Pages

31 Juli 2010

Apa dan Siapakah Pengendali Hidupku?

Saudara-saudari yang dicintai Tuhan,
Inspirasi permenungan Minggu biasa XVIII adalah Injil Lukas 12:13-21. Perikopa ini mengajak kita untuk melihat bagaimana sikap kita terhadap harta benda. ”Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku,” pinta salah seorang dari banyak orang kepada Tuhan Yesus (ayat 13). Permohonan ini adalah hal yang wajar karena ada kebiasaan apabila seseorang menghadapi suatu persoalan di dalam hidupnya maka ia akan menghadap “orang yang dituakan”, guru, atau penghulu adat untuk mendapatkan jawaban. Mereka adalah pribadi yang memiliki “kewibawaan”. Wibawa Tuhan Yesus bersumber dari martabatNya sebagai Anak Allah. Pertanyaan muncul : mengapa Tuhan Yesus tidak mengabulkan permintaan orang yang bertanya kepada-Nya? Tuhan Yesus melihat kedalaman hati. Di balik pertanyaan ada sikap tamak, serakah, kikir.

”Kata-Nya lagi kepada mereka : ”Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seseorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaan itu” (ayat 15). Sikap tamak, serakah akan membuat seseorang kehilangan kepekaan akan hal terpenting di dalam hidupnya. Sikap ini juga akan menjadikan seseorang hidup dengan dirinya sendiri dan menutup diri untuk ”berbagi” dengan sesamanya. Hidup yang dikuasai dan dikendalikan oleh sikap tamak membuat seseorang ”miskin saudara dan miskin akan tujuan hidup”. Hidup terasa hambar dan kosong, merasa asing akan hidupnya sendiri. Orang tamak beranggapan bahwa harta benda yang akan membuat hidupnya bahagia. Tuhan Yesus mengajak kita untuk kaya di hadapan Allah, “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya, jikalau tidak kaya di hadapan Allah” (ayat 21).

Tuhan Yesus tidak mencela orang yang memiliki harta benda tetapi mengajak untuk menemukan Pribadi yang memberikan harta benda. Proses penemuan ini akan mendorong kita untuk bersyukur atas kelimpahan rahmat yang kita terima. Rasa syukur akan mendorong kita untuk membuka hati dan mengulurkan tangan kepada sesama. Hidup akan semakin bermakna apabila kita syukuri dan bagikan kepada sesama.

Salam dan berkat.

L. Setyo Antoro, SCJ

Juga bisa dibaca di: http://www.st-stefanus.or.id



Bagikan

Membiarkan Telinga Mengalami Keheningan


Selama satu bulan seorang gadis menutup telinganya dengan kapas. Ia ingin memusatkan perhatiannya pada sekolahnya. Karena itu, ia tidak mau mendengarkan hal-hal lain. Ia hanya mau memberi perhatian yang lebih pada pelajaran-pelajarannya. Tambahan lagi, gosip-gosip yang belakangan menerpa dirinya sangat mengganggu perhatiannya. Ia tidak dapat berkonsentrasi pada pelajaran-pelajarannya. Hal-hal yang paling utama yang mesti ia lakukan menjadi terbengkalai.

Ia menjalani keheningan telinga. Caranya sangat sederhana, yaitu menutup telinganya dengan kapas. Ia tidak terlalu banyak mendengar suara-suara yang membuat perhatiannya terbagi-bagi. Dengan cara ini, gadis itu dapat mencapai prestasi yang tinggi di kelasnya. Ia dapat meningkatkan pengetahuannya. Menutup telinga untuk waktu satu bulan itu ternyata sangat bermanfaat baginya.

Tentang caranya yang aneh ini, ia berkata, ”Saya mengalami betapa hebatnya menutup telinga kita terhadap suara-suara yang liar. Yang masuk ke dalam telinga kita hanya suara-suara yang menyejukkan hati. Ternyata suara-suara itu sudah disaring oleh kapas yang menutup telinga itu.”

Percekcokan sering terjadi dalam hidup kita, karena suara-suara yang masuk ke telinga kita. Suara yang kurang sedap didengar dapat menjadi pemicu perseteruan. Orang yang sangat peduli terhadap suara-suara yang kurang sedap akan mengalami hidup yang kurang tenteram. Ia menjadi gelisah. Ia menjadi orang yang enggan untuk melakukan berbagai hal yang besar bagi kehidupan banyak orang. Orang seperti ini juga dapat saja mudah kecewa oleh situasi yang ada.

Kisah gadis tadi mau mengatakan kepada kita bahwa ada saat-saat di mana kita melakukan keheningan telinga. Tujuannya agar telinga kita dibersihkan dari segala bentuk kotoran. Dengan demikian, kita dapat mendengar dengan baik dan jernih tentang situasi hidup di sekitar kita. Kita dapat menemukan suatu hidup yang damai dan tenteram bersama sesama kita.

Mampukah Anda menutup telinga Anda terhadap setiap gosip yang dapat menghancurkan kehidupan Anda? Dapatkah Anda membuat suatu komitmen untuk menjauhkan diri Anda dari omongan yang jelek dari sesamamu? Dapakah Anda mengambil langkah yang baik untuk membersihkan diri Anda dari setiap bentuk pembicaraan yang tidak menyenangkan?

Sebagai orang beriman, tentu Anda mampu menutup telinga Anda terhadap gosip atau pembicaraan yang tidak mengenakkan tentang diri Anda atau sesama Anda. Caranya mudah! Heningkan telinga Anda. Dengarkan Tuhan yang berbicara melalui Kitab Suci Anda. Biarkan Tuhan berbicara tentang kasih, pengampunan dan pengharapan. Biarkan Tuhan menyapa Anda dengan lemah lembut tentang kasih dan kesetiaan. Biarkan Tuhan menyucikan diri Anda. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

455
Bagikan

30 Juli 2010

Menutup Mata Merasakan Kehadiran Tuhan


Suatu pagi seorang ibu terduduk diam di ruang tengah rumahnya. Matanya terpejam. Mulutnya komat-kamit. Tampak ia sangat merasakan suasana damai yang begitu indah. Ketika salah seorang anaknya melihat hal tersebut, ia terkejut. Ia bertanya, “Ada apa, mama? Mama sakit?”

Dengan tenang, sang ibu berkata, “Nak, mama ingin merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup mama dan hidup kita.”

Anak itu agak bingung. Ia bertanya lagi, “Tuhan kan tidak bisa kita lihat, mama. Bagaimana mama bisa merasakan kehadiran Tuhan?”

Sambil tersenyum, sang ibu menjawab, “Nak, Tuhan memang tidak bisa kita lihat. Tetapi kita dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Karena itu, mama memejamkan mata. Mama membiarkan Tuhan masuk dan tinggal dalam hati mama. Mama mau mengambil waktu dengan hening.”

Sang anak mulai mengerti. Namun ia masih tetap menyelidik. Ia bertanya, “Dengan memejamkan mata itu, apa mama juga ingin melupakan kesalahan-kesalahan kami?”

Ibu itu dengan sabar menjawab, “Benar, anakku. Mama ingin merasakan keindahan dari kasih Tuhan kepada kita semua. Tuhan begitu baik kepada kita. Tuhan tidak mengingat dosa dan kesalahan kita. Maka mama juga mau melupakan semua dosa dan kesalahan semua orang.”

Banyak orang tidak sabar menghadapi dosa dan kesalahan sesamanya. Dengan gampang orang mengadili sesamanya yang melakukan dosa dan kesalahan itu. Orang kurang sadar bahwa setiap orang pernah melakukan dosa dan kesalahan. Karena itu, orang tidak mudah melupakan dosa dan kesalahan sesamanya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa dengan memejamkan mata, kita ingin hadir bersama Tuhan dalam keheningan. Kita mau menimba semangat dari Tuhan, yaitu semangat yang tidak mengingat dosa dan kesalahan manusia. Tuhan begitu baik kepada manusia. Tuhan sangat mudah mengampuni dosa dan kesalahan manusia. Keheningan mata ini membantu kita untuk mudah mengasihi sesama dengan mau melupakan dosa dan kesalahan mereka.

Dengan cara ini, kita mau mengatakan bahwa semangat Tuhan yang mudah mengampuni itu ingin menjadi bagian dalam hidup kita. Kita ingin mentransfer semangat Tuhan itu untuk membahagiakan Tuhan. Kita ingin agar semakin banyak orang dapat mengalami kasih Tuhan melalui hidup kita. Dengan demikian, dunia ini semakin menjadi tempat yang aman dan damai bagi hidup kita. Dunia ini dapat menjadi sarana keselamatan bagi manusia. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


454

Bagikan

29 Juli 2010

Membuka Diri bagi Kehadiran Tuhan



Ada seorang yang sangat pandai dan dikenal sangat saleh dalam hal agama. Ia diundang ke mana-mana untuk berbicara tentang Tuhan dalam hidup manusia. Dalam salah satu pertemuan, seorang cerdik pandai bertanya kepadanya, “Anda banyak berbicara tentang Tuhan. Alangkah dekatnya Anda dengan Tuhan!”

Sambil tersenyum, orang pandai itu berkata, “Anda benar. Saya berbicara tentang Tuhan. Tetapi saya berbicara terlalu sedikit kepada Tuhan.”

Orang cerdik pandai itu tersenyum. Ia mengerti maksud orang pandai itu. Ia tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang yang pandai dan dianggap saleh lupa untuk berbicara dengan Tuhan.

Orang pandai dan saleh itu berkata, “Saya mungkin mengutarakan begitu banyak kata dan banyak hal baik. Tetapi jauh di lubuk hati saya tidak punya waktu untuk mendengarkan. Padahal di dalam keheningan hatilah Tuhan berbicara kepada kita.”

Sejak itu, orang pandai dan saleh itu mulai meluangkan banyak waktu untuk berbicara kepada Tuhan. Ia membangun relasi yang lebih dekat dan mendalam dengan Tuhan. Hanya dengan cara itu, ia dapat mengenal Tuhan secara lebih mendalam. Ia berusaha untuk berbicara tentang Tuhan dari pengalamannya yang dekat dengan Tuhan.

Pengetahuan kita tentang Tuhan mesti diimbangi oleh kedekatan kita dengan Tuhan. Artinya, kita mesti membangun suatu relasi yang dekat dan baik dengan Tuhan. Hanya dengan cara ini, kita sungguh-sungguh dapat mengenal apa kehendak Tuhan bagi hidup kita.

Kisah di atas mau mengatakan bahwa tahu tentang Tuhan saja belum cukup bagi hidup manusia. Orang mesti mengambil waktu secara khusus untuk berbicara dengan Tuhan. Soalnya adalah kita tidak pernah bisa melihat Tuhan. Yang bisa kita tangkap adalah kehadiran Tuhan yang secara tidak nyata dalam hidup kita.

Untuk itu, kita mesti berani untuk memasuki suasana hening. Orang jaman sekarang sulit memasuki suasana hening. Orang dikuasai oleh suasana bising. Orang hidup dalam suasana yang ribet oleh berbagai hal. Misalnya, kesibukan pekerjaan yang membuat orang tidak bisa mengambil waktu untuk hening. Orang hanya memikirkan kesibukan bekerja itu. Akibatnya, ketika orang mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidup, orang sulit untuk mendengarkan apa kehendak Tuhan bagi dirinya.

Karena itu, kita mesti berani meninggalkan hal-hal yang mengganggu relasi kita dengan Tuhan. Kita mesti sadar bahwa Tuhan tetap hadir dalam diri kita. Tuhan ingin agar kita juga peduli terhadap kehadiran-Nya itu. Kehadiran Tuhan itu sebenarnya lebih menguntungkan kita. Mengapa? Karena Tuhan selalu menghendaki kita mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan ingin terlibat dalam setiap persoalan hidup kita. Kalau kita sungguh-sungguh mau terbuka kepada Tuhan, kita akan mengalami damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

453


Bagikan

28 Juli 2010

Membantu Sesama untuk Berubah

Seorang bapak memberi pengajaran yang sangat baik kepada anaknya yang suka ngutil. Ia memberi anaknya itu sebuah buku harian. Ia meminta anaknya untuk setiap hari menulis apa saja yang ia kutil. Tujuannya agar anaknya perlahan-lahan sembuh dari kebiasaan ngutil itu.

Awalnya anaknya merasa sangat kesulitan untuk menuliskan apa saja yang ia kutil. Namun ia mulai setelah dua hari ia menerima buku harian itu. Tangannya gemetar menuliskan apa yang ia kutil dari laci ayahnya. Namun ia berusaha untuk menorehkan pena di atas buku hariannya itu. Ia berhasil. Ia tersenyum, meski ia agak cemas kalau-kalau nanti ayahnya tahu apa yang telah ia lakukan.

Malam harinya, sang ayah bertanya, “Nak, kamu tulis apa yang kamu kutil hari ini?”

Anak itu menjawab, “Ya, ayah. Saya sudah tulis. Hati saya terasa tidak aman. Saya sedih, ayah.”

Sang ayah tersenyum. Ia memberikan dukungan kepada anaknya. Ia berkata, “Tidak apa-apa. Kamu harus tetap berani untuk melewati proses ini. Ayah yakin, kamu akan berhasil menghentikan kebiasaanmu itu.”

Anak itu tersenyum memandang ayahnya. Hari demi hari ia menulis apa yang ia kutil. Hasilnya, dua bulan kemudian ia berhenti mengutil. Ia menjadi anak yang baik. Pikirannya tidak tertuju lagi pada ngutil. Buku harian itu menjadi suatu kenangan yang indah bagi perubahan dirinya.

Kesadaran seseorang untuk mengubah kebiasaan buruknya dapat dibantu dengan berbagai cara. Kisah tadi menunjukkan suatu cara pendampingan sang ayah terhadap anaknya. Sang memberikan kesadaran itu kepada anaknya. Sementara sang anak ingin mengalami perubahan dari kebiasaannya. Untuk itu, ia berjuang meski ia mesti menuliskan kebiasaan buruknya itu.

Membantu orang untuk berubah merupakan suatu rahmat. Orang yang dapat mengalami perubahan itu akan merasakan kasih yang luar biasa. Kalau orang tersebut sungguh-sungguh mau membuka diri untuk perubahan dalam dirinya, ia akan menemukan perubahan diri itu sebagai suatu sukacita yang mendalam. Ia boleh terlepas dari kebiasaan buruknya.

Sebagai orang beriman, kita memiliki tugas untuk membantu sesama mengalami perubahan dan pertobatan dalam hidupnya. Hal ini akan membantu orang untuk mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya. Karena itu, kita mesti berusaha terus-menerus untuk membantu sesama yang berada dalam suasana kurang baik. Ketika kita membantunya dan berhasil, sesama kita itu menjadi bahagia. Mari kita terus-menerus berusaha untuk membantu sesama, agar mengalami sukacita dan damai dalam hidup. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

452


Bagikan

27 Juli 2010

Memberi Kesempatan untuk Mengalami Kasih Tuhan

Suatu hari seorang bapak menghukum anaknya dengan sangat sadis. Ia mengikat kedua tangan anaknya itu dengan plastik. Lantas ia membakar plastik itu. Anaknya menjerit ketakutan. Air mata membasahi wajahnya yang hitam manis itu. Ia melompat-lompat untuk melepaskan diri dari rasa sakit yang sangat mendalam. Namun sang ayah tidak peduli. Dengan wajah yang seram, ia bahkan menampar pipi anak gadisnya itu.

Dengan kasar ia berkata, “Orang yang mencuri harus dihukum dengan keras. Bahkan harus dipotong tangannya. Tidak boleh menangis. Kamu harus menanggung akibat perbuatanmu sendiri.”

Berkali-kali anak itu berteriak memohon ampun. Ia menjerit kesakitan. Tetapi tiada satu kata maaf pun keluar dari mulut sang ayah yang begitu dicintainya itu. Begitu plastik itu putus, karena terbakar api, anak itu langsung mencari air untuk mencelupkan tangannya. Ia berhasil. Namun tangannya terluka oleh api. Ia sangat menderita. Ia menjadi lemas melihat dua jari di tangan kanannya yang tidak bisa digerakkannya.

Sambil menangis, ia berkata, “Tuhan, kenapa semua ini mesti terjadi atas diri saya? Saya memang bersalah telah mencuri di warung tetangga. Tetapi kenapa tidak ada ampun sedikit pun buatku?”

Kisah nyata ini merupakan kisah tragis anak manusia. Manusia diberi kemampuan untuk berpikir. Namun manusia lebih dikuasai oleh emosi seaat. Manusia salah membuat suatu pendekatan terhadap suatu perbuatan. Mungkin orang kalap, karena tidak ingin kehilangan muka. Orang tidak mau malu.

Balas dendam menjadi andalan dalam hidup. Kalau situasi ini selalu terjadi dalam hidup manusia, dunia ini akan menjadi suatu medan pertarungan tanpa henti. Yang tumbuh dan berkembang dalam hidup adalah rasa benci dan dendam.

Semestinya sang bapak lebih menahan dirinya. Semestinya ia mampu mengarahkan anak gadisnya untuk bertobat. Semestinya ia dapat menerima kenyataan atas apa yang telah terjadi. Beranjak dari sikap menerima itu, ia dapat membawa anak gadisnya itu ke arah yang lebih baik. Yang telah ia lakukan itu justru hanya meninggalkan trauma yang mengganggu pertumbuhan sang anak. Setiap kali ia mengingat peristiwa itu, ia akan merasakan suatu kepahitan dalam dirinya. Ia merasa rendah diri. Ia tidak dapat bertumbuh dan berkembang secara maksimal dalam hidupnya.

Berhadapan dengan situasi seperti ini, apa yang mesti dilakukan oleh orang beriman? Orang beriman mesti berani mengambil langkah untuk mengampuni sesama yang berbuat salah. Dengan mengampuni, kita menerima kembali orang itu ke dalam hati dan budi kita. Kita memberi kesempatan kepadanya untuk dapat mengalami kasih Tuhan dalam hidupnya. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih bermakna. Hidup ini menjadi sukacita dan damai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

451

Bagikan

26 Juli 2010

Berusaha Memberikan Dukungan kepada Sesama



Ada seorang bapak yang selalu menilai pekerjaan anaknya dengan angka lima. Setiap pekerjaan yang baik dan menakjubkan yang dilakukan anaknya tidak pernah mendapat tepuk tangan dari sang bapak. Tidak ada jempol yang diangkat sang bapak untuk prestasi-prestasi yang diraih sang anak.

Namun sang anak tidak pernah patah semangat. Ia tetap berjuang. Ia tidak menghiraukan tingkah laku ayahnya. Ia terus-menerus mempelajari ilmu-ilmu yang digemarinya. Prestasi demi prestasi ia raih. Ia menjadi anak yang sangat pandai di kelasnya.

Ketika ditanya tentang dukungan ayahnya, anak itu menjawab, “Saya tahu ayah saya mendukung saya dengan caranya sendiri. Ayah sengaja memacu saya dengan memberi saya nilai yang rendah. Tidak apa-apa. Saya tidak patah semangat. Saya tetap berjuang. Saya bersyukur, ayah saya masih mendukung saya dengan caranya sendiri.”

Setiap orang mengharapkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Setiap orang ingin didukung dengan baik. Orang ingin diberi nilai yang baik. Apalagi penilaian itu datang dari orang-orang yang terdekat dalam keluarganya. Penilaian yang baik itu sungguh memiliki makna yang mendalam.

Karena itu, orang diharapkan memiliki sikap baik hati terhadap sesamanya. Orang mesti berani memberikan penilaian yang obyektif terhadap setiap prestasi yang diraih oleh sesamanya. Dengan begitu, penilaian itu dapat membantu sesama untuk bertumbuh dan berkembang dalam hidupnya. Suatu penilaian yang baik tentu akan membantu orang untuk semakin bergairah dalam hidupnya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa penilaian terhadap seseorang tidak selamanya baik. Namun penilaian yang kurang baik itu ternyata dapat memacu seseorang untuk bertumbuh dan berkembang dengan sangat efisien. Orang menjadi tahan uji. Orang dapat menjadi semakin giat untuk meraih kesuksesan dalam hidupnya. Hal ini bisa terjadi kalau orang mampu melihat suatu penilaian negatif dari sudut pandang positif.

Sebagai orang beriman, kita diharapkan untuk senantiasa memberikan dukungan yang baik kepada sesama kita. Dukungan itu membantu sesama untuk bertumbuh dan berkembang dengan baik dalam hidupnya.

Mari kita berusaha untuk memberikan dukungan kepada sesama kita, terutama sesama yang sedang mengalami dukacita dan kegagalan dalam hidupnya. Dengan demikian, sesama tersebut dapat menemukan kekuatan untuk menjalani hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


450

Bagikan

25 Juli 2010

Memberi dengan Hati yang Tulus

Suatu hari seorang pemuda menemukan sejumlah orang miskin yang sangat menderita. Ia merasa terpukul atas kondisi tersebut. Bagaimana mungkin di sebuah negara yang makmur ini ternyata masih ada banyak orang yang menderita. Pemuda itu menyaksikan orang-orang itu menggigil, karena menahan lapar. Mereka mengerang-erang kesakitan, karena luka-luka bernanah yang tak terobati.

Lantas pemuda itu meninggalkan orang-orang itu. Ia tidak tahan melihat penderitaan mereka. Namun ia kembali lagi kepada mereka dengan sejumlah makanan, minuman dan obat-obatan. Ia memberi mereka makan. Ia mengobati luka-luka mereka. Beberapa saat kemudian orang-orang itu mulai berhenti menggigil. Kaki-kaki mereka pun mulai kuat untuk melangkah. Mereka mulai tersenyum.

Uluran kasih dari sesama mampu meringankan penderitaan. Orang-orang itu pun boleh menikmati sesaat sukacita. Mereka boleh mengalami indahnya kasih Tuhan melalui tangan-tangan yang dengan tulus memberi bantuan. Bagi mereka, itulah saat yang paling indah dalam hidup mereka. Suatu saat yang telah memberi mereka kesegaran raga. Saat di mana mereka boleh mengatakan bahwa Tuhan masih ada bersama mereka.

Ada begitu banyak penderitaan di dunia ini. Orang mengalami penderitaan materiil seperti tidak punya rumah yang layak, berbagai macam penyakit dan kelaparan. Mereka berjuang untuk keluar dari penderitaan itu. Namun sering terjadi kebuntuan dalam hidup mereka. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena ada ketidakpedulian dari sesama manusia. Ada hati manusia yang tertutup begitu rapat oleh penderitaan sesamanya.

Tambahan lagi ada orang-orang yang tamak dan serakah. Orang-orang seperti ini enggan memberi sedikit dari kepunyaannya untuk sesamanya. Lebih baik mereka menyimpannya untuk diri mereka sendiri daripada mesti memberikannya untuk orang-orang yang tidak mereka kenal.

Karena itu, sedikit pemberian akan sangat bernilai bagi hidup manusia yang mengalami penderitaan itu. Seteguk air atau segenggam nasi akan sangat berharga bagi seorang penderita lapar. Akan ada sukacita yang begitu besar, ketika orang memberi dengan tulus mereka yang membutuhkan makanan.

Sebagai orang beriman, kita semua memiliki tugas dan kewajiban untuk membantu sesama yang berkekurangan. Ketika kita membantu mereka sebenarnya kita memberi kesempatan kepada mereka untuk bersukacita. Mereka memiliki kesempatan untuk berbahagia, meski hanya sesaat.

Mari kita mengulurkan tangan kita dengan hati yang tulus. Dengan demikian, semakin banyak orang akan menemukan bahagia dan damai dalam hidupnya. Hanya dengan cara ini orang beriman mengamalkan cinta kasih dalam hidupnya. Hanya dengan memberi sesama yang membutuhkan, kita dapat mengenal Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu secara lebih dekat. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


449
Bagikan

24 Juli 2010

Damai Mulai dari Seutas Senyum

Ada seorang istri yang percaya bahwa sesungging senyum akan mengubah hidup suaminya yang berhati keras dan ganas. Setiap kali suaminya pulang kerja, ia siap menyambutnya di depan pintu rumah. Seutas senyum telah ia siapkan. Meski wajah suaminya kadang-kadang tidak menyambut senyum itu, ia tetap tersenyum menyambut kedatangan suaminya.

Disenyumi terus-menerus setiap hari seperti itu, sang suami pun membalas senyum sang istri. Hatinya pun menjadi lembut, tidak keras dan ganas lagi. Suaminya itu belajar untuk mendekati segala sesuatu dengan kelembutan hati. Suami itu berkata, “Hati yang lembut ternyata mampu mengubah pandangan orang. Orang yang semula keras ternyata dapat menjadi lembut.”

Sang istri menemukan damai dalam hidupnya. Ia tidak perlu mengalami kekerasan dalam hidup. Ia merasakan bahwa hidup yang tenang dan damai itu begitu berharga baginya. Ia merasa beruntung. Karena itu, dalam perkumpulan ibu-ibu ia menceritakan pengalamannya. Kaum ibu yang lain pun mengikuti cara yang telah dibuatnya. Hasilnya sungguh luar biasa. Rumah tangga mereka tidak perlu dilanda oleh percekcokan. Damai menaungi keluarga mereka berkat seutas senyum yang meluncur dari hati yang tulus.

Damai ternyata dapat dimulai dari seutas senyum tulus yang tersungging di bibir kita. Mereka yang mendapatkan senyum itu mengalami kasih yang terpancar dari senyum yang tulus itu. Karena itu, senyum ternyata sangat berharga bagi hidup manusia. Orang yang sulit senyum menemukan dunia ini begitu keras dan kejam. Bagi mereka, dunia ini mesti ditaklukan dengan kekerasan.

Sayang, banyak orang kurang peduli terhadap senyum. Banyak orang mengabaikannya. Akibatnya, perang dapat terjadi karena hati yang keras. Hati yang membatu dapat menjadi sumber matapetaka bagi hidup bersama. Karena itu, tersenyumlah dalam hidup ini. Tersenyumlah lima kali sehari kepada orang-orang yang Anda cintai. Yakinlah bahwa senyum Anda akan mengubah suasana yang beku. Seutas senyum Anda akan membawa sukacita bagi sesama Anda.

Ada pepatah Latin yang berbunyi, ‘Si vis pacem, para belum’. Artinya, kalau Anda ingin damai, siapkan perang. Bagi orang beriman, ungkapan ini tidak berlaku. Orang beriman mesti mengandalkan kelemahlembutan untuk menciptakan damai. Karena itu, seutas senyum yang tersungging di bibir kita menjadi awal damai. Mulailah hari-hari Anda dengan senyum. Hanya dengan cara itu, Anda akan merasakan kasih Tuhan yang hidup dalam diri Anda. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

448




Bagikan

23 Juli 2010

Butuh Korban untuk Mengubah Kebiasaan Jelek




Suatu hari seorang ibu menyekap anaknya di salah satu kamar rumahnya. Persoalan yang dihadapi oleh ibu itu adalah anaknya sulit diatur. Anaknya itu seringkali bolos. Ia malas belajar. Ia hanya mau duduk di depan televisi sepanjang hari. Ia sudah memberikan berbagai nasihat baik kepadanya, tetapi rupanya nasihat-nasihat itu tidak mempan. Ibu itu kesal. Karena itu, ia menyekap anaknya pada hari itu. Ia menguncinya dari luar, sehingga anaknya tidak bisa keluar.

Lantas ibu itu mencari cara-cara, agar anaknya dapat bertobat. Ia ingin agar anaknya menjadi orang yang rajin. Ia mengundang guru les untuk memberikan pelajaran-pelajaran yang baik bagi anaknya. Namun usaha-usahanya itu sia-sia. Bagi anak itu, yang lebih menarik adalah duduk di depan televisi dan menonton acara-acara di televisi. Karena itu, setelah ia mengeluarkan anaknya dari sekapan, anak itu tetap kembali ke depan televisi dan mulai menonton acara-acara televisi. Ia tidak peduli akan hal-hal lain.

Akhirnya ibu itu punya cara yang sangat cespleng. Ia menjual televisi itu. Ia tidak mau beli yang baru lagi. Nah, setelah ia menjual televisi itu, anaknya berubah total. Anaknya tidak duduk manis di depan televisi lagi. Ia mulai mengambil buku-buku pelajarannya. Tanpa disuruh, ia mulai belajar. Ia menjadi anak yang baik yang disukai oleh ibunya.

Berbagai cara mesti dilakukan untuk mengubah kebiasaan orang yang jelek. Orang tidak boleh putus asa untuk mencari cara-cara untuk menghentikan kebiasaan yang jelek itu. Mengapa? Karena imbas dari suatu kebiasaan jelek tidak hanyak mengena pada orang tersebut. Imbas kebiasaan jelek itu juga mengena pada orang lain yang ada di sekitarnya. Hal ini sebagai konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial. Manusia yang selalu saling mempengaruhi di dalam hidup bersama.

Ibu dalam kisah di atas punya banyak cara untuk menghilangkan kebiasaan jelek anaknya. Ia berhasil, meskipun ia mesti berkorban untuk tidak mendapatkan informasi-informasi yang aktual dari siaran televisi. Namun korbannya itu menghasilkan sesuatu yang menggembirakan hatinya. Lebih-lebih korban itu membantu anaknya berubah menjadi anak yang lebih baik.

Tentu saja korban seperti ini akan mendatangkan kebahagiaan dalam hidup. Ibu itu mengalami sukacita, karena anaknya yang dulu sulit diatur kini dapat menjadi anak yang lebih baik. Ia bergembira, karena ia boleh menyaksikan suatu masa depan yang cemerlang dari anaknya. Ibu itu berhasil dalam tugasnya sebagai seorang ibu yang baik. Seorang ibu yang selalu peduli terhadap kemajuan buah hatinya.

Kita semua dipanggil untuk menjadi orang yang baik bagi sesama kita. Kita mesti memiliki berbagai usaha untuk memajukan sesama kita. Tentu saja ada kalanya kita merasa sedih, karena kita kurang berhasil. Namun situasi seperti itu mesti mendorong kita untuk semakin maju dalam usaha-usaha memperbaiki situasi yang jelek yang ada di sekitar kita. Kita mesti tetap optimis. Kita mesti tetap memiliki kekuatan untuk mengubah hidup sesama kita yang jelek. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
447
Bagikan

22 Juli 2010

Mengenal Sesama Secara Lebih Mendalam

Ada seorang anak yang sangat antusias dan bersemangat begitu melihat laut. Pasalnya, baru pertama kali itu ia melihat laut. Ia berasal dari daerah pegunungan yang sangat jauh dari laut. Selama ini yang ia lihat hanyalah danau atau sungai. Karena itu, baginya menyaksikan laut yang maha luas itu sangat mengagumkannya. Ombak yang menderu ia rasakan sebagai lantunan musik yang mempesona dirinya.

Beberapa saat kemudian ia melepaskan pakaiannya. Lantas ia menceburkan diri ke dalam ombak yang besar. Serta merta ia berteriak ketakutan. Pasalnya, ombak yang besar itu menghantamnya ke atas pasir. Ia terguling-guling di atas pasir. Kakinya lecet-lecet. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berkata dalam hati, “Sialan! Ternyata laut begitu ganas. Tidak seperti yang dikatakan orang-orang bahwa laut itu tenang.”

Sejak itu, anak itu menjadi takut. Begitu mendengar gelora laut, ia menggigil ketakutan. Ia tidak mau lagi mendekati laut. Ia tidak berani menceburkan dirinya ke dalam laut lagi.

Mengenal karakter orang atau sesuatu itu sangat dibutuhkan oleh setiap orang. Kalau orang sungguh-sungguh mengenal karakter sesamanya atau sesuatu, ia akan dapat menjalin persahabatan yang baik. Hidup ini akan menjadi kesempatan yang baik untuk membangun suatu persaudaraan.

Sayang, banyak orang tidak sungguh-sungguh mengenal karakter sesamanya. Banyak orang merasa mengenal sesamanya. Tetapi sesungguhnya mereka tidak tahu. Sesungguhnya mereka hanya tahu kulit luarnya saja. Tidak sungguh-sungguh mendalam mengenal diri sesamanya.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa mengenal karakter sesuatu atau orang lain itu menjadi hal utama dalam kehidupan ini. Ketika orang tidak mengenal karakter sesamanya, terjadilah penderitaan. Terjadi sesuatu yang menyakitkan hati. Orang dapat saja mengalami rasa takut untuk berjumpa dengan orang lain atau sesuatu. Akibatnya, orang memiliki suatu persepsi yang salah atau jelek tentang sesamanya atau sesuatu itu. Orang menjadi takut untuk membangun relasi yang baik dengan sesama.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mengenal sesama kita secara lebih mendalam. Dengan cara ini, kita akan memiliki suatu pandangan yang benar tentang sesama kita. Bukankah sesama itu juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri kita? Bukankah sesama itu dapat membantu kita untuk bertumbuh dan berkembang dengan lebih baik? Mari kita berusaha mengembangkan diri kita dengan semakin mengenal sesama yang ada di sekitar kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi sesuatu yang membahagiakan bagi kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

446

Bagikan

21 Juli 2010

Tetap Bertekun dalam Iman

Ada seorang peziarah yang sudah berjalan sangat jauh untuk mengunjungi sebuah tempat ziarah. Ia memang memilih untuk berjalan kaki, meskipun banyak kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya. Ia ingin mengalami dan menghayati suka duka menjadi seorang peziarah. Ia ingin mengalami capek. Ia ingin mengalami hujan dan panas menerpa dirinya. Ia sadar bahwa hal itu tidak mudah. Ada banyak godaan dan tantangan mesti ia hadapi. Namun ia tetap memilih untuk melakukan peziarahannya dengan berjalan kaki.

Ketika ia tiba di tempat ziarah itu, ia merasakan lapar yang luar biasa. Ia merasa sangat capek. Ia merasa tenaganya sudah hampir habis. Tetapi di saat-saat seperti itu ia merasakan penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Ia mengalami bahwa ketika ia menjadi lemah, kuasa Tuhan justru menguasai dirinya. Ketika ia merasa diri kuat dan hebat justru Tuhan tidak bisa mendekati dirinya. Tuhan tampak semakin jauh dari hidupnya.

Ia merasakan Tuhan menempa dirinya. Tuhan membentuk imannya kepada Tuhan. Ia seperti tanah liat yang diremas-remas oleh Tuhan dan dibentuk sesuai dengan kehendak Tuhan untuk hadir dalam dunia ini. Karena itu, peziarah itu merasa bersyukur atas rahmat Tuhan yang ia peroleh bagi hidupnya. Tuhan ternyata begitu baik kepadanya. Tuhan tidak meninggalkannya berjuang sendirian di dunia ini.

Banyak orang merasa bahwa hidup mereka seolah-olah tidak memiliki makna. Mereka sudah berusaha mati-matian untuk menumbuhkan imannya, tetapi seolah-olah hidup ini tidak menunjukkan perkembangan yang bermakna. Mereka kecewa terhadap Tuhan yang mereka imani. Mereka menolak kehadiran Tuhan dalam hidup mereka. Mereka memilih jalan mereka sendiri tanpa bantuan Tuhan.

Tentu saja situasi seperti ini menunjukkan bahwa orang kurang bertekun dalam imannya akan Tuhan. Tuhan menuntut ketekunan dan kesetiaan kepadaNya. Tuhan ingin agar orang beriman itu tetap bertahan di dalam imannya. Iman yang tidak mudah luntur oleh berbagai tantangan dan godaan.

Sebagai orang beriman, apa yang mesti kita buat? Orang beriman mesti selalu setia mengembangkan imannya kepada Tuhan. Orang beriman mesti selalu menemukan cara-cara yang terbaik dalam menumbuhkembangkan imannya. Untuk itu, dibutuhkan suatu kesetiaan dan ketekunan dalam berproses menghidupi iman akan Tuhan.

Yang mesti selalu diingat oleh orang beriman adalah proses beriman itu tidak akan pernah selesai. Proses beriman itu terus berlangsung selama hayat dikandung badan. Orang mesti tetap melangkahkan kakinya bersama Tuhan yang juga selalu setia kepadanya. Mari kita berusaha untuk menemukan hidup ini sungguh-sungguh bermakna bagi kita. Dengan demikian, kita menjadi orang-orang yang selalu setia dan bertekun dalam iman kita kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com




445

Bagikan

20 Juli 2010

Berusaha Membangun Iman yang Tangguh


Suatu hari seorang guru agama bertanya kepada salah seorang muridnya, “Sampai seberapa jauh Anda percaya kepada Tuhan?”

Murid itu menjawab, “Lima puluh persen!”

Guru agama itu terkejut. Ia bertanya, “Mengapa hanya lima puluh persen? Bukankah selama ini Anda begitu rajin beribadat?”

Murid itu menjawab, “Bagi saya, Tuhan itu seperti baju yang kita pakai. Kalau kita tidak suka baju yang ini, kita bisa ganti dengan yang lain. Tuhan juga seperti itu. Kalau saya merasa bahwa Tuhan yang saya imani itu tidak membantu saya, saya cari tuhan yang lain.”

Guru agama itu semakin terkejut. Ia tidak bisa percaya, kalau muridnya itu mempunyai pandangan seperti itu tentang Tuhan. Selama ini ia sudah memberikan pelajaran yang begitu banyak dan mendalam tentang Tuhan. Ia berharap, muridnya itu dapat mengimani Tuhan seperti yang ia imani. Ia berharap agar muridnya itu tidak berpaling kepada tuhan-tuhan yang lain. Tetapi nyatanya sangat lain. Justru muridnya itu memiliki hati yang mendua.

Tidak dapat dipungkiri bahwa ada di antara kita yang tidak begitu saja seratus persen menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan yang diimani. Masih ada pegangan lain yang menjadi andalan hidup. Pegangan lain itu bisa roh-roh yang sering gentayangan dalam hidup manusia. Atau bisa saja kekayaan yang menjadi andalan hidup mereka. Tentu saja situasi seperti ini memprihatinkan bagi hidup manusia. Apalagi kalau sampai hal ini menimpa orang-orang yang sangat giat beribadat.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa iman seseorang itu masih mengalami proses. Orang tidak begitu saja memiliki iman yang tangguh. Orang masih tergoda untuk jatuh kepada usaha menduakan Tuhan. Suatu pandangan yang kurang begitu mendalam tentang Tuhan mesti dikoreksi dalam perjalanan hidup manusia. Tuhan bukan seperti baju yang dipakai. Ketika orang kurang beriman kepada Tuhan lantas orang tidak bisa dengan gampang meninggalkan Tuhan.

Karena itu, dibutuhkan suatu pendalaman iman. Orang yang beragama apa pun mesti terus-menerus mendalami imannya akan Tuhan. Orang tidak bisa mengatakan bahwa ia sudah cukup memiliki iman yang mendalam kepada Tuhan, kalau ia masih mendua hati. Orang mesti terus-menerus mendalami imannya sampai akhir hidupnya. Orang seperti ini akan menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Orang seperti ini akan tetap bertahan dalam imannya akan Tuhan, apa pun yang terjadi atas dirinya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk terus-menerus membangun iman kita kepada Tuhan. Mendalami iman kita menjadi tugas kita masing-masing untuk tetap bertahan dalam imannya. Orang mesti yakin bahwa hanya Tuhanlah yang menjadi pegangan hidupnya. Orang mesti tetap menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan apa pun situasi yang dihadapi. Dengan demikian, orang dapat memiliki iman yang tangguh kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
444


Bagikan

19 Juli 2010

Tuhan Itu Segala-galanya dalam Hidup


Seorang bapak yang sudah berumur di atas lima puluh tahun mengeluh, mengapa Tuhan tidak pernah mengabulkan doa-doa permohonannya. Padahal ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Ia merasa hidupnya itu tidak ada apa-apanya. Tidak ada makna yang mendalam yang ia temukan dalam hidupnya.

Karena itu, ia merasa ogah terhadap Tuhan. Kalau dulu ia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan, sekarang ia merasa imannya kepada Tuhan tinggal tujuh puluh lima persen. Tuhan bukan lagi menjadi satu-satunya sesembahannya. Ia mesti mencari hal-hal lain yang dapat memenuhi kerinduannya.

Terhadap situasi ini, ia memberi alasan bahwa hidup beriman itu seperti orang bermain sepakbola. Dalam permainan sepakbola ada dua tim yang bermain. Sebelas lawan sebelas. Namun masih ada pemain-pemain cadangan yang siap menggantikan pemain yang cedera atau tidak optimal tampil dalam pertandingan.

Ia berkata, “Demikian pun dalam hidup beriman. Kalau Tuhan tidak dapat memuaskan keinginan hati kita, kita bisa mencari cadangannya. Mungkin cadangannya itu dapat memberikan kepuasan bagi hidup kita. Atau bahkan mungkin cadangan itu bisa berperan lebih optimal dalam hidup kita.”

Kita hidup dalam dunia yang dikuasai oleh aliran pragmatisme. Aliran ini mendorong orang untuk mencari yang praktis dan gampang dalam hidup ini. Yang penting adalah orang dapat hidup bahagia dan tidak punya masalah dalam hidup ini. Karena itu, setiap doa permohonan yang dipanjatkan kepada Tuhan mesti dikabulkan sesegera mungkin. Kalau tidak dikabulkan, orang akan meninggalkan imannya.

Tentu saja situasi seperti ini bukan situasi yang normal bagi orang yang sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan. Orang yang beriman itu orang yang tidak gampang menyerah kepada situasi hidupnya. Orang beriman itu orang yang senantiasa bertekun dalam imannya, meskipun Tuhan yang diimani itu tidak dapat dilihatnya. Orang beriman itu tetap berdoa meski pengabulan atas doa-doanya tampaknya tidak ada.

Karena itu, yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah suatu usaha yang terus-menerus untuk senantiasa membangun iman. Iman itu bertumbuh dalam suatu proses yang terus-menerus. Proses beriman itu tidak berhenti pada tingkat tertentu. Proses beriman itu terus berlangsung.

Sebagai orang beriman, kita tidak ingin memiliki tuhan cadangan atau menjadikan Tuhan sebagai cadangan dalam hidup kita. Bagi orang beriman, Tuhan itu segala-galanya. Hanya Tuhan yang menjadi pegangan hidup orang beriman. Karena itu, mari kita berusaha untuk membiarkan hidup kita dikuasai oleh Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Hanya dengan cara seperti itu, kita dapat mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

443

Bagikan

18 Juli 2010

Kesiapsediaan Menerima Sesama





Dalam sebuah keluarga, seorang anak merasa diri kurang diperhatikan oleh anggota-anggota yang lain. Akibatnya, ia sering meninggalkan rumah. Ia berusaha menemukan kebahagiaan bersama teman-temannya. Awalnya kebahagiaan itu ia rasakan sungguh indah. Mereka dapat bersukacita bersama. Mereka dapat bersendagurau bersama.

Namun lama-kelamaan cara hidupnya mulai berubah. Ia mulai terjerumus ke dalam situasi hidup yang memilukan. Ia menjadi orang yang susah diatur. Emosinya menjadi tidak teratur. Akibatnya, orangtuanya mulai kurang peduli terhadapnya. Adik-adiknya mulai merasa kehadiran dirinya menjadi suatu ancaman. Ia kehilangan kasih sayang dari para anggota keluarganya.

Dalam beberapa bulan, ia mengalami depresi yang berat. Ia sulit untuk bekerja. Ia mengalami kesulitan untuk membangun relasi dengan sesamanya. Ia mengalami penolakan di berbagai tempat dan kelompok. Ujung dari kisah ini adalah suatu kisah tragis. Ia mencabut pisau dan memotong nadinya. Tiada seorang pun yang tahu. Ia meninggal dalam kesendiriannya.

Cara pandangg terhadap suatu situasi tertentu bisa bermacam-macam. Orang mesti berani memilah-milah mana situasi yang dapat membantu pertumbuhan dirinya, mana situasi yang dapat menghancurkan dirinya. Orang tidak boleh cepat-cepat mengambil kesimpulan atau keputusan yang dapat mengacaukan hidupnya.

Kisah di atas menunjukkan bahwa orang yang kurang hati-hati dalam menilai suatu situasi hidup dapat mengakibatkan sesuatu yang fatal bagi kehidupannya. Keputusan yang menggebu-gebu untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dalam keluarga ternyata membawa suatu bencana bagi kehidupan.

Namun dari kisah di atas kita juga bisa melihat bahwa kesalahan tidak sepenuhnya terletak pada diri sang anak. Sikap orangtua dan para anggota keluarga yang lain memiliki pengaruh terhadap keputusan sang anak. Tidaklah senantiasa kesalahan ada pada sang anak yang tidak berdaya-tahan. Tetapi juga disebabkan oleh suasana hidup dalam keluarga yang sering tidak kondusif untuk suatu pertumbuhan lanjut.

Semestinya keluarga mampu menyediakan situasi yang kondusif, agar sang anak mampu menerima kenyataan hidupnya. Semestinya keluarga memiliki hati yang selalu terbuka untuk setiap kemungkinan bagi sang anak. Setiap anggota keluarga mesti mampu menyediakan telinga mereka untuk mendengarkan suka dan duka sesamanya. Setiap anggota mesti sadar bahwa mereka adalah bagian yang tak terpisahkan. Satu orang menderita berarti semua anggota mengalami penderitaan.

Sebagai orang beriman, kita mesti sadar bahwa setiap orang yang hadir dalam hidup kita adalah bagian dari hidup kita. Siapa pun mereka adalah orang-orang yang membantu kita bertumbuh dan berkembang dalam kepribadian dan iman. Mari kita berusaha untuk siap sedia menerima kehadiran sesama dalam hidup kita. Dengan demikian, kita menjadi orang-orang yang memberikan keselamatan bagi sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


442
Bagikan

17 Juli 2010

Berani Mengubah Diri

Suatu hari seorang anak berdoa, agar dirinya dapat mengubah situasi keluarganya yang kurang harmonis. Ia berkata, “Tuhan, selama ini saya malas bangun pagi. Setiap pagi ibu dan ayah selalu bertengkar, karena saya malas bangun pagi. Saya mohon agar Tuhan membangunkan saya lebih awal daripada semua yang lain di rumah ini.”

Rupanya Tuhan mendengarkan doanya. Keesokan harinya, ia bangun pagi-pagi sekali, pukul empat pagi. Ia sendiri jadi bingung, mengapa sepagi itu Tuhan telah membangunkannya. Tetapi ia tetap bangun dan mulai membuka buku-buku pelajarannya untuk hari itu. Ia belajar dengan tekun.

Satu jam kemudian, kedua orangtuanya bangun. Mereka heran menyaksikan sang anak yang sudah duduk belajar. Pagi itu kedua orangtuanya tidak bertengkar. Sebagai gantinya, mereka mengagumi anak mereka yang telah bangun pagi-pagi itu. Mereka mengangkat jempol untuk sang anak.

Hari-hari selanjutnya sang anak tetap bangun pagi-pagi sekali. Ia melakukan hal yang sama, yaitu mulai belajar. Hasilnya sangat menakjubkan. Sang anak yang sering dianggap kurang mampu di kelas itu ternyata berhasil dengan baik. Ia mulai mengambil alih rangking pertama di kelasnya. Bahkan setahun kemudian ia berhasil menduduki rangking pertama di sekolahnya. Sungguh luar biasa. Perubahan dalam dirinya ternyata membantu dirinya dan suasana keluarganya menjadi damai dan harmonis. Dalam suasana seperti itu ia dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang cerdas.

Sering kita mengharapkan orang lain berubah untuk menjadi sama seperti diri kita. Sering kita mengukur orang lain berdasarkan diri kita sendiri. Ternyata kisah di atas menunjukkan sesuatu yang berbeda. Kita sendiri harus pertama-tama mau berubah ke arah yang lebih baik, kalau kita mau mengubah situasi di sekitar kita. Tentu saja hal ini tidak mudah. Dibutuhkan tekad yang besar untuk mengubah diri dan cara hidup kita.

Menghadapi situasi hidup yang kurang kondusif, sering orang hanya mengeluh. Orang tidak mau mencoba berbagai cara untuk menemukan jalan keluar. Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa kalau kita hanya mengeluh pada situasi yang ada, kita tidak akan dapat mengubah apa-apa dalam hidup bersama. Kita mesti ambil inisiatif untuk mengubah situasi itu.

Karena itu, dibutuhkan suatu tekad dan semangat membara dalam upaya untuk mengubah situasi yang kurang kondusif itu. Berbagai akibat yang kurang menyenangkan bisa saja menyakitkan hati kita. Namun kalau kita ingin hidup ini menjadi lebih baik, kita mesti berusaha untuk mengesampingkan setiap kekuatiran kita.

Sebagai orang beriman, kita butuh bantuan Tuhan untuk mengubah cara hidup kita. Tuhan dapat memberikan kekuatan kepada kita untuk mengadakan perubahan itu. Dengan demikian, kita akan menjadi orang yang sungguh-sungguh memiliki komitmen untuk maju dan berkembang ke arah yang lebih baik dalam hidup ini. Mari kita berusaha terus-menerus untuk mengubah situasi yang kurang kondusif menjadi lebih baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

441
Bagikan

16 Juli 2010

Bersyukur Atas Kebaikan Tuhan

Ada seorang ibu rumah tangga yang setiap hari mengumpulkan anak-anaknya setelah makan malam. Mereka mendoakan sang ayah yang selalu pulang larut malam dan senantiasa mabuk. Ibu dan anak-anaknya memohon kepada Tuhan, semoga ayah tercinta bertobat, tidak selalu pulang hanya untuk memarahi semua, bertengkar, malahan memukuli mereka.

Setelah beberapa tahun, doa ini tidak kelihatan kemajuan apa-apa, sehingga dalam frustrasinya ibu itu datang ke seorang pastor untuk mengadu. Ia berkata, “Kurang apa doa kami, Pastor. Coba lihat, tidak ada hasil yang kelihatan sama sekali.”

Pastor yang bijaksana turut merasa bingung, tapi tiba-tiba ada jalan keluar. Katanya kepada ibu itu, “Nanti malam coba mengganti doa permohonan itu dengan doa syukur.”

Jawab ibu itu, “Bersyukur atas apa, pastor? Kami hanya sengsara belaka.”

Kata Pastor itu, “Tidak, coba periksa segala unsur dan bagian dari hidupmu, bukankah ada tiga anak yang sehat, rajin dan taat kepada ibunya? Bukankah mereka juga sabar dan hormat pada ayah yang brengsek, sehat. Bukankah mereka berhasil dalam studi di sekolah? Bukankah ibu sendiri memiliki iman yang hidup, rajin beribadat, sehat sehingga dapat mengurus rumah tangga dengan baik?”

Sang ibu mulai sadar. Lantas pastor itu berkata lagi, “Bukankah sang suami yang tidak menyenangkan dan kelihatan gagal, toh diberi daya tahan sehingga minuman keras yang ia habisi setiap hari ternyata tidak sampai mengambil nyawanya? Pasti banyak hal lain lagi yang positif dan pantas disyukuri.”

Lalu dengan sedikit malu, ibu itu minta diri dan pulang. Habis makan malam, seperti biasa ia berlutut bersama anak-anak untuk berdoa. Kali ini mereka tidak meminta apa-apa dari Tuhan. Mereka hanya bersyukur dan berterima kasih atas segala yang dapat mereka ingat dan kemukakan.

Beberapa jam kemudian sang ayah pulang. Ternyata ia tidak mabuk seperti biasa. Ia mengumpulkan isteri dan anak-anaknya lalu di hadapan mereka dan sambil memeluk mereka, ia menangis. Ia minta maaf karena ia bukan suami dan ayah yang baik. Ia bertobat, menjadi orang yang berhati baru. Hasil dari doa syukur. Keluarga itu sangat gembira bersama dan bersyukur dengan penuh gelora atas kebaikan Tuhan yang hanya menunggu orang bersyukur sebelum Ia memberi yang baik dan yang lama diharapkan.

Tentu saja kisah di atas sangat menyentuh hati kita. Ternyata tidak selamanya doa itu mesti meminta dan meminta kepada Tuhan untuk memberikan kita segala yang kita butuhkan. Doa juga berarti bersyukur atas kebaikan Tuhan atas hidup ini. Berapa dari Anda yang mensyukuri kebaikan Tuhan atas hidup Anda? Mungkin hanya sedikit yang mau bersyukur kepada Tuhan. Banyak dari kita hanya meminta kepada Tuhan untuk diberi kekuatan bagi hidup kita.

Sebagai orang beriman, kita mesti berusaha untuk senantiasa mensyukuri kebaikan Tuhan. Hidup ini adalah rahmat Tuhan. Kita hidup karena belas kasihan Tuhan. Karena itu, pantaslah kita senantiasa berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan. Bersyukur menunjukkan betapa kita memiliki iman yang mendalam kepada Tuhan. Apa pun yang diberikan Tuhan kepada kita, kita mau menerima dengan lapang dada. Dengan tangan terbuka kita menerima kebaikan Tuhan itu. Mari kita terus-menerus bersyukur kepada Tuhan, karena Tuhan mencintai kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



440

Bagikan

15 Juli 2010

Berusaha Menerima Apa yang Menjadi Hak



Menurut sebuah survei, angka harapan hidup tertinggi di Indonesia dimiliki
oleh Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 73 tahun. Artinya, rata-rata penduduk Yogyakarta hidup hingga usia 73 tahun. Beberapa ahli mencoba mencari tahu penyebabnya. Ternyata ditemukan bahwa di daerah ini tingkat stress masyarakatnya rendah. Mereka sangat gemar mengkonsumsi makanan berserat melalui buah-buahan dan sayuran. Alasan lain adalah budaya hidup orang Yogyakarta yang memegang falsafah nrima ing pandum. Artinya, menerima apa yang menjadi haknya, tidak serakah, apalagi berkeinginan mengambil hak orang lain.

Tentu saja survei seperti ini menggembirakan bagi banyak kalangan. Pasalnya, survei ini memberikan suatu optimisme dalam hidup. Suatu bentuk hidup yang teratur akan membantu manusia mengendalikan dirinya. Stress tidak perlu terjadi dalam hidup manusia, kalau manusia tidak serakah dengan cara ingin memiliki segala-galanya untuk dirinya sendiri. Orang tidak perlu merasa resah dalam hidupnya, karena tidak perlu bersusah-susah menaklukkan orang lain dan mengambil harta milik orang lain dengan tidak adil.

Tidak puas dengan apa yang ada, iri hati terhadap apa yang orang lain capai, dan bernafsu memiliki apa yang bukan haknya, adalah awal kehancuran
seseorang. Banyak pengalaman telah kita dapatkan dari hal-hal seperti ini. Karena itu, kalau orang ingin sukses dalam hidupnya, ia mesti memiliki cara hidup yang baik. Orang tidak boleh serakah dalam hidupnya. Keserakahan akan membawa manusia kepada ketidakharmonisan dengan sesama. Relasi dengan sesama cepat atau lambat akan mengalami kebuntuan dalam hidup ini.

Relasi yang baik mesti selalu dibangun oleh manusia. Setiap bentuk relasi yang tidak harmonis selalu menghambat perjalanan hidup manusia. Bahkan akan membawa kehancuran dalam hidup manusia itu sendiri. Apakah Anda ingin hancur dalam hidup Anda? Tentu saja kita semua tidak ingin hancur dalam hidup ini. Kita ingin hidup kita selalu mengalami sukacita dan damai. Karena itu, kita mesti menjauhkan rasa iri dan serakah dari diri kita.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar hidup kita menjadi rahmat bagi sesama. Kita ingin membangun hidup yang harmonis dengan sesama. Kita ingin agar sesama mengalami bahagia dalam hidupnya. Kita tidak ingin bahagia sendirian. Mengapa? Karena Tuhan ingin menyelamatkan semua orang. Tuhan ingin, agar semua orang mengalami kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tugas setiap orang beriman adalah membawa damai bagi semua orang.

Mari kita berusaha untuk senantiasa membangun relasi yang baik dengan sesama kita. Hidup kita bukan hanya untuk diri kita sendiri. Kita hidup juga untuk sesama kita. Karena itu, kita mesti membantu sesama dalam mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com






Bagikan

14 Juli 2010

Senantiasa Mengarahkan Hidup kepada Tuhan



Suatu hari seorang suami gelisah. Sang istri yang sangat dicintainya ternyata menderita sakit kanker. Kanker itu sangat ganas, sehingga istrinya sangat kesakitan. Satu-satunya jalan adalah istrinya mesti menjalani operasi membuang bagian tubuh yang terserang kanker itu. Soalnya adalah bapak itu tidak punya uang yang cukup untuk biaya operasi. Ia hanya seorang pegawai rendahan di sebuah perusahaan. Gajinya tidak cukup untuk biaya rumah sakit itu.

Dalam situasi seperti itu, ia berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia berusaha untuk menyerahkan istrinya kepada Tuhan. Ia berkata, “Biarlah Tuhan yang membantu istri saya melewati saat-saat sakitnya. Hanya kuasa Tuhan yang mampu menghentikan penyakitnya.”

Rupanya doa suami itu terkabul. Beberapa bulan kemudian, kanker itu mulai mengendurkan serangannya. Sakit istrinya tidak lagi terasa sangat parah. Ia tidak perlu mengerang-erang kesakitan lagi. Suami itu punya waktu untuk memikirkan banyak hal untuk keluarganya. Ia mesti mengambil alih semua urusan keluarga selama istrinya menderita sakit.

Banyak orang di jaman sekarang meragukan mukjijat dari Tuhan. Atau banyak orang terlalu mengharapkan mukjijat yang spektakuler yang akan terjadi atas diri mereka. Padahal setiap hari selalu ada mukjijat. Hidup ini sendiri adalah mukjijat. Setiap denyut nafas yang berdetak setiap kali kita bangun merupakan mukjijat dari Tuhan.

Soalnya adalah manusia sering kurang menyadari kehadiran Tuhan di kala sukacita dan damai menyelimuti hidup manusia. Orang baru mulai menyadari kehadiran Tuhan ketika ada penderitaan yang menimpa mereka. Dalam kondisi seperti ini, orang begitu gampang datang kepada Tuhan. Orang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berbagai cara.

Tentu saja hal seperti ini tidak salah. Namun orang beriman mesti senantiasa menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya. Orang beriman mesti tidak melupakan Tuhan, ketika kegembiraan dan damai meliputi dirinya. Justru dalam situasi seperti ini, orang mesti senantiasa bersyukur atas anugerah Tuhan.

Sebagai orang beriman, kita semua diajak untuk senantaisa menyerahkan hidup kita ke dalam tangan Tuhan kapan dan di mana pun kita berada. Dengan demikian, kita menjadi orang-orang yang sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan. Mari kita menumbuhsuburkan iman kita dengan berusaha untuk senantiasa bersyukur atas rahmat kehidupan yang diberikan kepada kita. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

438
Bagikan

13 Juli 2010

Mendidik dengan Semangat Cinta Kasih


Suatu hari yang cerah seorang ibu duduk di samping seorang pria di bangku dekat sebuah taman kota. Sementara anaknya bermain plorotan. Ibu itu berkata kepada pria itu, “Itu putraku yang sedang bermain plorotan.”

Pria itu menjawab, “Wah, bagus sekali bocah itu. Ibu lihat anak yang sedang main ayunan di bandulan pakai T-shirt biru itu? Dia anakku.”

Lalu, sambil melihat arloji, ia memanggil putranya. “Ayo nak, gimana kalau kita sekarang pulang?” Bocah kecil itu, setengah memelas, berkata, “Kalau lima menit lagi, boleh ya, ayah? Sebentar lagi ayah, boleh kan? Cuma tambah lima menit kok, yaaa…?”

Pria itu mengangguk dan anaknya meneruskan main ayunan untuk memuaskan hatinya. Menit-menit berlalu, sang ayah berdiri, memanggil anaknya lagi, “Ayo, ayo, sudah waktunya berangkat?”

Lagi-lagi anaknya memohon, “Ayah, lima menit lagilah. Cuma lima menit tok, ya? Boleh ya, Yah?” Pria itu bersenyum dan berkata, “OK-lah, iyalah…”

Ibu yang duduk di sampingnya merasa gemas melihat kejadian itu. Lantas ia berkata, “Wah, bapak pasti seorang ayah yang sabar.”

Pria itu berkata, “Putraku yang lebih tua tahun lalu terbunuh selagi bersepeda di dekat sini oleh sopir yang mabuk. Aku tidak pernah memberikan cukup waktu untuk putra sulungku itu. Sekarang apa pun ingin kuberikan untuk anakku ini. Biar saja saya bisa bersamanya, biar pun hanya untuk lima menit lagi. Saya bernazar tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Ia pikir, ia dapat lima menit ekstra tambahan untuk berayun, untuk terus bermain. Padahal, sebenarnya, sayalah yang memperoleh tambahan lima menit memandangi dia bermain, menikmati kebersamaan bersama dia, menikmati tawa bahagianya.”

Banyak orangtua merasa tidak punya waktu untuk anak mereka. Mereka terlalu sibuk dengan berbagai pekerjaan. Akibatnya, banyak anak yang tumbuh tanpa perhatian dari orangtua mereka. Secara fisik mereka merupakan anak-anak yang sehat. Tetapi secara psikologis mereka kekurangan kasih sayang. Sentuhan langsung dari orangtua ternyata sangat berguna untuk pertumbuhan anak-anak. Tatapan mata dan senyum manis dari orangtua menjadi pendorong bagi anak-anak untuk maju dalam hidup mereka.

Karena itu, setiap orangtua mesti menyadari tugasnya dalam mendidik anak-anak mereka. Cinta kasih yang mendalam mesti ditanamkan dalam diri anak-anak sejak kecil. Dengan demikian, anak-anak tumbuh menjadi orang-orang yang mengandalkan cinta kasih dalam hidup mereka. Kelemahlembutan dan kerendahan hati menjadi penghias hidup mereka. Tentu saja hal seperti ini dapat terjadi, kalau orangtua sungguh-sungguh peduli terhadap pertumbuhan anak-anak mereka.

Sebagai orang beriman, kita mesti sadar bahwa hidup ini bukanlah suatu lomba. Hidup ini mesti ditandai dengan membuat prioritas. Orangtua mesti memberikan prioritas utama dalam mendidik anak-anak mereka. Dengan demikian, mereka dapat memiliki suasana cinta kasih yang mendalam. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


437

Bagikan

12 Juli 2010

Kerelaan Mengampuni Sesama

Suatu hari seorang nenek terbujur di kamarnya sendirian. Ia mengalami penderitaan yang sangat hebat. Tetapi ia masih tetap bertahan. Ia ingin melewati hari-harinya dengan penuh harapan. Satu-satunya yang mau ia katakan adalah ia ingin berdamai dengan putranya.

Sewaktu anaknya itu berusia duapuluh lima tahun, ia bertengkar hebat dengannya. Akibatnya, putranya itu meninggalkan rumah. Ia pergi merantau. Ia tidak pernah kembali lagi. Ia pun tidak tahu di mana keberadaan putranya itu.

Hati nenek itu sangat sedih. Perdamaian dengan putranya yang ia dambakan belum terwujud. Bertahun-tahun sudah ia menyesali peristiwa itu. Namun semuanya hanya penyesalan. Belum mewujud dalam perdamaian yang sesungguhnya. Karena itu, hatinya masih terasa pedih.

Dalam kondisi seperti itu, sang anak tiba-tiba muncul di hadapannya. Bukan sebuah ilusi. Tetapi wajah anaknya sungguh-sungguh menghiasi pelupuk matanya. Anaknya itu menyapa, “Mama... Aku pulang. Mama masih ingat peristiwa dulu itu? Anakmu tidak ingat lagi.”

Sang mama langsung memeluk anaknya. Damai pun terjadi hari itu. Ia dapat merasakan suasana sukacita dan damai. Seluruh kepedihan hatinya terobati oleh perjumpaan yang sungguh-sungguh menyenangkan itu. Tidak ada lagi yang merasa terluka. Semua luka itu sembuh dalam sekejap saja.

Banyak orang menyimpan kepedihan hati yang telah berlangsung bertahun-tahun. Mereka merasa bahwa dengan cara itu mereka akan merasa puas untuk melampiaskan kemarahan mereka terhadap orang yang mereka benci. Mereka merasa bahwa dengan cara itu mereka dapat mengungkapkan kebencian mereka terhadap sesama.

Tentu saja sikap seperti ini bukanlah cerminan dari orang yang beriman kepada Tuhan. Orang beriman itu selalu mengaku dengan mulut bahwa Tuhan itu mahapengasih dan mahapengampun. Kalau ini menjadi ungkapan isi hati manusia, mengapa manusia masih mau menyimpan dendam? Mengapa manusia masih mau membalas kebencian dengan kebencian?

Kisah anak dan ibu di atas mau mengatakan kepada kita bahwa damai hanya bisa dicapai, ketika orang rela mengampuni. Luka batin hanya bisa disembuhkan oleh kerelaan untuk menerima sesama dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Orang mau dengan besar hati menerima kehadiran sesama yang pernah membuat luka dirinya.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memiliki hati yang lemah lembut dan rendah hati. Orang yang mau membuka hatinya lebar-lebar bagi sesamanya. Hanya dengan cara itu, kita dapat menjadi orang yang beriman teguh dan tangguh dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


436

Bagikan

11 Juli 2010

Rahmat Tuhan Senantiasa Hadir Bersama Kita

Ada seorang anak yang terkenal luar biasa pandai. Nilai-nilai pada setiap kali ulangan selalu sepuluh. Padahal ia tidak mengikuti banyak les di luar sekolah. Menurut pengakuannya, ia belajar sendiri di rumah. Ibunya mendampingi dirinya dengan setia. Ia tidak kuatir sama sekali begitu ulangan diadakan di sekolah. Ia sudah menyiapkan diri dengan baik dengan belajar yang rajin.

Suatu kali seorang temannya bertanya kepadanya tentang pelajaran matematika. Tanpa ragu-ragu ia membantu temannya itu. Hasilnya, pada saat ulangan tiba, temannya itu pun memperoleh nilai sepuluh. Anak itu tidak cemburu. Ia terus-menerus memberi semangat kepada temannya itu agar tetap belajar. Ia merasa bahwa kepandaiannya itu mesti ditularkan kepada sesamanya. Dengan demikian, semakin banyak temannya dapat meraih cita-cita mereka.

Melihat situasi seperti itu, teman-temannya yang lain pun ikut. Mereka membentuk sebuah kelompok belajar. Begitu pulang sekolah mereka berkumpul di salah satu rumah teman mereka. Tujuannya untuk belajar bersama. Kebiasaan itu membawa hasil yang sangat baik. Banyak dari mereka yang kemudian meraih nilai sangat baik di kelas itu. Mereka tidak saling cemburu. Justru mereka saling membantu.

Saling mendukung dalam usaha-usaha menunjukkan suatu hasil yang baik. Orang tidak perlu kuatir tentang keberhasilannya dalam hidup ini. Saling menolong itu mencerminkan hidup kita sebagai orang-orang yang memiliki optimisme dalam hidup ini. Orang tidak hidup untuk dirinya sendiri. Orang juga hidup bagi sesama yang ada di sekitarnya.

Orang yang sungguh-sungguh beriman itu biasanya mampu mengulurkan tangannya untuk membantu sesamanya yang mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidup. Inilah iman yang hidup. Iman yang hidup itu tampak dalam tingkah laku sehari-hari. Orang beriman itu tidak mudah cemburu, ketika sesamanya berhasil dalam suatu usaha. Sebaliknya, orang beriman itu mau belajar dari sesamanya yang berhasil.

Karena itu, orang seperti ini biasanya mendapatkan rahmat dari Tuhan. Tuhan tahu kebaikan dan usaha yang dilakukannya. Tuhan mengaruniakan rahmatNya, agar orang seperti ini dapat terus berusaha dan meraih keberhasilan dalam hidupnya. Keberhasilan itu dapat menjadi kesempatan untuk memuji dan memuliakan Tuhan.

Namun sering orang beriman itu lupa akan asal muasal rahmat itu. Mereka merasa bahwa keberhasilan yang dicapai itu usaha mereka sendiri. Tentu saja hal ini berbahaya bagi hidup orang beriman.

Karena itu, orang beriman mesti senantiasa memiliki rasa syukur atas setiap rahmat yang ia terima dari Tuhan. Tuhan begitu baik. Tuhan selalu membantu manusia. Tuhan ingin agar manusia menemukan keberhasilan dalam hidupnya. Mari kita berusaha untuk senantiasa mensyukuri rahmat demi rahmat yang kita peroleh dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian, kita dapat menjadi orang-orang yang menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
435


Bagikan

10 Juli 2010

Memiliki Semangat Hidup Hemat



Pada suatu musim panas mentari tampak cerah, langit biru, bunga-bunga indah berrnekaran, buah-buahan banyak yang masak dan lezat rasanya. Belalang sangat gembira menikmati musim panas itu. Tiap hari ia bernyanyi, bermain dan bersenang-senang.

Dia bertanya kepada semut, "Mengapa engkau tidak ikut bersenang-senang bersamaku? Mumpung cuaca cerah dan indah, mari kita bersenang-senang." Tetapi semut itu berpikir sebaliknya. Dia sibuk menyimpan makanan untuk musim dingin yang akan segera tiba. Dia bekerja tanpa kenal lelah. Belalang berpikir bahwa semut memang terlalu tolol, sehingga dia tidak lagi mengajaknya bermain-main. Ia bermain sendirian.

Musim dingin pun tiba. Hawa dingin sangat menyengat dan salju turun di mana-mana. Belalang tersiksa. Ke mana pun mencari makanan dia tidak menemukan. Akhirnya dia datang kepada semut. Dia memohon, "Sahabatku, tolong bagi makananmu kepadaku. Aku sungguh kelaparan."

Tetapi semut berkata, “Maaf, persediaan makananku harus cukup sampai musim dingin usai."

Belalang berkata, "Tetapi engkau mempunyai begitu banyak makanan."

Jawab semut dengan dingin, "Memang, tetapi aku tak berani menanggung risiko kekurangan makanan. Dan karena engkau telah memboroskan waktumu sepanjang musim panas, engkau harus menanggung akibatnya."

Banyak orang memboros-boroskan harta kekayaan yang dimilikinya untuk hal-hal yang tidak begitu berguna. Dulu kita begitu boros menggunakan BBM. Akibatnya, sekarang kita harus hemat BBM. Ada pemadaman listrik secara bergilir. Dulu kita tidak perlu mengeluh, karena kita punya banyak minyak bumi. Tetapi beberapa waktu lalu kita mengeluh tentang harga BBM yang dinaikkan pihak pemerintah.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena kita hanya berpikir tentang kebutuhan kita saat ini. Kebutuhan hari esok nanti dicari. Benarkah sistem seperti ini kita gunakan untuk kemajuan diri kita? Dari kisah di atas tampak bahwa hemat dan kerja keras akan lebih menguntungkan bagi masa depan hidup kita. Orang yang mau bekerja keras dan hemat akan menikmati hidup yang lebih aman dan bahagia.

Karena itu, dalam hidup ini kita mesti hati-hati dalam menggunakan apa yang kita miliki. Yang kita miliki itu bukan hanya untuk kebutuhan satu hari. Tetapi juga menjadi kebutuhan hidup kita di hari-hari mendatang. Untuk itu, kita perlu memiliki semangat menabung. Tujuannya untuk kesejahteraan kita di masa yang akan datang. Orang yang berani bersusah-susah dalam hidupnya akan menuai hasil yang melimpah. Hidupnya akan aman di hari yang akan datang.

Mari kita budayakan semangat hidup hemat. Meski berbagai tawaran menggiurkan datang kepada kita, kita mesti berani mengatakan tidak. Kita ingin hidup hemat demi masa depan kita. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.125

Berjalan dalam Kebenaran

Suatu hari seorang bapak menemui seorang anaknya yang tidak lulus dalam ujian. Anaknya itu sedang ketakutan. Tetapi ia siap untuk dimarahi oleh ayahnya. Ia menerima kenyataan bahwa dalam ujian nasional yang lalu ia tidak bisa berbuat banyak. Segala cara sudah ia tempuh, tetapi ia belum berhasil juga. Satu hal yang tetap dipertahankan oleh anak itu adalah ia tidak mau tergoda oleh bocoran jawaban soal-soal yang marak terjadi di sekolahnya.

Ia ingin berhasil melalui kerja kerasnya. Ia tidak ingin terjebak dalam ketidakjujuran. Karena itu, ia siap bertanggungjawab atas apa yang sudah dilakukannya. Ketika ayahnya datang menemuinya, ia mau menghadapinya. Satu hal yang tidak pernah dibayangkannya adalah sang ayah tidak memarahinya. Ayahnya mampu menerima kenyataan itu.

Ayahnya berkata, “Nak, tidak lulus tidak apa-apa. Ayah tahu kamu mengerjakannya dengan jujur. Itulah yang diajarkan oleh ayah sejak kamu masih kecil. Ayah bangga, kamu punya sikap yang jujur.”

Anak itu menangis terharu. Hukuman yang sebenarnya ia nanti-nantikan itu tidak terjadi. Ia bangga memiliki seorang ayah yang mampu menghargai usaha anaknya. Seorang ayah yang selalu memberi kesempatan kepada anaknya untuk mencoba dan mencoba lagi.

Banyak orang bangga akan hasil yang dicapai melalui jalan yang tidak benar. Banyak anak sekolah yang bangga mendapatkan nilai yang tinggi dengan jalan nyontek atau ngepek. Sebenarnya di balik kebanggaan itu tersembunyi sesuatu yang memalukan. Sepertinya banyak orang tidak punya rasa malu lagi terhadap ketidakjujuran yang mereka lakukan.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa kejujuran itu di atas segala-galanya. Orang boleh saja tergoda oleh kemudahan-kemudaan hidup. Tetapi orang mesti tetap bertahan dalam kejujuran. Orang mesti mengambil jalan yang baik dalam usaha meraih sukses dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita mesti memupuk nilai-nilai kebaikan dalam hidup kita. Kita mesti tetap memperjuangkan nilai-nilai kejujuran dalam hidup kita. Mengapa? Karena jalan kejujuran itu membahagiakan orang. Orang tidak hidup di bawah bayang-bayang ketakutan akan terbongkarnya ketidakjujuran mereka.

Karena itu, kita mesti tetap belajar untuk hidup jujur meskipun banyak godaan datang menghadang kita. Yakinlah, orang yang berani jujur dalam segala hal akan menemukan sukacita dan bahagia dalam hidup ini. Mari kita mohon bantuan Tuhan, agar Tuhan memberi jalan kebaikan dan kejujuran kepada kita. Dengan demikian, sukacita dan damai menjadi bagian dari hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


434

Bagikan

09 Juli 2010

Pribadi di Balik Jasad yang Masih Utuh

Mgr. Albertus Hermelink Gentiaras SCJ

Romo Kanjeng yang Terberkati

Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis terakhir dan aku telah memelihara iman” (II Tim 4:7).

Kutipan di atas tertulis di batu nisan makam Mgr. Hermelink Gentiaras, SCJ. Sampai meninggalnya, ketika masih dibaringkan di gereja Pringsewu, banyak orang datang melayat dan berdoa. Ada yang berdoa rosario, ada pula yang bernyanyi terbangan dengan doa-doa dari umat muslim. Sewaktu hendak dimakamkan, lonceng gereja dibunyikan, serentak pula hampir semua umat menangis mengenang pribadi yang rendah hati dan memperhatikan umatnya ini.

A. Hermelink, SCJ datang ke Indonesia sebagai misionaris pada tahun 1926. Sebagai misionaris, ia menerima situasi dan daerah yang baru meski itu butuh penyesuaian yang tinggi. “Terima kasih atas surat yang dikirimkan kepada saya. Inilah tanda kasih dari anggota keluarga di mana kita hidup bersama. Syukur atas kenangan indah ketika kita di seminari tinggi. Boleh dikatakan, kita hidup di sini mulai dengan kehidupan baru di dunia yang baru, dan kita akan ikut di dalam kehidupan baru ini,” tulisnya dalam suratnya yang tertanggal 16 Agustus 1927.

Dan di saat sendiri sebagai misionaris, ia merindukan hidup bersama dalam komunitas. Dalam situasi yang demikian, komunitas bukanlah soal jumlah orang yang hidup di satu rumah, tetapi kontak hati, rasa kebersamaan, meski hidup berjauhan. “Saudara yang baik, terima kasih atas suratnya. Adalah hal yang baik di mana dengan ini kita dapat mengenang masa lalu saat kita hidup bersama. Yang selalu menjadi kenangan adalah saat kita di Seminari Agung,” tulisnya dalam surat yang sama.

Pada tahun 1961, A. Hermelink ditahbiskan menjadi uskup di Roma. Selama menjadi uskup Tanjungkarang, ia tinggal di Pringsewu sampai akhir hayatnya. “Romo Kanjeng itu semestinya jadi beato,” komentar Ibu Patricia Sunarmi yang mengenal Mgr. Hermelink sejak tahun 1970.

Umat di Pringsewu memanggil uskupnya dengan sebutan ‘Romo Kanjeng’. Hampir setiap sore ia mengunjungi orang sakit di rumah sakit yang terletak di depan pastoran. Ia berdoa bagi orang yang sakit, baik yang Katolik maupun yang Muslim atau Budha. Anehnya, tidak seorangpun yang pernah menolaknya. Semua orang menerimanya. Sunguh, ia mewujudkan kasih dan perhatian tanpa pandang bulu.

Karena kesungguhan menjiwai kasih Kristus, di hadapannya tidak ada orang jahat. Suatu ketika ia membantu orang-orang miskin mencari tanah untuk tempat tinggal. Ada banyak janda dan anak sekolah tidak mempunyai tempat tinggal. Melalui bantuannya, tanah menjadi murah dan banyak orang mendapatkan tempat tinggal. Tetapi ada orang yang memanfaatan kebaikan itu untuk keuntungan diri. Setelahnya orang itu menjualnya dengan harga yang sangat mahal. “O, niku mboten saged, mboten sae” (O, itu tidak bisa, tidak baik). “Dia melakukan seperti itu karena ia tidak tahu ia menyakiti orang,” komentar Romo Kanjeng setelah mengetahuinya dengan tanpa dendam.

Begitu pun saat anak didiknya mbalelo (berkhianat). Ia tak pernah memarahinya. Waktu itu ia membantu anak-anak untuk sekolah. Bahkan 80 siswa-siswi di antaranya adalah non Katolik. Ada yang sejak kecil disekolahkan, namun sesudah selesai dan bekerja pindah agama. Tentang anak itu Romo Kanjeng berkomentar, “Nggak apa-apa.” Ia sungguh menghargai kebebasan orang lain, namun juga menunjukkan cinta yang ikhlas, tak menuntut balas, bahkan mungkin berakibat menyakitkan.

Meskipun sudah menjadi uskup, lampu senternya selalu menyala setiap malam. Ia selalu keluar malam untuk kunjungan, meski hanya sebentar. Ia tak mau dikawal. Ketika masuk ke rumah umatnya yang sederhana-miskin, ia langsung bertanya, “Sudah menanak nasi atau belum? Apakah anak-anak sudah makan?” Kemudian ia mengajak berdoa bersama dengan keluarga yang ada di rumah, lalu memberkati mereka.

Kehadirannya bagaikan Bunda Maria saat mengunjungi Elisabeth saudarinya. Elisabeth merasa dikunjungi oleh orang yang diberkati Tuhan. Demikian pun umat di Pringsewu saat menerima kunjungan Romo Kanjengnya ini. “Berkatnya benar-benar merasuk, seperti Tuhan Yesus. Sepertinya ia adalah orang yang diberkati,” kenang Bapak dan Ibu Raharjo yang dulu sering dikunjungi oleh Romo Kanjeng.

Bapak dan Ibu Raharjo yang kini tinggal di seberang tembok makam Romo Kanjeng mempunyai pengalaman sendiri. Saat itu anak pertama mereka sakit keras selama lima tahun. Dokter di Rumah Sakit Pringsewu sudah angkat tangan. Kata dokter, “Kalau sembuh, anak ini tidak bisa sembuh sempurna.” Bapak dan Ibu Raharjo bingung, harus berobat ke mana untuk anak mereka. Saat bingung ini, Romo Kanjeng mengunjungi rumah mereka. Menghadapi keadaan tersebut, Romo Kanjeng berkata, “Selama anak ini masih hidup, kita perlu mengusahakannya. Jangan percaya takhayul, apalagi pergi ke dukun. Usaha ibu sampai mentok, namun Tuhan yang menentukan. Yakinlah anak ibu sembuh.”

Karena Bapak dan Ibu Raharjo tidak memiliki uang, Romo Kanjeng memberi 5.000 rupiah untuk bekal berobat ke Jakarta. Ternyata, anak itu sembuh, bahkan sembuh sempurna. Sekolahnya pun pintar. Berdasarkan pengalaman tersebut, sekarang ini Ibu Raharjo yakin bahwa Romo Kanjeng ada di surga sekarang. Karena itu, sampai sekarang, bila mendapatkan kesulitan hidup, mereka berdoa melalui perantaraan Romo Kanjeng di makamnya.

Setiap hari Jumat sore pukul 16.00 WIB, Romo Kanjeng keliling untuk misa lingkungan. Sebelum misa, ia selalu mengumpulkan anak-anak di halaman rumah. Ia sayang dengan anak-anak. Ketika ada anak salaman dengan Romo Kanjeng, ada ibu bilang, “Kalau salaman pakai tangan manis (kanan)!” Sahut Romo Kanjeng, “Tuhan memberi sama indahnya tangan kanan dan kiri. Mengapa harus salaman dengan tangan kanan?” Ada lagu yang sering diajarkan untuk anak-anak yang sampai saat ini masih ada dalam ingatan umat di Pringsewu:

Ayah ibu saudara, kami cinta


Teman dan orang lain, kami cinta

Kami saling membantu, karna cinta

Di dalam apa saja, kami cinta


Setiap akan Misa Kudus, Romo Kanjeng selalu berdiri di depan pintu masuk gereja. Mendekati misa dimulai, sepertinya mengabsen umatnya. Ia hafal betul umatnya, bahkan namanya. Kalau tidak kelihatan di gereja, ia mendatanginya di malam hari. “Mengapa kemarin tidak ke gereja?” Setelah misa selesai, ia cepat-cepat keluar lalu berdiri di pintu keluar, menyalami umatnya. Saat memimpin Ekaristi dan petugas koornya jelek, ia langsung berkomentar. “Apakah ini suara tikus?” kritiknya dengan nada halus. Tetapi kalau koornya bagus, sebelum misa selesai ia mengumumkan, “Setelah misa ini, petugas diundang ke pastoran.” Semua umat sudah tahu bahwa Romo Kanjeng akan menjamu petugas dengan memberi minum, snack, atau permen di pastoran. Dengan itu ia memperhatikan hal-hal kecil, mengingat kemanusiaan, dan menghagai karya orang lain.

Ketika musim kemarau, banyak umat mengeluh kepada Romo Kanjeng, “Oh, Romo panas, Romo.” Romo Kanjeng pun menjawab, “Besok ke gereja ya, minta hujan.” Dan esoknya pun hujan. Setiap Malam Paskah, ia memberkati tong-tong air. Air itu air suci karena telah diberkati. Bila ada anggota keluarga yang panas badannya, air itu bisa digunakan untuk kompres, dan air itu cukup disimpan di rumah sebagai tanda bahwa dengan adanya air itu, rumah menjadi terberkati. Dari cara menggembalakan umat seperti ini, Romo Kanjeng hendak menanamkan dalam diri umat bahwa orang katolik bukanlah orang yang hanya terbatas pada baptisan. Lebih dari itu, orang kristiani perlu bertekun dalam ajaran. Diharapkan umat dapat mengimani Yesus meski secara sederhana. **

Sumber: buku Nabi-nabi Cinta Kasih


Dipindahkan, Jasad Romo Masih Utuh

Rabu, 07 Juli 2010 00:46


PRINGSEWU-Makam Romo MRG Albertus Hermelink Gentiaras SCJ yang merupakan romo pertama yang berasala dari Belanda di Pringsewu dipindahkan. Uniknya, saat dipindahkan jasad Romo MGR Albertus tersebut masih terlihat utuh. Padalah, jasad itu telah dimakamkan selama 27 tahun lalu. Menurut penuturan Romo Polikarpus Gunawan SCJ, pemindahan makam ini merupakan sebagai wujud rasa memiliki tokoh gereja pertama dan masyarakat Pringsewu yang merupakan pewaris nilai-nilai kemanusiaan.

“Pemindahan makam ini bertujuan untuk mengenang tokoh geraja pertama yang berasal dari Belanda. Ini sebagai wujud rasa penghormatan atas nilai–nilai kemanusiaan yang tinggi,” kata Romo Polikaspus Gunawan SCJ, kemarin.

Selain itu, katanya lagi, dalam sejarahnya Romo MRG Albertus Hermelink Gentiaras SCJ merupakan sahabat dekatnya tokoh Islam yang ada di Pringsewu yakni KH Kholib dengan nama akrabnya Romo Kanjeng sejak tahun 1934 di Lampung, tepatnya di Pringsewu.

“Mgr Albertus Hermelink Gentiaras SCJ yang akrab di panggil Romo kanjeng merupakan teman dekat tokoh Islam di Pringsewu Kh Kholib yang datang sejak tahun 1934 lalu sebagai romo pertama di Lampung tepatnya di Pringsewu,” ungkapnya.

Setelah itu, pada tahun 1961 Romo Kanjeng diangkat menjadi uskup (pimpinan gereja) oleh Sri Paus Yohanes ke 23 dan dalam tingkatannya naik dari seorang pastur menjadi seorang uskup. “Dalam perajalannya Romo kanjeng diangkat menjai uskup (pimpinan gereja) pada tahun 1961 oleh Sri Paus Yohanes ke-23,” ucapnya sambil melanjutkan Romo Polikarpus Gunawan SCJ, Romo kanjeng wafat pada tanggal 25-02-1983 di Jakarta dan pada tanggal 6–7-2010 dipindahkan ke Pringsewu. Hingga saat ini berarti sudah 27 tahun wafat. Namun, tubuh Romo Kanjeng masih utuh dan hanya nampak coklat dan kurus saja. “Setelah 27 wafat Romo Kanjeng dipindahkan dan anehnya seluruh tubuh masih utuh, baik kulit maupun dagingnya dan wajahnya masih bisa dikenali,” bebernya.

Kesempatan itu, Romo Polikarpus Gunawan SCJ berharap dengan pemindahan ini bisa menjadi inspirasi kepada seluruh umat dan masyarakat bahwa kerukunan umat beragama yang digambarkan oleh Romo Kanjeng perlu dijaga sehingga semua umat beragama bisa rukun tanpa adanya permusuhan. (cr5)

http://rakyatlampung.co.id/web/kabupaten/4493-dipindahkan-jasad-romo-masih-utuh.html

Bagikan

Tuhan adalah Andalan Hidup

Suatu hari seorang ibu merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan batinnya. Ia tampak gelisah. Ia tidak tenang. Ia berjalan ke sana ke mari tidak tahu tujuan. Dalam kondisi seperti itu, ia berusaha untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Ia berdoa, agar Tuhan menjauhkan dirinya dari hal-hal yang tidak diinginkannya. Ia ingin mengalami suasana sukacita dan damai.

Tetapi rupanya doanya tidak manjur. Beberapa waktu kemudian ia mengalami goncangan jiwa yang sangat hebat. Ia bingung. Ia tidak tahu sama sekali penyebabnya. Dalam keadaan demikian, ia tergoda untuk lari dari Tuhan. Ia ingin mencari ketenangan pada hal-hal gaib lainnya. Tetapi hatinya tetap bertahan. Ia tetap berdoa kepada Tuhan. Ia tidak mau menyerah begitu saja pada situasi dirinya. Ia justru menyerahkan hidupnya kepada Tuhan.

Dengan cara seperti itu, ia mampu bertahan. Ia cuma bingung. Tetapi ia tidak menjadi stress. Ia mengalami sukacita dan damai. Karena itu, ia mengucap syukur kepada Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan telah memberikan keteguhan iman kepadaNya. Tuhan tidak meninggalkannya. Tuhan memiliki belas kasihan yang begitu besar kepadanya. Tuhan mau menyertainya.

Banyak orang tidak tahan ketika situasi membingungkan menghadang mereka. Iman mereka mudah goyah. Mereka mudah tergoda oleh berbagai tawaran yang semu. Mereka tidak tahu akibat yang lebih besar akan terjadi atas diri mereka. Ketika terlanjur terperosok ke dalam kegelapan hidup, baru mereka sadar bahwa tindakan mereka itu salah.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa bertahan dalam iman akan Tuhan itu membawa kebahagiaan bagi hidup ini. Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu akan melindungi manusia yang sedang mengalami kebingungan dan menderita. Mengapa? Karena Tuhan tidak mau melihat orang menderita. Tuhan tidak ingin manusia menjadi korban dari sebuah kuasa jahat, menjadi takut dalam kehidupan dan menjadi ancaman bagi sesamanya. Dalam kondisi bingung dan menderita, Tuhan akan bertindak dan berbuat sesuatu.

Yang dibutuhkan dari manusia adalah sikap penyerahan diri yang utuh kepada Tuhan. Artinya, orang berani mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Orang berani mengatakan bahwa Tuhan adalah segalanya dalam hidupnya. Tentu saja hal seperti ini tidak mudah. Ada berbagai godaan yang bisa mengubah pandangan manusia tentang Tuhan.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk selalu membiarkan Tuhan hidup dan berkarya di dalam diri kita. Tuhan mesti menjadi andalan hidup orang beriman. Karena itu, orang beriman mesti memiliki sikap iman yang teguh kepada Tuhan. Suatu sikap yang menampakkan penyerahan diri yang mendalam kepada Tuhan. Mari kita berusaha terus-menerus untuk menemukan kebahagiaan dalam hidup di dalam Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
433


Bagikan