tambahan lagi paruhnya tidak dapat mencapai air, meskipun ia telah berusaha dengan keras.

Burung gagak itu melihat ke sekeliling untuk mencari jalan keluar. Beberapa batu kecil yang berserak di tanah dekat tempat itu memberinya gagasan. Dia terbang memungut batu-batu kecil itu dan memasukkannya satu per satu ke dalam buyung itu. Pekerjaan itu lama. Namun lama-kelamaan batu-batu kecil itu menaikkan permukaan air di dalam tempayan itu. Ketika air sudah mencapai mulut tempayan itu, maka burung gagak itu dapat memuaskan dahaganya.

Di saat orang merasa terdesak, biasanya pikiran-pikiran kreatif muncul. Orang-orang yang berasal dari daerah minus biasanya memiliki daya juang yang tinggi. Mereka tidak peduli pekerjaan yang dijalani. Yang penting pekerjaan itu halal dan dapat membantu mereka akan mengerjakannya dengan sukacita. Mereka tidak malu. Mereka tidak mengandalkan gengsi. Yang penting mereka dapat menemukan penghidupan yang layak.

Kisah burung gagak tadi menjadi inspirasi bagi hidup manusia. Burung gagak itu berusaha tak mengenal lelah untuk memenuhi dahaganya. Banyak waktu yang terbuang untuk melaksakan pikiran kreatifnya. Namun dengan cara itu ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat penting, yaitu air.

Dalam pengajaranNya, Yesus mengatakan bahwa orang mesti tulus seperti merpati tetapi licik seperti ular. Artinya, orang mesti kreatif dalam menempuh hidup ini. Kreativitas akan memampukan manusia mengatasi persoalan-persoalan hidup. Untuk itu, orang tidak boleh menyerah pada situasi yang dihadapi. Orang mesti berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan-persoalan hidupnya.

Kebutuhan hidup manusia di jaman sekarang ini semakin banyak. Kebutuhan itu menuntut manusia untuk berani bertaruh dalam memenuhi kebutuhan hidup itu. Sebagai orang beriman, kita diajak untuk menggunakan pikiran-pikiran kreatif kita dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Hanya dengan usaha tanpa mengenal lelah, kita akan meraih apa yang kita butuhkan untuk hidup kita. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. 126

08 Agustus 2009

Memberi Teladan Hidup

Suatu hari seorang ibu berambut uban dan sedang patah semangat mendatangi seorang ulama. Ia ingin meminta pertolongan dari ulama itu. Ia berkata, “Pak, tolonglah anak saya yang ada di penjara. Sudah sepuluh tahun ia ada di penjara dan belum sekalipun dia membalas surat-surat yang saya kirim kepadanya. Saya ingin sekali mengetahui keadaannya. Tolong juga sampaikan surat dan foto ini kepadanya.”

Ulama itu menyanggupi permohonan ibu itu. Ketika ia pergi ke kota, ia mengunjungi pemuda itu. Ketika bertemu, ulama itu menunjukkan surat dan foto ibu itu kepada pemuda itu.

Dengan dingin pemuda itu berkata, “Benar, ini foto ibu saya. Dulu rambutnya hitam, tetapi sekarang semua sudah putih...”

Ulama itu bertanya mengapa selama bertahun-tahun ia tidak membalas surat ibunya. Dengan geram dan mata melotot, ia berkata, “Pak, maukah bapak pergi ke rumah ibuku dan mengembalikan foto dan surat ini? Saya sama sekali tidak menyukai ibu saya. Bagi saya, dia adalah wanita paling jahat di dunia. Pertama kali saya mengenal judi di meja ibu saya yang selalu berjudi setiap hari bersama kawan-kawannya? Saya diajari minum alkohol oleh ibu saya sendiri. Karena itulah akhirnya saya masuk penjara selama sepuluh tahun. Kalau sekarang dia mengatakan mencintai saya, itu hanya omong kosong belaka. Sungguh saya membenci ibu saya dan kebiasaannya.”

Ulama itu hanya terbengong. Ia kembali dengan seribu satu pertanyaan di benaknya.

Teladan hidup ternyata sesuatu yang masih sangat dibutuhkan dalam hidup manusia. Pepatah mengatakan, buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya. Pohon yang baik menghasilkan buah yang baik pula. Karena itu, teladan orangtua sangat penting dalam proses pendidikan seorang anak. Teladan yang baik membawa kebaikan dalam hidup. Teladan yang buruk membawa pengaruh negatif dalam pertumbuhan kejiwaan seorang anak.

Untuk itu, orangtua mesti membangun hidup yang baik. Hidup yang dekat dengan Tuhan. Caranya adalah dengan mendengarkan firman Tuhan dan berdoa kepada Tuhan. Namun berdoa saja tidak cukup. Orangtua mesti membangun kedekatan dengan anak-anak.

Di jaman sekarang banyak anak mengeluhkan orangtua mereka yang terlalu sibuk mencari nafkah. Seolah-olah penghasilan keluarga itu yang utama. Sampai-sampai mereka lupa bahwa kasih sayang dan perhatian kepada anak-anak merupakan tugas utama dari orangtua. Apa gunanya mengumpulkan harta yang banyak, tetapi anak-anak kekurangan cinta kasih dan perhatian.

Karena itu, orangtua perlu berefleksi diri akan peranannya dalam konteks tanggungjawabnya terhadap pendidikan anak-anak mereka. Memberi teladan hidup menjadi suatu kesempatan bagi anak-anak untuk belajar tentang cara hidup yang baik. Belajar tentang kehidupan itu mesti dimulai dari keluarga. Orangtualah yang memberi teladan untuk hal ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.133

Waspada terhadap Godaan





Pada suatu waktu ekor seekor serigala terperangkap pada sebuah jerat. Ia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil. Ia berteriak minta tolong sampai parau suaranya, tetapi tak ada seekor binatang pun yang datang menolongnya. Akhirnya dalam keputusasaan, daripada para pemburu menangkapnya ia memutuskan untuk meninggalkan ekornya. Ia kemudian kembali ke sarangnya tanpa ekor. Dalam perjalanan ia melewati sebuah sungai. Ia berhenti untuk melihat dirinya di dalam air yang jernih. Dia terkejut dengan dirinya yang begitu jelek.

“Oh, apa nanti kata binatang-binatang lain?” gumamnyya dalam hati. “Mereka tentu akan mengejekku.”

Akan tetapi bagaimanapun karena tidak ada jalan lain, serigala itu memutuskan untuk tetap pulang. Ketika bertemu dengan teman-temannya dia dengan sombong bertanya, “Apakah kalian suka dengan keadaanku sekarang? Aku memutuskan untuk meninggalkan ekorku karena selama bertahun-tahun membawanya ternyata menjadi suatu beban. Sekarang aku dapat berjalan lebih bebas. Mengapa kalian tidak mencobanya? Apakah kalian tidak sadar akan kekurangan pada diri kalian?”

Serigala-serigala muda tertarik dengan gagasan itu. Mereka kemudian berpikir untuk mengikuti gagasan itu. Akan tetapi seekor serigala tua yang biasanya diam mendengarkan kini angkat bicara. Dia berkata, “Rekan-rekanku, sebelum kita melakukan rencana itu tunjukkanlah apakah mungkin kita memasang ekor-ekor itu apabila kita ingin mempunyai ekor lagi.”

Tentu serigala itu tidak dapat menjawabnya. Serigala-serigala muda itu akhirnya menyadari bahwa mereka ditipu. Mereka kemudian pergi sambil menertawakan si serigala tanpa ekor itu.

Banyak godaan yang kita hadapi dalam dunia ini. Godaan-godaan itu sering memukau mata manusia. Orang yang tidak tahan terhadap godaan akan segera menanggapi godaan-godaan itu. Padahal godaan-godaan sering mengakibatkan manusia jatuh ke dalam dosa. Kisah di atas menunjukkan suatu godaan yang begitu menarik perhatian. Kalau saja serigala-serigala muda itu tergiur oleh godaan itu, mereka akan menyesal di kemudian hari. Mereka akan kehilangan ekor yang merupakan bagian yang sangat berharga dalam hidup mereka.

Untuk itu, orang mesti berlatih terus-menerus untuk menangkal godaan-godaan. Orang mesti bijaksana dalam menghadapi setiap godaan, sekecil apa pun godaan itu. Sering orang jatuh ke dalam dosa, karena godaan yang kecil. Awalnya dirasa tidak apa-apa. Kalau kesadaran datang terlambat, akibatnya akan fatal bagi hidup. Lama-kelamaan orang akan merasa kebal terhadap dosa-dosa yang dibuatnya.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti berpikir sebaik mungkin sebelum mengambil suatu tindakan yang sangat berpengaruh bagi hidup. Kita tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Keputusan yang kita ambil itu memiliki dampak bagi hidup kita dan banyak orang.

Untuk itu, kita mesti ikut sertakan Tuhan dalam mengambil setiap keputusan untuk hidup kita dan hidup sesama kita. Mari kita belajar untuk senantiasa tidak mudah tergoda oleh berbagai tawaran yang menggiurkan. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

124

Menabur Kebaikan dalam Hidup


Di suatu perkampungan puncak gunung Pegunungan Bintang, hiduplah sekelompok orang yang masih murni. Mereka belum mengenal kemajuan modern. Mereka masih mengandalkan hasil alam. Mereka percaya bahwa alam dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Suatu hari datanglah seorang dari negeri maju. Melihat kondisi masyarakat di perkampungan itu, ia merasa prihatin. Lantas timbul keinginannya untuk memajukan masyarakat di perkampungan itu. Ia mulai memperkenalkan bibit-bibit pertanian. Yang paling menarik adalah bibit yang terbungkus dalam plastik putih, yaitu ‘bibit angin’.

Menurut orang itu, kalau bibit angin itu ditabur, akan tumbuh mata angin yang menyemburkan angin segar. Hasilnya, udara akan makin segar dan menyehatkan. Puluhan bahkan ratusan bungkus bibit angin ludes. Bahkan masyarakat di kampung itu rela mengeluarkan kekayaan mereka untuk membeli bibit angin.

Selang beberapa hari, udara pegunungan mulai terasa sejuk, karena bibit angin mulai tumbuh. Angin mulai bertiup dari bibit kecil itu kian ke mari sampai pegunungan lain. Bulan berganti bulan. Tumbuhan itu semakin besar. Lobang untuk keluar angin pun semakin besar. Akibatnya, bukan lagi angin yang keluar. Yang keluar adalah badai angin yang tak terkendali. Masyarakat pun mulai ketakutan. Angin yang ditabur, ternyata badai yang dituai.

Seringkali manusia tidak bisa mengendalikan diri. Sudah memiliki barang-barang kebutuhan hidup yang sudah melimpah, tetapi masih juga ingin memiliki barang-barang itu. Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi mesti dibentuk oleh DPR? Jawabannya, karena manusia tidak bisa mengendalikan diri. Korupsi yang terjadi itu merupakan akibat dari kurangnya manusia mengendalikan dirinya. Manusia tidak bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Yang diinginkan itu belum tentu sudah menjadi kebutuhan hidup.

Karena itu, dalam hal ini orang mesti sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan hidupnya. Keinginan manusia itu mesti diatur dan dikendalikan. Tujuannya agar manusia tidak dikuasai oleh keinginan itu. Orang yang berhasil menguasai keinginannya akan menikmati hidup ini dengan damai dan tenteram. Orang tidak dikejar-kejar oleh keinginan dirinya.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar hidup kita senantiasa berada di bawah kontrol diri kita. Untuk itu, kita perlu bertanya diri, apa yang sesungguhnya kita butuhkan dalam hidup ini? Mengapa sesuatu itu ingin kita miliki?

Kalau kita berani bertanya diri tentang kebutuhan hidup kita, saya yakin kita akan lebih kritis dalam menentukan kebutuhan-kebutuhan hidup kita. Kita akan menjadi orang-orang yang mampu mengendalikan diri kita terhadap setiap bentuk godaan. Mari kita berusaha terus-menerus menaburkan benih kebaikan dalam diri kita. Dengan demikian, kita tidak menuai badai yang menghancurkan diri kita sendiri. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
123

Menghargai Hal-hal Kecil



Suatu hari, sebuah speedboat macet di tengah sungai yang lebar. Speedboat yang tampak perkasa itu tidak bisa melanjutkan perjalanan. Puluhan penumpang mulai merasa tidak nyaman. Namun mereka tidak bisa meninggalkan kendaraan air tersebut. Tidak ada speedboat yang dekat, sehingga mereka tidak bisa pindah dari speedboat yang macet itu. Anak-anak bayi mulai menangis karena panas. Beberapa penumpang mulai mengumpat dan menyalahkan sopir speedboat.

Ternyata mesin mengalami persoalan. Karet mesin putus. Tidak ada cadangan. Bagaimana bisa keluar dari permasalahan itu? Tidak mungkin berjam-jam terapung-apung di atas air tanpa kepastian. Tiba-tiba seorang anak kecil mengulurkan dua karet gelang miliknya.

Namun apalah artinya dua karet gelang untuk sebuah mesin speedboat? Sopir speedboat tersenyum sinis. Ia menganggap remeh pemberian anak kecil itu. Namun anak kecil itu meyakinkannya bahwa karet gelang itu dapat berguna untuk menyelamatkan semua penumpang. Beberapa saat kemudian sopir speedboat itu mengambil dua karet gelang itu dan memasangnya pada mesin. Begitu ia menghidupkan mesin, speedboat itu hidup. Ia pun siap melanjutkan perjalanan. Puluhan penumpang itu bisa selamat. Mereka pun dapat meninggalkan tempat itu yang bisa saja menjadi malapetaka bagi mereka.

Sering kita meremehkan hal-hal kecil yang ada di sekitar kita. Kita merasa bahwa yang kecil itu belum tentu dapat memberikan suatu kontribusi yang besar terhadap hidup manusia. Namun kisah dua karet gelang milik seorang anak kecil itu sungguh-sungguh sebuah peristiwa yang menyelamatkan. Ini sebuah mukjijat dalam hidup manusia.

Karena itu, melalui kisah di atas kita diajak untuk senantiasa menghargai yang kecil dan tampaknya tak berguna. Hal yang kecil itu ternyata mampu memberikan sesuatu yang begitu besar bagi hidup manusia. Bahkan hal-hal yang kecil dapat menyelamatkan kehidupan manusia.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar hal-hal yang kecil yang ada di sekitar kita bermanfaat bagi hidup kita. Penghargaan terhadap hal-hal kecil itu suatu keutamaan dalam hidup kita. Di dalam diri kita juga ada hal-hal yang kecil yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup kita. Tuhan menciptakan semua hal kecil itu bukan tanpa tujuan. Tuhan menciptakan hal-hal kecil itu untuk kita gunakan bagi kelangsungan hidup kita.

Untuk itu, kita mesti selalu memiliki kepedulian terhadap hal-hal kecil yang ada di sekitar kita. Mari kita memberi penghargaan dan penghormatan terhadap hal-hal kecil yang ada di sekitar kita. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
121

06 Agustus 2009

Membangun Hidup yang Kokoh

Suatu hari dua orang pemuda termenung di tepi sebuah danau. Hari itu langit biru dan angin bertiup menderu. Lama mereka membisu mengamati betapa angkuhnya bongkahan batu tempat mereka duduk merenung. Dalam hati mereka, bergejolak sebuah pertanyaan, “Mengapa batu ini seolah tak peduli dengan sapaan ombak danau yang begitu ramah?”

Deburan ombak danau itu tak henti menimbulkan pertanyaan sekaligus kekaguman. Ombak itu memang hebat. Meski batu tak bergeming sedikit pun, ombak itu tak mau berhenti menyapa, menghantam dan mendorong batu besar yang diduduki dua pemuda itu.

Hidup kita itu bagai ombak dan batu yang kokoh. Ombak yang tampak ramah, tidak begitu peduli kalau sapaannya tidak didengar oleh lingkungan sekitarnya. Ia terus menyapa. Ia terus menunjukkan kedigdayaannya. Ia tidak putus asa.

Ombak begitu mengagumkan. Ia begitu bersemangat mencoba membangunkan yang angkuh. Ombak begitu semangat meski usahanya tampak tanpa hasil. Di balik semua itu, deburan ombak menarik perhatian begitu banyak orang. Banyak orang yang datang ke pantai dapat menikmati deburan ombak yang mendesah. Hati orang yang sedang suntuk dan stress dapat diobati. Ombak dapat menghalau kegalauan hati manusia. Ada orang yang dapat mengalami kesembuhan berkat deburan ombak yang ramah.

Sementara batu yang kokoh itu dapat menjadi simbol ketegaran hati manusia. Batu yang kokoh itu bagai hati manusia yang kokoh yang tak terpengaruh oleh terjangan erosi jaman. Hati yang kokoh itu tidak mudah ditemukan. Hati yang kokoh itu dibangun melalui proses perjalanan yang lama. Ada kalanya orang gagal. Ada kalanya orang merasa putus asa. Namun proses seperti ini mesti dilalui untuk memiliki hati yang kokoh.

Memiliki hati yang kokoh itu tidak berarti memiliki hati yang kaku dan keras. Hati yang kokoh dan kuat itu hati yang memiliki kepastian hidup. Hati yang terarah kepada kebenaran dan kesempurnaan. Memang, tidak mudah. Namun orang mesti berusaha memiliki hati yang kokoh, agar tidak mudah dipengaruhi oleh kejahatan-kejahatan dunia. Kejahatan itu selalu menggoda manusia untuk meninggalkan imannya. Ini yang mesti diwaspadai oleh setiap orang beriman.

Sebagai orang beriman, kita ingin membangun hidup yang baik dalam hidup sehari-hari. Hidup yang baik itu hidup yang selalu terarah kepada kebaikan. Hidup yang senantiasa mengandalkan Tuhan. Hidup yang menuju kepada Tuhan yang merupakan sumber kebaikan. Mari kita membangun hidup yang kokoh dengan mengandalkan kebaikan Tuhan kepada kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

(120)

Saling Menguatkan dalam Hidup Bersama


Guilemot adalah sejenis burung laut yang senang hidup berkelompok. Ribuan burung ini hidup bersama di puncak tebing dan batu karang. Karena tidak pandai membuat sarang, mereka hanya meletakkan telur di atas batu karang atau di tanah terbuka. Untung, telur mereka tidak mudah jatuh dari tebing, karena memiliki bentuk yang unik, yaitu seperti buah pir dengan salah satu ujung lebih runcing daripada ujung lainnya. Bentuk yang unik ini membuat telur mereka hanya menggelinding melingkar jika didorong atau terantuk.

Karena burung Guilemot tinggal di tebing batu karang yang sulit dijangkau, sebagian besar pemburu darat tidak bisa mengambil burung ini atau telur mereka. Untuk menghadapi burung lain yang mau mencuri telur mereka, seluruh kawanan burung itu bersatu memekik dan mematuk musuh-musuhnya. Kebersamaan mereka dan kepandaian mereka mencari tempat berlindung benar-benar patut mendapat acungan jempol.

Kehidupan bersama di jaman sekarang masih dibutuhkan. Orang yang hanya mau hidup sendiri biasanya akan kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Ia tidak bisa mempertahankan cara hidupnya. Cepat atau atau lambat orang seperti ini akan tenggelam dalam persoalan hidupnya sendiri.

Karena itu, orang butuh sesama dalam hidup ini. Ada sesama yang ekslusif. Ada sesama yang inklusif. Yang penting adalah orang mau hidup dalam kebersamaan. Kisah di atas mau menunjukkan kepada kita betapa pentingnya hidup bersama itu. Burung-burung itu dapat mempertahankan hidup mereka dari serangan musuh-musuh.

Tentu saja hidup bersama yang kita bangun bukan pertama-tama untuk menghadapi musuh-musuh. Tetapi kita bangun hidup bersama untuk suatu kehidupan yang lebih baik dalam lingkungan kita.

Untuk itu, orang beriman itu mesti belajar hidup berkelompok seperti burung Guilemot. Kita mesti berani hidup berdampingan dalam persekutuan, sehingga kelemahan kita ditutupi oleh yang lain. Kelemahan orang lain ditutup oleh kekuatan kita. Ketika menghadapi persoalan yang berat, kita mesti saling mendukung. Suasana seperti ini paling ideal dikembangkan dalam kelompok kecil, yang jumlah anggotanya tidak begitu besar. Tujuannya untuk membangun kebahagiaan bersama. Kita membangun kepedulian di antara kita. Mengapa? Karena kita tidak diciptakan untuk hidup sendirian. Kita diciptakan untuk hidup bersama dalam suatu komunitas tertentu.

Mari kita berusaha membangun kebersamaan sebagai orang-orang beriman. Dalam kebersamaan itu kita dapat membaktikan hidup kita bagi orang lain. Kita dapat membagikan pengalaman-pengalaman hidup kita kepada sesama. Kita dapat saling menguatkan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.(119)