Pages

31 Desember 2009

Melihat dengan Hati





Ada seorang gadis yang sangat cantik. Ia menjadi idola banyak pemuda. Sayang, mata gadis itu buta. Berbagai obat dan perawatan sudah diusahakan baginya. Tetapi semua sia-sia. Jalan terakhir adalah operasi.

Gadis itu selalu mendapat dorongan dari seorang pemuda yang tampangnya sangat jelek. Tetapi karena usaha dan pengorbanan pemuda itu, gadis itu pun jatuh cinta.

Ketika gadis itu dioperasi, pemuda itu bergembira sekali. Namun ia juga merasa takut. Ia cemas kalau nanti sesudah dapat melihat dan memperhatikan tampangnya yang jelek, gadis itu akan meninggalkannya. Ketika gadis itu dapat melihat, ia memeluk dan mencium kekasihnya. Dulu ia hanya dapat mendengar suaranya yang lembut. Kini ia dapat melihat wajah pemuda pujaannya itu.

Gadis itu sangat bersukacita, karena dapat melihat sendiri tampang pemuda itu. Ia mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan pengorbanan pemuda itu bagi dirinya. Pemuda itu tertegun. Ia merasa heran menyaksikan gadis itu.

Dengan terharu, ia berkata, “Saya kira sesudah engkau melihat sendiri tampang saya, engkau akan meninggalkan saya.”

Gadis itu menjawab dengan hati yang tulus, “Saya sudah melihat engkau dengan hati sebelum saya melihat engkau dengan mata.”

Melihat dengan hati itu tentu tidak sekali jadi. Orang membutuhkan suatu proses yang berjalan terus-menerus. Kadang-kadang terjadi benturan demi benturan. Ada tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh seseorang dalam usaha untuk melihat orang lain tidak hanya dengan mata fisik.

Melihat dengan mata hati itu berarti orang memiliki kepekaan yang mendalam terhadap situasi di sekitarnya. Untuk itu, orang mesti belajar untuk memiliki kepekaan terhadap orang-orang dan lingkungan di sekitarnya. Cinta yang mendalam akan sesama dapat dibangun, kalau orang dapat melihat dengan hati keinginan dan kerinduan sesamanya.

Gadis dalam kisah tadi mampu melihat dengan hati pemuda yang dicintainya. Tentu hal itu terjadi berkat kepekaannya terhadap pemuda itu yang dengan setia mendampingi dan memberikan dorongan baginya. Melihat dengan hati itu penting bagi setiap orang agar suasana di sekitar kita menjadi lebih baik. Suasana di mana selalu ada kreasi-kreasi baru yang tumbuh tanpa dipaksakan dari pihak lain.

Ajaran agama kita tentu memberikan pedoman-pedoman yang mesti kita jalankan. Namun yang terpenting bagi kita adalah kita mesti menjalankan semua pedoman itu dengan suatu semangat kepekaan yang mendalam terhadap sesama dan situasi di sekitar kita.

Kalau orang menjalankan ajaran-ajaran agamanya hanya karena aturan, ia akan tumbuh menjadi orang yang kurang kreatif dalam hidupnya. Ia bertumbuh menjadi orang yang minimalis dalam hidupnya. Padahal Tuhan memberikan kebebasan kepada kita semua untuk bertumbuh dan berkembang dalam hidup yang nyata.

Mari kita belajar untuk memiliki kepekaan yang mendalam terhadap orang lain dan situasi di sekitar kita. Dengan demikian, kita memiliki hati yang tergerak untuk kebahagiaan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com




277

Bagikan

30 Desember 2009

Kesetiaan Itu Indah


Ada sepasang burung merpati. Bulu burung merpati jantan sangat indah dan menarik. Tetapi bulu burung betina biasa-biasa saja. Meski demikian, sepasang burung merpati itu hidup rukun selama bertahun-tahun dalam sebuah sangkar.

Suatu hari, si betina tiba-tiba mati. Sejak kematian pasangannya, sang jantan tidak mau makan. Ia menjadi sangat sedih. Akibatnya, tubuhnya semakin hari semakin lemah. Keadaan itu kontan membuat pemilik burung itu menjadi kuatir, kalau-kalau burung merpati jantan kesayangannya itu juga mati. Ia pun mencari seekor burung merpati betina yang bulunya cantik dan parasnya elok. Menurut pemilik burung itu, dengan demikian merpati betina itu menemani sang jantan yang gagah itu.

Ia berpikir, tentu si jantan mau makan kembali dan akan hidup jauh lebih harmonis bila memiliki pasangan yang lebih cantik. Anehnya, merpati jantan tetap tidak terpengaruh oleh kecantikan pasangan barunya. Ia tetap tidak mau makan. Tidak lama kemudian merpati jantan itu pun mati.

Kisah ini berbicara tentang kesetiaan dalam hidup yang nyata. Sering orang beranggapan bahwa kesetiaan itu cukup diucapkan di bibir saja. Kesetiaan itu tidak perlu dipraktekkan dalam hidup sehari-hari. Tentu hal ini tidak benar. Kesetiaan itu mesti menjadi nyata dalam praktek hidup sehari-hari. Tanpa kesetiaan, hidup tidak memiliki makna. Tanpa kesetiaan suami istri, hidup hanya dihiasi oleh rasa curiga. Kalau suami istri sudah terlibat dalam kecurigaan, kebahagiaan mereka pun terkikis. Lama-kelamaan pasangan seperti ini akan dilanda oleh ketidakharmonisan.

Karena itu, kesetiaan dalam hidup yang konkret itu mutlak diperlukan. Tanpa kesetiaan, hidup ini menjadi hambar. Bagai sayur tanpa garam. Hidup ini hanya dikuasai oleh emosi yang tidak bisa dikendalikan. Untuk itu, orang mesti berjuang untuk menghiasi hidupnya dengan kesetiaan yang mendalam. Kesetiaan seperti ini tidak datang dengan sendirinya. Kesetiaan seperti ini biasanya diperjuangkan dalam hidup yang nyata.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk hidup saling setia. Artinya, kita mau memegang teguh komitmen yang telah kita buat bersama. Bagi para pasangan suami istri, komitmen mereka ketika mengikrarkan janji setia sebagai suami istri mesti menjadi andalan hidup. Hanya dengan berpegang teguh pada komitmen seperti ini sebuah keluarga akan mengalami sukacita dan bahagia. Keluarga seperti ini akan langgeng dalam menapaki hidup. Keluarga seperti ini akan menemukan keindahan dalam hidup sehari-hari. Kesetiaan itu bukan hanya mimpi. Kesetiaan itu sungguh-sungguh nyata dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com





276
Bagikan

29 Desember 2009

Membangun Sikap Berjaga-jaga


Bulan Mei 1984 lalu Majalah National Geographic memuat foto-foto dan gambar-gambar meletusnya Gunung Vesuvius dan bencana yang melanda kota-kota Romawi, seperti Pompeii dan Herculaneum. Karena Gunung Vesuvius meletus dengan tiba-tiba, banyak orang terbunuh saat sedang melakukan aktivitas.

Ada orang yang masih mengadakan transaksi jual beli di pasar. Ada orang kaya yang sedang mandi di bak mandi mewah. Ada budak-budak yang sedang bekerja. Ada orang yang sedang berusaha melarikan diri untuk menyelamatkan hartanya.

Orang-orang itu sebenarnya tidak perlu mati. Karena sebelum bencana itu terjadi sudah ada tanda-tanda yang mengiringinya, yaitu gempa bumi dan munculnya gumpalan asap yang tebal. Hewan-hewan yang tinggal di sekitar gunung itu pun sudah turun ke pemukiman manusia.

Orang-orang itu masih punya kesempatan untuk lari sejauh mungkin, sehingga selamat dari bencana. Tetapi hal itu tidak mereka lakukan, entah karena tidak tahu, acuh tak acuh atau ingin tahu fenomena alam yang luar biasa itu atau karena alasan lainnya.

Sikap berjaga-jaga merupakan suatu sikap yang mesti dimiliki oleh semua orang. Orang yang selalu bersiap-siap itu akan menemukan tempat yang aman bila suatu ketika terjadi bencana. Untuk itu, dibutuhkan suatu kepekaan terhadap situasi di sekitar. Orang yang memiliki kepekaan akan sangat membantu dirinya dan sesama untuk menyelamatkan diri dari bencana.

Namun kepekaan itu tidak datang begitu saja. Kepekaan itu mesti diasah dalam kehidupan sehari-hari mulai dari hal-hal yang kecil. Betapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk membiayai kesalahan yang tidak perlu. Karena itu, kalau orang dapat peka terhadap situasi di sekitarnya, orang akan mudah mengurangi biaya-biaya hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa berjaga-jaga dalam hidup ini. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi seminggu atau sebulan yang akan datang. Cara kita berjaga-jaga adalah dengan menghidupi cinta kasih dan kebaikan yang diajarkan oleh agama kita.

Kita mesti tetap bertahan pada kebaikan-kebaikan itu. Dengan demikian, ketika tiba saatnya terjadi sesuatu yang buruk atas diri kita, kita mampu menghadapinya dengan penuh iman. Iman yang benar itu mesti dihayati dalam hidup yang nyata.

Berjaga-jaga tidak berarti kita tidak yakin bahwa Tuhan akan selalu menolong kita. Berjaga-jaga berarti kita mau membuka hati kita kepada Tuhan yang senantiasa menyertai hidup kita. Kita mau bekerja sama dengan Tuhan untuk memulai suatu hidup yang damai dan tenteram. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

275

Bagikan

28 Desember 2009

Membangun Semangat Disiplin


Suatu pagi, di perempatan jalan besar, berdirilah seorang polisi muda yang sedang bertugas mengawasi lalu lintas. Perempatan jalan itu memang ramai karena segala jenis kendaraan melewatinya. Becak, sepeda, taksi, bus kota, dan pejalan kaki berlalu lalang di sana.

Ketika lampu merah menyala, ada sebuah mobil sedan yang menerobos melanggarnya. Secara spontan, polisi muda itu membunyikan peluit. Mula-mula pengendara sedan itu tampaknya mau meneruskan jalannya. Tetapi polisi muda membunyikan peluitnya lebih keras sambil mendekat ke arah sedan. Akhirnya, sedan itu berhenti di tepi jalan.

Polisi muda itu mendekatinya dan dengan sopan meminta pengendara sedan itu untuk menunjukkan SIMnya. Ternyata, pengendara sedan itu adalah seorang perwira tinggi polisi yang berpakaian sipil, atasan polisi muda itu.

Pengendara sedan itu kelihatan tidak senang. Karena itu, dengan kasar ia menyerahkan SIM-nya. Polisi muda itu kemudian menerima SIM itu dan menuliskan sesuatu pada selembar kertas. Pengendara sedan itu kemudian berkata, "Suatu saat nanti jika Anda naik pangkat, mungkin sayalah yang akan menandatangani Surat Keputusannya."

Tanpa takut-takut dan dengan amat sopan, polisi muda itu lalu mengembalikan SIM kepada pengendara sedan itu bersama Surat Bukti Pelanggaran Lalulintas. Ia berkata, "Jika hal itu terjadi, ingatlah, Pak, bahwa di antara anak buah Bapak ada seorang polisi muda yang dapat diandalkan kerjanya. Selamat pagi dan selamat jalan."

Sering dalam hidup ini kita berhadapan dengan persoalan-persoalan yang pelik. Salah satunya adalah kedisiplinan di jalan raya. Ada begitu banyak kecelakaan yang terjadi di jalan raya disebabkan oleh rendahnya kedisiplinan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Banyak alasan dapat dikemukakan. Namun satu hal yang pasti adalah orang merasa diri sebagai orang yang terlalu penting di dunia ini. Orang merasa bahwa melanggar disiplin itu bukan suatu malapetaka. Padahal jelas banyak terjadi kecelakaan di jalan raya karena rendahnya kedisiplinan itu.

Sebenarnya, kalau orang menyadari pentingnya kedisiplinan dalam hidup ini akan merasakan keuntungan yang besar. Hidupnya akan menjadi lebih teratur. Ia tidak perlu hidup dalam kesemrawutan.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kehidupan bersama menjadi suatu berkat bagi banyak orang. Untuk itu, kita mesti meningkatkan kedisiplinan dalam hidup ini. Kalau kita disiplin dalam hidup ini, kita juga yang akan menikmatinya. Bukan siapa-siapa. Kita sendiri yang akan menemukan kebahagiaan dalam keteraturan hiup itu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



274

Bagikan

27 Desember 2009

Kasih Itu Membahagiakan




Ada seorang tua yang tinggal di tepi sungai. Sungai ini adalah peralihan bagi para bebek dari udara dingin ke udara hangat menjelang musim dingin.

Pada suatu saat menjelang musim dingin, tiba-tiba datanglah angin kencang. Akibatnya, sebagian dari bebek-bebek yang sedang berenang di sungai itu terperangkap ke dalam gua yang terletak tidak jauh dari sungai itu.

Mengetahui hal ini, orang tua yang penuh cinta kasih ini kemudian setiap hari memberi makan bebek-bebek itu. Ia takut kalau bebek-bebek yang berada di dalam gua itu tidak memperoleh makanan dan mati kelaparan. Ia tidak tega melihat bebek-bebek itu tidak bisa bermain-main lantaran tubuh yang lemas. Ia mengulurkan tangan kasihnya untuk bebek-bebek itu.

Karena bebek-bebek itu diberi makan secara rutin setiap hari, mereka sampai lupa untuk pindah ke daerah yang udaranya hangat. Dari tahun ke tahun semakin banyak bebek yang menempati gua itu. Pada suatu hari ketika musim salju tiba, orang tua ini tiba-tiba meninggal dunia dan semua bebek yang berada di dalam gua itu menderita kelaparan.

Orang tua itu sudah tidak lagi memberi mereka makan. Bebek-bebek itu terancam mati dan punah. Namun ada orang lain yang mengunjungi gua itu terharu melihat perjuangan bebek-bebek itu untuk mencari makanan. Ia memulai aksinya dengan setiap hari datang ke gua untuk memberi makan bebek-bebek itu. Kehidupan bebek-bebek itu pun berlanjut. Mereka tidak mati. Mereka boleh meneruskan perjalanan hidup mereka.

Hidup ini dipenuhi dengan kasih yang bertumbuh dan berkembang setiap saat. Orang yang memiliki kasih itu orang yang peduli terhadap keaadaan di sekitarnya. Orang seperti ini tidak tega melihat sesamanya menderita. Begitu ia melihat ada sesamanya yang kekurangan, ia langsung mengulurkan tangan untuk membantu. Baginya, membantu sesama itu rahmat dari Tuhan. Tuhan menggunakan dirinya untuk membantu sesamanya yang menderita.

Banyak peristiwa hidup yang kita alami atau kita jumpai dalam hidup ini. Peristiwa-peristiwa itu membantu kita untuk menyadari bahwa hidup ini mesti terus berlanjut. Hidup ini tidak boleh berakhir dengan penderitaan. Hidup ini mesti terus mengalir dalam kebahagiaan.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar hidup kita menjadi lebih bernilai bagi sesama di sekitar kita. Hidup seperti ini akan memberikan kepuasan batin dan kebahagiaan bagi kita. Karena itu, orang beriman itu orang yang selalu memiliki kepedulian terhadap sesamanya. Artinya, ia hidup bukan hanya bagi dirinya sendiri. Tetapi juga bagi sesama yang membutuhkan bantuannya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


273
Bagikan

26 Desember 2009

Semangat Berserah Diri



Nicky Cruz adalah seorang pemuda brandal dari Puerto Rico. Ia melarikan diri dari rumah dan mencari kehidupannya sendiri. Suatu hari ia tiba di Brooklyn, New York. Ia bergabung dengan geng Brooklyn yang terkenal sangat menakutkan.

Kepada teman-temannya ia berkata, “Aku akan lari lagi sampai jauh sekali, sehingga tak seorang pun akan membawaku kembali.”

Sebenarnya ia melarikan diri sebagai upaya menemukan jati diri. Namun ia terdampar di kehidupan bengis geng Brooklyn itu. Ia ingin menyesali hidupnya, namun ia terlanjur masuk ke dalam geng itu. Apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur.

Suatu ketika ia berjumpa dengan David Wilkerson yang berkata, “Nicky, kelak kau akan berhenti berlari dan kau akan berlari kepada Tuhan. Kau akan menyerahkan hidupmu kepada Tuhan.”

Dalam buku Tuhan di Sarang Penyamun yang berisi kesaksiannya saat melayani para anak berandal yang dipimpin oleh Nicky Cruz, David Wilkerson berkisah bahwa pemuda ini semula sangat melecehkan dirinya yang mencoba menawarkan kasih Tuhan kepada semua orang berdosa, termasuk Nicky Cruz. Namun, karena kegigihan hati David Wilkerson yang didorong oleh kasih yang besar kepada anak-anak jalanan, keangkuhan Nicky pun runtuh.

Pentolan pemuda berandal yang biasa hidup seenaknya dengan menghalalkan segala cara itu bertobat. Nicky yang semula ingin berlari menjauhi segala hal yang bersifat Ilahi itu telah menghentikan pelariannya. Ia meninggalkan segala cara hidup lama dan menjadi partner David Wilkerson untuk melayani anak-anak berandal lainnya.

Kita kadang-kadang mengambil jalan kita sendiri. Kita tidak peduli bahwa ada jalan lurus yang indah bagi hidup kita. Kita lebih memilih jalan lain yang menurut kita baik. Padahal jalan yang kita pilih itu hanyalah pelarian diri kita. Kita ingin menemukan kebahagiaan semu saja.

Ketika kita mengalami jalan buntu, lalu kita kembali ke jalan Tuhan yang selalu menyediakan banyak hal yang baik bagi hidup kita. Ada banyak hal yang baik yang sangat berguna bagi kita yang ditawarkan oleh Tuhan kepada kita. Karena itu, kita mesti dengan penuh kerendahan hati kembali kepada Tuhan yang telah memberi kehidupan ini kepada kita.

Sebagai orang beriman, kita mesti selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Hanya dengan cara ini kita akan menemukan kebahagiaan yang kita dambakan. Ketenangan akan kita temukan dalam hidup kita. Untuk itu, kita mesti berserah diri kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com




Bagikan

25 Desember 2009

Semoga Hati Manusia Terketuk






Waktu saya masih tinggal di Yogya, saya sering mengeluarkan seratus rupiah untuk para pengemis yang datang ke rumah kami. Mereka biasa datang setiap hari Minggu. Biasanya masing-masing mereka saya beri seratus rupiah, anak-anak maupun dewasa.

Saya tidak mau memandang siapa mereka itu. Saya membagikan sama rata baik untuk anak-anak maupun yang dewasa. Saya tidak ingin membangkitkan kecemburuan sosial di antara mereka.

Namun di balik semua aksi saya yang tak berarti itu saya yakin, di belahan dunia yang lebih luas ada juga manusia yang terlantar. Saya baca dari surat kabar bahwa jutaan manusia hidup di bawah garis kemiskinan alias tak cukup sandang-pangan-papan dan hiburan. Mereka bagai anjing-anjing yang tak berdaya jatuh terjerambab ke dalam jurang penderitaan.

Satu hal yang mengenaskan, yaitu penderitaan yang mereka sandang merupakan akibat dari eksploitasi kekayaan alam yang tidak memperhitungkan kelanjutan hidup manusia. Akhirnya, ketika perekonomian bangsa-bangsa jatuh, mereka menjadi korban-korban pertama. Mereka terpuruk ke dalam penderitaan yang tak mungkin dielakkan, kalau tidak ada kepeduliaan dan kerjasama antarsemua negara.

Dalam benak saya yang kecil ini, saya mendambakan suasana kerjasama seperti itu. Saya yakin, dengan saling menolong semakin banyak orang mendapatkan kesejahteraan, sehingga mereka tidak perlu lagi melakukan peziarahan panjang dari rumah ke rumah. Mereka dapat menghemat sejumlah energi untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang lebih besar, yaitu mencintai sesama yang lain.

Tetapi ini hanyalah sebuah obsesi, impian yang barangkali hampa dan tiada berwujud. Mungkinkah ada intervensi dari Yang Ilahi untuk mengetuk setiap hati manusia yang masih beku oleh belaskasihan bagi sesama yang menderita? Akh, saya tidak tahu pasti.

Di sekitar kita banyak tangis manusia yang membutuhkan sandang, pangan dan papan. Mereka ingin menikmati hidup yang sejahtera sebagaimana manusia lain. Mungkinkah Anda salah seorang yang mau mengulurkan tangan?

Tuhan, bebaskanlah bangsa manusia dari egoisme yang sempit, perorangan dan kolektif. Ketuklah pintu hati kami, agar kami mau bekerjasama untuk mengentas kemiskinan. Biarlah para miskin papa terlepas dari kungkungan pemerasan, korupsi dan tindak kejahatan yang mengudungkan nilai-nilai kehidupan. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com




271

Bagikan

24 Desember 2009

Memberi Rejeki untuk yang miskin



Waktu saya masih berada di Yogyakarta, saya sering tertegun menatap serombongan orang yang selalu memarkir diri di depan pintu rumah kami. Setiap hari Minggu mereka mendatangi rumah kami, seolah-olah mereka mesti mendapatkan jatah dari tangan kami. Guratan-guratan yang melintasi wajah-wajah mereka adalah sebuah fakta perjuangan. Setiap hari mereka bergumul dengan kerasnya kehidupan ini.

Saya mendengar tangis anak-anak yang mengharukan hati. Mereka, yang seharusnya bermain sorak-sorai bersama teman-temannya, mesti ikut berpartisipasi mengumpulkan sejumlah uang bagi berlanjutnya kehidupan. Terpaan hujan dan terik matahari bukan lagi halangan bagi mereka. Mereka digendong dalam jarik yang kumal berbau lantaran tiada sepotong sabun pun buat mencuci. Mata hatiku terbuka, ketika suara tangis anak-anak itu semakin nyaring di telingaku.

“Tetapi mengapa semua ini mesti menimpa mereka? Anak-anak itu kan tidak berdosa?” Saya bertanya dalam hati, sementara perasaan kemanusiaanku terus menggetarkan sukma.

Angan saya melayang jauh ke masa-masa silamku, ketika saya dipangku dan dibelai ayah ibu. Ketika itu, saya tak kekurangan sesuatu pun untuk memenuhi kebutuhan hidup saya. Apa saja yang saya inginkan pasti tersedia. Tetapi anak-anak di depan pelupuk mata saya saat ini tak memiliki apa-apa. Mereka hanya memiliki suara yang memekikkan tangis kesengsaraan. Tiada sesuap nasi berarti suatu tragedi besar bagi kelansungan hidup mereka.

Baru saja saya dengar cerita ibu-ibu mereka bahwa anak-anak itu tidak bisa sekolah. Tiada baju yang pantas yang mendukung pelajaran demi pelajaran di sekolah. Juga tidak ada alat tulis untuk menggambar dan menulis ilmu matematika.

Batinku terenyuh mendengarkan semua keluh kesah itu. “Apa yang bisa aku buat untuk mereka yang terlantar tak berdaya ini?” Aku memberontak terhadap diriku sendiri, seolah kondisi mereka itu menyiratkan ketidakpedulian sosialku terhadap sesama.

Mungkin Anda pernah menyaksikan peristiwi yang saya alami ini. Hati Anda tentu juga tertegun bahkan trenyuh menyaksikannya. Anda mungkin merogoh saku Anda untuk mengambil sejumlah uang bagi orang-orang miskin. Anda tidak tega menyaksikan penderitaan mereka.

Sebagai orang beriman, kita semua mesti memiliki hati yang terbuka untuk sesama yang menderita. Mereka butuh uluran tangan kita. Mereka butuh bantuan kita. Yang kita berikan dari apa yang kita miliki itu akan sangat berguna bagi hidup mereka. Karena itu, janganlah jemu-jemu untuk membantu orang yang ada di sekitar Anda. Pemberian Anda dari hati yang tulus itu menunjukkan iman Anda kepada Tuhan. Iman yang hidup itu diwujudkan dengan melakukan yang terbaik bagi sesama.

Mari kita menghayati iman kita dalam hidup sehari-hari secara nyata dengan membantu sesama yang membutuhkan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


Bagikan

23 Desember 2009

Ketika Mesti Menentukan Pilihan

Jiun adalah ilmuwan yang sangat pandai. Dia sangat terkenal di era pemerintahan Tokugawa di Jepang. Ketika masih muda, dia sudah sering diminta membantu mengajar para murid kakaknya.

Ibunya mendengar berita tentang Jiun ini. Kemudian dia menulis surat kepada Jiun yang isinya demikian:

“Anakku, aku pikir kamu tidak akan menjadi Buddha yang baik karena keinginanmu hanyalah memberikan pelajaran kepada orang-orang. Kamu seolah menjadi sebuah kamus. Tidak ada habisnya pengetahuan, informasi, ilmu, pujian dan kemuliaan. Tetapi semua itu tidak ada gunanya. Sia-sia belaka. Maka aku harap kamu melepaskan semua pekerjaan itu. Pergilah ke sebuah biara kecil di sebuah gunung. Pergunakanlah seluruh waktu dan hidupmu untuk berdoa dan bermeditasi. Hanya jalan inilah yang akan membawamu pada kenyataan yang sejati.”

Membaca surat ibunya, jiun sangat sedih. Pasalnya, ia masih ingin menggunakan ilmunya untuk kepentingan banyak orang. Tetapi ia mesti mengahadpi kenyataan, yaitu permintaan dari ibunya. Jiun tidak bisa melawan permintaan dari ibunya. Sebagai orang yang setia kepada orangtua, ia mesti mematuhi pesan ibunya. Ia meninggalkan segala macam gemerlap kota dan ilmu yang diperolehnya lalu menuju ke biara yang ditunjukkan ibunya. Di sana ia menemukan kesejatian hidupnya. Hidup yang damai. Hidup yang tidak dikejar-kejar oleh kecemasan.

Apa jadinya kalau hal ini terjadi atas diri Anda? Tentu Anda akan merasa permohonan seperti itu hanya sesuatu yang bodoh. Apalagi kalau Anda sedang merintis karier untuk masa depan Anda. Di sinilah letaknya kedewasaan dalam memilih. Suatu pilihan itu sebenarnya mengandung resiko. Namun apa pun resiko yang dihadapi, orang mesti berani menghadapinya. Orang tidak boleh berkecil hati.

Orang yang sungguh-sungguh dewasa dituntut untuk mampu menentukan pilihan dan kehendaknya sendiri untuk masa depannya. Kehendak baik untuk membangun masa depan itu mesti datang dari hati nurani yang terdalam. Untuk itu, orang mesti berani melawan arus, kalau pilihan yang diambilnya itu menguntungkan bagi masa depannya.

Sebagai orang beriman, pilihan kita tentu didasarkan juga oleh suara Tuhan yang hidup di dalam hati kita masing-masing. Untuk itu, kita mesti berani untuk mencari dan menemukan suara Tuhan itu. Dengan demikian, pilihan yang kita buat itu membahagiakan diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

269
Bagikan

22 Desember 2009

Menumbuhkan Energi Cinta



Suatu pagi, seorang bapak merasa sangat gelisah. Pasalnya, ia sudah bangun jam dua pagi. Ia tidak tahu mau buat apa. Ia bingung. Sementara seisi keluarganya yang lain masih tidur nyenyak.

Namun setelah termenung beberapa saat, ia menuju meja kerjanya. Ia mulai mengambil kanvas, kuas, cat air dan mulai melukis. Ia memang seorang pelukis yang terkenal di kotanya. Awalnya ia mengalami kesulitan untuk mencari tema atas lukisannya. Setelah tangannya mulai menggoreskan kuas di atas kanvas, muncullah sebuah tema yang menarik: seorang gadis cantik sedang tersenyum di pagi hari.

Pelukis itu menyelesaikan lukisannya dengan sangat cepat, begitu tema itu muncul di benaknya. Istrinya yang bangun jam tiga dibuatnya tercengang-cengang. Ia berdecak kagum melihat suaminya menghasilkan sebuah lukisan yang indah di pagi hari itu. Ia tersenyum kepada suaminya. Ternyata senyumnya tidak jauh berbeda dengan senyum gadis cantik di pagi hari hasil lukisan suaminya. Ia terkejut. Ia seolah sedang berhadapan dengan sebuah cermin besar.

“Pak, bapak sedang melukis wajah saya? Itu kan wajah saya, ketika saya masih muda,” kata istrinya.

“Apa benar? Saya tidak sengaja melukis wajahmu,” jawab suaminya dengan ekspresi wajah yang kurang percaya.

“Benar, Pak. Itu saya,” istrinya meyakinkan. Ia melonjak kegirangan.

Suaminya menggeleng-gelengkan kepalanya. Baru kali ini istrinya menjadi model bagi lukisan-lukisannya. Namun ia melukis wajah istrinya itu ketika ia sedang tertidur lelap. Ia tidak habis pikir, mengapa bisa terjadi seperti itu.

Ketika cinta sudah melekat, orang sulit untuk saling melupakan. Bahkan cinta suami istri seperti kisah ini menunjukkan betapa cinta yang mendalam itu membawa semangat hidup. Ada energi yang tumbuh dan berkembang dalam hidup berkeluarga.

Tentu saja cinta seperti ini sudah dibangun begitu lama. Ada proses jatuh dan bangun yang mesti mereka hadapi. Kadang-kadang ada luka yang mesti mereka obati bersama. Ada juga persoalan-persoalan yang mesti mereka lalui. Namun semua itu dapat dilalui berkat kuatnya cinta yang hidup di dalam hati mereka.

Tuhan juga senantiasa mencintai kita manusia. Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia berjuang sendirian dalam perjalanan hidupnya. Tuhan mau terlibat dalam suka dan duka hidup manusia. Itulah cinta Tuhan kepada manusia.

Nah, sebagai orang beriman, kita diajak untuk mencintai Tuhan dan sesama dalam hidup sehari-hari. Dengan cinta itu, kita memiliki semangat untuk terus-menerus berjuang dalam meraih kebahagiaan hidup ini. Energi cinta itu mesti ditumbuhkan dan dikembangkan dalam hidup yang nyata. Dengan demikian kita semakin kuat dalam membangun hidup bersama orang lain di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

268
Bagikan

21 Desember 2009

Menjadi Pemimpin yang Peduli

Ada seorang gembala sapi yang setiap hari berada di padang rumput. Ia menggembalakan seratus dua puluh ekor sapinya di sana. Setiap pagi ia mengeluarkan sapi-sapinya dan menuntun mereka ke padang rumput yang hijau. Ia menunggui sapi-sapi itu makan rumput hingga sore hari. Menjelang petang, gembala itu membawa sapi-sapinya ke sungai kecil yang mengalir tenang di pinggir kandang. Sapi-sapi itu minum sampai sepuas-puasnya sebelum dituntun kembali masuk ke kandang.

Di kala ada ancaman dari binatang buas lainnya, ia segera menghalau binatang-binatang buas itu. Dengan beberapa ekor anjingnya, ia mengejar binatang-binatang buas itu. Ketika ada sapi yang sakit, ia memberikan perawatan hingga sembuh. Sapi-sapi yang baru lahir ia perlakukan dengan sangat baik. Ia memeliharanya dengan hati-hati, sehingga tingkat kematian anak-anak sapi itu sangat berkurang.

Di malam hari, gembala itu menjaga kawanan sapinya. Ia tidur di gubuk yang tidak jauh dari kandang sapi-sapi itu. Anjing-anjingnya yang terlatih dengan baik ia biarkan tidur di luar gubuk itu. Mereka menjaga sapi-sapi dari serangan binatang buas atau para pencuri. Dengan kondisi seperti itu, sapi-sapi itu terasa nyaman. Mereka bertumbuh dan berkembang biak dengan sangat baik. Populasi selalu bertambah dari bulan ke bulan. Gembala sapi itu berhasil dengan baik. Ia menjual sapi-sapinya untuk kebutuhan hidup keluarganya.

Ketika ditanya tentang kunci kesuksesannya, gembala sapi itu mengatakan bahwa ia berusaha agar sapi-sapi itu dapat mengenal dirinya dengan baik. Menurutnya, kalau mereka sungguh-sungguh mengenal dirinya, mereka akan mempunyai rasa aman dalam hidup mereka. Suara yang ia teriakan untuk memanggil sapi-sapi itu akan menenangkan sapi-sapi itu. Suara-suara dari orang-orang lain hanya membuat sapi-sapi itu takut dan melarikan diri.

Dalam diri setiap orang ada potensi untuk menjadi pemimpin. Keberhasilan seorang pemimpin tidak diukur dari ketenarannya dalam mengumpulkan massa. Namun keberhasilannya diukur dari seberapa banyak orang yang dipimpinnya itu mengalami ketenangan dan ketenteraman dalam hidup. Seorang pemimpin yang mudah membuat resah para pengikutnya akan segera ditinggalkan. Mereka akan mencari dan menemukan pemimpin lain yang sungguh-sungguh memberikan jaminan ketenteraman bagi mereka.

Karena itu, menjadi pemimpin itu suatu panggilan hidup. Orang tidak bisa hanya mengandalkan ambisi pribadinya untuk menjadi pemimpin. Untuk itu, seorang pemimpin mesti menimba rahmat demi rahmat dari Tuhan sebagai pemimpin agung hidupnya. Kalau seseorang sungguh-sungguh memperoleh rahmat dari Tuhan untuk memimpin, ia akan selalu setia kepada Tuhan.

Sebagai orang beriman, mari kita berusaha untuk menjadi pemimpin yang memiliki hati bagi sesama. Artinya, peduli dan memiliki sikap bela rasa terhadap sesama yang dipimpin. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

267
Bagikan

20 Desember 2009

Tuhan Selalu Menyertai Kita


Di sebuah desa, hiduplah seorang petani yang sangat kaya. Di akhir tahun, lumbung-lumbungnya penuh dengan hasil panen. Ia merasa sudah cukup untuk hidup selama puluhan tahun dengan hasil panen yang ada dalam lumbung-lumbung itu. Karena itu, ia memerintahkan para pekerjanya untuk berhenti bekerja. Sekarang tinggal menikmati hasil jerih payah selama bertahun-tahun itu.

Suatu hari, orang kaya itu memutuskan untuk bepergian bersama istri dan anak-anaknya ke kota yang jauh dari kampung halamannya. Ia juga mengajak semua pekerjanya. Ia membawa banyak sekali bekal dalam lumbung-lumbung yang ditarik oleh banyak kuda. Makanan itu untuk kebutuhan selama perjalanan yang jauh itu. Namun salah satu lumbung yang berisi makanan yang paling penting untuk mereka ditutup sangat rapat. Lumbung itu pun tidak punya pintu, sehingga sangat sulit untuk mengambil makanan kesukaan orang kaya itu.

Sepanjang perjalanan ia sering mengumpat para pekerjanya, karena ia tidak dapat menikmati makanan kesukaannya. Ketika tiba di suatu desa, ia memerintahkan para pekerjanya untuk membongkar paksa lumbung itu. Namun mereka tidak bisa membongkarnya karena kayu yang dipakai sangat keras. Apalagi mereka tidak membawa peralatan yang memadai. Akhirnya, orang kaya itu memutuskan untuk tidak menikmati makanan kesukaannya.

Sial bagi orang kaya itu. Suatu ketika dalam perjalanan pulang, makanan kesukaan orang kaya yang ada di dalam lumbung itu habis dimakan rayap. Begitu melihat bahwa di dalam lumbung itu tidak ada apa-apa lagi, ia kecewa luar biasa. Ia menjadi sangat sedih sepanjang perjalanan pulang itu. Ia tidak menghiraukan lagi setiap kata-kata hiburan dari istri dan anak-anaknya. Wajahnya menjadi sangat murung. Ia kehilangan barang yang sangat berharga dalam hidupnya.

Manusia sering melupakan hal-hal yang terpenting dalam hidupnya. Sebagai orang beriman, kita juga sering lupa akan yang paling penting dalam hidup ini. Kita sering lupa bahwa Tuhan senantiasa menyertai kita. Dari sudut pengetahuan kita memang menyadari bahwa Tuhan itu paling penting dalam hidup kita. Namun dalam praktek hidup sehari-hari, sering Tuhan kita letakkan pada nomor terakhir.

Akhimya, kita kehilangan Tuhan. Kita tidak menyadari lagi bahwa Tuhan itu hadir di dalam hati kita. Akibatnya, kita menjadi kecewa, murung dalam meniti kehidupan ini. Karena itu, kita diajak untuk kembali menyadari bahwa Tuhan senantiasa menyertai kita dalam hidup sehari-hari. Tuhan tidak pernah melupakan kita meski sering kita tidak mau tahu dengan kehadiranNya dalam hati kita.

Untuk itu, kita mesti punya niat untuk senantiasa menyertakan Tuhan dalam perjalanan hidup kita. Dengan demikian, kita akan mengalami kebahagiaan, karena kita selalu berjalan bersama Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


266
Bagikan

19 Desember 2009

Janganlah Cemas Hatimu

Seorang kaya raya suatu hari mendatangi seorang bijak. Ia meminta nasihat agar ia dapat terus-menerus mempertahankan kekayaan miliknya. Dia ingin kekayaannya itu tetap dimiliki oleh anak cucunya sampai generasi yang tak terbatas.

Orang bijak itu tersenyum menatap orang kaya itu. Baginya, tidak ada yang menjamin bahwa harta kekayaan itu akan langgeng. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Orang bijak itu sering dimintai nasihat oleh orang-orang kaya.

Lantas ia meminta secarik kertas yang lebar lalu mulai menulis: ayah meninggal, anak meninggal, cucu meninggal.

Membaca tulisan seperti itu, orang kaya itu sangat marah. Ia menghardik orang bijak itu, “Aku memintamu untuk menulis sesuatu yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi keluargaku. Mengapa kamu menulis lelucon murahan seperti ini?”

Orang bijak itu tersenyum. Lalu ia menjawab, ”Lelucon ini ada tujuannya.”

Orang kaya itu masih marah. Ia tidak habis pikir, orang yang ia pandang sangat terhormat itu membuat lelucon yang aneh. Lalu ia bertanya, “Apa tujuan lelucon ini, orang bijak?”

“Kalau anakmu meninggal lebih dulu daripada Anda, pasti Anda merasa sangat sedih. Seandainya cucumu meninggal lebih dulu daripada Anda dan anakmu, tentulah Anda berdua akan sedih. Namun kalau dalam keluargamu, dari generasi ke generasi meninggal sesuai dengan urutan sebagaimana kutulis, peristiwa itu merupakan sesuatu yang normal. Saya menyebutnya kesejahteraan yang sesungguhnya.”

Dalam hidup ini ada orang yang begitu cemas akan hari esoknya. Karena itu, mereka membentengi diri dengan berbagai hal. Tujuannya agar mereka tidak kehilangan milik mereka. Kisah tadi merupakan salah satu contoh betapa orang kaya cemas akan harta kekayaannya.

Pertanyaannya, mengapa orang cemas akan hidupnya? Coba Anda pandang burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut. Apakah mereka memiliki harta yang menjadi jaminan bagi hidup mereka? Sungguh, hidup mereka tergantung dari belas kasih alam. Burung-burung itu mencari makanan di alam bebas. Setelah seharian mencari dan menemukan makanan, pada malam hari mereka tertidur pulas di pohon-pohon. Mereka tidak cemas, karena besok mereka akan bangun lagi dan menemukan makanan untuk hidup mereka.

Manusia memang bukan burung. Namun burung dapat menjadi contoh bagi kita untuk tidak cemas. Kalau Tuhan memperhatikan burung-burung di udara, tentu Tuhan juga akan memperhatikan kita. Karena itu, orang yang selalu cemas dalam hidup itu biasanya orang yang kurang percaya kepada Tuhan. Orang yang tidak menggantungkan hidupnya pada penyelenggaraan Tuhan. Bukankah Tuhan yang kita imani itu mahapengasih dan mahapenyayang? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

265

Bagikan

18 Desember 2009

Usaha Membarui Diri


Ada seorang murid yang belajar pada seorang guru bijak. Ia sering melanggar peraturan di tempat guru bijak itu. Misalnya, pada malam hari ia meninggalkan rumah gurunya dengan memanjat pagar tembok yang tinggi. Ia pergi ke kota untuk bersenang-senang.

Suatu malam guru bijak itu berkeliling di tempat tidur para muridnya. Dia mendapati salah satu muridnya meninggalkan tempat tidurnya. Ketika mengelilingi tembok rumahnya, ia menemukan sebuah tangga. Ia segera menyingkirkan tangga itu dan berdiri di sana semalam-malaman.

Ketika murid yang keluar itu pulang, dia tidak menyadari tangga yang dipakainya sudah diambil. Tidak ada penerang di tempat itu. Tanpa sengaja, ia menginjak kepala gurunya dan melompat ke bawah. Ia kaget setengah mati atas apa yang telah terjadi.

Guru bijak itu memandangnya lalu berkata, “Saat ini sangat dingin. Jagalah dirimu supaya jangan sampai sakit karena kedinginan.”

Sejak saat itu, murid itu tidak pernah keluar malam lagi. Ia bertobat. Ia tidak mau menyusahkan diri lagi.

Ada banyak hal yang mesti dipelajari dalam hidup ini. Pelajaran yang paling berharga datangnya dari pengalaman hidup. Sering orang menganggap remeh terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya. Tetapi sebenarnya pengalaman hidup itu ilmu yang paling asli dalam hidup ini.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa ketidaksetiaan terhadap aturan itu dapat diatasi. Sang guru bijak memberikan contoh yang baik dengan memberi kesempatan kepada muridnya untuk memperbaiki hidupnya. Ia tidak memarahinya. Bahkan ia memberikan kepalanya untuk menjadi tangga bagi muridnya yang tidak setia itu. Ia memberikan nasihat kepada muridnya dengan cara yang sangat sederhana, namun sangat mengena. Murid itu menjadi sadar akan perbuatannya yang dapat merugikan dirinya sendiri.

Pengalaman diampuni dan dikasihi sering menuntun seseorang untuk membarui dirinya. Pembaruan diri hanya bisa dilakukan, kalau orang diberi kesempatan yang seluas-luasnya. Namun kesempatan itu mesti digunakan sebaik-baiknya demi perubahan dalam hidup. Sang murid dalam kisah tadi dapat mengubah tingkah lakunya, setelah mendapat kesempatan dari sang gurunya. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia gunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita juga selalu diberi kesempatan yang baik oleh Tuhan untuk mengubah tingkah laku hidup kita yang tidak senonoh di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan kasihNya yang begitu besar, Tuhan selalu memberi kita kekuatan untuk membarui diri kita. Mari kita berusaha untuk mengubah hidup agar menjadi lebih baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

264

Bagikan

17 Desember 2009

Janganlah Cemas Hatimu




Seorang kaya raya suatu hari mendatangi seorang bijak. Ia meminta nasihat agar ia dapat terus-menerus mempertahankan kekayaan miliknya. Dia ingin kekayaannya itu tetap dimiliki oleh anak cucunya sampai generasi yang tak terbatas.

Orang bijak itu tersenyum menatap orang kaya itu. Baginya, tidak ada yang menjamin bahwa harta kekayaan itu akan langgeng. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Orang bijak itu sering dimintai nasihat oleh orang-orang kaya.

Lantas ia meminta secarik kertas yang lebar lalu mulai menulis: ayah meninggal, anak meninggal, cucu meninggal.

Membaca tulisan seperti itu, orang kaya itu sangat marah. Ia menghardik orang bijak itu, “Aku memintamu untuk menulis sesuatu yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi keluargaku. Mengapa kamu menulis lelucon murahan seperti ini?”

Orang bijak itu tersenyum. Lalu ia menjawab, ”Lelucon ini ada tujuannya.”

Orang kaya itu masih marah. Ia tidak habis pikir, orang yang ia pandang sangat terhormat itu membuat lelucon yang aneh. Lalu ia bertanya, “Apa tujuan lelucon ini, orang bijak?”

“Kalau anakmu meninggal lebih dulu daripada Anda, pasti Anda merasa sangat sedih. Seandainya cucumu meninggal lebih dulu daripada Anda dan anakmu, tentulah Anda berdua akan sedih. Namun kalau dalam keluargamu, dari generasi ke generasi meninggal sesuai dengan urutan sebagaimana kutulis, peristiwa itu merupakan sesuatu yang normal. Saya menyebutnya kesejahteraan yang sesungguhnya.”

Dalam hidup ini ada orang yang begitu cemas akan hari esoknya. Karena itu, mereka membentengi diri dengan berbagai hal. Tujuannya agar mereka tidak kehilangan milik mereka. Kisah tadi merupakan salah satu contoh betapa orang kaya cemas akan harta kekayaannya.

Pertanyaannya, mengapa orang cemas akan hidupnya? Coba Anda pandang burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut. Apakah mereka memiliki harta yang menjadi jaminan bagi hidup mereka? Sungguh, hidup mereka tergantung dari belas kasih alam. Burung-burung itu mencari makanan di alam bebas. Setelah seharian mencari dan menemukan makanan, pada malam hari mereka tertidur pulas di pohon-pohon. Mereka tidak cemas, karena besok mereka akan bangun lagi dan menemukan makanan untuk hidup mereka.

Manusia memang bukan burung. Namun burung dapat menjadi contoh bagi kita untuk tidak cemas. Kalau Tuhan memperhatikan burung-burung di udara, tentu Tuhan juga akan memperhatikan kita. Karena itu, orang yang selalu cemas dalam hidup itu biasanya orang yang kurang percaya kepada Tuhan. Orang yang tidak menggantungkan hidupnya pada penyelenggaraan Tuhan. Bukankah Tuhan yang kita imani itu mahapengasih dan mahapenyayang? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com




263
Bagikan

16 Desember 2009

Kebebasan untuk Memutuskan

Suatu pagi seorang murid berencana untuk mencobai muridnya. Pada jam istirahat, murid itu menangkap seekor belalang yang hinggap di atas bunga mawar di halaman sekolahnya.

Ia menggenggam belalang itu. Ketika bel masuk kelas berbunyi, murid itu berjalan ke arah gurunya sambil meletakkan tangan di belakangnya.

Ia berkata kepada gurunya, “Ibu, kalau sudah mendapat pencerahan oleh bebagai ilmu, tentunya ibu mengetahui belalang yang saya bawa ini. Menurut ibu, belalang yang saya bawa ini mati atau hidup?”

Ibu guru itu tersenyum mendengar kata-kata muridnya. Ia sudah hapal betul sifat muridnya yang satu ini. Ia mampu membaca rencana yang ada dalam benak murid itu. Ia memang seorang murid yang licik.

Ia sudah membuat rencana yang rapih. Kalau gurunya menjawab bahwa belalang itu mati, dia akan segera melepaskan belalang itu pergi hidup-hidup. Sebalaiknya, kalau ibu guru itu menjawab bahwa belalang itu hidup, ia akan seremas belalang itu sampai mati.

Dengan tenang ibu guru itu menjawab, “Jawabannya ada di tanganmu.”

Sering kali kesalahan dalam dunia pendidikan adalah menjawab semua pertanyaan dari para murid. Semestinya para murid diberi kebebasan untuk mengungkapkan padangan-pandangan mereka terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, mereka dapat mengerti dengan lebih baik setiap persoalan yang mereka hadapi.

Kisah tadi mau mengungkapkan bahwa seorang guru yang bijaksana mampu memberi suatu jalan kepada muridnya untuk memutuskan. Ia tidak memberi jawaban ya atau tidak. Tetapi ia memberi kebebasan kepada muridnya itu untuk memutuskan mau melakukan sesuatu yang baik atau yang jahat.

Dengan cara seperti ini, seorang murid akhirnya sampai pada suatu pencerahan terhadap pikirannya sendiri. Melakukan sesuatu yang baik akan membawa dia untuk semakin menghargai kehidupan. Sebaliknya, melakukan sesuatu yang jahat membawa dia kepada kehancuran.

Kehancuran itu dimulai ketika orang mulai melakukan suatu kejahatan yang dianggap kecil. Sesuatu yang kecil itu kalau dilakukan terus-menerus akan menjadi besar dan banyak. Akibatnya, orang tidak bisa lagi menghentikan perbuatan jahat itu. Ia menjadi ketagihan untuk melakukan hal-hal yang jahat.

Mari kita berusaha memperbanyak perbuatan-perbuatan baik terhadap Tuhan dan sesama. Dengan demikian kita menjadi orang yang mengandalkan kasih di atas segala-galanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

262


Bagikan

15 Desember 2009

Usaha Menghindari Dosa




Pada jaman dahulu di Cina ada seorang pencuri yang sangat terkenal. Dia bisa mencuri apa saja dan tidak seorang pun bisa menangkapnya.

Suatu hari anak si pencuri itu bertanya kepadanya tentang ilmu yang dimiliki ayahnya. Pencuri itu mengabulkan permintaan anaknya. Maka pada malam harinya si pencuri itu membawa anaknya ke sebuah rumah yang besar untuk mencuri.

Tepat pada tengah malam, saat seluruh penghuni rumah tertidur pulas, si pencuri itu mengendap-endap masuk rumah bersama dengan anaknya. Kemudian si pencuri menyuruh anaknya masuk ke dalam ruangan tempat banyak pakaian dan perhiasan disimpan. Setelah anaknya masuk ke dalam ruangan, si pencuri menutup dan mengunci pintunya.

Ketika anaknnya masih ada di dalam ruangan yang terkunci, pencuri itu membuat sedikit kegaduhan, sehingga para penghuni rumah terbangun. Tetapi dia sudah lari lebih dahulu sebelum dilihat oleh mereka.

Beberapa jam kemudian anak pencuri itu pulang ke rumah. Dia sangat marah kepada ayahnya. Ia berteriak keras kepada ayahnya, “Mengapa ayah mengunci aku di dalam ruangan itu?”

Ayahnya hanya terdiam membisu. Anaknya itu lalu berkata, “Kalau aku tidak bisa mengalahkan kecemasan dan keputuasaan karena takut ditangkap, pastilah aku tidak bisa melarikan diri. Aku mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuanku untuk dapat keluar dan melarikan diri.”

Ayahnya tersenyum menatapnya dan berkata, “Anakku, kamu telah mengerti pelajaran pertama tentang mencuri. Jangan lakukan itu lagi. Itu sangat membahayakan dirimu dan dosa.”

Perbuatan-perbuatan yang jahat sering kali membuat orang cemas dan kuatir. Orang tidak mengalami ketenangan dalam hidupnya. Orang selalu merasa terancam. Orang merasa selalu dikejar-kejar oleh perbuatan jahatnya itu. Perbuatan jahat meninggalkan luka mendalam dalam diri orang yang melakukannya dan juga korban.

Karena itu, perbuatan jahat itu suatu dosa yang merusak hubungan antara manusia dengan sesamanya dan dengan Tuhan. Relasi menjadi tidak baik. Orang hidup dalam suasana yang terancam. Orang hidup dalam situasi yang tidak damai. Keharmonisan sering menjauhi orang yang melakukan kejahatan terhadap sesamanya.

Setiap agama mengajarkan bahwa perbuatan jahat itu dosa yang mesti dihindari oleh manusia. Dosa itu membahayakan diri sendiri. Tetapi dosa juga mengakibatkan bahaya bagi orang lain. Seorang yang menaruh dendam terhadap sesamanya dapat membahayakan hidup sesamanya itu. Apalagi kalau rasa dendam itu kemudian dilampiaskan kepada sesamanya. Pasti ada korban. Dalam hal ini dosa memiliki dampak sosial terhadap orang lain. Karena itu, mari kita hentikan setiap bentuk dosa yang sering menggoda hati manusia. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



261
Bagikan

14 Desember 2009

Mengembangkan Potensi Diri

Sebuah kejadian mengenaskan menimpa seorang ibu. Pasalnya, anaknya yang sedang lapar mendorongnya untuk berbuat nekat. Ia menjambret kalung emas milik seorang anak berumur empat tahun. Emas itu hanya seberat dua gram. Namun ibu itu terpaksa melakukan aksi jahatnya untuk memenuhi keinginan anaknya yang pagi itu tidak mau ke sekolah.

Ibu itu memegang anak laki-laki berusia empat tahun yang mengenakan kalung emas itu. Lantas ia melepaskannya dari leher anak itu. Ibu itu pun mengambil langkah seribu. Ia berlari kencang.

Anak laki-laki yang kebingungan itu pun mengejar ibu itu. Namun ia tidak dapat menangkapnya. Maklum, ia masih kecil. Namun ia mendapat bantuan dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Mereka mengejar ibu muda itu. Mereka menangkapnya. Untung, mereka tidak menggebukinya hingga babak belur. Mereka menyerahkan ibu itu ke polisi dengan barang bukti seuntai kalung seberat dua gram. Ia pun mendekam di sel polsek setempat.

Ketika diperiksa pihak polisi, ibu itu mengaku terus terang bahwa ia melakukannya semata-mata demi anaknya yang pagi itu belum makan. Ia berkata, “Saya kilaf dan tidak sengaja melakukan hal itu. Rencananya kalung itu mau saya jual dan saya belikan makanan untuk anak saya.”

Kesulitan hidup mendorong orang untuk berbuat nekat. Bahkan orang berani melakukan kejahatan untuk kelangsungan hidupnya. Dalam keadaan seperti itu orang mengalami kegelapan dalam hidupnya. Tidak ada jalan keluar yang mampu membantunya untuk keluar dari kesulitan.

Namun yang mesti disadari adalah sumber kesulitan hidup yang dialami itu. Setiap kesulitan hidup itu pasti ada sebabnya. Dalam kisah tadi, tidak dijelaskan alasan kelaparan yang diderita oleh anak ibu itu. Barangkali ibu itu kehilangan pekerjaan, sehingga ia tidak dapat membeli makanan untuk anaknya. Atau mungkin ia baru saja pisah dengan suaminya, sehingga ia mengalami hidup terlunta-lunta. Tidak ada yang menjamin kelangsungan hidupnya.

Kesulitan-kesulitan itu mesti diatasi. Caranya bukan dengan melakukan tindakan kejahatan. Namun orang mesti mencari cara-cara yang baik untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam hidup ini. Tuhan memberikan kepada setiap orang kemampuan-kemampuan untuk mengembangkan diri. Kalau kemampuan-kemampuan itu dikembangkan dengan sungguh-sungguh, orang tidak perlu mengalami kesulitan dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk selalu mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam diri kita secara maksimal. Untuk itu, dibutuhkan strategi-strategi pengembangan yang baik. Orang mesti memulainya sejak awal. Orang mesti mengalami proses pengembangan diri. Dalam proses itu orang dapat mengalami kesulitan-kesulitan dan persoalan-persoalan. Namun orang mesti melaluinya, agar dapat menemukan kemajuan dalam hidupnya. Mari kita kembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri kita demi kemajuan kita dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


260



Bagikan

13 Desember 2009

Menjunjung Tinggi Martabat Manusia


Ada seorang pengusaha yang tidak memandang uang dan keuntungan pribadi sebagai satu-satunya ukuran kemajuan perusahaan. Tanpa sumber daya manusia yang memiliki loyalitas kepada perusahaan, ia menjamin perusahaannya tidak akan maju.

Karena itu, ia berani menginvestasikan lebih kurang 100 juta rupiah per tahun untuk membangun rasa memiliki perusahaan dan kebersamaan dengan karyawannya. Perusahaan yang dibangun dua belas tahun lalu itu tidak pernah mengalami kerugian. Bahkan setiap tahun keuntungannya selalu meningkat.

Kunci kesuksesan ini ada pada kebijakan sang bos yang mau memperhatikan semua karyawannya. Kesejahteraan para karyawan sungguh-sungguh diperhatikannya. Dengan demikian, mereka memiliki semangat bekerja dan rasa memiliki terhadap perusahaan itu.

Suatu kali, seorang karyawan mengalami sakit. Bos perusahaan itu mengurusnya sampai ia sembuh. Ia membiayai seluruh pengobatan karyawannya itu. Semua karyawan yang lain tidak iri hati melihat hal seperti itu. Bahkan mereka sangat mendukung kebijakan bos itu.

Setelah sembuh, karyawan itu kembali bekerja dengan baik. Ia sangat loyal terhadap bosnya. Ketika bosnya mengalami kesulitan pemasaran atas produk-produknya, ia membantunya dengan segenap tenaganya. Ia mencari peluang-peluang baru untuk pemasaran produk-produk perusahaan itu.

Dalam hidup ini hal yang sangat penting adlah kehidupan manusia. Dalam dunia kerja, sumber daya manusia merupakan unsur paling penting dalam suatu perusahaan. Tanpa sumber daya manusia yang baik, suatu perusahaan tidak akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Karena itu, seorang pemimpin perusahaan mesti memperlakukan para karyawannya dengan sebaik-baiknya. Mereka juga sangat menentukan kemajuan perusahaan itu.

Memang mesti diakui bahwa ada juga pengusaha yang sewenang-wenang terhadap para karyawannya. Ia menuntut mereka bekerja dengan sungguh-sungguh, tetapi ia sendiri tidak memberikan jaminan yang memadai bagi mereka. Akibatnya, loyalitas para karyawan terhadap perusahaan menjadi lemah. Ketika perusahaan mengalami persoalan, para karyawannya tidak peduli. Mereka masa bodoh saja.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk menempatkan manusia di atas segala-galanya. Martabat manusia mesti menjadi andalan utama dalam bekerja. Mengapa? Karena setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia bertujuan untuk memperjuangkan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia itu sendiri.

Mari kita terus-menerus memperjuangkan hak-hak hidup manusia. Dengan demikian kesejahteraan dan kebahagiaan dapat dialami dalam dunia yang nyata. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com





259

Rata PenuhBagikan

12 Desember 2009

Cinta Kasih sebagai Andalan Hidup


Suatu hari, seorang anak berkata kepada ibunya, “Ibu, saya mau pergi ke kota untuk mencari uang. Saya akan pulang dengan uang yang banyak, agar hidup kita menjadi jauh lebih baik.”

Ibunya memandang wajah anaknya dengan penuh belas kasihan. Lalu ia berkata kepadanya dengan suara lembut, “Aku tidak membesarkanmu untuk itu. Aku tidak ingin engkau menjadikan uang sebagai tujuan utama hidupmu.”

Anak remaja itu menatap ibunya dengan berlinang air mata. Ia menganggukkan kepalanya. Ia mengerti maksud ibunya. Ia mesti belajar untuk menyiapkan masa depannya.

Ketika menjadi dewasa, anak itu menjadi gubernur di propinsinya. Ia memerintah dengan baik. Ia seorang gubernur yang jujur, terhormat dan memiliki cinta yang mendalam terhadap rakyatnya. Ia membangun propinsinya dengan mengandalkan kekuatan dari rakyat. Dana yang ia peroleh dari pemerintah pusat ia gunakan untuk kesejahteraan rakyatnya.

Kepada rakyatnya, ia berkata, “Saya telah dididik oleh ibu saya untuk mengandalkan cinta kasih. Uang yang banyak yang kita miliki itu merupakan sarana untuk kesejahteraan kita bersama. Karena itu, andalan hidup kita pertama-tama bukan uang. Andalan hidup kita adalah saling mencintai sebagai sesama saudara.”

Banyak orang sering salah mengira bahwa uang adalah segalanya dalam hidup ini. Karena itu, mereka mengandalkan uang untuk meraih keinginan mereka. Akibatnya, mereka menjadi buta terhadap cinta kasih dalam hidup mereka. Mereka lalu mengandalkan uang sebagai jaminan kesejahteraan hidup mereka. Padahal uang itu hanya sarana untuk mencapai kesejahteraan dalam hidup.

Kisah tadi mau mengungkapkan bahwa cinta kasih mesti menjadi landasan hidup manusia. Dengan cinta kasih itu orang dapat mengembangkan dan memajukan hidupnya. Orang dapat membangun kesejahteraan bagi hidup dan masa depannya. Karena itu, orang mesti memulai hidup dari semangat cinta kasih kepada diri dan sesamanya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk tetap mengandalkan cinta kasih di atas segala-galanya. Tentu saja cinta kasih bagi semua orang. Cinta kasih yang universal. Suatu cinta kasih yang dibangun berdasarkan hati yang tulus murni untuk kesejahteraan dan kebahagiaan bagi semua orang.

Hidup dalam dunia ini kita sering tergoda oleh ambisi-ambisi pribadi kita. Kita ingin menjadi kaya dalam waktu yang singkat. Kita ingin bahagia dalam waktu yang singkat. Padahal orang yang kaya dan orang yang bahagia itu biasanya melalui jalan berliku-liku. Mereka juga sering mengalami berbagai tantangan dan kesulitan-kesulitan.

Mari kita saling mengasihi dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian, kita dapat membangun hidup yang sejahtera dan bahagia dalam dunia yang nyata. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

258



Bagikan

11 Desember 2009

Gunakan Uang untuk Kesejahteraan Bersama



Ada seorang yang sangat kaya yang sepanjang hidupnya bekerja keras untuk mengumpulkan uang. Ia mencintai uang lebih dari segala sesuatu yang lain. Bahkan istri dan anak-anaknya sering ia kalahkan demi mencari dan mengumpulkan uang.

Menjelang ajalnya, ia memanggil istrinya. Ia berkata, “Pada saat aku mati nanti aku minta supaya kamu memasukkan semua uangku ke dalam peti mati. Aku ingin membawa semua uangku menghadap Tuhan.”

Kemudian ia meminta istrinya untuk bersumpah dengan menumpangkan tangan di atas Kitab Suci.

Pada hari kematian orang kaya itu, istrinya duduk di samping peti dengan wajah yang penuh duka. Ia ditemani sahabat karibnya. Ketika upacara pemakaman selesai dan peti mati hendak ditutup, sang istri tampil ke depan. Ia berteriak, “Tunggu sebentar.” Lalu ia mendekati peti sambil meletakkan sebuah kotak di dalamnya. Kemudian para petugas menutup peti itu.

Beberapa saat kemudian, sahabat karibnya berkata kepadanya, “Aku yakin kamu bukan orang bodoh. Kamu pasti tidak meletakkan semua uang suamimu di peti itu, bukan?”

Istri itu menjawab, “Saya orang beriman. Saya tidak bisa berbohong. Saya telah bersumpah untuk meletakkan semua uangnya di dalam peti itu.”

Sahabat karibnya itu sangat terkejut mendengar kata-kata temannya itu. “Jadi kamu memberikan semua uang itu kepadanya?” tanya sahabat karib itu.

Istri itu menjawab, “Tentu saja. Tetapi saya memberikannya dalam bentuk cek.”

Uang begitu menggoda hati manusia. Dengan uang yang banyak orang dapat melakukan apa saja sesuai dengan keinginan hatinya. Uang dapat digunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Uang dapat digunakan untuk menjalin relasi dengan sesama manusia. Uang dapat digunakan untuk membangun persahabatan dan cinta kasih dengan semua orang.

Namun uang dapat membawa orang kepada kegelapan dalam hidup. Karena godaan untuk memiliki uang yang banyak, orang dapat menghilangkan nyawa sesamanya. Uang dapat mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi hidup manusia. Uang dapat menyebabkan orang masuk dalam penjara.

Karena itu, sebagai orang beriman kita diingatkan akan godaan terhadap uang. Kita boleh memiliki sebanyak-banyaknya uang. Namun yang penting bagi kita adalah kita menggunakannya untuk kesejahteraan hidup kita dan sesama. Uang yang kita miliki semestinya membantu kita untuk membangun hidup yang baik dengan sesama.

Dalam keluarga, uang mesti digunakan untuk kesejahteraan keluarga. Uang digunakan untuk menuntun anak-anak untuk meraih cita-cita yang baik. Uang mesti dipakai untuk menciptakan keharmonisan keluarga orang-orang beriman. Mari kita gunakan uang secara bijaksana, agar hidup kita menjadi lebih baik dan sejahtera. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

257

Bagikan

10 Desember 2009

Hidup Ini Rahmat dari Tuhan



Almarhum Ateng, seorang pelawak terkenal, memiliki iman yang begitu mendalam kepada Tuhan. Ia termasuk orang yang rajin beribadat, meski kesibukan sebagai seniman selalu menghantui hidupnya.

Suatu kali dia berkata, “Ketika saya masih muda, saya mencari uang. Saya kerja keras untuk mendapatkan uang itu. Tuhan memberkati dengan memberi saya uang itu. Tuhan juga memberikan banyak hal untuk mendukung hidup saya. Tuhan telah memberikan semua itu secara cuma-cuma. Dia tidak menuntut apa-apa dari saya. Sekarang saya mau membaktikan diri saya untuk Tuhan dan sesama.”

Di masa tuanya, Ateng aktif dalam hidup keagamaannya. Setiap kali ada acara di Panti Asuhan, ia selalu hadir untuk memberi warna tersendiri. Ia menghibur anak-anak panti asuhan dan mereka yang berkunjung dengan lawak-lawaknya yang segar dan menghibur. Orang-orang yang hadir mengalami sukacita yang besar. Mereka merasa bahagia.

Untuk acara-acara seperti ini, Ateng tidak pernah meminta uang. Ia hadir untuk memberi mereka hiburan. Ia memberikannya dengan cuma-cuma seperti Tuhan telah memberi kasih yang cuma-cuma kepadanya. Ateng pun merasa bahagia atas hiburan lawak yang ia bawakan untuk sesamanya.

Dalam kacamata iman, Ateng berkata, “Inilah cara saya bersyukur, memuji dan memuliakan Tuhan. Selama ini Tuhan telah memberikan semua kebutuhan saya. Tuhan telah memberkati karya dan usaha saya.”

Hidup ini adalah suatu anugerah dari Tuhan. Hidup kita ini suatu rahmat dari Tuhan. Tuhan memberikan hidup ini kepada kita, karena Dia begitu mencintai kita. Karena cintaNya itu, Tuhan selalu peduli terhadap hidup kita. Tuhan tidak mau membiarkan kita celaka dalam hidup ini. Karena itu, Dia selalu melindungi kita dari marabahaya.

Tuhan tidak hanya menganugerahkan hidup ini kepada kita. Tuhan juga menjamin hidup kita. Jaminan itu ditunjukkan dengan memberikan kemampuan-kemampuan kepada kita. Kita mesti gunakan itu untuk mengembangkan dan memajukan diri kita. Kalau kita tidak gunakan kemampuan yang diberikannya kepada kita, berarti kita melalaikan cinta kasihNya kepada kita. Akibatnya, justru kita yang akan mengalami kegagalan dalam hidup ini. Hidup kita menjadi tidak berarti tanpa menggunakan kemampuan yang diberikan Tuhan itu untuk kemajuan diri kita.

Ketika kita menggunakan dengan sebaik-baiknya rahmat Tuhan itu, kita semakin memuliakan Tuhan. Untuk itu, kita butuh ketekunan dalam berusaha. Kita butuh kesetiaan dalam mengembangkan dan memajukan kemampuan-kemampuan itu dalam hidup ini.

Mari kita berusaha untuk senantiasa setia kepada Tuhan, karena Tuhan selalu setia dan mencintai hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

255

Bagikan

09 Desember 2009

Berbagi Kasih


Seorang ibu merasa bangga dan terharu terhadap putri kecilnya. Putrinya itu ia dampingi dan bimbing dengan kasih untuk bertumbuh menjadi anak yang baik. Hasil dari pendampingan itu adalah anak itu semakin peka terhadap lingkungan sekitarnya. Ia mempunyai kasih yang besar dengan memberikan perhatian kepada teman-temannya. Mereka yang mengalami kesulitan dan menderita ia beri perhatian yang besar.

Ibu itu bercerita bahwa waktu putrinya merayakan ulang tahun yang kesembilan, ia merayakan dalam suasana yang sederhana. Ia mau merayakannya dengan teman-temannya.

“Kami sudah sibuk memesan hotel untuk merayakan ulang tahunnya. Semua temannya saya undang. Kami mencari tempat yang luas yang bisa dihadiri banyak undangan. Tetapi putri saya menolak. Ia ingin merayakan ulang tahunnya di panti asuhan bersama teman-temannya. Ia ingin berbagi kegembiraan dengan anak-anak panti asuhan,” kata ibu itu.

Meski heran terhadap sikap anaknya, ibu itu sungguh-sungguh merasa terharu. Anaknya memiliki hati yang mulia. Ia ingin berbagi kebahagiaan dengan teman-temannya di panti asuhan. Kebahagiaan itu juga dirasakan putri berusia sembilan tahun itu. Ia memberikan semua hadiah yang ia peroleh untuk anak-anak panti asuhan. Sungguh, ia mampu berbagi kasih dengan sesamanya.

Kita hidup dalam dunia yang semakin tipis dalam sikap peduli terhadap sesama. Banyak anak jaman ini tumbuh dalam dunianya sendiri. Misalnya, banyak anak menghabiskan begitu banyak waktu di depan playstation. Mereka merasa sungguh-sungguh menemukan kebahagiaan kalau berjam-jam menikmati permainan di video game itu. Mereka tidak peduli bahwa waktu yang mereka buang itu sebenarnya dapat digunakan untuk membangun relasi yang baik dengan sesamanya. Akibatnya, mereka tumbuh menjadi orang-orang yang kurang peduli terhadap sesama di sekitarnya.

Kisah tadi mau mengajak kita semua untuk sadar bahwa memiliki semangat berbagi dengan sesama itu merupakan panggilan hidup kita sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan. Tuhan menghendaki agar kita membagikan kasih kita kepada sesama. Kasih yang kita bagikan itu tidak akan hilang binasa. Justru kasih yang kita bagikan itu memberikan suatu rahmat yang melimpah bagi hidup kita.

Berbagi kasih berarti kita ingin memberikan hidup kita untuk sesama. Kasih itu mengalir melalui perhatian, pelayanan dan sikap bela rasa yang kita berikan untuk sesama kita. Mari kita berusaha untuk selalu memiliki kemampuan untuk berbagi kasih dengan sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

256


Bagikan

08 Desember 2009

Harta Kekayaan Bukan Tujuan Hidup Manusia



Ada sepasang suami istri yang sangat sibuk dengan berbagai usaha mereka. Mereka jarang sekali bertemu di rumah. Mereka juga tidak punya waktu untuk anak-anak mereka. Mereka berprinsip ‘asal ada uang semua akan beres’. Karena itu, anak-anak mereka jarang jumpai. Mereka menyediakan uang saku yang banyak untuk masing-masing anak.

Mereka terus memperluas usaha-usaha mereka di kota-kota lain. Mereka tidak pernah lelah mencari peluang-peluang baru. Mereka tidak pernah menyerah pada tantangan dan kesulitan yang menghadang mereka. Padahal mereka sudah punya segala sesuatu yang mereka butuhkan untuk hidup selama lima puluh tahun lagi.

Suami istri ini memang tidak pernah puas atas apa yang telah mereka miliki. Mereka ingin memiliki barang-barang kebutuhan hidup yang sebanyak-banyaknya. Hidup mereka sudah berkecukupan. Namun mereka masih saja tetap mau mengumpulkan harta kekayaan untuk diri mereka.

Suatu hari mereka diingatkan oleh salah seorang anak mereka yang merasa bosan tinggal di rumah. Anak itu mengatakan bahwa kedua orangtuanya tidak memperhatikan mereka lagi. “Mama, coba pikirkan kami. Kekayaan yang mama dan papa kumpulkan itu tidak lebih berharga dari kami,” kata anak itu kepada mamanya.

Namun sang mama cuek saja. Ia menganggap anaknya itu sudah cukup mendapatkan perhatian melalui uang saku yang semakin banyak setiap bulan itu. Bahkan ia keberatan terhadap kata-kata anaknya itu. Ia tetap jarang berada di rumah bersama anak-anaknya. Harta kekayaan sungguh-sungguh sangat menguasai dirinya. Ia tidak bisa lepas lagi dari kekayaannya itu.

Kelekatan pada harta kekayaan membawa orang jatuh pada menghalalkan segala cara. Demi uang, suami istri bisa mengabaikan tugas utama mereka dalam mendidik anak-anak mereka. Demi uang, mereka bisa meninggalkan rumah dan keluarga dalam waktu yang lama.

Harta kekayaan dapat menyilaukan mata orang. Akibatnya, orang menilai hidup ini dari seberapa banyak harta kekayaan yang dimiliki seseorang. Tentu saja hal ini akan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Ada begitu banyak dimensi dalam pribadi manusia yang dapat hilang hanya karena orang terlalu lekat pada harta kekayaan itu.

Karena itu, sebagai orang beriman kita mesti hati-hati terhadap harta kekayaan itu. Harta mesti digunakan sebagai sarana untuk membantu hidup manusia menjadi lebih baik. Harta kekayaan itu bukan tujuan hidup manusia. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Harta kekayaan dapat membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.

Ada nasihat, ‘Kuasailah harta kekayaan, maka engkau akan menang.’ Mari kita menggunakan harta kekayaan yang kita miliki dengan sebaik-baiknya demi kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

254
Bagikan

07 Desember 2009

Tuhan Mau Mengampuni Kesalahan Manusia

Suatu hari seorang pastor terkejut melihat seorang perempuan memasuki rumahnya. Perempuan itu membawa sejumlah pasir yang masih basah oleh air laut. Ia bertanya, “Tahukah pastor apa ini? Tahukah pastor mengapa saya membawa pasir ini ke sini?”

Pastor itu menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu maksudnya. Ia menatap perempuan dengan pasir di tangannya itu dalam bingung dan diam.

Lantas perempuan itu menjawab sendiri pertanyaannya, “Inilah dosa-dosa saya. Dosa-dosa saya tidak terhitung banyaknya seperti pasir di laut. Bagaimana saya bisa memperoleh pengampunan bagi semua dosa saya?”

Setelah tahu maksudnya, pastor itu tersenyum. Lalu ia berkata, “Sekarang, kembalikan pasir-pasir itu ke pantai. Buatlah gundukan. Lalu duduk dan lihatlah bagaimana ombak datang dan mengikis habis gundukan itu perlahan-lahan tapi pasti. Itulah cara kerjanya pengampunan Tuhan. Belas kasihNYa seluas lautan. Menyesalah sungguh-sungguh, maka Tuhan akan mengampuni engkau.”

Perempuan itu terharu mendengar penjelasan pastor. Ternyata belas kasih Tuhan begitu luar biasa. Dia mengampuni dosa umatNya betapa pun banyak dan besarnya dosa manusia itu.

Ada banyak orang yang merasa bahwa Tuhan akan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada orang yang melakukan banyak dosa. Mereka beranggapan bahwa Tuhan itu sebagai seorang hakim yang kejam yang selalu menjebloskan para penjahat ke dalam penjara. Karena itu, orang merasa sangat takut kepada Tuhan. Orang yang berdosa tidak berani dekat dengan Tuhan.

Kisah tadi menunjukkan bahwa anggapan seperti itu tidak benar. Ternyata Tuhan begitu baik. Tuhan lebih suka mengampuni daripada menghukum mereka yang bersalah. Tuhan lebih suka memberikan jalan keluar bagi para pendosa daripada menutup belas kasihanNya terhadap orang yang berdosa. Bagi Tuhan, lebih baik satu orang berdosa yang bertobat daripada seribu orang yang menganggap dirinya baik dan suci.

Namun Tuhan juga menuntut dari setiap orang hati yang mau kembali kepadaNya. Rahmat pengampunan baru memiliki daya guna yang kuat, ketika orang yang berdosa mengungkapkan pertobatannya dalam hidup yang nyata. Pertobatan itu tidak hanya kata-kata di mulut. Pertobatan itu mesti ditunjukkan dalam perbuatan sehari-hari. Nah, kalau ini terjadi, maka pengampunan dari Tuhan dapat terwujud dengan baik.

Mari kita hidup baik di hadapan Tuhan dan sesama. Mari kita saling mengampuni, karena Tuhan senantiasa mengampuni dosa-dosa yang kita perbuat. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

253

Bagikan

06 Desember 2009

Proses Belajar Terus-menerus



Ada seorang gadis mudah sekali terbakar emosinya. Ia mudah marah tanpa alasan yang jelas. Setiap orang yang ada di dekatnya pasti dimarahinya kalau ia sedang mengalami suatu kesulitan. Ia juga tidak tahu mengapa ia jadi begitu.

Menyadari kondisi dirinya seperti itu, ia berusaha untuk mengatasinya dengan berbagai cara. Ia mendatangi psikolog untuk mengkonsultasikan kondisi emosinya yang tidak stabil itu. Ia meminta nasihat dari teman-temannya yang sebaya. Namun semua itu seolah sia-sia belaka. Emosinya tetap saja mudah sekali terbakar. Ia menjadi galak.

Suatu hari ia masuk ke rumah ibadat. Di sana ia berdoa, “Tuhan, berilah saya kesabaran. Saya tidak ingin hidup saya dipenuhi oleh emosi yang meluap-luap.”

Lama sekali ia berdoa di tempat ibadat itu. Namun ia merasa doanya tidak dikabulkan oleh Tuhan. Ia marah-marah kepada Tuhan. Ia sewot. Kenapa Tuhan tidak mau mendengarkan jeritan batinnya?

Setelah keluar dari rumah ibadat itu, ia bertemu dengan seorang pengemis yang meminta sedekah. Gadis itu semakin sewot. Melihat gadis yang sedang marah itu, pengemis itu tersenyum. Lalu ia berkata, “Hai gadis muda, Anda minta diberi kesabaran oleh Tuhan. Ingat, kesabaran itu hasil dari kesulitan. Kesabaran itu tidak dihadiahkan begitu saja kepadamu. Kamu harus mempelajari kesabaran itu.”

Mendengar kata-kata pengemis itu, gadis itu menjadi tenang. Ia menatap mata pengemis itu dalam-dalam. Sedikit demi sedikit ia mulai menyadari bahwa selama ini ia tidak pernah belajar untuk sabar. Ia selalu ingin memiliki kesabaran itu, namun ia tidak mau masuk dalam proses kesabaran itu.

Ada orang yang beranggapan bahwa mereka dilahirkan secara demikian. Tidak ada yang dapat diubah lagi dari hidup mereka. Karena itu, mereka menjadi orang-orang tidak mudah untuk belajar sesuatu yang baru. Mereka tidak mau berproses untuk menjadi lebih baik. Tentu anggapan seperti ini keliru. Mengapa? Karena manusia itu makhluk yang mesti selalu bertumbuh dalam berbagai aspek kehidupan.

Orang yang sabar, misalnya, itu tidak tiba-tiba sabar. Ia mengalami proses dalam mencapai kesabaran itu. Dalam proses itu orang mengalami kesulitan-kesulitan yang mesti ia lewati. Kalau orang sungguh-sungguh ingin memiliki kesabaran dalam hidupnya, ia mesti berusaha terus-menerus. Kesulitan-kesulitan itu menjadi kesempatan baginya untuk memurnikan cita-citanya untuk menjadi orang yang sabar.

Proses belajar untuk menjadi sabar itu mesti dinikmati. Orang yang ingin berhasil dalam proses belajar ini mesti berani berkorban. Karena itu, mari kita masuk dalam proses belajar kehidupan yang berjalan terus-menerus. Dengan demikian kita menjadi orang-orang yang dapat meraih apa yang kita cita-citakan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

252

Bagikan

05 Desember 2009

Menghidupi Kebaikan

Suatu hari seorang anak muda berdoa kepada Tuhan untuk menyingkirkan penderitaan daripadanya. Menurutnya, kalau Tuhan menyingkirkan penderitaan itu, ia dapat menjalani hidup ini dengan baik. Ia tidak perlu takut mengkonsumsi makanan dengan lemak tinggi. Ia tidak usah kuatir kalau nanti mengkonsumi narkoba bahkan dengan dosis tinggi.

Keinginan jahat seperti ini diketahui oleh Tuhan. Maka Tuhan menjawab, “Penderitaan itu bukan untuk Kusingkirkan. Tetapi penderitaan itu ada untuk kau kalahkan.”

Anak muda itu terkejut mendengar jawaban Tuhan. Ia menjadi bingung. Padahal baginya, Tuhan akan mengabulkan setiap permohonan yang diajukan kepadaNya. Ia tidak habis pikir, mengapa Tuhan tega memberi tantangan yang begitu besar kepadanya? Padahal ia ingin hidup bahagia. Ia ingin menikmati masa mudanya. Ia tidak mau penderitaan menimpanya di usia yang begitu muda.

Karena itu, ia agak kecewa terhadap Tuhan. Dalam hatinya, ia merasa enggan untuk berdoa memohon pertolongan dari Tuhan lagi. Setelah beberapa waktu lamanya baru anak muda itu sadar bahwa sebenarnya ia terlalu mengada-ada dengan permohonan itu. Tuhan tahu maksud jahatnya terhadap dirinya sendiri. Tuhan tidak ingin membinasakan hidupnya.

Banyak orang salah mengerti tentang kebaikan Tuhan. Mereka menyangka bahwa apa yang mereka minta mesti dikabulkan oleh Tuhan. Bahkan meminta sesuatu yang jahat untuk dirinya sendiri.

Tuhan tidak menghendaki penderitaan dan kematian bagi ciptaanNya. Yang dikehendaki Tuhan adalah kehidupan yang bahagia. Bahkan Tuhan tidak pernah menghendaki satu pun ciptaanNya hilang musnah. Yang Dia kehendaki adalah seluruh ciptaanNya kembali kepadaNya.

Karena itu, Tuhan menyediakan surga bagi setiap orang yang menjadi ciptaanNya. Menurut ajaran agama kita masing-masing, orang yang boleh masuk surga itu orang yang suci hatinya. Orang yang tidak melakukan kejahatan atas dirinya sendiri maupun diri orang lain.

Untuk itu, perlu ada pertobatan selama masih hidup di dunia ini. Orang mesti mengarahkan hidupnya kepada kebaikan. Orang mesti melaksanakan kebaikan dalam hidupnya. Orang tidak hanya berkata-kata tentang kebaikan, tetapi mesti juga menghidupi kebaikan itu.

Mari kita berusaha untuk hidup baik di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan demikian kebahagiaan menjadi bagian dari hidup kita juga. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

251


Bagikan

04 Desember 2009

Berkorban itu membahagiakan

Siang itu perempuan tua renta itu menyusuri aspal panas. Sebuah bakul seberat tujuh kilogram lengket di punggungnya. Sandal jepit yang mengalasi telapaknya menghindarkan perempuan tua itu dari pantulan panas dari aspal itu. Ia terus berjalan. Butir-butir keringat mengucur membasahi wajahnya.

Meski sudah tua, ia mesti bekerja untuk menghidupi dirinya dan seorang cucunya. Cucu laki-lakinya itu sudah enam tahun ditinggal mati oleh kedua orangtuanya. Mereka mengalami kecelakaan yang tragis di jalan raya. Perempuan tua itu kemudian menjadi tumpuan cucu satu-satunya itu.

Padi-pagi buta perempuan itu meninggalkan rumahnya. Ia berbelanja di pasar untuk dijual kembali di rumah yang juga berfungsi sebagai kios. Dengan cara itu, ia dapat menghidupi cucu dan dirinya sendiri. “Saya tidak tahu sampai kapan saya akan bekerja. Selama saya masih kuat, saya tetap bekerja. Saya tidak ingin melihat cucu saya mati kelaparan,” kata perempuan itu suatu ketika.

Tekadnya untuk membesarkan cucunya itu sangat tinggi. Ia tidak peduli begitu banyak tantangan dan kesulitan yang mesti ia hadapi. Ia tetap setia untuk mengurus cucunya itu. Ia menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Ia mendapatkan kepuasan batin dengan cara seperti itu.

Sebagai balasannya, cucunya sangat menyayanginya. Ia belajar dengan rajin. Ia menjadi juara di kelasnya. Ia pun selalu taat dan setia kepada neneknya. Dengan cara itu, ia mau mengungkapkan kasih sayang dan rasa terima kasihnya atas jerih payah neneknya.

Hidup kita ini dipenuhi dengan korban dan kasih dari sesama yang ada di sekitar kita. Ada orang merasa bahwa korban itu menjadi beban hidup yang begitu berat. Karena itu, korban yang ia tunjukkan menjadi suatu keterpaksaan belaka. Ia merasa berat untuk menyelesaikan tugas-tugas atau pekerjaan yang mesti ia tanggung. Akibatnya, orang tidak mengalami kebahagiaan atas korban yang ia persembahkan. Orang seperti ini biasanya banyak mengeluh ketika ia mesti berkorban.

Namun ada orang yang memiliki hati yang begitu terbuka untuk berkorban bagi sesamanya. Salah satu contoh adalah perempuan tua dalam kisah tadi. Ia mengalami sukacita dalam mengabdikan diri bagi cucunya. Ia mengalami betapa bahagianya hidup ini meski ia mesti bekerja keras untuk menghidupi cucunya.

Orang yang memiliki kerelaan untuk berkorban biasanya mengalami sukacita dalam hidupnya. Ia tidak biasa mengeluh atas korban yang ia berikan. Bahkan ia menemukan rahmat istimewa melalui korban itu. Ia bahagia karena ia menemukan dirinya dalam melakukan korban bagi sesama. Ia menemukan diri sebagai orang yang dikasihi oleh Tuhan, sehingga ia boleh digunakan oleh Tuhan untuk mencintai sesama.

Anda mau berkorban untuk sesama? Begitu banyak orang membutuhkan kasih dan perhatian dari Anda. Bersediakah Anda berkorban untuk mereka? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



Bagikan

03 Desember 2009

Tuhan Berbicara melalui Tanda-tanda


Sebelum tsunami menghantam Thailand Selatan pada Desember 2004 lalu, gajah-gajah sudah merasakan ancaman terhadap hidup mereka. Sensitivitas gajah-gajah itu kemudian menyelamatkan belasan turis dari bahaya.

Dang Salangan yang menyediakan gajah tunggangan bagi para turis itu terheran-heran. Ia tidak habis pikir mengapa gajah-gajah itu mengeluarkan suara-suara tangisan. Ia berkata, “Saya terkejut dan heran karena belasan gajah itu tidak pernah menangis sebelumnya.”

Istri dari Dang Salangan mengaku bahwa suara tangisan itu terjadi pertama kali bersamaan dengan terjadinya gempa dasar laut berkekuatan dahsyat yang mengakibatkan tsunami itu. Ia juga terheran-heran. Namun kemudian ia mulai menangkap tanda-tanda alam. Ia pun berusaha untuk menjauhkan diri dari pantai itu. Ia diselamatkan oleh suara tangisan gajah-gajah itu.

Menurut Dang Salangan, gajah-gajah itu kemudian tenang. Tetapi kembali mereka mengeluarkan suara tangisan dan tidak bisa lagi didiamkan. Mereka terus-menerus menangis. Mereka tidak mau ditenangkan. Bahkan mereka berlari ke gunung. Ketika berlari, gajah-gajah itu membawa para turis di punggung. Mereka membawa para turis itu untuk menjauhi pantai yang menjadi lokasi kematian bagi 3.800 orang akibat tsunami itu. Ombak yang dibawa tsunami berhenti tidak jauh dari lokasi gajah-gajah itu berhenti. Nyawa belasan turis pun selamat.

Kisah tadi cukup mencekam. Coba Anda bayangkan Anda sedang menghadapi bahaya yang mengancam nyawa, tetapi tidak ada bantuan sama sekali. Pasti Anda takut. Kaki Anda pasti bergetar. Wajah Anda pasti pucat pasi. Anda tidak punya harapan untuk hidup.

Tetapi coba Anda bayangkan ada tanda-tanda alam yang menghampiri Anda. Di saat seperti itu mungkin Anda masih sangat panik. Anda bingung. Anda cemas. Tetapi tanda-tanda alam itu terus mengganggu Anda. Bagaimana reaksi Anda?

Dalam hidup ini sering orang tidak mudah menangkap tanda-tanda di sekitar mereka. Padahl tanda-tanda itu memberi suatu petunjuk bagi manusia untuk segera menghindari suatu bahaya yang mengancam hidup. Tanda-tanda itu dapat membantu manusia untuk keluar dari kesulitan hidup. Tanda-tanda itu menolong manusia untuk peka terhadap situasi di sekitarnya.

Tuhan juga menggunakan tanda-tanda untuk menyelamatkan orang yang berada dalam kesulitan atau bahaya. Karena itu, orang mesti mampu menangkap tanda-tanda itu. Kalau orang tidak mampu menangkap tanda-tanda itu, bahaya lebih besar akan menimpa dirinya. Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mampu memperhatikan tanda-tanda di sekitar kita. Tuhan berbicara melalui tanda-tanda itu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

Bagikan

02 Desember 2009

Melibatkan Tuhan dalam Hidup Kita

Melibatkan Tuhan dalam Hidup Kita

Seorang ibu menderita kanker indung telur stadium empat. Tiga setengah tahun lalu dokter mengatakan bahwa ia hanya punya waktu empat bulan lagi untuk hidup. Dokter tidak berani mengadakan operasi pengangkatan rahim. Untuk sembuh kembali, ia mesti menjalani kemoterapi. Setelah menjalani kemoterapi sebanyak enam kali, kanker itu hilang. Kini ia masih hidup.


Hal yang sangat ajaib bagi ibu itu adalah saat-saat menghadapi perjalanan hidup yang tidak menentu itu. Kadang-kadang ia merasa begitu kuat untuk menghadapi penyakitnya itu. Namun kadang-kadang pula ia merasa tidak memiliki kekuatan. Ia merasa lemas, ketika mendengar sesama temannya yang menjalani kemoteraspi satu per satu meninggal dunia.


Ia berkata, “Saya tidak bisa mengerti mengapa saya masih hidup. Padahal banyak teman-teman saya yang menjalani kemo dengan saya meninggal dunia. Tetapi satu hal yang pasti adalah saya selalu berdoa kepada Tuhan. Saya yakin kekuatan doa itu telah memberi semangat kepada saya.”


Selama menjalani proses penyembuhan atas penyakitnya, ibu ini selalu menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Ia pasrah kepada Tuhan. Apa pun yang akan terjadi atas dirinya, ia serahkan seluruhnya kepada Tuhan. Baginya, hanya Tuhan yang dapat mengatasi penyakitnya.


Ia berkata, “Saya yakin, Tuhan masih mencintai saya. Tuhan tidak pernah meninggalkan saya berjuang sendirian menghadapi penyakit ini. Terlalu berat kalau saya hanya menghadapinya sendiri.” Berkat keyakinannya itu, ia sembuh total dari kanker ganas itu.


Kisah seperti ini bagai suatu kisah khayalan. Namun ini sungguh-sungguh terjadi dalam hidup manusia. Ternyata Tuhan mau intervensi ke dalam perjalanan hidup manusia. Tuhan tidak membiarkan manusia menderita seorang diri. Tuhan mau melibatkan diri dalam suka dan duka hidup manusia.


Kesadaran akan hal ini sering kali kurang. Orang lebih mendahulukan kemampuannya, kekuatannya. Setelah orang mengalami jalan buntu, baru mereka berseru-seru kepada Tuhan. Pantaskah sikap demikian sebagai orang-orang yang mengimani Tuhan?


Untuk itu, sebagai orang beriman kita diajak untuk senantiasa melibatkan Tuhan dalam hidup kita sejak dini. Janganlah ketika kita mengalami kesulitan baru kita berseru minta tolong kepada Tuhan. Sejak awal kita mesti berusaha untuk selalu hidup bersama Tuhan. Sebenarnya Tuhan tidak jauh dari hidup kita. Ia ada di dalam hati kita. Ia ada di dalam saku kita. Ia ada di dalam dompet kita. Bukankah kita percaya bahwa Tuhan itu ada di mana-mana?


Mari kita berserah diri kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Dia selalu menjadi bagian dalam perjuangan hidup kita. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.