Pages

31 Oktober 2010

Tuhan Mengasihi Orang Berdosa


Apa yang Anda rasakan ketika Anda melakukan dosa dan kesalahan? Pasti Anda merasa cemas. Anda takut ketahuan. Anda merasa bersalah terhadap Tuhan dan sesama. Namun sadarkan Anda bahwa Tuhann begitu mencintai Anda yang berdosa?

Dalam kehidupan sehari-hari manusia dihadapkan pada persoalan hidup. Persoalan hidup tersebut berbeda-beda. Cara menyelesaikannya pun berbeda-beda. Ada juga sebagian orang yang mau menyelesaikan persoalan hidupnya dengan cara yang berkenan kepada Tuhan. Mereka tidak mengandalkan kekuatannya sendiri, melainkan berusaha dan menyerahkan semuanya kepada Allah.

Tetapi ada juga sebagian orang yang hanya mengandalkan kekuatannya sendiri, tanpa melibatkan Tuhan dalam hidupnya. Tetapi cara seperti ini sering menemui jalan buntu. Orang menjadi panik. Orang lalu menuduh Tuhan tidak peduli terhadap hidup mereka.

Kita adalah manusia yang terbatas. Dalam situasi seperti ini, sikap mengandalkan Tuhan sangat diperlukan. Sikap ini akan membantu kita menghadapi setiap persoalan hidup dengan cara yang benar. Tetapi jika suatu saat kita jatuh ke dalam dosa, hendaknya kita berani meninggalkan dosa itu dan kembali kepada Tuhan.

Memang, Tuhan membenci dosa. Tetapi Ia sangat mengasihi orang berdosa. Ia menginginkan keselamatan umat manusia. Ia ingin agar kita mau kembali kepada-Nya. Tentu saja bukan suatu hal yang mudah untuk mengubah cara hidup kita. Tetapi suatu kemauan akan membantu kita untuk mengubahnya.

Kita memang tidak mampu, tetapi Tuhan yang akan memampukan kita. Selain penyerahan diri yang tulus, sebagai orang beriman kita dituntut untuk berkorban. Penyerahan yang disertai pengorbanan akan membuahkan hasil yang berlimpah.

Sahabat, Tuhan senantiasa mengasihi orang yang berdosa. Itulah keyakinan kita. Tuhan tidak mempedulikan kehidupan lama kita. Yang terpenting bagi Tuhan adalah kemauan kita untuk berubah menjadi lebih baik, sehingga hidup kita akan bermakna bagi Tuhan dan sesama.

Kalau kita mau bertobat, pertobatan itu tidak hanya di bibir. Janji untuk bertobat itu mesti dilaksanakan dalam hidup yang nyata. Kalau Anda seorang koruptor, pertobatan Anda mesti ditunjukkan dengan mengembalikan hasil korupsi itu kepada negara. Kalau Anda lakukan itu, Anda akan menjadi orang yang bebas. Hati Anda tidak perlu dikejar-kejar oleh rasa takut dann cemas. Anda tidak perlu lagi berbohong dalam melakukan tugas-tugas Anda.

Ada banyak orang merasa bahwa Tuhan akan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada orang yang melakukan banyak dosa. Mereka beranggapan bahwa Tuhan itu sebagai seorang hakim yang kejam yang selalu menjebloskan para penjahat ke dalam penjara. Karena itu, orang merasa sangat takut kepada Tuhan. Orang yang berdosa tidak berani dekat dengan Tuhan.

Anggapan seperti itu tidak benar. Yang mesti dilakukan oleh orang beriman adalah datang kepada Tuhan. Meski dosa itu banyak dan bertumpuk-tumpuk, kalau orang mau mengakui kesalahan dan mohon ampun, Tuhan akan mengampuninya. Yang penting dengan niat baik, kita mau melepaskan dosa-dosa itu. Kita meninggalkan dosa-dosa itu karena kita lebih mengasihi Tuhan dan sesama. Mari kita berusaha untuk hidup baik di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan demikian, kedamaian menjadi bagian dari hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 20.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

540

30 Oktober 2010

Menumbuhkan Kepekaan Hati

Suatu hari seorang gadis berdiri di depan jendela kamarnya. Lantas ia membuka jendela kamarnya yang sudah lama terkunci rapat. Ia memandang keluar. Ternyata di luar sana terdapat begitu banyak hal indah. Ada bunga-bunga mawar warna-warni menghiasi halaman rumahnya. Lantas matanya memandang menembus pagar rumahnya. Matanya yang bulat dan jernih itu menangkap seonggok tubuh tergeletak di atas trotoar. Tidak bergerak. Pakaian kumalnya menutupi tubuhnya.

Segera gadis itu meninggalkan kamarnya. Ia melompati pagar rumahnya untuk mendapati tubuh itu. Ia menyentuh tubuh itu. Sudah dingin. Ia tidak tinggal diam. Hatinya tersentak. Ia menjumpai orangtuanya untuk melaporkan hal itu. Ia ingin melakukan sesuatu yang terbaik bagi tubuh yang dingin dan kaku itu.

Hatinya begitu mudah tersentuh oleh kondisi tubuh tak bergerak itu. Ia ingin mengulurkan tangannya. Reaksi orangtuanya sangat positif. Sang ayah mengajak tetangganya untuk mengurus jenasah itu. Hari itu menjadi hari yang sangat bermakna bagi gadis itu dan keluarganya. Mereka boleh berbuat kasih bagi sesamanya yang tidak berdaya. Itulah wujud penghayatan imannya dalam hidup sehari-hari.

Sahabat, sering orang menutup diri terhadap dunia sekitarnya. Mengapa ini bisa terjadi? Karena orang selalu disibukkan oleh urusannya sendiri. Orang mendahulukan kepentingannya sendiri. Padahal orang tidak dapat menghayati imannya tanpa berjumpa dengan orang-orang yang hidup di sekitarnya. Orang tidak bisa melarikan diri dari dunia sekitarnya.

Untuk itu, orang mesti berani membuka jendela hatinya. Orang mesti berani memandang dunia ini lebih jauh. Ternyata ada banyak keindahan di sekitar kita. Ada begitu banyak hal yang masih membutuhkan uluran tangan kita. Ada begitu banyak hal yang mesti mendapatkan polesan tangan-tangan kita.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa ketika kita membuka hati bagi orang lain, kita akan menemukan hidup ini semakin bermakna. Ternyata hidup ini tidak berakhir dengan diri kita sendiri saja. Tetapi hidup ini mesti dikembangkan dan ditumbuhsuburkan dalam hidup sehari-hari.

Apa jadinya kalau kita cuek dan pesimis terhadap dunia sekitar kita? Apa jadinya kalau kita hanya memperhatikan diri kita sendiri? Kiranya dunia ini akan semakin runyam. Sesama yang ada di sekitar kita tidak kita dengarkan. Padahal kalau kita sungguh-sungguh buka mata dan telinga, kita akan mampu menumbuhsuburkan iman kita kepada Tuhan. Hidup kita bukanlah suatu kesia-siaan. Tetapi kita akan menemukan makna yang terdalam dari hidup ini. Ternyata hidup ini semakin memiliki makna, ketika kita mengulurkan tangan kita dengan penuh kasih.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa membuka mata dan hati kita kepada sesama. Hanya dengan cara tersebut kita dapat menyelamatkan semakin banyak orang yang mengalami penderitaan. Mari kita tingkatkan kepekaan kita terhadap sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 20.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

539

27 Oktober 2010

Berusaha Meninggalkan Egoisme

Suatu hari seorang anak merengek-rengek minta dibelikan mainan kesukaannya. Dengan sedikit enggan, ibunya mengulurkan selembar uang untuk membelinya sendiri. Sedang ia mengawasi anaknya dari kejauhan. Lalu anak itu dengan tekun mengikuti gerak tangan seorang kakek tua yang menjual mainan di pingggir jalan itu. Anak itu tergelak menyaksikan sang kakek tua memainkan permainan dari mainan itu. Anak itu sangat senang. Ia menikmati permainan kakek tua yang sudah seharian duduk di pinggir jalan itu.

Setelah beberapa saat, kakek tua itu menyerahkan mainan itu kepada anak itu. Lantas anak itu pulang menemui ibunya yang berdiri mengamatinya dari kejauhan. Herannya, kakek tua itu tidak meminta sesen pun dari anak itu. Ia menyuruh anak itu pergi begitu saja. Padahal sejak pagi belum ada yang membeli mainan darinya.

Setelah menemui ibunya, anak itu mengembalikan lagi selembar uang yang diberikan ibunya. Ia berkata, “Kakek tua itu tidak mau menerima uang ini. Dia menyuruh saya pulang dengan membawa mainan ini.”

Sang ibu mengambil uang itu. Lantas ia mengajak anaknya untuk kembali kepada kakek tua itu. Setelah berada di hadapan kakek itu, sang ibu mengucapkan terima kasih atas kebaikannya. Kakek tua itu menjawab, “Saya menjadi teringat akan cucu-cucu saya. Mereka sudah lama berpisah dari saya. Jadi kehadiran anak ibu mengingatkan saya akan cucu-cucu saya.”

Sahabat, kenangan akan orang yang dekat dengan kita membuat kita melepaskan hal-hal yang berguna bagi kita untuk orang lain. Orang yang memberi itu merasakan suatu sukacita dan kegembiraan, ketika ia boleh melepaskan apa yang dimiliki untuk orang-orang yang dicintai.

Namun ada orang yang tidak peduli terhadap sesamanya, bahkan terhadap orang-orang yang sangat dekat dan dicintainya. Banyak kita saksikan ada pertentangan di antara orang-orang yang hidup di bawah satu atap. Ada iri hati dan benci. Mengapa ini bisa terjadi di dalam sebuah komunitas yang semula punya komitmen untuk hidup bersama?

Alasan yang paling kuat adalah orang kurang punya kasih. Yang ditumbuhsuburkan adalah kecurigaan dan kebencian. Semestinya yang tumbuh subur dalam sebuah komunitas adalah kasih yang menjadi dasar seluruh hidup manusia. Yang semestinya tumbuh subur adalah pengampunan dan menerima kehadiran sesama dengan hati yang tulus.

Karena itu, orang mesti memegang teguh komitmen bersama. Artinya, orang mesti setia terhadap komitmen yang telah dibuta secara bersama-sama itu. Konsekuensinya adalah orang rela berkorban untuk sesamanya. Orang berani melepaskan kepentingan dirinya sendiri dengan mengutamakan kepentingan bersama. Egoisme mesti ditinggalkan untuk sesuatu yang lebih luas bagi hidup bersama.

Sebagai orang beriman, kita semua dipanggil untuk menghidupi komitmen kasih yang telah kita buat bersama-sama. Orang yang menyerahkan hidup kepada Tuhan itu orang yang mau meninggalkan egoismenya dan membangun komitmen bersama untuk suatu kepentingan yang lebih luas. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 20.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

538

26 Oktober 2010

Bertekun dalam Kesabaran


Suatu hari, seorang anak mendapat pelajaran tentang membuat kue dari ibunya. Ia mencampurkan takaran-takaran dari bahan pembuat kue itu. Ia mengikuti dengan eksama setiap aturan yang diberikan oleh ibunya. Setelah mencampur semua bahan, ia menuang adonan ke dalam loyang dan memasukkannya ke dalam oven.

Setelah 40 menit, kue telah tercium harum, sehingga ia tidak sabar mengintip kaca oven. Ia melihat kue telah mengembang dan tampak sudah matang. Karena itu, ia mematikan oven dan mengeluarkan kue itu. Tampak keceriaan menghiasi wajahnya. Ia siap untuk menikmati kue yang enak.

Namun, saat memotong kue, ibunya menemukan bahwa bagian tengah kue itu belum benar-benar matang. Ibunya mengatakan bahwa seharusnya ia menunggu lima menit lagi supaya kue itu sepenuhnya matang. Sang anak tertegun. Ternyata ia tidak cukup sabar menunggu untuk mendapatkan kue yang sungguh-sungguh telah matang. Namun ia tidak putus asa. Ia berjanji untuk terus belajar untuk bersabar.

Sahabat, berapa dari Anda yang tidak sabar menunggu terkabulnya doa-doa Anda? Bahkan ada yang sampai mengumpat Tuhan, karena merasa bahwa doa-doanya tidak dikabulkan oleh Tuhan. Orang merasa bahwa setelah kewajibannya berdoa kepada Tuhan dengan segala cara, Tuhan mesti mengabulkan doa mereka cepat-cepat. Tidak boleh ditunda-tunda lagi.

Tentu saja sikap seperti ini bukanlah sikap orang yang beriman sejati. Pengabulan atas doa-doa kita itu adalah hak Tuhan. Kita serahkan semuanya kepada Tuhan. Yang mesti kita lakukan adalah kita menunggu dengan sabar pengabulan doa-doa kita itu. Karena itu, kita mesti belajar untuk sabar menunggu. Kita bersabar seperti orang yang sedang antre di restoran yang sangat ramai. Perut kita sudah terasa sangat lapar, namun kita belum mendapatkan giliran untuk mengambil makanan.

Soalnya adalah yang sering terjadi dalam hidup kita adalah banyak orang menghendaki suatu solusi instan. Solusi yang cepat jadi. Suatu solusi yang cespleng yang tidak perlu waktu yang lama. Tentu saja sikap seperti ini juga bukan sikap orang beriman yang sejati. Sikap ini menunjukkan orang yang kurang percaya pada penyelenggaraan Tuhan.

Orang beriman itu mesti menyerahkan setiap permohonannya kepada Tuhan. Orang seperti ini biasanya yakin dan percaya bahwa Tuhan akan memberikan ganjaran yang setimpal kepadanya. Orang seperti ini percaya bahwa Tuhan akan memberikan apa yang dimintanya pada waktunya. Tuhan tidak pernah terlambat dalam memberikan pertolongan. Tuhan selalu memberikan pertolongan pada saat dibutuhkan.

Sebagai orang beriman, mari kita belajar untuk tetap setia dan sabar dalam menantikan pengabulan doa-doa kita oleh Tuhan. Ingatlah bahwa Tuhan selalu tepat waktu. Tuhan tidak pernah membiarkan kita terlalu lama menderita. Tuhan selalu mengulurkan bantuanNya demi keselamatan kita. Mari kita bertekun dalam kesabaran. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 20.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


537

25 Oktober 2010

Membangun Sikap Pasrah

Seorang anak lahir setelah 11 tahun pernikahan dari sebuah pasangan yang saling mencintai. Anak itu adalah buah hati mereka satu-satunya. Saat anak tersebut berumur dua tahun, suatu pagi si ayah melihat sebotol obat yang terbuka. Dia terlambat untuk ke kantor, maka dia meminta istrinya untuk menutupnya dan menyimpannya di lemari. Karena kesibukannya di dapur, istrinya sama sekali melupakan hal tersebut.

Anak itu melihat botol itu dan dengan riang memainkannya. Karena tertarik dengan warna obat tersebut, anak itu memakan semua obat yang keras itu. Padahal untuk orang dewasa saja harus meminumnya dengan dosis kecil saja. Sang istri segera membawa si anak ke rumah sakit. Tapi tidak tertolong. Ia merasa ngeri membayangkan bagaimana dia harus menghadapi suaminya.

Ketika si suami datang ke rumah sakit dan melihat anaknya yang telah meninggal, dia memandang istrinya dan mengucapkan 3 kata, “Saya Bersamamu, Sayang”.

Reaksi sang suami yang sangat tidak disangka-sangka itu adalah sikap yang proaktif. Si anak sudah meninggal, tidak bisa dihidupkan kembali. Tidak ada gunanya mencari-cari kesalahan pada sang istri. Lagipula seandainya dia menyempatkan diri untuk menutup dan menyimpan botol tersebut, peristiwa nahas itu tidak akan terjadi. Tidak ada yang perlu disalahkan. Si istri juga kehilangan anak semata wayangnya. Apa yang diperlukan saat ini adalah penghiburan dari sang suami. Tiga kata itulah yang menjadi hiburan yang sangat bernilai tinggi.

Sahabat, manusia sering mencari-cari kesalahan sesamanya. Tidak ada kesalahan pun orang mencari-carinya supaya ada sesuatu yang bisa digunakan untuk menyalahkan sesamanya. Padahal setiap orang itu pasti punya kesalahan. Tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Kisah tadi menunjukkan kepada kita bahwa mencari-cari kesalahan orang lain itu tidak berguna. Hal itu hanyalah cara untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain. Sang suami tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Ia tidak ingin istrinya hidup dalam bayang-bayang kesalahan yang tidak sengaja dibuatnya.

Untuk itu, dibutuhkan suatu sikap pasrah kepada kehendak Tuhan. Orang mesti berani membiarkan kehendak Tuhan terjadi atas hidupnya. Tuhan memang tidak menghendaki hidup orang berakhir secara tragis. Namun adalah fakta bahwa manusia akan menemukan ajalnya di dunia ini. Karena itu, yang dilakukan adalah kita berusaha untuk menghadapi hidup ini dengan hati yang lapang. Untuk itu, kita butuh sikap penyerahan diri yang mendalam kepada Tuhan.

Sebagai orang beriman, kita mesti tetap membangun suatu penyerahan diri ini. Mengapa? Karena sikap inilah yang mampu membantu kita untuk keluar dari setiap kesulitan yang kita hadapi. Kita dapat menemukan kebahagiaan dan damai dalam hidup ini berkat penyerahan diri yang mendalam kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 20.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

536

24 Oktober 2010

Menjadi Pelayan bagi Sesama

Ada seorang anak yang selalu ingin menjadi yang terdepan di mana saja. Karena itu, di kelas ia memilih tempat yang paling depan. Ia tidak mau duduk di belakang temannya yang lain. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan guru di kelasnya, ia juga selalu mau menjawab lebih dahulu. Padahal jawabannya belum tentu benar. Ia juga ingin meraih rangking terdepan di kelasnya.

Soalnya adalah ia kurang punya kemampuan untuk menjadi yang terdepan. Ia kurang begitu pintar dalam banyak hal. Pelajaran-pelajaran penting di kelas ia tidak mendapatkan nilai yang tinggi. Satu hal yang menjadi penyebab dari semua itu adalah ia hanya ingin menjadi yang terdepan, tetapi malas belajar. Ia merasa sudah pintar. Ia merasa sudah tahu segala-galanya.

Karena itu, ketika mengetahui bahwa ia tidak meraih rangking tertinggi, ia sangat terpukul. Ia menangis. Ia marah terhadap gurunya. Ia menyalahkan orang lain. Ia tidak mau menyalahkan dirinya sendiri. Baginya, semua hasil buruk yang ia peroleh itu karena kesalahan orang lain. Ia menjadi orang yang muram mukanya. Setiap hari ia tidak menampakkan wajah yang ceria. Ia sangat kecewa atas kenyataan yang dihadapinya.

Sahabat, menjadi yang terdepan itu bukan sekedar tanpa usaha. Orang mesti berusaha sekuat tenaga. Orang mesti mengarahkan seluruh kemampuannya untuk merebut tempat yang terdepan dalam hidupnya. Untuk itu, orang mesti berani menjadi pelayan bagi sesamanya.

Artinya, orang mesti berani untuk bekerja keras demi cita-cita menjadi yang terdepan itu. Orang mesti menyiapkan diri sungguh-sungguh dengan berbagai usaha. Usaha itu kadang-kadang membuat orang capek. Orang mesti memeras otaknya untuk meraih cita-cita yang terdepan itu.

Dalam salah satu pengajaranNya, Yesus mengatakan bahwa orang yang ingin menjadi yang terdepan itu harus bekerja keras. Ia berkata, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” Artinya, orang yang terdahulu itu mesti berani merendahkan dirinya. Menjadi pelayan berarti orang rela menerima setiap tugas yang diberikan kepadanya. Orang mampu melaksanakan tugas-tugasnya dalam hidup sehari-hari.

Sering orang merasa bahwa menjadi pemimpin terkenal itu enak dan menyenangkan. Padahal sebenarnya tidak sangat menyenangkan. Pemimpin terkenal itu orang yang mampu meninggalkan egoismenya. Orang yang mampu melihat kebutuhan orang lain dan berani untuk memenuhi kebutuhan orang lain itu. Orang yang mampu mendahulukan kepentingan sesamanya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa berusaha menjadi yang terbaik dalam kata dan perbuatan. Kita diharapkan menjadi pelayan bagi sesama yang membutuhkan. Kita mesti mampu meninggalkan kepentingan diri sendiri dan mengutamakan kepentingan orang banyak. Mampukah kita? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 20.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

535

23 Oktober 2010

Berhentilah Marah



Beberapa tahun lalu, seorang teman saya berkunjung ke kota Pontianak. Sahabatnya di sana mengajaknya untuk memancing kepiting. Bagaimana cara memancing kepiting?

Mereka menggunakan sebatang bambu, mengikatkan tali ke batang bambu itu, di ujung lain tali itu mereka mengikat sebuah batu kecil. Lalu mereka mengayun bambu agar batu di ujung tali terayun menuju kepiting yang sedang diincar. Mereka mengganggu kepiting itu dengan batu, menyentak dan menyentak agar kepiting marah. Kalau usaha itu berhasil, maka kepiting itu akan 'menggigit' tali atau batu itu dengan geram. Capitnya akan mencengkeram batu atau tali dengan kuat, sehingga mereka leluasa mengangkat bambu dengan ujung tali berisi seekor kepiting gemuk yang sedang marah.

Teman saya itu berkata, “Kami tinggal mengayun perlahan bambu, agar ujung talinya menuju sebuah wajan besar yang sudah kami isi dengan air mendidih. Kami celupkan kepiting yang sedang murka itu ke dalam wajan tersebut. Seketika kepiting melepaskan gigitan dan tubuhnya menjadi merah. Tidak lama kemudian kami bisa menikmati Kepiting Rebus yang sangat lezat. Kepiting itu menjadi korban santapan kami karena kemarahannya, karena kegeramannya atas gangguan yang kami lakukan melalui sebatang bambu, seutas tali dan sebuah batu kecil.”

Sahabat, banyak orang jatuh dalam kesulitan, menghadapi masalah, kehilangan peluang, kehilangan jabatan, bahkan kehilangan segalanya karena marah. Mengapa orang menjadi marah? Mungkin inilah pertanyaan yang paling mendasar yang mesti dijawab oleh setiap orang.

Ada banyak alasan orang menjadi marah. Namun satu hal yang dapat dikatakan adalah orang menjadi marah, karena orang mudah dikuasai oleh emosinya. Emosi yang membara dapat membuat orang gelap mata. Orang tidak tahu lagi apa yang dihadapi. Orang hanya memuaskan emosinya yang biasanya bersifat sesaat itu.

Untuk itu, orang mesti berani mengendalikan emosinya. Orang mesti berusaha sekuat tenaga untuk membiarkan emosinya mengalir perlahan hingga menjadi dingin. Tidak mudah terbakar oleh emosi yang bersifat sesaat itu. Kalau orang bersikap seperti ini, orang menemukan damai dan bahagia dalam hidupnya. Orang akan merasakan bahwa hidup ini semakin indah dan berguna bagi orang lain.

Mari kita berusaha untuk mengendalikan emosi kita. Dengan demikian, hidup kita menjadi aman dan tenteram. Kita dapat membangun suatu hidup yang lebih baik dengan Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 20.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

534

22 Oktober 2010

Iman yang Menjadi Nyata dalam Hidup

Ada seorang pemimpin yang suka bicara. Ia juga suka memerintah anak buahnya untuk melakukan hal-hal yang diinginkannya. Kalau ia sudah berkata, semua yang lain mesti mengikuti kata-katanya. Soalnya, ia sendiri tidak bisa melakukan apa yang diucapkannya.

Ia sering mangkir dari pekerjaan utamanya. Ia lebih suka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang disukainya. Kalau ia tidak suka berada di kantor, ia akan pergi untuk memancing di sungai. Atau ia akan bermain golf seharian penuh. Ia tidak peduli dengan pekerjaan utamanya.

Kondisi seperti ini sering membuat para pegawainya mengeluh. Mereka tidak begitu suka menyaksikan tingkah laku pimpinan mereka. Yang mereka kehendaki adalah seorang pimpinan yang setia melaksanakan tugas-tugas utamanya. Bukan hanya sekedar memerintahkan para pegawainya mengerjakan pekerjaan mereka. Mereka membutuhkan seorang pemimpin yang sungguh-sungguh menjadi panutan. Mereka butuh seorang pemimpin yang sungguh-sungguh memberikan teladan bagi mereka.

Akibat dari situasi seperti ini adalah pekerjaan para pegawai menjadi amburadul. Mereka bekerja sesukanya mereka. Kalau ada pimpinan, mereka akan melaksanakan tugas-tugas mereka dengan sungguh-sungguh. Namun kalau pimpinan lagi tidak ada di tempat, mereka ogah-ogahan dalam bekerja. Akibat lanjutnya adalah perusahaan bertumbuh tidak sesuai dengan yang diharapkan. Lama-kelamaan perusahaan itu hancur berantakan. Perusahaan mengalami kebangkrutan.

Sahabat, dalam hidup ini tidak hanya kata-kata yang dibutuhkan. Yang juga sangat dibutuhkan adalah perbuatan nyata. Teladan menjadi penting dalam kehidupan bersama. Mengapa? Karena melalui teladan itu orang akan mengalami kesuksesan dalam hidupnya. Contoh itu menjadi sangat penting, karena contoh itu cerminan hidup manusia. Refleksi hidup yang nyata itu hadir dalam contoh dan teladan hidup.

Santo Yakobus mengaitkan contoh dan teladan itu dengan iman. Menurutnya, iman yang tidak disertai dengan perbuatan pada hakekatnya adalah mati. Iman itu mesti menjadi hidup dalam perjalanan hidup manusia. Iman itu bukan hanya pengakuan yang ada di bibir saja.

Ia berkata, ”Apakah gunanya, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”

Iman itu sungguh-sungguh menjadi hidup ketika dilaksanakan dalam hidup ini. Mari kita mewujudnyatakan iman kita, agar Tuhan berkenan kepada kita. Dengan demikian, kita akan mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 20.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


533

21 Oktober 2010

Mempertahankan Hal-hal yang Berharga


Ada dua orang yang lahir kembar. Sejak kecil mereka selalu bertengkar. Bahkan menurut pengakuan ibu mereka, keduanya sudah berkelahi sejak berada dalam kandungan. Ibu mereka merasakan hal itu di kala keduanya saling menendang. Karena itu, ketika bertumbuh pun mereka selalu bertengkar bahkan berkelahi. Tidak ada yang mau kalah. Keduanya bersaing untuk menang.

Suatu hari anak yang lahir kemudian sedang memasak makanan yang sangat enak. Tiba-tiba kakaknya datang. Ia ingin mencicipi makanan itu. Namun sang adik tidak mau memberikannya, kalau sang kakak tidak mau menyerahkan hak anak sulung kepadanya. Setelah bertengkar beberapa saat, sang kakak mengalah. Ia rela menyerahkan hak kesulungannya kepada adiknya. Ia boleh mencicip bahkan boleh menghabiskan satu piring makanan tersebut.

Bagi sang adik, ia boleh berbangga karena semua hak atas warisan akan jatuh ke tangannya. Tidak hanya itu. Ia punya hak atas diri kakaknya yang lahir beberapa menit setelah dirinya. Hak kesulungan itu ia gunakan sebaik-baiknya untuk kemajuan dirinya. Hak kesulungan itu ia pakai sedemikian rupa untuk kemajuan dirinya. Sedang sang kakak? Ia kemudian menyadari dirinya. Ia telah menjual hak kesulungannya dengan sepiring makanan yang enak. Begitu bodohnya ia. Begitu lemahnya dia. Ia merelakan hak kesulungan yang begitu berharga hanya demi sepiring makanan enak.

Sahabat, banyak orang merelakan hal-hal yang sangat bernilai dan berharga untuk hal-hal yang sepele. Banyak orang berani meninggalkan budayanya yang begitu bernilai tinggi hanya untuk menggapai sesuatu yang bernilai rendah. Banyak orang menjual harga dirinya dengan segepok uang panas. Korupsi yang marak terjadi di negeri ini menjadi salah satu contoh. Orang tega menjual harga dirinya untuk mendapatkan kekayaan dan kesejahteraan dalam waktu yang singkat. Benarkah hal yang demikian?

Tentu saja orang yang beriman teguh akan menentang tindakan seperti ini. Orang yang beriman teguh akan memelihara dan memperjuangkan harga dirinya. Ia tidak tergoda oleh berbagai bujuk rayu yang mengenakkan dirinya hanya untuk sesaat itu. Orang beriman mesti lebih bertahan dalam kejujuran daripada mengorbankan sesuatu yang sangat berharga untuk kepentingan sesaat.

Melalui kisah tadi kita diajak untk senantiasa memelihara, menjaga dan menumbuhkembangkan hal-hal yang baik untuk kehidupan kita. Untuk itu, dibutuhkan suatu ketahanan diri. Dibutuhkan suatu konsistensi dalam hidup ini untuk bertahan terhadap godaan-godaan. Mari kita terus-menerus memperjuangkan hal-hal yang berharga dalam hidup kita. Nilai-nilai yang kita miliki tidak dapat dijual dengan materi. Hal-hal berharga yang kita miliki tidak bisa ditukar dengan hal-hal instan yang sering menyesatkan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 20.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

532

20 Oktober 2010

Berpegang Teguh pada Kejujuran

Seorang anak dihadapkan pada dua pilihan, ketika ia menemukan uang satu juta rupiah di sekolahnya. Ia bingung, apakah uang itu digunakan untuk kebutuhannya atau ia menunggu sampai ada orang yang mencarinya. Kalau ia gunakan uang itu, berarti ia tidak jujur. Uang itu bukan miliknya. Tetapi kalau tidak ia gunakan, ia merasa rugi. Kan ada uang yang tidak bertuan.

Setelah lama mempertimbangkan hal itu, akhirnya anak itu menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan pribadinya. Dengan demikian, ia tidak perlu minta uang lagi dari orangtuanya. Tanpa merasa bersalah, ia menggunakan uang tersebut untuk bersenang-senang. Ia mentraktir teman-temannya. Ia tidak peduli bahwa ada orang yang kehilangan uangnya. Ada orang yang sangat membutuhkan uang untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Anak itu berkata dalam hatinya, ”Toh tidak ada yang tahu milik siapa uang itu. Saya juga tidak sengaja menemukannya. Kan saya berhak menggunakannya untuk kebutuhan saya.”

Sahabat, nasihat untuk berlaku jujur selalu mudah diucapkan daripada dipraktekkan. Ketika orang berada dalam keadaan terjepit, orang lebih memilih keuntungan. Orang tidak lagi berpikir mengenai kejujuran. Dalam situasi terjepit itu berlaku prinsip ’jujur kurang menguntungkan’. Bahkan orang akan merasa terpojokan. Tetapi kalau orang berlaku tidak jujur dalam situasi terjepit itu, keuntungan besar akan ia raih untuk hidupnya. Bahkan kebanggaan akan diraih dalam hidup.

Sebenarnya, kejujuran tidak berkaitan dengan untung rugi. Kejujuran tidak perlu dihitung dengan nilai uang. Kejujuran juga bukan sebuah pilihan. Kejujuran itu suatu sikap tetap yang tidak bisa digantikan oleh keuntungan dalam hidup. Orang yang jujur akan tetap jujur, meski ia kehilangan sebagian harta kekayaannya. Sebaliknya orang yang berdusta itu memilih untuk berdusta.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa orang mesti tetap mempertahankan kejujuran dalam hidupnya. Apa pun godaan yang datang menghadang, orang mesti tetap setia pada panggilannya untuk hidup jujur. Karena itu, orang mesti belajar dari Tuhan yang senantiasa jujur terhadap ciptaan-Nya. Tuhan tidak pernah mengkhianati ciptaan-Nya. Tuhan senantiasa membantu ciptaanNya untuk hidup jujur dan benar di hadapanNya.

Sebagai orang beriman, kita mesti tetap mempertahankan kejujuran dalam hidup ini. Apa pun situasi yang sedang menghimpit kita, kita mesti tetap jujur. Hanya dengan demikian, kita akan meraih kebahagiaan dalam hidup ini.

Sebuah pepatah kuno mengatakan bahwa kejujuran adalah mata uang yang laku di mana-mana. Karena itu, sebagai orang beriman, mari kita bawa sekeping kejujuran dalam hidup kita. Jangan kita menggadaikan kejujuran dengan hal-hal yang akan menghancurkan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

531

19 Oktober 2010

Bersyukur Melalui Kreasi Kita


Thomas Alva Edison adalah seorang penemu terbesar pada abad yang lalu. Dalam hidupnya, ia mengantongi tiga ribu paten penemuan ilmiah. Lelaki kelahiran Ohio, Amerika Serikat, ini tinggal di sebuah rumah besar yang dikelilingi pagar besi. Para tamu yang akan masuk ke halaman rumahnya harus membuka pintu gerbang besi yang sangat berat dan kemudian menutupnya kembali sampai benar-benar tertutup.

Sebagai ilmuwan produktif yang banyak membuat penemuan baru, tentu ia banyak dikunjungi tamu. Apalagi ia pernah memiliki pabrik dan laboratorium dengan 300 karyawan. Suatu ketika, seorang teman dekatnya mengeluh kepada Edison, betapa ia harus menguras banyak tenaga setiap kali membuka dan menutup gerbang rumah Edison.

Dengan mengedipkan mata, Edison lalu mengajak sang teman naik tangga menuju ruangan di atap rumahnya. Di sana terdapat alat-alat mekanis rumit yang terdiri atas beberapa pengukit besi, kerekan dan pompa-pompa. Sang teman terheran-heran, apa maksud tuan rumah mengajaknya ke ruang tersebut.

“Engkau pasti tidak tahu setiap kali ada orang yang membuka dan menutup pintu gerbang depan, secara otomatis akan memompa satu gallon air ke dalam bak penampungan air di sini,” kata Edison.

Sang teman kemudian paham. Ternyata Edison tidak perlu mengeluarkan banyak energi lagi untuk memompa air.

Sahabat, kemampuan manusia dapat mengubah hidup manusia itu sendiri. Tentu saja kemampuan positif yang digunakan untuk kebaikan manusia. Bukan untuk kejahatan yang menghancurkan kehidupan manusia. Karena itu, kemampuan yang positif itu mesti digunakan sebaik-baiknya untuk membangun perkembangan dan kemajuan manusia.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kelebihan manusia itu dapat menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi kemajuan manusia. Thomas Alva Edison yang ahli menggunakan keahliannya untuk memajukan kehidupan dunia. Ia yakin dengan demikian manusia akan mengalami kemudahan dalam hidupnya. Karena itu, ia tetap berkreasi untuk menemukan sesuatu yang baru yang berguna untuk kehidupan manusia.

Orang yang tidak berhenti berkreasi itu biasanya orang yang beriman. Orang yang menggunakan kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya untuk kebaikan hidup manusia. Karena itu, setiap orang beriman yang tidak mau berkreasi, orang itu kurang mensyukuri anugerah yang diberikan kepadanya. Tuhan telah mempercayakan banyak hal bagi hidup manusia. Untuk itu, manusia mesti menggunakan kepercayaan itu sebaik-baiknya untuk kemajuan dan perkembangan hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita mesti berusaha untuk menemukan hal-hal yang berguna bagi hidup kita. Dengan demikian, kita senantiasa bersyukur atas rahmat yang diberikan Tuhan kepada kita. Mari kita terus-menerus berkreasi untuk kemajuan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

530

18 Oktober 2010

Berusaha Memiliki Hati yang Besar bagi Sesama

Suatu hari seorang murid datang kepada gurunya. Ia mengajukan protes terhadap gurunya. Pasalnya, ia melihat seorang yang bukan murid dari gurunya itu sedang mempraktekkan ajaran-ajaran gurunya. Dia berkata, ”Saya baru saja melihat seorang yang bukan pengikut guru sedang mempraktekan ajaran-ajaran guru. Itu kan tidak baik. Bolehkah saya pergi untuk melarangnya?”

Sambil tersenyum, guru itu berusaha untuk menenangkan hati muridnya. Ia berkata kepadanya, ”Biarkan saja dia melakukan kebaikan-kebaikan yang telah saya ajarkan itu. Bukankah orang itu juga punya hak untuk hidup sebagai orang baik?”

Murid itu tidak puas dengan jawaban sang guru. Ia sewot. Ia ingin pergi untuk menghadik orang itu. Tetapi sang guru mencegahnya. Ia berkata, ”Murid-murid saya harus memiliki hati yang besar. Murid-murid saya tidak boleh iri hati terhadap kesuksesan orang lain. Orang itu bukan musuk kita.”

Murid itu terkejut mendengar kata-kata sang guru. Ia tidak bisa mengerti mengapa ada orang yang menjadi kompetitor dibiarkan melakukan ajaran-ajaran sang guru dengan leluasa. Namun murid itu kemudian mengerti tentang pandangan gurunya. Ia menghentikan keinginannya. Ia berusaha untuk memahami maksud sang guru.

Sahabat, sering orang kurang suka menyaksikan kesuksesan orang lain. Orang seperti ini orang yang punya pikiran sempit. Orang yang hanya melihat dari satu sisi saja. Orang tidak memiliki hati yang besar dan lapang. Orang seperti ini biasanya terkungkung dalam keterbatasan pikirannya. Orang seperti ini tidak akan bertumbuh dan berkembang menjadi orang yang maju. Orang seperti ini berhenti pada dirinya sendiri. Orang seperti ini akan mengalami kekerdilan dalam hidupnya.

Orang besar biasanya berpikir besar dan luas. Ia tidak terhimpit oleh pandangan-pandangan yang sempit. Ia memiliki hati dan pikiran yang tidak terbatas yang menembus sekat-sekat kekauan. Orang seperti ini biasanya orang yang mampu membuka hatinya untuk siapa saja yang dijumpai.

Orang besar yang berpikir luas itu biasanya mau menerima pandangan orang lain. Ia tidak gampang iri hati oleh kesuksesan sesamanya. Namun kesuksesan sesamanya itu digunakan untuk kekayaan dirinya. Ia berusaha untuk mengayomi dan membiarkan kreativitas bertumbuh dan berkembang dengan leluasa.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk memiliki hati yang besar dan lapang untuk semua orang. Ketika kita memiliki hati yang besar, kita akan menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini. Dengan demikian, kita dapat memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bertumbuh dan berkembang. Kita dapat menyelamatkan semua orang yang merindukan kebahagiaan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

529

17 Oktober 2010

Meningkatkan Semangat Berbagi


Ada seorang kudus bernama Vincentius a Paulo. Hidupnya ia persembahkan untuk orang-orang miskin. Kekayaannya digunakan untuk membantu orang-orang miskin. Karena itu, di sekitarnya selalu saja ada orang miskin yang datang untuk hidup bersamanya. Mereka menemukan damai dan sukacita bersamanya.

Namun Vincentius tidak mau bekerja sendirian. Ia mengumpulkan rekan-rekannya untuk membangun sikap peduli terhadap orang-orang yang berkekurangan. Banyak rekannya kemudian mau bergabung dalam kelompok yang didirikannya. Mereka menyumbangkan kekayaan yang mereka miliki untuk kegiatan-kegiatan bagi orang-orang yang kurang beruntung dalam hidup mereka.

Vincentius menemukan sukacita dan damai dengan melayani sesamanya yang miskin dan melarat itu. Ia boleh menjadi perpanjangan kasih Tuhan bagi manusia. Ia boleh membagikan kasih Tuhan yang berlimpah atasnya kepada sesamanya yang berkekurangan. Banyak orang terbantu oleh kebaikan dan tindakan kasih dari Vincentius dan kelompoknya itu.

Sahabat, di sekeliling kita ada begitu banyak orang yang membutuhkan kasih dari kita. Mereka mengalami kekurangan dalam hidupnya bukan melulu kesalahan mereka. Mereka menjadi miskin bukan karena mereka malas. Mereka melarat bukan karena mereka berasal dari keluarga dan lingkungan yang miskin. Namun ada berbagai faktor yang menyebabkan mereka menjadi miskin dan melarat.

Lantas apa yang mesti kita buat? Yang pertama-tama adalah kita menemukan faktor penyebab kemiskinan itu. Mungkin sesama kita miskin karena kita rakus dalam hidup ini. Mungkin kita tidak mau berbagi dengan mereka. Mungkin saja mereka menjadi miskin karena mereka tidak punya kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Karena itu, kita meski memupuk kepekaan hati kita terhadap sesama kita. Kalau selama ini kita rakus, kita mesti berani untuk mengubah diri kita. Kita berusaha menjadi orang yang rela membagikan apa yang kita miliki seperti yang telah dilakukan oleh Vincentius a Paulo itu. Dengan demikian, banyak orang akan menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk terus-menerus memiliki kepedulian terhadap sesama kita. Kepekaan terhadap sesama mesti menggerakkan hati kita untuk membangkitkan semangat berbagi dengan sesama kita. Kita mesti ingat bahwa kita hidup bukan untuk diri kita sendiri saja. Sama seperti orang-orang di sekitar kita, kita juga hidup bagi orang lain. Mari kita meningkatkan semangat berbagi dengan mereka yang berkekurangan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


528

16 Oktober 2010

Membangun Saling Percaya



Seorang ibu rumah tangga selalu setia terhadap suaminya. Dia selalu menunggu kedatangan suaminya pulang dari kantor untuk menyambutnya dengan cinta dan kasih sayang.

Suatu hari ibu itu ingin memasak makanan istimewa untuk suaminya. Dia menelpon ke kantor sang suami untuk menanyakan apa makanan yang diinginkan hari itu. Namun tidak ada jawaban. Sampai tiga kali ia menelpon suaminya. Kali yang terakhir yang menjawab justru seorang cewek. Wajah ibu itu menjadi merah padam. Namun ia berusaha menahan kemarahannya. Ia mematikan telephonenya dengan sangat sabar dan hati-hati.

Sore harinya, saat sang suami pulang, ibu itu masih marah. Ia tidak mau menyambut suaminya dengan kasih sayang. Tidak ada ciuman pipi yang ia berikan untuk suaminya. Sang suami menjadi heran atas perubahan dalam diri istrinya. Namun ia tidak mau gegabah. Ia membiarkan suasana menjadi tenang.

Waktu makan malam, sang suami menanyakan kondisi istrinya. Menurutnya, ia punya hak untuk menanyakan hal itu. Jawaban istrinya sangat mengagetkan suaminya. Ia mengatakan bahwa ia mulai bosan hidup bersama suaminya itu. Apalagi suaminya sudah mulai kurang setia kepadanya.

Namun suaminya tidak putus asa. Ia tidak mau mengambil keputusan yang ceroboh. Ia mengajaknya untuk mendiskusikan hal itu. Ia pun menjelaskan alasan kemarahan istrinya. Menurut suaminya, cewek yang menjawab telephon istrinya adalah seorang sekretaris di kantornya. Jadi tidak alasan bagi istrinya untuk menuduhnya berselingkuh. Beberapa saat kemudian sang istri mulai sadar atas kesalahpahamannya. Ia pun meminta maaf dan berjanji untuk tetap setia kepada suaminya.

Sahabat, salah paham selalu terjadi dalam hidup manusia. Ada berbagai alasan orang dapat salah paham. Salah satunya adalah orang hanya memasang telinganya sendiri untuk mendengarkan persoalan hidup. Orang tidak mau mendengarkan sesamanya. Padahal kalau orang mampu mendengarkan orang lain, tidak perlu terjadi kesalahpahaman.

Untuk itu, orang mesti belajar untuk mengumpulkan informasi dari sumber yang benar. Tidak cukup orang hanya mendengarkan dari satu sumber. Orang perlu mendengarkan dari sumber-sumber lain. Kalau ini yang terjadi, hidup ini akan selalu harmonis. Orang akan mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya, karena orang memiliki rasa percaya terhadap dirinya.

Untuk itu, orang mesti membangun saling percaya dalam hidup bersama. Hal ini akan membantu orang untuk menemukan makna hidup ini. Kalau orang menemukan makna hidup ini, orang akan mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya. Orang akan menemukan hidup itu sungguh-sungguh bernilai bagi diri dan sesama.

Sebagai orang beriman, membangun saling percaya itu mesti dilandasi iman yang kokoh kepada Tuhan. Orang yakin bahwa Tuhan selalu menjadi bagian dalam hidupnya. Tuhan senantiasa menemani perjalanan hidupnya. Tuhan selalu terlibat dalam hidupnya, sehingga hidup ini memiliki nilai yang tinggi. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

527

15 Oktober 2010

Menyambut Sesama dengan Tulus

Ada seorang teman yang selalu memperlakukan sesamanya dengan sangat baik. Ia selalu menyapa mereka dengan sapaan yang meneduhkan hati. Meskipun pagi hari ia sudah menyapa temannya, ia akan menyapa lagi begitu ia berjumpa lagi dengannya. Ia membiarkan senyumnya mengawali hari-hari hidupnya. Dengan begitu, ia berharap orang yang disapanya itu akan menemukan kegembiraan pada hari itu.

Tentang hal ini, ia berkata, ”Saya ingin hidup ini menjadi bermakna. Saya ingin setiap orang menemukan sukacita dalam hidupnya. Saya tidak ingin ada orang yang hidup di dekat saya selalu menggerutu tentang hidupnya.”

Untuk itu, teman saya itu juga mengorbankan waktu-waktu luangnya untuk mengunjungi sahabat-sahabatnya. Ia tidak memilih-milih sahabat mana yang dia kunjungi. Baginya, setiap orang itu sama. Setiap orang membutuhkan perhatian yang sama. Karena itu, setiap tetangganya ia kunjungi.

Reaksi dari tetangganya sangat simpatik terhadap apa yang dilakukan oleh teman saya itu. Mereka merasa bahwa ada orang yang begitu peduli terhadap hidup mereka. Ada orang yang mengorbankan waktunya untuk mau menyapa sesamanya. Hidup mereka menjadi indah. Begitu bermakna.

Sahabat, kita sering menganggap diri kita adalah orang baik. Akibatnya, kita menunggu orang lain untuk menyapa kita. Kita menunggu orang lain memberikan perhatian kepada kita. Dengan demikian, kita dapat menemukan sukacita dalam hidup ini.

Ada orang yang mau menerima sesamanya dengan hati terbuka, ketika sesamanya itu memiliki kekayaan. Atau paling tidak penampilannya menggiurkan hati. Ia hanya mau menerima orang yang bungkus luarnya indah dan menarik. Misalnya, orang yang mengunjunginya itu pakai mobil mewah merek terbaru. Kalau sampai orang yang mendatanginya itu berpakaian compang-camping yang hanya menggunakan kendaraan sederhana, ia akan menolaknya.

Ini yang disebut dengan pilih-pilih orang. Padahal Tuhan menciptakan semua orang itu sama. Tuhan telah memberi harkat dan martabat yang sama. Bungkus luar yang bagus, indah dan menawan itu belum tentu sama dengan isinya. Bisa saja bungkus luar yang mempesona itu hanya suatu kamuflase. Bukankah manusia pandai berkamuflase, agar orang dapat menerima dirinya dengan baik?

Sebagai orang beriman, kita diharapkan menerima siapa saja yang datang kepada kita. Orang beriman itu orang yang tidak memilih-milih teman dalam hidupnya. Orang beriman itu tidak menyingkirkan sesamanya yang kurang menawan dan yang miskin. Orang beriman itu selalu menyambut kedatangan setiap orang ke dalam hidupnya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa hanya dengan menerima kehadiran semua orang, kita akan dapat membahagiakan sesama. Kebahagiaan itu mesti tumbuh dari diri kita sendiri. Kebahagiaan itu mesti diciptakan dari hati yang tulus dan jujur. Hanya dengan cara demikian, dunia ini akan menjadi tempat yang aman dan damai bagi hidup manusia. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

526

14 Oktober 2010

Menciptakan Suasana Kehangatan dalam Hidup Bersama

Seorang kakek sedang berjalan-jalan sambil menggandeng cucunya di jalan pinggiran pedesaan. Setelah berjalan agak jauh, mereka menemukan seekor kura-kura. Cucunya mengambilnya dan mengamat-amatinya dengan seksama. Kura-kura itu segera menarik kaki dan kepalanya masuk di bawah tempurungnya. Cucunya mencoba untuk membukanya secara paksa.

Melihat tingkah cucunya, kakek itu berkata, “Cara demikian tidak akan pernah berhasil. Saya akan mencoba mengajarimu.”

Kakek itu mengajak cucunya pulang ke rumah sambil membawa kura-kura itu. Setelah sampai di rumah, sang kakek meletakkan kura-kura itu dekat perapian. Beberapa menit kemudian, kura-kura itu mengeluarkan kakinya dan kepalanya sedikit demi sedikit. Ia mulai merangkak bergerak mendekati si anak.

Melihat hal itu, sang kakek berkata, ”Janganlah mencoba memaksa melakukan segala sesuatu. Berilah kehangatan dan keramahan. Ia akan menanggapinya.”

Sahabat, orang sering memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Harapannya adalah agar orang tersebut melaksanakan kehendaknya itu dengan baik dan menyenangkan hatinya. Namun seringkali hasil dari suatu pekerjaan yang dipaksakan adalah tidak maksimal. Orang tidak merasa nyaman melaksanakan suatu pekerjaan yang dipaksakan.

Ternyata manusia membutuhkan suasana lepas bebas dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Suatu kebebasan yang memberikan suasana yang menyenangkan orang untuk melaksanakan pekerjaannya. Suasana seperti ini tidak diperoleh melalui suatu paksaan. Tetapi suasana seperti ini mesti diciptakan sedemikian rupa, sehingga orang merasakan nyaman dengan pekerjaannya dan menyelesaikannya.

Kisah tadi mengusulkan untuk memberi suatu kehangatan. Suatu kondisi di mana orang mengalami semangat yang tinggi untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Suatu suasana yang menjamin orang untuk yakin bahwa apa yang dikerjakan itu bukan sesuatu yang sia-sia. Suasana hangat itu memberikan kepada orang kesempatan untuk berkreasi dengan lebih maksimal. Dengan demikian, apa yang menjadi cita-citanya dapat dicapai dengan baik.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa menciptakan suasana kehangatan dalam hidup kita. Dengan demikian, kita dapat menumbuhkan semangat dalam karya kita. Mampukah kita? Tentu saja dengan semangat yang diberikan oleh Tuhan sendiri, kita mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan kita. Hasilnya juga akan maksimal, karena kita melaksanakannya dengan penuh sukacita dan bahagia. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

525

13 Oktober 2010

Melepaskan Iri Hati dan Cemburu

Ada seorang bapak yang begitu gampang iri hati dan cemburu. Temannya berhasil dalam usaha, ia cemburui. Ia iri hati. Namun ia sendiri tidak bisa melakukan sesuatu yang membuat ia dapat berhasil dalam usahanya. Ia bukan tipe seorang pejuang yang secara sportif menerima keterbatasan dan kekurangannya.

Karena itu, ia punya berbagai siasat untuk menjatuhkan teman sekerjanya yang selalu bekerja dengan tekun dan baik. Ia mendekati pimpinannya lalu mulai menjelek-jelekan temannya itu. Ia berharap dengan menceritakan kejelekan temannya itu, pimpinannya akan percaya kepadanya. Selanjutnya, pimpinannya akan memberi dia tempat yang lebih tinggi di perusahaan itu.

Ternyata dugaannya keliru. Pimpinannya itu tidak mudah terprovokasi. Ia tidak mau begitu saja percaya terhadap cerita temannya itu. Ia mencari informasi lain tentang orang yang dijelek-jelekan itu. Hasilnya, sangat mencengangkan. Bapak yang menjelek-jelekkan temannya itu justru dipanggil oleh pimpinannya. Ia diberi peringatan untuk berhenti menjelek-jelekkan orang lain. Kalau ia masih juga berani menjelek-jelekkan orang lain, ia bakal kehilangan pekerjaannya.

Bapak itu pun bertobat. Sejak dipanggil dan diberi peringatan itu, ia tidak lagi menjelek-jelekkan orang lain di perusahaan itu. Ia juga tidak lagi iri hati dan cemburu ketika teman-temannya yang lain berhasil dalam pekerjaan-pekerjaan mereka.

Sahabat, iri hati dan cemburu buta bukanlah sikap yang baik dari orang beriman. Iri hati sering membuat orang hanya melihat sesama dari sisi yang jelek. Situasi hitam yang selalu menjadi hal utama yang dilihat. Sedangkan sisi baik yang sebenarnya lebih banyak menguasai diri manusia seringkali tidak dilihat. Orang yang berhasil baik dalam pekerjaannya tidak diberi semangat dan pujian. Bahkan dicari-cari kejelekkannya untuk dihancurkan.

Tentu saja kita tidak ingin iri hati dan cemburu menguasai dri kita. Untuk itu, apa yang mesti kita buat? Yang mesti kita buat adalah kita mesti berani menerima sesama apa adanya. Kita tidak perlu melihat sisi hitam atau jelek yang ada dalam dirinya. Yang mesti kita lihat adalah kebaikan-kebaikan dari sesama kita.

Namun tidak berarti kita tidak kritis terhadap sesama. Kita boleh mengkritik sesama kita sejauh kritik itu membangun dan memajukan dirinya dalam kehidupan bersama. Kalau kritik kita tidak bersifat membangun dan memajukan, lebih baik kita berhenti mengkritik. Lebih baik kita melakukan kegiatan-kegiatan kita untuk kemajuan bersama di tempat kita bekerja.

Sebagai orang beriman, kita diberi kemampuan untuk mengasihi sesama kita. Semestinya kemampuan inilah yang menjadi andalan dalam hidup kita. Semestinya inilah hal yang terpenting dalam memajukan kehidupan bersama kita. Dengan demikian, kita menjadi orang-orang yang berguna bagi hidup bersama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


524

12 Oktober 2010

Memelihara Kebahagiaan dengan Sikap Rendah Hati

Seorang gadis bangga luar biasa atas prestasi yang diraihnya. Betapa tidak? Ia menjadi murid yang menempati rangking satu di kelas bahkan di sekolahnya. Begitu bangganya, ia mentraktrik teman-teman kelasnya. Ia membawa mereka ke sebuah rumah makan yang mahal. Kelas tinggi. Ia tidak peduli atas berapa uang yang akan dikeluarkannya untuk makan siang itu. Yang penting baginya adalah ia senang dan teman-temannya pun senang. Ia dapat membahagiakan diri dan teman-temannya.

Soalnya adalah sepuluh orang teman yang dibawanya itu makan sebanyak-banyaknya. Bagi mereka, itulah kesempatan yang sangat berharga. Apalagi mereka tidak perlu keluar uang untuk makan siang itu. Mereka makan sepuas-puasnya. Mereka berusaha untuk menyenangkan hati gadis itu.

Ketika selesai makan, tagihan sangat banyak. Lebih dari yang diperkirakan gadis itu. Ia menjadi sedih. Ia dapat membayarnya siang itu, karena hari itu ia membawa banyak uang. Hatinya tidak damai. Kesenangan sesaat yang ia peroleh. Ia menjadi kecewa terhadap teman-temannya, meskipun ia tidak mengungkapkan kekecewaannya itu.

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari penuh kemurungan. Ia kehabisan uang untuk jajan dan membeli kebutuhan-kebutuhan lainnya. Ia mau meminta kepada orangtuanya, ia takut kalau mereka tahu bahwa ia sudah mentraktir teman-temannya. Ia tidak berani. Ia merasa sangat bersalah atas perbuatannya. Sejak itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak foya-foya.

Sahabat, hidup ini penuh dengan mimpi-mimpi. Orang bermimpi untuk dipuja-puji atas keberhasilannya meraih sesuatu yang tinggi. Orang bermimpi untuk menggapai bulan dalam sehari. Orang bermimpi melintasi api yang sedang bernyala-nyala. Namun semua mimpi itu hanya meninggalkan kekecewaan demi kekecewaan. Ternyata mimpi-mimpi itu tidak menjadi kenyataan.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa suatu kebahagiaan yang dapat bertahan itu kebahagiaan yang tidak semu. Suatu kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Suatu kebahagiaan yang mengalir dari hati yang terdalam. Bukan suatu kebahagiaan yang sementara saja sifatnya.

Tentu saja kebahagiaan yangg bertahan lama itu tidak harus digembar-gemborkan. Suatu kebahagiaan yang menukik ke dalam diri sendiri. Suatu kebahagiaan yang senantiasa direfleksikan terus-menerus dalam perjalanan hidup manusia. Untuk itu, mengobral kebahagiaan hanyalah suatu tindakan yang merugikan diri sendiri. Suatu tindakan yang hanya membiarkan diri dikuasai oleh kekecewaan demi kekecewaan.

Karena itu, apa yang mesti kita buat untuk mempertahankan kebahagiaan itu? Kita mesti tetap rendah hati. Kita mesti rela untuk menemukan hidup kita dalam keadaan apa adanya. Tidak berubah menjadi suatu pribadi yang megah dan aneh. Tentu saja merendahkan diri kita di hadapan Tuhan dan sesama itu tidak mudah. Namun kalau kita memiliki sikap syukur yang terus-menerus, kita akan menjadi orang-orang yang sungguh-sungguh bahagia dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


523

11 Oktober 2010

Belajar Terus-menerus untuk Membangun Cinta Kasih


Ada seorang pemuda yang baru saja lulus dari perguruan tinggi. Ia tampak gembira. Wajahnya dihiasi dengan senyum kebahagiaan. Betapa tidak? Sudah empat tahun ia berjuang untuk meraih cita-citanya menjadi seorang sarjana. Ijasah yang dimilikinya akan ia gunakan untuk mencari pekerjaan. Ia ingin membahagiakan kedua orangtuanya dan membangun masa depan yang lebih cerah.

Untuk beberapa saat ia membiarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya di perguruan tinggi itu meresap dalam dirinya. Ia tidak ingin segera menggunakan ilmu-ilmu itu. Menurutnya, ia butuh waktu. Ia tidak mau tergesa-gesa. Ia ingin agar ilmu-ilmunya itu sungguh-sungguh berguna di lapangan pekerjaan.

Benar. Selama berada di rumah ia seolah-olah melupakan ilmu-ilmunya. Ia berusaha untuk tidak diganggu lagi oleh buku-buku kuliah. Yang ia inginkan adalah menjauhi dulu buku-buku itu. Empat tahun sudah cukup baginya untuk disibukan oleh buku-buku itu.

Sayang, pekerjaan yang ia tunggu-tunggu tidak datang-datang juga. Ia sudah memasukkan lamaran ke berbagai instansi, namun tidak ada yang memanggilnya. Ketika ia menghubungi instansi-instansi itu, jawaban mengecewakan yang ia terima. Misalnya, kondisi perusahaan yang lagi kurang baik. Pegawai yang cukup. Atau perusahaan sedang mengadakan pengurangan pegawai.

Pemuda itu menjadi kecewa. Ia tidak mau belajar lagi. Ia membakar semua buku kuliahnya. Bahkan hampir saja ia membakar ijasah asli yang sudah ia peroleh dengan kerja keras itu.

Sahabat, kalau Anda merasa bahwa Anda sudah tidak perlu lagi belajar setelah meraih ijasah sarjana, maka Anda keliru. Anda melakukan langkah yang salah. Dunia kita berjalan semakin cepat dan cepat. Manusia bekerja semakin baik. Skills dan ketrampilan semakin banyak dimiliki oleh banyak orang. Persoalan-persoalan hidup pun semakin rumit dalam hidup ini.

Karena itu, setelah meraih ijasah, orang tidak boleh berhenti belajar. Belajar itu seumur hidup. Orang tidak bisa membatasi diri dalam belajar. Mengapa? Karena orang mesti membangun kehidupan yang lebih baik. Orang mesti mengulurkan tangan menggapai dunia yang luas dan lebar ini. Membiarkan diri seperti katak dalam tempurung hanyalah suatu tindakan yang menyia-nyiakan waktu.

Untuk itu, orang mesti berani mengadakan eksperimen. Orang mesti berani mempelajari hal-hal baru dengan penuh antusias. Orang tidak boleh alergi terhadap hal-hal baru. Belajar berarti orang membuka diri terhadap dunia yang begitu luas dan rumit ini. Belajar berarti orang ingin terlibat dalam suka duka hidup orang lain.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa belajar terus-menerus. Kita belajar tentang cinta kasih yang telah dikaruniai oleh Tuhan kepada kita. Kita belajar tentang membangun persaudaraan dengan setiap orang yang ada di sekitar kita. Karena itu, berusaha dan belajar terus-menerus bagi orang beriman adalah suatu kewajiban. Orang beriman tidak boleh berhenti belajar. Berhenti berarti orang beriman tidak mensyukuri kebaikan Tuhan bagi dirinya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

522

10 Oktober 2010

Kita Tidak Sendirian Meniti Hidup Ini



Suatu hari seorang pemudi merasa kesepian. Tiada orang di sekelilingnya yang dapat menemaninya. Mengetahui situasi tersebut, beberapa pemuda mendatanginya. Mereka memberikan hiburan dengan ngobrol dan membuatnya tersenyum dan tertawa. Berkali-kali mereka melakukan usaha agar ia dapat menemukan ketenangan dalam dirinya. Namun pemudi itu tetap merasa kesepian. Ia tersenyum, tetapi tidak lepas bebas. Masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Melihat kenyataan itu, seorang pemuda bertanya, ”Sebenarnya ada apa?”

Pemudi itu menjawab, ”Hati saya terasa sepi bukan karena tidak ada orang di sekitar saya. Tetapi yang lebih penting adalah tiada seorang pun di hati saya.”

Pemuda yang bertanya itu mulai mengerti. Ia menyadarkan teman-temannya bahwa meskipun mereka datang untuk menghiburnya, pemudi itu tetap kesepian. Yang ia butuhkan bukan hiburan. Tetapi yang ia butuhkan adalah kehadiran seseorang di hatinya. Beberapa saat kemudian mereka meninggalkannya seorang diri.

Sahabat, orang bisa saja mengalami kesepian dalam hingar bingar kehidupan dunia. Mengapa? Karena ada yang hilang dari hati seseorang. Ada hal terpenting yang semestinya ada di hatinya, namun hal itu tidak ia temukan. Pergi entah ke mana. Karena itu, orang dapat mengalami rasa sepi yang begitu mendalam. Orang dapat merasakan kehilangan yang begitu besar.

Apa yang sedang Anda rasakan saat ini? Apakah Anda sedang merasa kesepian, karena ditinggalkan oleh orang yang sangat penting dan berharga dalam diri Anda? Apakah Anda sedang kehilangan barang-barang yang sangat bernilai tinggi? Atau Anda sedang kehilangan saat-saat yang sangat berharga?

Ada orang yang merasa kehilangan saat-saat berharga, ketika ia enggan memberikan bantuan kepada orang yang sangat membutuhkan. Padahal saat mengulurkan pertolongan kepada orang lain, ia menjalin hatinya dengan hati orang lain. Pertemuan dua hati terjadi. Karena itu, orang mengalami kehilangan, ketika ia enggan untuk memberikan pertolongan bagi sesamanya.

Orang beriman merasa kesepian, ketika ia jauh dari Tuhan. Orang seperti ini merasa bahwa membangun relasi dengan Tuhan itu suatu keharusan. Karena itu, ketika ia menjauh dari Tuhan, ia merasa sepi. Batinnya terasa sunyi. Hidup ini tidak memiliki nilai lagi. Karena itu, ia kehilangan Tuhan. Ia mesti mencari dan menemukannya kembali. Dengan demikian, hidupnya menjadi indah dan bahagia.

Karena itu, yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah orang mesti mampu menghadirkan Tuhan dalam hati dan hidupnya. Tuhan yang mulia dan kudus itu dipersilakan masuk dan tinggal dalam hati manusia yang kecil dan kadang-kadang kotor. Kita biarkan Tuhan tinggal di dalam hati kita dan membersihkan hati kita. Dengan demikian, kita mengalami penyertaan Tuhan dalam hidup kita. Kita tidak merasa sendirian. Masih ada Tuhan yang menemani perjalanan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

521

09 Oktober 2010

Selalu Ada Peluang bagi Orang yang Optimis

Suatu hari, Presiden Theodore Roosevelt pergi berburu. Seekor beruang tertangkap dan diikat agar presiden dapat menembaknya. Namun Presiden Roosevelt tidak mau membunuh beruang itu. Kisah ini menjadi sangat terkenal ketika dilaporkan di surat kabar dan digambar dalam bentuk kartun.

Morris Michtom memiliki permen dan alat-alat tulis. Istrinya yang bernama Rose kadang-kadang membuat boneka beruang kecil yang diletakkan di jendela toko mereka. Morris melihat kartun beruang di koran dan mendapatkan ide. Dia meminta istrinya untuk membuat beberapa beruang khusus seperti yang ada dalam gambar kartun itu.

Lantas Morris menulis surat yang ditujukkan ke Gedung Putih. Ia menanyakan apakah beruang baru itu boleh diberi nama seperti nama presiden. Presiden Roosevelt membalas surat itu, ”Saya pikir nama saya tidak begitu berharga dalam bisnis beruang. Tapi Anda boleh saja menggunakannya.”

Mendapatkan jawaban yang sangat simpatik seperti itu, Morris lalu membuat beruang-beruang kecil yang dipajangnya di jendela tokonya. Boneka beruang itu dinamai dengan nama panggilan Presiden Roosevelt, yaitu Teddy. Sampai sekarang boneka beruang bersebut terkenal dengan nama Teddy Bear.

Sahabat, seseorang yang ingin sukses selalu menemukan kesempatan yang baik untuk usaha-usahanya. Biasanya orang seperti ini memiliki optimisme yang besar dalam hidupnya. Ia tidak gampang menyerah pada situasi yang dihadapi. Kalau ada tantangan dia akan menghadapi dengan penuh ketenangan. Kalau dia sedang beruntung, dia tidak mudah terbuai oleh keberhasilannya. Ia selalu mencari dan menemukan kesempatan dan peluang-peluang yang baru untuk usaha-usahanya.

Namun orang yang pesimis dalam hidupnya selalu mengemukakan banyak pertimbangan. Ia kuatir akan apa yang akan terjadi, kalau dia mulai melakukan suatu usaha. Ia tidak melihat peluang yang besar. Ia menutup dirinya terhadap peluang. Ibaratnya ia sedang melihat sebuah kue donat. Yang ia lihat bukan donatnya, namun yang ia lihat adalah lobangnya. Ia sudah takut duluan sebelum memulai usahanya.

Sedangkan orang yang optimis itu melihat kue donat. Ia selalu mengembangkan keberhasilan dari setiap kegagalan. Kegagalan yang dihadapi tidak meruntuhkan semangatnya untuk berusaha. Bahkan kegagalan itu menjadi batu loncatan menuju keberhasilan. Untuk itu, orang seperti ini senantiasa berlajar dari setiap peristiwa hidupnya. Orang seperti ini mampu mengubah suasana muram durja menjadi suasana sukacita bagi hidupnya dan hidup sesamanya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa ada banyak peluang untuk meraih sukses. Yang penting adalah bagaimana orang menggunakan peluang-peluang itu untuk kemajuan diri dan sesamanya. Yang penting adalah bagaimana orang mampu melewati setiap tantangan yang dihadapinya dalam usaha-usahanya.

Sebagai orang beriman, kita tentu ingin berjuang bersama Tuhan dalam meraih kesuksesan hidup kita. Mengapa? Karena Tuhan dapat membantu kita melewati setiap persoalan hidup kita. Tuhan mendampingi orang beriman yang mau berusaha bersama Dia. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

520

08 Oktober 2010

Perbuatan Baik Membuat Kita Dikenang


Oscar, patung emas berbentuk ksatria yang sedang berdiri di atas gulungan film, adalah piala yang dimenangkan oleh para bintang film dalam upacara tahunan Academy Awards. Soalnya, mengapa patung itu dinamakan Oscar? Piala tersebut sebenarnya tidak mempunyai nama sampai tahun 1931.

Pada tahun 1931, Oscar Pierce, seorang petani Texas, Amerika Serikat, yang kaya tanpa disangka-sangka ‘tampil’. Keponakan perempuannya adalah seorang penjaga perpustakaan pada Academy of Motion Pictures Arts and Sciences. Suatu hari ia sambil lalu mengatakan bahwa patung ksatria itu mirip dengan pamannya, Oscar.

Kebetulan seorang wartawan surat kabar mendengar komentarnya. Lantas ia menerbitkan sebuah cerita dengan menyebutkan bahwa karyawan-karyawan memberi julukan patung terkenal itu dengan nama Oscar. Sejak itu, nama Oscar menjadi resmi digunakan hingga sekarang.

Pernah sekali terjadi dalam sejarah bahwa Piala Oscar tidak terbuat dari logam pada waktu Perang Dunia II. Meskipun pada waktu itu Amerika kekurangan logam, piala Oscar tetap diberikan, tetapi terbuat dari kayu.

Sahabat, apalah arti sebuh nama. Ungkapan ini sering kita dengar. Ungkapan ini membuat orang yang punya nama itu kemudian dilupakan dalam sejarah. Bisa saja terjadi manusia tidak ingat lagi akan sejarah hidupnya sendiri. Sesuatu bisa saja terjadi secara kebetulan dalam hidup ini.

Kisah patung emas bernama Oscar itu tentu saja mengejutkan banyak orang. Oscar hanyalah seorang petani. Ia bukan seorang bintang film terkenal. Namun namanya diabadikan untuk sesuatu yang begitu terkenal di seantero dunia ini. Figurnya menjadi sesuatu yang sangat penting yang ingin diraih oleh banyak bintang film kenamaan di dunia. Seorang bintang film kaliber dunia baru mendapat pengakuan yang sungguh-sungguh, kalau ia sudah menggondol Piala Oscar.

Namun apalah artinya seorang Oscar, petani Texas itu? Ia sama sekali tidak mencatatkan diri sebagai perebut Piala Oscar. Ia tidak mencatatkan diri untuk menjadi piala yang ramai diperjuangkan oleh banyak bintang film kenamaan.

Dalam hidup ini banyak orang ingin mencatatkan namanya sebagai orang yang terkenal di dunia. Banyak orang ingin meninggalkan nama yang harum bagi dunia ini. Banyak orang ingin agar apa yang dibuatnya dapat berguna untuk banyak orang di kemudian hari. Tentu saja usaha seperti ini patut diacungi jempol. Usaha seperti ini memberikan angin segar bagi kehidupan bersama. Namun yang mesti diperhatikan adalah orang semestinya melakukan sesuatu yang baik terus-menerus. Kalau hal ini dilakukan, nama orang akan tetap tercatat dalam sejarah kehidupan manusia.

Mari kita berusaha mencatatkan diri kita dengan melakukan sebanyak-banyaknya perbuatan baik dalam hidup kita. Dengan demikian, yang dikenang dari hidup kita adalah kebaikan demi kebaikan. Cinta yang kita tinggalkan senantiasa bersemi di dalam kehidupan manusia. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

519

07 Oktober 2010

Menyingkirkan Dosa dan Kesalahan Kita


Suatu hari kaki seorang anak tertusuk duri. Ia merasa sangat terganggu dengan hadirnya duri di kakinya. Ia berusaha untuk mengeluarkan duri itu. Namun ia tidak berhasil. Soalnya adalah duri itu menancap sangat dalam di kakinya. Kejadian itu memaksa ia tinggal di rumah. Ia tidak bisa pergi ke sekolah. Tambahan lagi suhu tubuhnya pun meningkat. Karena itu, ia mendatangi seorang dokter untuk membantu mengeluarkan duri itu.

Setelah duri itu dikeluarkan, ia merasa enak. Meski masih terasa sakit, ia mulai melakukan kegiatan-kegiatan yang rutin. Ia bisa pergi ke sekolah dengan senang hati. Ia boleh berkumpul kembali dengan teman-temannya. Ia boleh berlari kian ke mari dengan teman-temannya.

Tentang duri itu, ia berkata, ”Duri itu mesti dikeluarkan dari kaki saya. Kalau tidak, saya bisa lumpuh. Saya sendiri tidak bisa mengeluarkannya dari kaki saya. Saya mesti butuhkan bantuan orang lain untuk mengeluarkan duri tersebut.”

Ia bersyukur duri itu telah keluar dari kakinya. Kalau tidak, ia tidak bisa hidup dengan nyaman dengan duri yang menancap di kakinya.

Sahabat, dalam hidup kita juga ada duri-duri yang menghambat perjalanan hidup kita. Duri-duri itu bisa saja berupa kesalahan dan dosa-dosa kita. Duri itu bisa saja luka batin yang sudah lama kita derita. Karena itu, duri-duri seperti itu mesti kita singkirkan, agar kita dapat bertumbuh dengan baik dan normal. Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan hidup kita dengan duri-duri yang tetap menempel dalam hidup kita. Dosa dan kesalahan itu mengganggu pertumbuhan hidup kita baik rohani maupun jasmani.

Menyingkirkan duri-duri itu tidak selalu mudah. Selalu saja ada tantangan-tantangan yang mesti dihadapi. Kalau orang tidak bisa menghadapinya dengan baik, orang akan tetap memiliki duri-duri itu. Orang tidak bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik. Karena itu, kita butuh bantuan orang lain untuk menyingkirkan duri-duri itu. Bantuan orang lain itu akan memudahkan kita dalam usaha-usaha untuk mengatasi halangan-halangan yang ada dalam diri kita.

Dalam kisah tadi anak lelaki itu tidak bisa menyingkirkan duri dari kakinya. Ia butuh bantuan seorang dokter untuk melepaskan duri itu. Ia menyadari bahwa kalau ia mau hidup lebih tenang dan nyaman, ia mesti menyerahkan diri kepada orang lain. Ia tidak boleh memaksakan kekuatannya sendiri yang terbatas itu.

Demikian pula kita. Ketika kita menghadapi penghalang-penghalang, kita butuh bantuan orang lain. Kita sendiri tidak bisa mengatasinya. Kita mesti berani membiarkan orang lain membantu kita. Dengan demikian, dosa dan kesalahan yang ada dalam diri kita dapat kita singkirkan. Mari kita berusaha menyingkirkan duri-duri yang ada dalam diri kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

518

06 Oktober 2010

Berusaha Menyingkirkan Kesulitan Hidup




Seorang anak laki-laki takut sekali terhadap ulat. Benda-benda yang mirip dengan ulat ia hindari jauh-jauh. Ia tidak mau berhubungan dengan hal-hal seperti itu. Kalau ada orang yang memegang benda-benda yang mirip dengan ulat, ia akan lari terbirit-birit. Ia berteriak-teriak histeris. Ia tidak mau lihat benda tersebut. Situasi seperti ini berlangsung sangat lama sampai ia berusia 19 tahun.

Hal yang membuat ia berhenti dari ketakutan itu sebenarnya sepele saja. Suatu hari ia diajak oleh ayahnya ke kebun binatang. Setelah lelah berkeliling untuk melihat berbagai binatang, sang ayah mengajaknya ke bagian binatang melata. Di sana ia dapat menyaksikan berbagai jenis binatang melata. Ia menyaksikan ular yang bergerak-gerak seperti ulat. Ternyata gerakan-gerakan mereka begitu indah. Beberapa kali ia berusaha menyentuh ekor-ekor ular itu. Tidak terjadi apa-apa. Tidak ada yang membahayakan dirinya.

Sejak itu gambarannya (image) tentang ulat berubah. Ia tidak takut lagi terhadap ulat. Ia berkata, ”Ular saja saya tidak takut. Apalagi ulat yang tidak bisa menggigit dan tidak berbisa. Saya mesti mencoba untuk mendekati ulat dan menjadi teman bagi mereka.”

Sahabat, mengapa kita takut terhadap sesuatu yang tidak membahayakan diri kita? Mengapa orang takut terhadap bayang-bayang? Jawabannya adalah karena gambaran orang terhadap sesuatu yang kecil itu terlalu besar. Orang takut dikuasai oleh sesuatu atau bayang-bayang itu. Orang tidak ingin keberadaannya ditutupi oleh bayang-bayang itu.

Untuk itu, orang mesti berusaha untuk menguasai bayang-bayang yang sebenarnya tidak ada. Orang mesti berani melawan ilusi-ilusi. Orang mesti yakin bahwa keberhasilan itu milik dirinya. Ia mesti bekerja keras untuk meraih keberhasilan itu. Karena itu, orang tidak perlu cemas atau takut. Orang mesti membuang ketakutan itu jauh-jauh dari dirinya sendiri.

Orang mesti berusaha menemukan alasan untuk takut terhadap sesuatu atau bayang-bayang. Ketika orang menemukan alasannya, orang akan merasakan bahwa ternyata sesuatu yang membuat takut itu hanya ilusi kosong. Tidak punya kekuatan apa-apa untuk melawan dirinya.

Sebagai orang beriman, kita mesti belajar untuk mengatasi setiap kesulitan yang kita hadapi. Kita tetap teguh dalam iman kita kepada Tuhan, sehingga apa saja yang kita lakukan akan menemukan kesuksesan. Kalau sekarang kita sedang menghadapi suatu tugas, kita mesti melaksanakan tugas tersebut dengan baik dan benar. Kita mesti berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan tugas tersebut. Dengan demikian, kita dapat menjadi orang-orang yang dipercaya oleh Tuhan dan sesama.

Mari kita berusaha untuk menghapus setiap ketakutan yang ada dalam diri kita. Dengan demikian, kita dapat menjadi orang-orang yang sungguh-sungguh berkenan kepada Tuhan. Kita sungguh-sungguh dipercaya oleh Tuhan untuk mengerjakan sesuatu yang lebih besar. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

517

05 Oktober 2010

Santo Fransiskus dari Assisi dengan Serigala

Dekat sebuah kota kecil dalam pegunungan adalah seekor serigala, amat besar, kuat lagi bagus. Sekalian orang takut akan serigala itul Binatang itu merampas peliharaan penduduk. Ya, serigala itu berani menyerang manusia juga. Tidak ada yang berani berjalan seorang diri. Sudah kerap kali para pemburu mencoba menembak serigala itu. Sia-sia belaka! Makin lama makin ganas serigala itu! Siang hari serigala itu berani menyerang rumah dan melarikan seekor kambing atau seorang anak kecil.

Karena putus asa, penduduk kota itu meminta tolong kepada santo Fransiskus.

“Barangkali Pesuruh Raja Besar punya akal,” kata mereka.

Fransiskus melipur orang yang bersusah itu.

Jawabnya, “Aku akan berunding dengan serigala itu!”

Fransiskus berangkat, menuju ke hutan. Baru saja melalui rumah yang terakhir di tepi kota, ... tiba-tiba serigala yang jahat datang melompat-lompat, mendekati Fransiskus. Semua yang ikut dengan Fransiskus, lari cerai berai ketakutan.

Tetapi Fransiskus berseru, “Mari sini, serigala! Atas Nama Yesus Kristus aku melarangmu menyakiti aku atau orang-orang yang lari itu!”

Lihatlah, heran sekali! Serigala jahat, yang tadinya sudah membuka mulutnya, menjadi sabar lagi lemah, seperti seekor anak kambing saja. Sambil mengibas-ngibaskan ekornya, binatang buas itu maju setapak demi setapak. Tepat di hadapan kaki Santo Fransiskus, ia berbaring di tanah.

“Serigala,” kata Fransiskus kemudian.

“Kesalahanmu sangat banyak. Kau tidak diizinkan Tuhan, membunuh orang dewasa dan memakan anak kecil. Selayaknya kau juga harus dibunuh sekarang. Semua orang benci kepadamu, serigala jahat. Tetapi aku tahu, kau berbuat begitu karena lapar. Jika kau berjanji tak akan berbuat jahat lagi, aku akan mengampunimu. Ingatlah, Tuhan tidak mengizinkanmu!”

Serigala mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi kau harus berjanji juga, serigala! Kau tidak boleh lagi mencuri kambing. Kalau kau lapar, pergilah berjalan, dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Penduduk kota mau memberi makanan. Kau mau berdamai dengan manusia, serigala?”

Serigala itu menggesek-gesekkan kepalanya ke kaki Fransiskus seperti anjing yang setia.

“Baiklah! Sekarang mana kakimu. Tanda kau berjanji, letakkan kakimu, dalam tanganku.”

Sekarang penduduk kota itu, yang telah datang menonton, menyaksikan perjanjian aneh itu. Serigala yang amat ganas itu, meletakkan kaki mukanya ke dalam tangan Fransiskus.

“Mari, ikut aku!” kata Fransiskus.

Serigala ikut serta seperti anjing yang amat besar. Mereka pergi ke alun-alun. Di sana penduduk kota juga berjanji bahwa mereka akan selalu memberi makanan kepada serigala. Serigala itu dinamai “Gobio”.

Masih 2 tahun lamanya Gobio hidup. Tiap-tiap hari ia berjalan dari pintu yang satu ke pintu yang lain, untuk meminta makanannya. Ia tidak lagi menyakiti binatang atau manusia. Dan anak-anak berani bermain dengan Gobio, serigala jinak.

Ketika Gobio mati, ia ditangisi orang, yang sudah biasa menyayangi bintang itu.

Masih banyak sekali ceritera-ceritera tentang Santo Fransiskus Pesuruh Raja Besar.

Sebaiknya kalian mencari dan membaca kitab yang lebih tebal tentang Santo Fransiskus.

http://sienaviena.multiply.com/

04 Oktober 2010

Membangun Kesadaran Diri



Seorang pemain sirkus memasuki hutan untuk mencari anak ular. Ia ingin melatih ular tersebut untuk permainan sirkusnya. Setelah lama mencari, ia menemukan beberapa ekor anak ular dan mulai melatihnya. Mula-mula anak ular itu ia belitkan pada kakinya. Setelah ular-ular itu bertumbuh menjadi lebih besar, ia melatihnya untuk permainan yang lebih berbahaya seperti membelitkan ular-ular itu ke tubuhnya.

Sesudah beberapa bulan melatih ular-ular dengan baik, pemain sirkus itu mengadakan pertunjukkan untuk umum. Hari demi hari jumlah penontonnya semakin banyak. Jumlah uang yang diperoleh pun semakin besar. Atraksi demi atraksi ia pertunjukkan kepada para penonton. Pertunjukkan ular ia tempatkan di akhir permainan. Tepuk tangan para penonton semakin memberikan semangat kepada pemain sirkus tersebut. Ia semakin memamerkan kehebatannya.

Tibalah saat yang ditunggu-tunggu oleh para penonton, yaitu permainan ular. Ia memanggil ular-ular yang ada di dalam kotak. Ia memerintahkan mereka untuk melilit tubuhnya. Perlahan-lahan ular-ular itu melilit tubuhnya. Semakin keras lilitan itu. Ia pun memerintahkan agar mereka melepaskan lilitan mereka. Ular-ular itu pun menuruti perintahnya. Namun ada satu ekor ular yang tidak taat. Ia terus mengencangkan lilitannya. Akhirnya, pemain sirkus itu pun tidak bisa bernafas lagi. Ia mati lemas. Itulah pertunjukkan yang terakhir.

Sahabat, setiap hari kita mengalami bahwa dosa dan kesalahan tampaknya tidak membahayakan hidup manusia. Karena itu, banyak orang terus-menerus melakukan kesalahan dan dosa. Belum bertobat atas dosa-dosa, tetapi melakukan lagi dosa-dosa yang baru. Padahal sebenarnya dosa itu menyebabkan kematian kekal bagi jiwa kita. Dosa menyebabkan kita jauh dari Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Dosa menyebabkan kita tumbuh dalam kelalaian.

Kisah tragedi pemain sirkus tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kita mesti tetap hati-hati dalam kehidupan kita. Apa yang kita anggap gampang dan remeh bisa saja membahayakan hidup kita. Meskipun kita sudah merasa bahwa kita sudah tahu segala-galanya, kita masih tetap harus hati-hati. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi.

Dosa dan kesalahan yang kecil semestinya segera dilenyapkan dari hidup kita. Mengapa? Karena dosa dan kesalahan yang kecil itu bisa saja bertumbuh menjadi besar dan kuat untuk menghancurkan diri kita sendiri.

Untuk itu, kita mesti membangun suatu kesadaran diri yang terus-menerus terhadap hidup kita. Kita mesti berusaha mengadakan pembedaan roh dalam hidup kita. Kita mesti bertanya apakah yang menguasai diri kita ini roh yang baik atau roh yang jahat. Setelah kita temukan jawabannya, kita berusaha untuk menumbuhsuburkan roh yang baik dalam diri kita. Sedangkan roh yang jahat mesti segera kita lenyapkan dari diri kita. Dengan demikian, kita dapat bertumbuh menjadi orang-orang yang kuat dalam iman. Kita dapat bertahan dalam kesetiaan kita kepada Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


516

03 Oktober 2010

Santo Fransiskus dari Assisi

Asalnya dari negeri Itali. Hidupnya di negeri itu juga. Bertabiat riang Fransiskus itu! Makin banyak keramaian, makin senanglah ia! Pikimya, Tiada yang lebih menyenangkan hati manusia daripada pesta.

Dan pesuruh Raja Besar ini semasa mudanya beruang cukup. Ayah ibunya sangat kaya! Tokonya bagus lagi besar! Penduduk kota Assisi, serta dusun-dusun sekelilingnya semuanya menjadi langganan toko itu!

Oleh sebab itu, Fransiskus berpakaian yang indah-indah dan mahal-mahal.

“Seperti seorang bangsawan,” kata orang bila bertemu di jalan raya.

Pemuda-pemuda di kota Assisi senang melihat Fransiskus. Fransiskus tidak kikir, amat berguna diangkat teman olehnya!

Siang hari Fransiskus menolong ayahnya di toko yang laku itu! Tetapi waktu petang, bila toko ditutup, Fransiskus pesiar. Teman-temannya telah menanti. Ada yang bermain mandoline, ada yang bermain biola. Dan Fransiskus harus menyanyi. Fransiskus pandai sekali benyanyi. Ia bernyanyi bermacam-macam lagu, riang gembira! Sampai jauh tengah malam mereka berpesta dan Fransiskus yang membelikan makanan dan minuman yang lezat!

Pada suatu hari perang pecah. Musuh akan menyerang kota Assisi. Fransiskus bersama-sama teman-temannya mempertahankan kotanya. Tetapi ... tiada berhasil! Mereka tertawan, dikurung dalam bilik penjara kecil lagi gelap, setahun lamanya.

Tentu kalian berpikir, sekarang Fransiskus bersusah hati. O tidak, malah sebaliknya, Fransiskus masih bersuka hati. Sepanjang hari Fransiskus benyanyi sambil mengharap waktu ia bebas pula.

Teman-temannya marah dan berkata, “Heran aku, Fransis­kus, kau masih suka bemyanyi!”

Tetapi Fransiskus tertawa dan meniawab, “Jangan putus asa, tuankul”

Sesudah bebas, Fransiskus berpesta pula seperti semula sampai perang berkobar lagi, dan Fransiskus turut berperangkan mencapai gelar “Ksatria.” Ya begitu kehendaknya. Dan begitu cita-cita ayahnya, tetapi tiada begitu Kehendak Tuhan.

Pada suatu malam Fransiskus bermimpi. Ajaib benar mimpinya! Fransiskus melihat sebuah bilik, luas sekali. Pada dindingnya tampak berupa-rupa perisai. Fransiskus sedang asyik melihat perisai itu.

Tiba-tiba terdengar suara, “Fransiskus kembali ke rumah! Mengapa engkau mengabdi pelayan? Bukankah Yang Empunya Tuhan?”

Fransiskus terjaga dan termenung. Keesokan harinya ia berangkat, pulang pula.

Penduduk kota Assisi amat heran! Demikian pula teman-temannya.

“Mengapa lekas sekali kembali, Fransiskus? Sudahkah mencapai gelar “Ksatria” kau? Takutkah engkau, tertawan lagi?”

Fransiskus tidak menjawab sepatah kata jua pun. Apa pula gunanyal Mereka tak akan mengerti. Fransiskus sendiri juga tidak mengerti, mimpi ajaib itul Lagipula, keadaannya berubah! Suara itu tak dapat dilupakannya. Fransiskus telah jemu berpesta. Uang yang dulu dipakainya untuk pesiar, sekarang diberikannya ker kepada yang miskin. Fransiskus, yang dulu gemar mengunjungi keramaian, sekarang mencari tempat sunyi supaya sempat berdoa. Lambat laun teman-temannya pergi.

“Aneh benar si Fransiskus itu!” kata mereka.

Dan Fransiskus, tidak mempedulikan hal itu, karena, suatu malam terdengar lagi suara ajaib itu!

Serunya, “Fransiskus, Fransiskus, jika engkau kasih padaKu, cobalah hidup miskin seperti Aku!”

Keesokan harinya Fransiskus tak mau lagi mengenakan pakaiannya yang indah-indah. Ia memakai baju serupa goni dan di pinggangnya, ialah tali yang diberi simpul. Fransiskus yang dulu memakai sepatunya yang bagus, digantinya oleh sandal yang amat murah harganya. Demikian Fransiskus yang tadinya kaya raya, mengembara.

Berjalan kaki ia pergi ke mana-mana, sambil mengajar tentang Yesus Kristus, yang mati pada kayu salib untuk menebus dosa kita. Teman-temannya, yang dulu mengerumuni sebagai semut, sekarang menertawakan! Kanak-kanak, yang tiada berpikir, melemparinya dengan batu. Ya, tiap-tiap hari Fransiskus dicaci maki tetap tetap sabar. Malahan, hatinya girang karena ia boleh menderita sengsara karena Kristus, Sang Penebus.

Ayahnya, Pietro Bernardone merasa dihinakan. Mula-mula Fransiskus dibujuk, kemudian dipaksa kembali ke rumah. Akhirnya, karena tidak berhasil ia amat sangat marah! Fransiskus disumpahinya. Pietro Bernardone tidak mau mengenal lagi anaknya.

Fransiskus berduka cita, tetapi apa boleh buatl Sudah terang baginya, begitu Kehendak Tuhan, yang telah memanggilnya.

Kalau Fransiskus lapar, ia mengemis sepotong roti dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Uang tidak mau diterimanya. Kalau haus, Fransiskus hanya minum air jernih saja. Tidak karena malas, lebih suka mengemis daripada bekerja! Fransiskus rajin bekerja sebagai tukang batu, memperbaiki gedung-gedung gereja yang rusak, dengan tidak minta upah.

Katanya, “Peluhku sudah kujual kepada Yang Mahamulia!”

Petang, waktu beristirahat, Fransiskus berdoa sampai jauh tengah malam.

Acap kali terdengar keluhnya, “Tuhanku, ya Kaulah kekayaanku!”

Atau di atas sebuah bukit ia berlutut, di bawah kayu salib lengkap dengan patung Sang Penebus.

Berulang-ulang ia menepuk dada, berbungkuk ke tanah sambil berseru, “Ah, Yang Terkasih tidak dikasihi!”

Tidak lama orang insyaf, bahwa Fransiskus itu bukan hendak menarik perhatian orang. Fransiskus itu terdorong sesuatu yang luar biasa. Tuhan sendiri menyuruhnya berbuat demikian, supaya manusia sadar. Sadar akan salahnya! Sadar akan sombongnyal Sadar, dan kembali akan mengabdi Tuhan!

Penduduk kota Assisi datang, mendengarkan khotbah Fransiskus. Pesuruh Raja Besar. Serempak mereka tertarik padanya. Bila Fransiskus bercerita tentang Tuhan di surga, tiada mata yang tinggal kering.

Dan Fransiskus terus berceritera tentang Tuhan yang menciptakan bunga-bunga yang indah-indah. Tentang berupa-rupa burng yang berkicau sepanjang hari, untuk berterima kasih. Berterima kasih kepada Tuhan yang Mahabaik! Akhirnya Fransiskus memohon supaya orang jangan berdosa lagi. Dan para pendengar berjanji. Mereka tak dapat menolak permintaan Fransiskus, Pesuruh Raja Besar! Ada juga yang ingin meniru Fransiskus! Hidup miskin, karena Sang Penebus.

Mereka, yang telah dicoba dan diterima Fransiskus, berbuat seperti Pesuruh Raja Besar.

Kekayaannya diberikan kepada para miskin, lalu mengenakan seragam biarawan Fransiskus. Sejenis baju panjang lagi longgar dibuat daripada goni. Ikat pinggangnya sepotong tali yang bersimpul. Demikian terjadi biara penganut Santo Fransiskus. Sekarang masih terkenal di mana-mana.

Makin lama, makin bertambah kesucian Fransiskus. Dan Tuhan akan menganugerahi kesetiaan abdinya. Fransiskus gemar sekali sembahyang pada malam hari. Acap kali waktu petang ia mendaki gunung Alverna akan berdoa.

Gunung Alverna itu curam, penuh ngarai dan tebing batu. Tiada pemandangan yang menyenangkan, melainkan mengerikan. Jarang seorang manusia datang ke gunung itu. Tetapi oleh karena itu juga, Fransiskus senang berdoa di tempat yang sunyi itu.

Pada suatu malam gelap gulita, sedang Fransiskus berlutut di batu keras, gunung Alverna guncang. Saat itu juga langit terbelah halilintar, yang seakan-akan turun ke puncak gunung Alverna. Fransiskus terkejut ... melihat ke atas, ... dan ... dalam terang halilintar itu tampak olehnya seorang Manusia terpaku pada kayu salib. Tampak sayap yang amat besar bersinar menutupi Badannya.

Sebelum Fransiskus dapat bertanya apa artinya, sejenis api dari dalam kayu salib itu menembus badan Santo Fransiskus. la merasa sakit, sebagai terpaku pula pada kayu salib. Beberapa menit kemudian, pemandangan ajaib itu lenyap. Tetapi sakit itu tinggal. Fransiskus telah tertembus seperti Sang Penebus. Pada kakinya, pada tangannya, pada badannya, kelihatan lubang dalam dan berdarah. Selama hidup, Fransiskus mempunyai tanda salib itu.

Alangkah sakitnya! ... Alangkah sucinya Santo Fransiskus, yang patut menerima tanda luka Sang Penebus!

Barangkali kalian sudah pernah mendengar, bahwa Santo Fransiskus disebut “Pelindung Binatang”.

Kata orang lambangnya, “Akungilah binatangl”

Itu salah sangka, tetapi ada juga sebabnya.

Santo Fransiskus akung kepada Tuhan dan karena ia akung kepada segala makhluk. Berupa-rupa ceriteranya hal itu. Di antaranya salah satu cerita ini.


http://sienaviena.multiply.com

02 Oktober 2010

Berusaha Tersenyum agar Tuhan Tinggal dalam Diri


Suatu hari seorang gadis menghiasi bibirnya dengan senyum-senyum yang manis. Ia juga menyapa orang-orang dengan suara yang lembut. Hal itu ia lakukan bukan karena ia sedang berlatih untuk menjadi peragawati atau model busana. Namun ia lakukan itu karena suatu keinginan yang tulus untuk memulai hari-hari hidupnya yang baru. Pasalnya, selama ini ia terlalu serius menanggapi berbagai hal. Ia sulit sekali untuk tersenyum. Karena itu, ia ingin agar hari-hari hidupnya dipenuhi dengan senyum.

Teman-temannya merasa aneh melihat situasi itu. Mereka menganggapnya sebagai orang yang kurang waras. Ketika seorang temannya bertanya tentang perubahan suasana hatinya, ia mengatakan bahwa ia hanya ingin mengalami suatu hidup yang damai. Ia memilih untuk menghiasi dirinya dengan senyum bahagia. Ia ingin mengatakan kepada dunia bahwa dengan senyum itu ia dapat memberikan kebahagiaan bagi diri dan sesamanya.

Ia berkata, ”Dengan senyum ini saya ingin mencairkan hubungan yang selama ini beku. Saya memberikan semangat kepada teman-teman yang sedang punya masalah. Saya ingin mencerahkan suasana yang muram.”

Sahabat, banyak orang mengalami kesulitan untuk tersenyum. Banyak orang begitu sibuk dan serius memikirkan hari-hari hidup yang mesti mereka lewati. Seolah-olah tidak ada sedetik pun waktu untuk mengungkapkan rasa bahagia melalui seutas senyum. Padahal senyum itu membuat dunia ini lebih cerah dan ceria. Senyum membuat orang menemukan makna terdalam dari perjuangan hidup ini.

Orang yang mudah senyum itu mengungkapkan keyakinannya bahwa hidup ini mesti dijalani dengan enteng. Orang tidak bisa membebani diri dengan cara hidup yang memberatkan. Kalau orang menanggapi hidup ini dengan enteng, kesuksesan akan selalu menjadi bagian dari hidupnya.

Kata orang, senyum itu memperpanjang hidup manusia. Mengapa? Karena dengan senyum orang dapat melepaskan beban-beban kehidupannya. Hidup ini menjadi ringan. Hidup ini tidak menjadi beban bagi diri sendiri. Karena itu, orang mesti berusaha tersenyum betapa sulit pun hidup ini.

Sebagai orang beriman, tersenyum berarti kita membuka hati kita lebar-lebar kepada Tuhan. Hati yang terbuka itu memberi kesempatan kepada Tuhan untuk masuk ke dalam hati kita. Dengan demikian, Tuhan tinggal dan hidup di dalam diri kita. Orang yang membuka diri kepada Tuhan mengungkapkan keterbatasan dirinya. Ia mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Mari kita berusaha membuka diri kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

515

01 Oktober 2010

Berusaha Cermat dalam Hidup


Seorang penjual daging mengamati suasana sekitar tokonya. Ia sangat terkejut melihat seekor anjing datang ke samping tokonya. Ia mengusir anjing itu, tetapi anjing itu kembali lagi. Ia menghampiri anjing itu dan melihat ada suatu catatan di mulut anjing itu. Ia mengambil catatan itu dan membacanya,

Catatan itu berbunyi, ”Tolong sediakan 12 sosis dan satu kaki domba. Uangnya ada di mulut anjing ini.”

Si penjual daging melihat ke mulut anjing itu dan ternyata ada uang sebesar seratus ribu rupiah di sana. Segera ia mengambil uang itu, kemudian ia memasukkan sosis dan kaki domba ke dalam kantung plastik. Lantas ia meletakkan kembali di mulut anjing itu. Si penjual daging sangat terkesan.

Kebetulan saat itu adalah waktu tutup tokonya, ia menutup tokonya dan berjalan mengikuti si anjing. Anjing tersebut berjalan menyusuri jalan dan sampai ke tempat penyeberangan jalan. Anjing itu meletakkan kantung plastiknya, melompat dan menekan tombol penyeberangan. Ia menunggu dengan sabar dengan kantung plastik di mulut, sambil menunggu lampu penyeberang berwarna hijau. Setelah lampu menjadi hijau, ia menyeberang sementara si penjual daging mengikutinya.

Anjing tersebut kemudian sampai ke perhentian bus dan mulai melihat "Papan informasi jam perjalanan". Si penjual daging terkagum-kagum melihatnya. Si anjing melihat "Papan informasi jam perjalanan" dan kemudian duduk di salah satu bangku yang disediakan. Sebuah bus datang, si anjing menghampirinya dan melihat nomor bus dan kemudian kembali ke tempat duduknya.

Bus lain datang. Sekali lagi si anjing menghampiri dan melihat nomor busnya.
Setelah melihat bahwa bus tersebut adalah bus yang benar, anjing itu naik. Si penjual daging, dengan kekagumannya mengikuti anjing itu dan naik ke bus tersebut.

Sahabat, kecermatan itu bias dilatih. Tentu saja anjing yang disuruh tuannya untuk berbelanja daging ini telah dilatih dengan baik. Ia dapat mengikuti apa yang dikehendaki tuannya, karena ia sudah menjalani latihan yang terus-menerus. Kecermatan dapat ia peroleh berkat usaha terus-menerus. Mungkin dalam latihan ia pernah melakukan kesalahan. Namun kesalahan itu tidak berarti ia mesti berhenti untuk berlatih hingga menjadi anjing yang cermat.

Dalam hidup ini banyak orang tidak cermat. Banyak orang ceroboh dalam hidupnya. Akibatnya bisa fatal bagi kehidupan. Mengapa bisa terjadi? Karena orang merasa sudah tahu akan apa yang dihadapinya. Padahal sebenarnya belum tahu apa-apa. Ternyata kecermatan itu dapat membantu orang menghadapi kehidupan ini. Dengan kecermatan itu orang dapat merancang kesuksesan dalam hidupnya. Dengan kecermatan itu orang dapat melaksanakan apa yang telah dilaksanakannya itu dengan baik.

Orang beriman itu mesti cermat dalam hidupnya. Untuk itu, orang beriman mesti belajar terus-menerus untuk cermat. Tidak boleh berhenti. Mengapa? Karena untuk menjadi cermat orang mesti tidak boleh bosan belajar. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

513