Pages

18 Maret 2010

Berjuang untuk Lebih Baik




Suatu sore seorang bapak berjalan-jalan dengan anaknya di tepi sebuah kolam di belakang rumah mereka. Sambil memberi makan ikan-ikan di kolam itu, anak itu bercerita kepada ayahnya. Menurutnya, akhir-akhir ini ia bermimpi yang aneh-aneh. Mimpinya juga bermacam-macam. Salah satunya ia bermimpi tentang pertarungan dua ekor anjing. Anehnya, dua ekor anjing itu bertarung di dalam dirinya.

Anak itu bercerita, “Dua ekor anjing itu memiliki mata yang tajam. Gigi mereka runcing-runcing. Kuku-kuku mereka sangat kuat. Mereka saling menerkam. Keduanya berusaha memenangkan perkelahian itu.”

Ia melanjutkan, “Anjing pertama tampak baik dan tenang. Tetapi anjing yang kedua sangat ganas dan menakutkan. Ia meraung-raung dan menerkam anjing yang pertama dengan sangat kejam. Apa maksud mimpi ini ayah? Apakah ini gambaran dari sifat-sifat yang ada dalam diri saya?”

Ayahnya menatap wajah anaknya. Ia menganggukkan kepala lalu berkata, “Hati-hatilah, anakku. Dalam hidup ini kamu akan selalu berada di bawah bayang-bayang dua hal ini, yaitu yang baik dan yang jahat.”

“Lalu anjing mana yang akan menjadi pemenangnya, ayah?” tanya anak itu.

Tanpa pikir panjang ayahnya menjawab, “Pemenangnya adalah yang paling banyak kamu beri makan. Seperti ikan-ikan kita, yang mendapatkan makanan yang banyak akan bertumbuh lebih baik.”

Hidup kita ini seperti suatu pertarungan. Kita selalu bergumul dengan berbagai hal yang membentuk kepribadian kita. Kalau kita berada di dalam suatu lingkungan yang baik dan kondusif untuk pertumbuhan hidup kita, kita juga akan bertumbuh dengan baik. Tetapi bisa juga lingkungan yang kurang baik dan kurang kondusif bisa dipakai untuk pertumbuhan kepribadian kita. Ini tergantung dari orang yang bersangkutan yang mampu memilah mana yang baik yang dapat ia gunakan untuk pertumbuhan kepribadiannya.

Seringkali manusia tunduk kepada sifat-sifat jelek yang ada dalam dirinya. Misalnya, ada orang yang mudah sekali dikuasai oleh iri hati, marah dan egoisme. Orang seperti ini mesti bertanya diri, mengapa hal ini bisa terjadi atas dirinya? Mengapa ia mudah sekali dikuasai oleh hal-hal ini? Bukankah iri hati terhadap orang yang sukses hanya membuat diri orang terjerumus ke dalam pikiran-pikiran negatif tentang orang lain? Bukankah lebih baik belajar dari kesuksesan orang lain untuk memajukan diri sendiri?

Karena itu, sebagai orang beriman, kita perlu membangun sikap menumbuhkan hal-hal baik dalam diri kita. Untuk itu, iri hati, marah dan egoisme mesti mampu kita singkirkan dari dalam diri kita. Dengan begitu, kita mampu menjadi orang-orang yang kuat dalam menghadapi arus jaman yang seringkali menyesatkan manusia ini.

Setiap hari kita mengalami begitu banyak hal, baik yang jelek maupun yang baik. Pengalaman yang kurang baik bisa kita gunakan untuk introspeksi diri. Pengalaman-pengalaman yang baik kita gunakan untuk membangun kepribadian yang lebih baik. Mari kita bawa semua pengalaman hidup kita itu kepada Tuhan. Dengan demikian, rahmat Tuhan senantiasa menyertai kita dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

354

Bagikan

17 Maret 2010

Menerima Kekurangan dalam Diri

Seorang kepala negara berkembang menghadiri konferensi di sebuah negara maju. Karena merasa terhina oleh kata-kata kepala negara tuan rumah yang menyindir bahwa negaranya menyumbang pengangguran terbesar di dunia, kepala negara tamu itu merasa sangat malu. Ia memanggil menteri tenaga kerja yang dibawanya pada konferensi itu. Ia memintanya untuk mencari seorang penganggur di kota di mana konferensi itu dilaksanakan.

Ia berkata kepada menteri itu, “Biar saya bisa mempermalukan presiden sok hebat itu.”

Menteri tenaga kerja itu keluar dan berkeliling kota untuk mencari seorang penganggur. Malam harinya dia menghadap presiden, “Pak, maaf. Saya belum menemukan satu penganggur pun di negeri ini.”

Presiden itu marah besar. Lalu ia berkata, “Tolol! Cari lagi sampai dapat!” Wajahnya memerah.

Besoknya, menteri tenaga kerja itu kembali mencari penganggur, tetapi sia-sia. Pada hari terakhir konferensi, sang presiden harap-harap cemas. Alangkah leganya ketika menteri tenaga kerja berkata kepadanya, “Pak, akhirnya saya menemukan seorang penganggur.”

Dengan wajah berseri-seri, presiden itu berkata, “Cepat bawa ke sini. Biar kutunjukkan kepada presiden tuan rumah yang sok itu.”

Tetapi dengan nada penuh penyesalan, menteri tenaga kerja itu berkata, “Tapi pak, penganggur itu seorang warga negara kita!”

Berani mengakui kekurangan merupakan salah satu keutamaan dalam hidup manusia. Dengan mengakui kekurangan, orang ingin memperbaiki hidup. Orang tidak perlu takut dipermalukan oleh orang lain, karena kekurangan yang ada pada dirinya. Justru orang mesti bersyukur bahwa masih ada orang lain yang mampu melihat kekurangan yang pada dirinya. Hal ini sebagai suatu pemacu semangat yang membantu orang untuk bertumbuh dan berkembang dalam hidupnya.

Karena itu, dibutuhkan suatu kesadaran untuk menerima diri apa adanya. Orang tidak perlu memoles kekurangan yang ada dalam dirinya dengan berbagai hal yang memberi kesan hebat pada dirinya. Menutupi kekurangan dengan polesan-polesan hanyalah membuat hidup semakin terjerumus ke dalam kesulitan baru.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk tampil apa adanya. Orang yang demikian akan mendapatkan perhatian dari Tuhan dan sesama. Orang yang tidak menutup-nutupi kekurangan yang ada pada dirinya menunjukkan bahwa ia seorang yang rendah hati. Ia terbuka untuk suatu kehidupan yang lebih baik.

Setiap hari ini kita mengalami berbagai hal yang baik, meskipun kita banyak memiliki kekurangan. Kita bukan manusia sempurna. Yang sudah sempurna itu sudah tidak hidup di dunia ini lagi. Karena itu, kita ingin tetap bertumbuh dan berkembang melalui kekurangan-kekurangan kita. Untuk itu, dibutuhkan suatu penyerahan hidup kepada Tuhan yang menyenggarakan hidup ini bagi kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com




353

Bagikan

16 Maret 2010

Pentingnya Komitmen




Sebuah keluarga baru saja merayakan empat puluh tahun perkawinan mereka. Mereka dikaruniai empat orang anak dengan sekian banyak cucu dan cicit yang tersebar di berbagai tempat di Tanah Air. Pasangan suami istri ini sangat berbahagia pada perayaan pesta empat puluh tahun perkawinan mereka itu. Anak-anak yang sukses dalam pekerjaan dan cucu-cucu yang juga mulai beranjak dewasa menjadi salah satu kebahagiaan pasangan suami istri ini.

Kehidupan keluarga ini selama empat puluh tahun tampak tidak ada masalah. Karena itu, ketika ditanya tentang rahasia panjangnya usia perkawinan mereka, sang suami menjawab, “Kami masing-masing setia pada komitmen kami. Kami bertahan pada komitmen kami untuk saling mencintai sampai ajal menjemput kami.”

Sang suami mengaku bahwa dalam membangun bahtera perkawinan itu juga terjadi persoalan-persoalan. Namun bagi mereka, persoalan-persoalan itu menjadi kekuatan untuk tetap setia pada komitmen untuk saling mencintai sampai ajal menjemput. Bagi suami istri ini, persoalan-persoalan yang dihadapi itu menjadi tantangan bagi mereka untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia. Jadi mereka tidak pernah melarikan diri dari persoalan-persoalan.

Untuk itu, pasangan suami istri mengaku membutuhkan semangat iman kepada Tuhan. Menurut mereka, semangat iman itu telah menggerakkan mereka untuk tetap setiap satu sama lain. Mereka mengalami bahwa selama usia perkawinan mereka, Tuhan tetap menyertai mereka. Tuhan tidak pernah meninggalkan mereka berjuang sendiri dalam untung dan malang. Karena itu, berserah diri kepada Tuhan menjadi salah satu cara keluarga ini menghayati hidup berkeluarga mereka.

Kesetiaan pada komitmen akan melestarikan suatu bangunan relasi yang telah dijalani bertahun-tahun. Kesetiaan itu mesti ditampakkan dalam hidup yang nyata. Untuk itu, orang mesti memiliki semangat kasih. Dalam kasih, orang mampu untuk menerima sesama apa adanya. Orang tidak terlalu banyak menuntut dari sesamanya secara berlebihan.

Semangat kasih ini mesti dikembangkan terus-menerus dalam hidup yang nyata, karena hanya dengan demikian orang mampu setia satu sama lain. Ketidaksetiaan itu bermula dari kurangnya semangat kasih. Kalau tidak ada kasih, orang mudah menyalahkan dalam kehidupan bersama. Orang merasa diri selalu benar dan menuntut orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Karena itu, kasih mendorong siapa pun yang membangun relasi untuk tetap setia pada komitmen yang telah dibuat. Pasangan suami istri, misalnya, mesti tetap setia pada komitmen yang telah mereka buat. Kesetiaan itu akan mampu membimbing mereka untuk saling mencintai sampai ajal menjemput mereka. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


352

Bagikan

15 Maret 2010

Mengatasi Godaan



Dalam jaman konsumtif seperti sekarang ini, banyak orang mulai menyenangi belanja. Apalagi kehadiran mall-mall sampai ke daerah-daerah membantu tumbuhnya semangat berbelanja. Pasar-pasar tradisional mulai kehilangan penggemarnya.

Dengan kondisi demikian tidak bisa dipungkiri bahwa ada orang yang mulai pula dikuasi oleh semangat belanja itu. Belanja menjadi suatu gaya hidup baru. Katanya, kalau tidak berbelanja bukan orang modern. Orang modern itu orang yang suka berbelanja dan menikmati produk-produk modern.

Ada seorang teman yang terjerumus ke dalam apa yang disebut sebagai shopaholic, orang yang gila belanja. Kalau ia keluar negeri, ia akan berangkat dengan dua koper besar. Masing-masing isinya tidak penuh. Di sana ia akan berbelanja sebanyak-banyaknya. Hasilnya, dua koper itu akhirnya penuh sesak dengan belanjaannya. Ketika dipersoalkan tentang gaya hidupnya yang demikian, ia selalu menjawab, “Hidup itu mesti dinikmati. Kan hidup di dunia ini hanya satu kali saja.” Akibatnya, ia memiliki begitu banyak barang di rumahnya. Pakaiannya selalu baru dengan harga yang mahal.

Namun suatu ketika ia mulai sadar bahwa gaya hidup demikian tidak menguntungkan bagi hidupnya. Tetapi untuk berhenti dari gaya hidup seperti itu juga tidak mudah. Ia mesti berjuang. Dalam proses yang cukup lama, ia berhasil keluar dari gaya hidup seperti itu. Ia tidak lagi menjadi seorang shopaholic.

“Syukurlah saya bisa keluar dari gaya hidup seperti itu. Sekarang saya terbebas dari gaya hidup hedonisme. Saya bisa memperhatikan orang-orang lain yang ada di sekitar saya,” kata teman saya itu setelah ia benar-benar lepas dari gaya hidup shopaholic.

Di jaman modern ini banyak sekali godaan yang mesti dihadapi. Bagi orang beriman, godaan-godaan itu menjadi kesempatan bagi kita untuk meningkatkan penyerahan diri kepada Tuhan. Kalau orang mau menyerahkan hidup kepada Tuhan dengan mendekatkan diri terus-menerus kepadaNya, godaan-godaan dalam bentuk apa pun bisa diatasi. Bahkan godaan-godaan itu bisa menjadi berkat bagi hidup orang beriman.

Godaan mengajar kita untuk waspada terhadap berbagai tawaran dunia yang menarik. Kalau semua tawaran itu ditelan begitu saja, hidup orang beriman lalu tidak memiliki nilai apa-apa. Puasa yang dijalankan tidak akan bernilai sama sekali.

Karena itu, godaan-godaan yang menarik dengan berbagai macam itu mesti dihadapi dengan sikap setia kepada Tuhan. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan setia mendengarkan kehendak Tuhan bagi hidup kita. Apa yang Tuhan kehendaki bagi kita untuk kita perbuat pada hari ini? Nah, kehendak Tuhan ini mesti kita temukan dalam hidup kita sehari-hari. Tuhan ingin agar kita berbuat baik kepada semakin banyak orang yang kita jumpai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

351

Bagikan

14 Maret 2010

Menghadapi Konflik dengan Kasih



Seorang ibu merasa putus asa, karena harus berkonflik terus-menerus dengan putrinya. Keduanya sama-sama keras kepala. Hampir setiap persoalan berakhir dengan konflik berkepanjangan. Kadang-kadang soal yang sangat sepele dapat menjadi suatu persoalan yang sangat besar dan berkepanjang. Padahal soal yang sepele itu tidak perlu dipersoalkan. Akan hilang dengan sendirinya.

Ibu itu mendatangi berbagai pihak untuk meminta nasihat dalam menghadapi putrinya. Tetapi semua nasihat itu tidak mempan. Karena itu, ia merasa putus asa. Berhari-hari ia tidak mau bicara lagi dengan putrinya itu. Ia bahkan mengancam bunuh diri, kalau putrinya tidak mau berhenti berkonflik dengannya.

Memang, akar permasalahan adalah masa lalu yang kurang baik. Putri tu pernah ditelantarkan oleh ibunya. Peristiwa itu tertanam dalam hatinya. Lantas timbullah rasa benci dalam hatinya terhadap ibu yang telah melahirkannya itu. Ia tidak bisa memaafkan ibunya, meskipun sudah berkali-kali ibunya meminta maaf. Setiap kali ada masalah kecil, pasti ia mengungkit-ungkit masa lalu yang kurang baik itu.

Putri ini kehilangan pengampunan dari hatinya. Seandainya ia masih memiliki pengampunan, konflik tidak perlu terjadi. Ibunya tidak perlu putus asa menghadapi dirinya.

Luka batin itu tidak mudah disembuhkan. Apalagi luka itu dilakukan oleh orang yang melahirkan kita. Luka batin itu akan tertanam lama sekali. Kalau suatu saat sembuh, itu membutuhkan suatu proses yang panjang. Dan proses itu mesti melewati berbagai peristiwa yang menyakitkan. Karena itu, kalau orang putus asa menghadapi dan menyembuhkan luka batin itu, orang tidak akan bisa menyembuhkan luka batinnya.

Luka batin hanya bisa disembuhkan kalau orang mau terbuka untuk bersedia dimaafkan dan memaafkan. Karena itu, peranan pengampunan itu sangat besar dalam penyembuhan luka batin. Untuk itu, orang mesti mengutamakan kerendahan hati dalam usaha menyembuhkan luka batinnya. Memiliki semangat rendah hati itu tidak mudah. Dalam kondisi orang mengalami luka batin, orang akan membangun suatu mekanisme pertahanan diri. Dengan berbagai cara orang berusaha untuk membenarkan diri. Orang akan menyalahkan orang-orang di sekitarnya yang menyebabkan ia menderita luka batin.

Karena itu, untuk menyembuhkan luka batin secara tuntas, orang mesti berani merendahkan diri menerima permintaan maaf dari orang yang membuat ia menderita luka batin. Orang mesti berani menanggalkan egoismenya. Kunci dari semua ini adalah kasih. Kalau orang memiliki kasih yang besar, ia akan berani dengan tulus menerima permohonan maaf dari orang yang melukai batinnya. Orang juga berani memaafkan orang yang melukai batinnya itu.

Sebagai orang beriman, pengampunan yang bersumber dari kasih mesti didahulukan dalam hidup. Hidup manusia itu sebenarnya terjalin dari 70 persen pengampunan dan 30 persen kasih sayang. Jadi mari kita menyelesaikan konflik dengan pengampunan dan kasih. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih bermakna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

350




Bagikan

13 Maret 2010

Kita Butuh Teman


Suatu kali seorang yang baru menjadi penggemar ikan hias dari berbagai jenis membeli akuarium kaecil saja, karena rumahnya yang sempit. Sampai di rumah, ia menempatkan akuarium itu di atas kulkas. Lantas berbagai jenis ikan hias itu dia isi ke dalam akuarium itu.

Salah satu ikan hias itu adalah ikan yang ganas. Ia mengejar dan menggigit ikan-ikan yang lain. Ada yang mati, karena gigitan ikan yang ganas itu. Akhirnya, orang itu memindahkan ikan ganas itu di sebuah toples yang cukup besar. Ikan ganas itu hidup sendirian.

Setiap kali orang itu memberi makan ikan-ikan di akuarium, ia juga memberi makan ikan yang ganas itu. Sayang, ikan ganas itu tidak berumur panjang. Hanya dalam dua malam ia mati. Rupanya ikan itu stress karena tidak punya teman.

Dalam hidup ini kita mesti mengakui kita butuh teman. Kita dilahirkan ke dalam dunia sebagai makhluk sosial. Karena itu, orang tidak bisa mengisolasi diri dalam dunianya sendiri. Orang yang demikian cepat atau lambat akan mati dalam kesendiriannya. Ia tidak memiliki orang yang bisa ia ajak bicara. Ia tidak memiliki orang yang bisa mendengarkan isi hatinya. Akhirnya, ia akan seperti ikan ganas itu: mati dalam kesendirian.

Sebagai makhluk sosial, kita memiliki fungsi-fungsi sosial terhadap orang-orang di sekitar kita. Kita hidup bukan hanya untuk diri kita sendiri. Kita juga hidup bagi sesama kita. Untuk itu, kita mesti menyadari pentingnya kehadiran kita di tengah-tengah sesama kita. Kita memiliki fungsi untuk memberi arti hidup bagi sesama kita. Ketika sesama kita yang dekat mengalami penderitaan, kita menghiburnya. Kita memberikan kekuatan kepadanya, sehingga ia dapat keluar dari penderitaannya.

Teman yang sejati adalah teman yang mampu menderita bersama temannya itu. Menjadi sesama yang baik bagi orang lain berarti kita ingin menghayati hidup kita sebagai makhluk sosial. Untuk itu, kita mesti berusaha untuk menghidupi semangat persaudaraan. Dalam semangat ini kita menyadari bahwa kita ini makhluk yang terbatas. Kita dapat hidup hanya dengan bantuan sesama kita. Kita tidak bisa melanjutkan hidup ini tanpa bantuan dari orang lain.

Karena itu, mari kita menyadari bahwa kita ini makhluk sosial yang hidup bukan hanya untuk diri kita sendiri. Kita hidup untuk orang lain juga. Kita mendapatkan makna bagi hidup kita berkat kehadiran sesama di sekitar kita. Dengan kesadaran seperti ini, kita mampu saling memperkaya diri kita masing-masing. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
349
Bagikan

12 Maret 2010

Berani Menghadapi Persoalan Hidup




Suatu hari seorang ibu rumah tangga tiba-tiba berhenti dari pekerjaannya. Pasalnya, baru jam sepuluh pagi, bell rumah sudah berbunyi. Ia cepat-cepat menuju pintu untuk membukakan pintu. Dalam pikirannya terlintas berbagai pertanyaan. Mungkinkah ada seorang tamu dari jauh yang datang berkunjung? Mungkinkah ada keluarga dari kampung yang ada urusan di kota?

Pikiran-pikiran itu tiba-tiba berhenti, ketika ia membuka pintu. Ternyata putranya sendiri sedang berada di depan matanya. Padahal seharusnya putra bungsunya itu sedang berada di sekolah. Apalagi anak yang baru berusia tujuh tahun itu tidak pulang sendirian. Semestinya ada yang mengantar atau ia sendiri menjemputnya.

Ibu itu terheran-heran memandang wajah putranya yang kuyu. Setelah beberapa saat, ibu itu bertanya, “Ada apa denganmu?”

“Saya berhenti sekolah, ma,” jawab putranya sambil melempar tas sekolahnya di atas meja.

“Berhenti sekolah?” ibu itu bertanya lagi dengan nada suara yang tinggi. Ia sendiri sulit percaya dengan apa yang didengarnya.

Anaknya tidak peduli akan pertanyaannya. Ia langsung mencari permainannya. Sebagai seorang ibu, ibu itu tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ia mesti bertindak demi masa depan anak bungsunya itu. Ia bertanya, “Mengapa kamu berhenti sekolah?”

Tanpa ragu-ragu anaknya menjawab, “Sekolah itu terlalu lama. Sekolah itu terlalu berat. Sekolah itu terlalu membosankan.”

Ibu itu semakin terheran-heran mendengar kata-kata anaknya. Ia menatap wajah anaknya dalam-dalam, lalu berkata, “Nak, seperti itulah kehidupan. Untuk mencapai cita-citamu, kamu harus berani menghadapi proses yang lama, berat dan membosankan ini. Sekarang, ke garasi. Ibu akan mengantarmu kembali ke sekolah.”

Manusia sering tergoda oleh hidup enak dan menyenangkan tanpa kerja keras. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena orang kurang memahami makna kehidupan ini. Orang berpikir bahwa hidup ini bisa dilalui tanpa kerja keras. Orang merasa bahwa orang bisa hidup dengan santai-santai.

Padahal hidup ini dapat berjalan terus, kalau orang mampu memaknainya dengan berani bekerja keras. Orang yang beriman mesti berani menghadapi hidup ini meski ada berbagai tantangan yang menghadang di depannya. Orang beriman itu orang yang mau menghadapi resiko kehidupan ini dengan penuh iman pula.

Karena itu, kita diajak untuk memaknai kehidupan ini dengan berani menghadapi setiap persoalan yang kita hadapi. Tuhan pasti memberi kita jalan, kalau kita mengikutsertakan Tuhan dalam setiap persoalan hidup kita. Tuhan akan memberi kita semangat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidup kita. Tuhan tetap peduli terhadap kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

348
Bagikan

11 Maret 2010

Mendandani Hidup Batin


Tukang cet beberapa hari ini mengecet rumah kami. Awalnya mereka hanya mau mengecet plafon-plafon dan dinding-dinding kamar. Tetapi begitu mereka menatap ke langit-langit plafon, mereka menemukan plafon yang mulai lapuk. Semua itu akibat bocornya atap rumah. Rupanya beberapa genteng sudah retak, sehingga menimbulkan rembesan air. Lama-lama plafon mengalami kehancuran. Tripleks mulai keropos.

Tukang cet kemudian mengusulkan agar tripleks yang rusak diganti. Kayu-kayu yang sudah keropos mesti segera diganti. Sedangkan genteng-genteng yang retak atau pecah juga mesti diganti.

Kondisi seperti ini tidak pernah ketahuan. Soalnya, air tidak pernah jatuh ke lantai. Air tergenang di atas plafon. Lama-lama plafon menjadi rusak. Memang, bagian yang tidak bisa dijangkau dengan mata biasanya kurang mendapatkan perhatian.

Dalam hidup kita ada juga bagian yang tidak tampak atau terlihat oleh mata. Bagian itu sering kali kurang kita perhatikan. Atau kita berusaha untuk menyembunyikannya. Akibatnya, bagian itu sering kali kurang mendapatkan perawatan. Kalau terjadi suatu persoalan, baru kita menaruh perhatian atasnya.

Salah satu bagian yang tidak tampak adalah keadaan batin kita. Orang bilang dalamnya laut dapat diduga. Tetapi dalamnya batin seseorang tidak ada yang tahu. Baru kalau terjadi suatu persoalan besar yang dihadapi, kita mencari cara-cara untuk menyembuhkan persoalan batin itu.

Ada juga orang yang berusaha menyembunyikan persoalan-persoalan batinnya. Dengan begitu, orang itu berpikir bahwa semua persoalannya tidak ada yang tahu. Akibatnya, orang itu sendiri yang menanggung penderitaan batin. Suatu ketika bisa meledak. Dan bisa-bisa orang tidak bisa menanggung akibatnya.

Karena itu, kondisi batin yang tak tampak itu membutuhkan waktu dan kesempatan untuk mendapatkan perawatan. Orang mengatakan bahwa kecantikan yang sempurna itu datangnya dari hati. Kalau kita mendandani kondisi batin kita setiap saat, rasanya batin kita akan mengalami kebahagiaan. Batin kita tidak akan mudah jenuh oleh berbagai persoalan yang dihadapi. Kita tidak perlu menyimpan persoalan-persoalan dalam batin kita sampai menggunung. Ada baiknya segera didandani, agar kita mengalami ketenangan dalam hidup ini.

Kita tidak hanya cukup mendandani bagian luar diri kita. Dandanan lahiriah bisa jadi hanya menyelubungi kekeroposan hati. Sebaliknya, sifat yang saleh tak ayal akan mempercantik seluruh penampilan diri kita, tutur kata kita dan perilaku hidup kita.

Sebagai orang beriman, usaha kita mendandani kondisi batin kita mesti dilakukan bersama Tuhan. Tuhan akan membantu kita dengan Sabda-sabdaNya. Untuk itu, kita mesti membuka hati kita untuk mendengarkan sabda-sabdaNya. Kita ingin menjalani hidup ini sesuai dengan kehendak Tuhan.

Marilah kita serahkan semuanya kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Biarlah Tuhan yang membantu kita dalam usaha mendandani hidup batin kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


347

Bagikan

10 Maret 2010

Memelihara Persahabatan




Pernahkah Anda mendengungkan lagu Diane Worwick berikut ini: Keep smiling, keep shining, showing you can always count on me for sure, that’s what friend are for…? Lagu ini berkisah tentang indahnya persahabatan. Persahabatan yang baik selalu mendatangkan kebahagiaan lewat senyum yang selalu lepas bebas diberikan kepada sahabat.

Beberapa waktu lalu saya berjumpa lagi dengan teman kuliah saya dulu. Sudah dua puluh tahun lebih kami tidak bertemu. Akhirnya, dalam suatu pertemuan di kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, kami berjumpa kembali. Ia sendiri yang menjemput kedatangan saya di bandara. Senyumnya masih seperti dulu seperti ketika kami membangun persahabatan. Senyum itu begitu tulus. Saya merasakan sangat istimewa berjumpa kembali teman lama itu. Kami boleh bercerita tentang banyak hal. Ia bercerita tentang istri dan anak-anaknya. Tetapi kami juga bercerita tentang kampus di mana kami pernah bersama-sama kuliah. Kami sama-sama mengalami rasa bahagia. Setelah beberapa hari berjumpa, saya diantar lagi ke bandara dengan senyum yang masih sama. Sebuah senyum yang tulus yang datang dari hati yang dalam.

Suatu persahabatan yang baik biasanya selalu bertahan lama. Persahabatan yang sudah dibumbui oleh maksud-maksud negatif tidak akan bertahan lama. Karena persahabatan seperti ini hanya mengutamakan keuntungan sepihak. Kalau tidak menguntungkan lagi, kawan menjadi lawan. Sahabat menjadi musuh.

Memelihara persahabatan tidak segampang memulainya. Ibadat tanaman, persahabatan itu mesti selalu dirawat, dipupuk dengan cinta kasih dan disiram dengan perhatian. Dalam keadaan apa pun kita dapat tetap tersenyum, karena ada sahabat yang bisa diandalkan.

Di jaman kini ada fenomena banyaknya persahabatan yang tidak tulus. Persahabatan hanya sering kali bersifat fungsional. Orang menggunakan persahabatan itu untuk tujuan-tujuan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Apakah yang akan terjadi dengan persahabatan model ini? Yang terjadi adalah orang dengan mudah mencampakkan sahabat yang tidak memberi keuntungan bagi dirinya. Orang begitu mudah lari dari sahabatnya yang jatuh miskin, karena tidak bisa diandalkan lagi.

Sebagai orang beriman, kita mesti membangun suatu persahabatan yang baik. Artinya, kita tidak hanya mencari keuntungan pribadi dari sahabat-sahabat kita. Membangun persahabatan yang baik itu menuntut suatu korban. Mesti ada semangat berkorban, kalau orang ingin memiliki sahabat yang baik. Semangat berkorban itu tampak dalam sikap-sikap hidup sehari-hari. Misalnya, mampu mengampuni sahabat yang berbuat salah. Mampu mengingatkan sahabat yang melanggar aturan-aturan dan norma-norma dalam masyarakat. Sahabat yang baik itu tetap bertahan, ketika temannya mengalami penderitaan.

Hari ini mungkin kita sudah menjalin suatu persahabatan dengan orang-orang yang kita jumpai. Kita syukuri itu. Kita tetap memelihara persahabatan itu. Kita serahkan usaha-usaha kita dalam memelihara persahabatan kita kepada Tuhan. Dengan demikian, rahmat Tuhan selalu menaungi kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


346

Bagikan

09 Maret 2010

Tuhan Tetap Peduli


Di suatu kota terjadi banjir besar. Di kota itu hidup seorang yang sangat saleh. Ia sangat baik kepada siapa saja dan suka menolong mereka yang berada dalam bahaya. Karena itu, pada waktu banjir yang melanda kota itu, orang saleh itu berenang ke tempat yang dalam untuk menolong siapa saja sedapat mungkin. Air naik sampai ke pinggangnya dan masih naik juga ketika ia menolong seorang lelaki dan wanita yang terluka.

Lantas sebuah sampan datang mendekat dan salah seorang berkata kepada orang saleh itu, “Biarkan saya menyelamatkan engkau.” Tetapi orang saleh itu berkata, “Ambil dua orang ini. Tuhan akan menyelamatkan saya.” Sampan itu menjauhi orang suci itu.

Air naik sampai ke dagunya sementara orang saleh itu berjuang untuk menggapai seorang ibu dan dua anaknya. Sampan lain datang mendekat dan seorang dalam sampan itu berkata, “Mari, biarkan saya menyelamatkan engkau.”

Tetapi orang saleh itu berkata lagi, “Selamatkan orang-orang malang ini. Tuhan akan menyelamatkan saya.” Sampan itu menjauhi dia dengan memuat orang lain.

Akhirnya air naik sampai ke kepala orang saleh itu dan tidak lama kemudian dia tenggelam. Tetapi orang saleh itu menemukan dirinya berada di surga. Ketika berjumpa dengan Tuhan, orang saleh itu berkata, “Tuhan, saya selalu menjalani hidup yang baik. Saya memberi makan kepada yang lapar, menolong para tuna wisma. Saya sering berdoa dan menghantar banyak orang untuk percaya kepadaMu. Katakan kepadaku, mengapa Engkau tidak menolong saya ketika saya berada di tengah banjir itu?”

Tuhan mentatap matanya dalam-dalam lalu menjawab, “Jangan mempersalahkan Aku. Aku sudah berbuat segala sesuatu untuk menolong engkau. Bukankah Aku sudah mengirim dua sampan untuk engkau?”

Tuhan bekerja menyelamatkan kita juga melalui orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Tuhan tetap peduli kepada kita, meski kita merasa bahwa di saat-saat tertentu Tuhan sudah melupakan kita. Ternyata dengan berbagai cara Tuhan memberikan kesempatan kepada kita untuk meraih keselamatan yang kita dambakan.

Kisah tadi mau mengingatkan kita bahwa Tuhan senantiasa hadir dan menyertai setiap perjuangan hidup kita di dunia ini. Karena itu, jangan takut. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita berjuang sendirian. Berbagai cara dan bentuk usaha Tuhan berikan kepada kita agar kita selamat.

Pada waktu krisis ekonomi di tahun 1997 hingga 1999 lalu kita menyaksikan begitu banyak orang kemudian berupaya untuk keluar dari kesulitan ekonomi yang mereka hadapi. Orang-orang yang selama itu biasanya terpinggirkan justru mengalami suatu kebangkitan. Mengapa? Karena mereka berani bertahan hidup. Mereka berani berjuang untuk kelangsungan hidup mereka. Dan perjuangan mereka itu tidak sia-sia. Harga kopi dan sahang (merica) yang tinggi waktu itu menjadikan para petani kopi dan merica yang biasanya terpuruk, bangkit lagi. Itulah cara Tuhan menyertai umatNya.

Begitu banyak kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita setiap hari. Sudahkah kita gunakan kesempatan-kesempatan itu untuk pertumbuhan iman kita, sehingga kita semakin berserah diri kepada Tuhan? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

345


Bagikan

08 Maret 2010

Ketika Orang Membutuhkan Penghargaan






Suatu hari seorang pemuda datang ke bengkel temannya. Ia sendiri bekerja pada bengkel yang lain. Kepada temannya, ia meminjam telephone. Ia ingin telephone ke bengkel di mana ia bekerja.

Setelah menekan nomor yang dimaksud, seseorang di seberang mengangkat telephone. Managernya sendiri. “Eh, Tuan,” katanya dengan suara dalam, “apakah Tuan bersedia menerima seorang pemuda jujur dan pekerja keras menjadi pegawai?” Temannya itu, yang juga manager, mau tak mau mendengarkan pertanyaan itu.

Setelah beberapa saat pemuda itu berkata, “Oh, tuan sudah memiliki seorang pegawai yang jujur dan suka bekerja keras, ya? Baiklah, kalau begitu. Terima kasih.”

Dengan senyum lebar tersungging di wajahnya, pemuda itu meletakkan telephone dan pulang dengan motornya. Ia bersiul-siul dan tampak sangat gembira.

Temannya merasa heran dan memanggilnya. “Hei, tunggu dulu. Saya tidak sengaja ikut mendengar percakapanmu. Mengapa engkau begitu senang? Kukira orang di telephone itu mengataka bahwa ia sudah punya pegawai, sehingga ia tak membutuhkanmu. Benar?”

Pemuda itu tersenyum menatap mata temannya. Lantas ia berkata, “Ya, memang. Sayalah pemuda jujur dan suka bekerja keras itu. Saya cuma mau mengecek prestasi kerja saya.”

Orang juga butuh diakui dalam pekerjaan-pekerjaannya. Orang akan merasa senang, jika seorang pemimpin mau memberikan pujian atau bahkan hadiah atas prestasi yang telah dicapai. Seringkali hal seperti ini dilupakan. Orang yang jujur dan memiliki dedikasi yang tinggi sering kurang dihargai, kurang diakui. Padahal mereka sudah bekerja habis-habisan untuk perusahaan atau lembaga-lembaga tertentu yang bonafit.

Tentu saja penghargaan itu bukan untuk membuat orang yang bersangkutan menjadi sombong. Tetapi lebih-lebih mau memberikan perhatian bahwa orang itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perusahaan atau lembaga itu. Penghargaan itu juga sebagai suatu ucapan terima kasih atas prestasi dan komitmen orang itu terhadap perusahaan atau lembaga itu. Bayangkan, kalau para pegawai tidak memiliki prestasi atau komitmen yang rendah terhadap perusahaan atau lembaga, akan jadi apa perusahaan atau lembaga itu? Tentu cepat atau lambat akan roboh.

Pemberian penghargaan juga mesti dilihat sebagai suatu rangsangan bagi prestasi yang lebih tinggi. Juga untuk menciptakan suatu suasana kompetitif yang fair yang menghilangkan rasa cemburu. Kalau orang sungguh-sungguh mampu memberikan prestasi, dedikasi, komitmen serta loyalitas yang tinggi, orang tersebut boleh mendapatkan penghargaan. Jangan belum bekerja dengan baik sudah diberi penghargaan setinggi langit. Nanti bukannya memacu pagawai lain untuk memiliki prestasi, tetapi sebaliknya mengundang rasa cemburu dan iri hati dari pegawai-pegawai yang lain. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
344

Bagikan

07 Maret 2010

Menjadi Sahabat yang Baik bagi Sesama



Suatu hari seorang pertapa tua yang tinggal di daerah pegunungan meninggal dunia. Keluarga jauhnya datang untuk melayat dan ingin mengumpulkan barang-barang berharga milik pertapa tua itu. Setibanya di sana yang mereka lihat hanyalah sebuah gubuk tua dengan kamar mandi di sampingnya. Dalam gubuk itu, di dekat tungku batu, ada sebuah panci masak tua dan peralatan dapur lainnya. Sebuah meja retak dengan kursi berkaki tiga mengapit sebuah jendela mungil. Sebuah lampu minyak tanah menjadi perhiasan di tengah-tengah meja. Dalam kegelapan, tampak di sudut ruang kecil itu tempat tidur bobrok dengan alas tikar di atasnya.

Mereka mengambil beberapa barang tua dan beranjak pergi. Tiba-tiba seorang teman lama pertapa yang naik kuda menghentikan mereka. Ia bertanya kepada mereka, “Apakah tuan tidak keberatan kalau saya mengambil sisa barang yang masih ada di pondok sabahat saya?”

Jawab mereka, “Silakan!” Mereka berpikir bahwa sudah tidak ada barang berharga lagi di dalam gubuk reyot itu.

Orang itu masuk ke gubuk dan berjalan ke meja. Ia meraih bagian bawah meja dan mengangkat salah satu papan lantai. Lalu ia mengambil semua emas di situ yang telah ditemukan sahabatnya selama lebih dari lima puluh tahun. Harga emas cukup untuk membangun sebuah istana megah.

Ketika pertapa itu meninggal, hanya sahabatnya itu yang tahu hartanya yang sebenarnya. Ketika sahabatnya itu keluar lewat jendela dan memandang debu di belakang mobil keluarga pertapa yang sudah menjauh itu, ia berkata, “Seharusnya mereka mengenalnya lebih dekat.”

Mengenal sesama lebih dekat itu suatu yang sangat bernilai bagi hidup manusia. Bukan pertama-tama karena sesama itu memiliki harta kekayaan yang banyak. Tetapi lebih-lebih sesama memiliki keunikan, kemampuan dan pengalaman hidup yang bisa membantu kita dalam perjalanan hidup kita. Seorang yang memiliki keunikan, misalnya, kekuatan dalam menghibur orang lain akan sangat berguna dalam membangkitkan semangat hidup. Karena itu, orang seperti ini menjadi kekayaan dalam suatu keluarga, kelompok atau komunitas.

Membangun persahabatan berarti orang mau mengenal lebih dekat dengan sahabatnya itu. Sahabat memiliki kekuatan untuk berbagi pengalaman hidup. Sahabat sejati juga mampu berbagi penderitaan dengan sesamanya. Ia tidak lari, ketika temannya mengalami penderitaan. Justru ia akan menemani sahabat yang menderita itu.

Setiap hari ini kita berjumpa dengan begitu banyak sahabat. Kita bisa bertanya diri apakah sahabat yang kita jumpai itu sahabat-sahabat yang sejati yang mampu berbagi derita dengan kita? Atau sahabat yang oportunis yang hanya datang kepada kita di saat kita mengalami kegembiraan dan sukacita? Nah, kita juga dituntut untuk cermat dalam membangun persahabatan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

343
Bagikan

06 Maret 2010

Ketika Manusia Tergiur Godaan


Ada seorang baik hati yang ingin menunjukkan kebaikannya. Pada suatu hari dia memperhatikan kondisi malang dari seorang tukang kayu. Orang baik yang kaya itu memanggil tukang kayu yang miskin itu dan menyerahkan wewenang kepadanya untuk membangun sebuah rumah yang indah.

Ia berkata kepada tukang kayu itu, “Saya inginkan agar rumah ini menjadi sebuah rumah yang sungguh indah. Gunakan saja bahan-bahan terbaik, pekerja-pekerja terbaik dan jangan menghemat.”

Orang kaya itu mengatakan bahwa dia akan mengadakan perjalanan dan mengharapkan, agar rumah itu selesai dibangun pada saat dia kembali.

Tukang kayu itu melihat hal ini sebagai suatu kesempatan berharga yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Karena itu, dia menghemat bahan-bahan, menyewa pekerja-pekerja yang bermutu rendah dan dibayar rendah. Ia menutupi kekurangan mereka dengan cat dan memotong sudut-sudut sedapat mungkin.

Ketika orang baik yang kaya itu pulang, tukang kayu itu menyerahkan kunci rumah kepadanya. Ia berkata, “Saya telah mengikuti petunjuk tuan dan membangun rumah seperti yang tuan katakan.”

Orang kaya itu tersenyum memandangnya dan berkata, “Saya sangat senang.” Kemudian ia menyerahkan kembali kunci rumah baru itu kepada tukang kayu itu. Ia berkata, “Ini kunci-kuncinya. Inilah milikmu. Saya sudah menyuruh engkau membangun rumah untuk dirimu sendiri, engkau dan keluargamu harus memiliki itu sebagai hadiah dari saya.”

Tahun-tahun selanjutnya tukang kayu itu tidak pernah berhenti menyesal, karena telah menipu diri sendiri. Dalam rasa sesal yang mendalam, ia berkata, “Kalau saya tahu bahwa saya membangun rumah ini untuk diri saya, tentu akan jadi lain...”

Kejujuran dan kesetiaan ternyata masih menjadi barang mahal di dunia ini. Kesetiaan pada janji atau komitmen begitu mudah luntur, karena orang mudah tergiur oleh godaan-godaan. Orang tergiur untuk memiliki harta yang banyak, sehingga ia lupa akan kesetiaannya pada janji yang pernah diucapkannya. Hal ini terjadi di mana-mana di berbagai bidang kehidupan.

Dalam kehidupan berkeluarga, misalnya. Orang mudah mengingkari janji perkawinan yang telah mereka ucapkan. Cinta yang mereka ucapkan itu ternyata hanya manis di bibir saja. Setelah sekian tahun membangun hidup berkeluarga, terjadilah perselingkuhan. Suami hidup dengan perempuan lain. Istri mencari gandengan baru.

Karena itu, dibutuhkan kejujuran dalam hal-hal yang nyata. Orang mesti jujur menampilkan diri di hadapan sesamanya. Suami istri mesti tampil apa adanya. Tidak menyimpan misteri sendiri-sendiri. Kalau masih menyimpan rahasia sendiri-sendiri nanti menyesal kalau terjadi perceraian. Pepatah mengatakan bahwa sesal kemudian tidak berguna. Untuk itu, mari kita bangun kejujuran dari hati yang tulus dan bening. Bukan suatu kejujuran semu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

342
Bagikan

05 Maret 2010

Ketika Kita Berani Ubah Diri



Seorang mistikus yang sudah lanjut usia pernah mengatakan tentang dirinya, begini, “Ketika masih muda saya seorang revolusioner dan doaku pada Tuhan adalah Tuhan berilah saya kekuatan untuk mengubah dunia. Ketika saya mencapai usia tengahan dan menyadari bahwa hidup saya sudah setengah lewat tanpa mengubah seorang pun, saya mengubah doa saya sebagai berikut, ‘Tuhan berikan aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berkontak dengan saya, anggota keluargaku dan teman-temanku; itu sudah cukup. Sekarang umur saya sudah tua dan hari-hariku sudah dapat dihitung. Saya mulai menyadari betapa bodoh saya. Sekarang saya berdoa sebagai berikut, ‘Tuhan, berikan aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri.’ Jika saya berdoa seperti ini sejak awal, saya tentu tidak menyia-nyiakan hidupku.”

Mampukah kita mengubah dunia yang semakin tidak karuan ini? Bayangkan, kini begitu banyak generasi muda yang jatuh ke dalam ketergantuan obat-obat terlarang. Free sex terjadi di mana-mana. Perselingkungan sudah menjadi kisah biasa dalam hidup sehari-hari.

Korupsi bukan hal yang baru lagi. Kurang gizi dan busung lapar masih saja terjadi di banyak tempat di negeri ini. Belum lagi bencana alam yang tiada henti melanda negeri dengan ribuan pulau yang indah-indah. Lalu apa yang mau kita ubah? Jangan-jangan kita yang terperosok ke dalam berbagai bentuk kejahatan yang ada. Jadi apakah kita mesti menyerah terhadap berbagai hal negatif yang ada di negeri kita ini?

Sebagai orang beriman, tentu kita tidak akan dan tidak mau menyerah begitu saja terhadap berbagai kebobrokan yang kita jumpai. Orang beriman itu dipanggil untuk memperbaiki keadaan masyarakatnya yang rusak. Soalnya bagaimana? Mau berjuang dari mana?

Nah, dalam doa sang mistikus itu kita dapat belajar bahwa mengubah dunia itu dilakukan dari dalam diri kita. Kita mau mengubah diri kita sendiri. Dengan demikian, dengan sendirinya dunia ini dapat berubah. Kalau setiap dari kita mulai mengubah sikap-sikap kita yang tidak terpuji, lama-lama dunia ini akan menjadi suatu tempat yang aman dan damai untuk kehidupan manusia.

Ambil saja contoh, setiap dari kita mau tepat waktu. Kita mau masuk kerja di kantor atau tempat kerja tepat waktu. Ini mau kita lakukan setiap hari. Kita mau konsisten dengan komitmen yang kita buat ini. Tetapi ini mesti dilakukan dari kesadaran setiap pribadi. Kiranya dalam waktu singkat banyak pekerjaan kita tidak terbengkalai. Pelayanan kita bagi sesama juga tidak akan tertunda-tunda.

Atau contoh lain, setiap dari kita mau membuang sampai pada tempat yang sudah disediakan. Kalau dalam perjalanan di kota kita tidak menemukan tempat sampah, kita mau bawa pulang sampah kita itu sampai di rumah. Setibanya di rumah kita buang sampah tersebut pada tempat yang sudah disediakan. Kita mau tertib. Kiranya dalam waktu singkat kota kita akan bersih. Kita tidak perlu kuatir lagi, kalau nanti parit-parit tersumbat di musim hujan. Kota kita tidak akan mengalami banjir. Mau coba? Ini mengubah dari dalam diri lalu hasilnya adalah dunia sekitar bisa berubah. Setiap usaha kita untuk mengubah diri kita akan mendapat bantuan dari Tuhan yang kita imani. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

341

Bagikan

04 Maret 2010

Hadiah yang paling Indah

Konon, seorang pemimpin suku Indian di Amerika Serikat yang tinggal di kaki gunung hampir meninggal dunia. Pemimpin itu memanggil ketiga putranya. Ia berkata kepada mereka, “Saya hampir mati dan salah seorang di antara kamu akan menggantikan saya sebagai kepala suku. Saya menghendaki agar masing-masing kamu mendaki gunung suci kita dan membawa dari sana sesuatu yang sangat indah. Yang membawa hadiah yang paling indah, dia itulah yang cocok untuk menggantikan saya.”

Beberapa hari kemudian ketiga anak itu kembali. Yang pertama membawa sekuntum bunga yang luar biasa indah. Yang kedua membawa batu yang berwarna-warni dan sangat indah. Yang ketiga pulang dengan tangan kosong. Ia berkata kepada ayahnya, “Ayah, saya tidak membawa apapun pulang dari gunung itu. Tetapi ketika saya berdiri di atas puncak gunung, saya melihat di seberang sana sebuah tanah yang indah penuh dengan padang rumput hijau dan sebuah danau kristal. Saya mempunyai visi ke mana nanti suku kita memperoleh hidup yang lebih baik. Saya sungguh dikuasai oleh apa yang saya lihat dan oleh apa yang sedang saya pikirkan, sehingga saya tidak membawa apa-apa pulang.”

Ayahnya sangat terharu. Ia memandang anak ketiganya dan berkata, “Kaulah yang akan menjadi pemimpin baru dari suku kita, sebab engkau telah membawa pulang sesuatu yang sangat berharga, yaitu visi bagi suatu masa depan yang lebih cerah.”

Banyak orang di jaman kini hidup hanya untuk hari ini. Hidup hanya untuk sesaat. Mereka tidak berpikir bahwa besok masih ada hari yang mesti diperjuangkan. Tidak perlu memperjuangkan hari esok. Karena itu, mereka tidak perlu menabung. Menabung itu tidak berguna, karena toh kita tidak tahu apakah besok kita masih hidup atau tidak. Karena itu, nikmatilah hari ini.

Tentu saja di jaman modern ini pandangan seperti ini sudah tidak laku lagi. Orang mesti memiliki suatu visi masa depan yang baik, agar orang dapat mencapai kebahagiaan dalam hidup. Untuk itu, orang mesti memiliki suatu ketahanan dalam fisik dan spiritual. Mengapa perlu? Karena manusia mudah tergoda oleh kemajuan jaman. Manusia mudah jatuh ke dalam godaan hal-hal duniawi. Manusia mudah membiarkan dirinya dikuasai oleh godan-godaan itu.

Merencanakan hidup untuk masa depan itu mesti menjadi hal yang mutlak dalam hidup kita. Dengan demikian, orang memiliki arah hidup yang jelas. Orang memiliki fokus dalam hidup ini. Ia tidak asal melakukan apa yang dia mau atau dia sukai. Ia tidak asal mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak berguna bagi dirinya.

Namun tidak berarti bahwa kita mendahului Tuhan. Tuhan telah memberi kita kemampuan, bakat-bakat untuk mengembangkan diri kita. Maka kiranya Tuhan tidak merasa didahului, kalau kita membuat suatu rencana bagi hidup kita di masa depan. Justru Tuhan akan merasa senang melihat ciptaanNya begitu kreatif dalam mengembangkan diri.

Setiap hari kita memperoleh banyak hal baik bagi hidup kita. Karena itu, kita syukuri kebaikan Tuhan atas diri kita. Kita persembahkan kepadaNya niat, rencana kita agar masa depan kita bersinar cerah. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

340

Bagikan

03 Maret 2010

Ketika Cinta Kasih Jadi Andalan Hidup


Seorang teman saya suatu kali berbelanja ke super market. Itu baru pertama kali ia lakukan. Maklum, ia orang desa. Karena itu, ia bingung. Bagaimana mungkin semua harga sudah tertera pada barang yang akan ia beli. Tidak ada kesempatan baginya untuk tawar-menawar. Kalau di pasar desa, ia masih bisa tawar-menawar. Sehingga uang yang sedikit bisa beli banyak barang yang ia butuhkan.

Daripada susah-susah, ia tidak mau belanja apa-apa di super market. Ia hanya melihat-lihat sambil menghirup aroma baru pasar modern. Kalau di desa, aroma pasar kental dengan kekunoan. Bagi teman saya ini, pasar desa masih segalanya. Pasar desa masih yang terbaik. Ia masih bisa bersendagurau dengan para pedagang. Masih ada kontak batin di antara mereka.

Setelah pulang, dia berkata kepada saya, “Wah, susah jadi orang kota, ya?! Semua serba modern. Semua serba canggih. Sayang, sentuhan kemanusiaannya sudah luntur. Semua serba otomatis.”

Saya hanya tersenyum mendengar omelan teman saya itu. Dalam hati, saya berpikir, benar juga gurauannya. Dalam kehidupan manusia modern ini kemanusiaan itu semakin luntur. Manusia seolah-olah diikat oleh aturan-aturan yang ketat. Mau beli suatu barang, harga sudah dicatumkan, tinggal bayar di kasir. Tidak perlu banyak omong. Setelah dihitung oleh kasir, kita bawa pulang ke rumah. Kontak batin sangat minim.

Lalu soal yang mendalam yang perlu diperhatikan itu apa? Atau apa yang masih bisa dipakai untuk membangkitkan lagi suasana persaudaraan dalam kancah kehidupan modern ini? Ada berbagai cara. Misalnya, mencari motivasi utama dalam membangun persaudaraan itu. Kiranya orang-orang yang beriman akan setuju kalau motivasi utama membangun persaudaraan adalah cinta kasih. Setiap manusia hanya bisa hidup dan meneruskan kehidupan ini hanya karena daya tarik cinta kasih itu.

Karena itu, motivasi membangun persaudaraan mesti dilandaskan pada cinta kasih. Tiada orang yang hidup tanpa cinta kasih. Kalau ia nekat hidup tanpa cinta kasih, ia tidak akan lama bertahan. Hidupnya tidak akan memiliki makna sedikit pun. Hidupnya bagai sayur tanpa garam. Kalau garam itu sudah hambar, ia tidak bisa diasinkan lagi.

Hidup kita semua selalu diawali oleh cinta kasih. Kita dikandung oleh ibu kita masing-masing, karena ada cinta kasih yang begitu kuat di antara ibu dan bapak kita. Kita dilahirkan ke dunia juga karena ibu yang begitu mencintai kita. Kalau ibu tidak mengcintai kita, mungkin dia tidak mau melahirkan kita. Atau mungkin dia sudah mencekik leher kita begitu kita lahir. Karenaa itu, kita mesti senantiasa sadar bahwa hidup kita didasarkan pada cinta kasih.

Setiap hari ini kita merasakan dan mengalami sendiri getar-getar cinta kasih dari orang-orang yang ada di sekitar kita. Mari kita bawa getar-getar itu dalam haribaan kita. Biar Tuhan yang mahapengasih dan penyayang senantiasa melindungi kita dengan kasih sayangnya. Biarlah Tuhan sendiri yang memberikan berkat dan rahmatNya bagi kita. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

339
Bagikan

02 Maret 2010

Ketika Tuhan Mengatakan Tidak

Seorang gadis kecil sangat senang akan bonekanya. Pada suatu hari, karena kurang hati-hati, boneka itu terjatuh dan pecah berkeping-keping. Saudaranya yang melihat hal itu tertawa terbahak-bahak. Gadis kecil itu berkata kepada saudaranya, “Tertawalah sepuasmu. Tetapi saya akan berdoa, supaya Tuhan dapat memperbaiki boneka saya.”

Mendengar kata-katanya, saudaranya malah tambah mengejeknya. Ia berkata, “Tuhan tidak akan memenuhi permohonanmu.”

Gadis itu menjawab dengan penuh keyakinan, “Mari kita bertaruh. Tuhan akan menjawab permohonanku!”

Gadis kecil itu mulai berdoa, sedangkan saudaranya keluar rumah untuk bermain. Beberapa jam lagi saudaranya masuk lagi ke dalam rumah. Ia melihat boneka itu masih tetap berkeping-keping. Lantas ia berkata, “Tampaknya engkau kalah taruhan. Tuhan sama sekali tidak menjawab doamu. Jadi bagaimana?”

Dengan penuh keyakinan, gadis itu menjawab, “Tuhan menjawab doa saya. Tetapi Dia mengatakan tidak.”

Sering kali kita berdoa kepada Tuhan dengan pikiran bahwa doa kita mesti dikabulkan. Kita memaksa Tuhan untuk mengabulkan permohonan-permohonan kita yang bahkan tidak masuk akal. Karena itu, kita menjadi kurang beriman lagi kepada Tuhan gara-gara doa yang tidak terkabulkan itu. Kita menuduh Tuhan tidak peduli terhadap doa-doa kita. Kita menuduh Tuhan pilih kasih. Kepada yang lain dikabulkan doanya, tetapi kenapa doa-doa kita tidak dikabulkan. Kita merasa Tuhan tidak adil kepada kita.

Sebenarnya doa yang baik adalah menyerahkan seluruh permohonan kita kepada Tuhan dan kita membiarkan Tuhan mengabulkan atau tidak permohonan kita itu. Terserah Tuhan. Karena itulah kebebasan dari Tuhan apakah mau mengabulkan permohonan kita atau menolak mengabulkan permohonan kita. Kita hanya mempercayakan seluruh permohonan kita kepadaNya. Kalau Tuhan mengabulkan permohonan kita, ya syukur. Kalau tidak pun, syukur.

Karena itu, doa orang beriman itu suatu doa pasrah. Namun orang beriman juga menaruh pengharapan kepada Tuhan yang telah memberikan kehidupan ini kepadanya. Mengapa orang mesti memiliki pengharapan? Karena kita tidak tahu apa yang Tuhan mau buat untuk kita. Kita masuk dalam alam misteri Allah. Maka yang kita buat adalah berharap kepadaNya dengan penuh iman. Biarlah Dia mendengarkan dan mengabulkan permohonan kita.

Setiap hari ini kita telah mengalami berbagai kebaikan dari Tuhan. Mungkin itu merupakan suatu pengabulan atas doa-doa permohonan yang kita panjatkan kepadaNya. Kita mengalami betapa Tuhan begitu baik kepada kita. Ia mengasihi kita melalui orang-orang yang ada di sekitar kita. Tuhan senantiasa memperhatikan kita melalui sahabat-sahabat, saudara-saudara di sekitar kita.

Karena itu, kita bersyukur atas kasih karunia Tuhan itu. Kita membiarkan Tuhan terlibat dalam seluruh hidup kita melalui orang-orang di sekitar kita. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

338
Bagikan

01 Maret 2010

Memberi Secangkir Air bagi Yang Haus

Konon suatu hari seorang kaya raya mengumpulkan semua ahli dan orang bijaksana di negerinya. Ia ingin mereka memberikan masukan mengenai pelayanan yang akan dibuat untuk rakyatnya. Ia mau semua rakyatnya hidup sejahtera, damai dan tenteram.

Dengan penuh wibawa ia bertanya kepada mereka, “Mana bentuk pelayanan terbaik dan mana saat yang terbaik untuk memberikan pelayanan bagi rakyat?”

Semua ahli dan orang bijak itu memberi berbagai macam jawaban kepada raja. Namun menurut raja, jawaban-jawaban mereka tidak memuaskan di hatinya. Semua jawaban mereka sudah hal yang biasa. Tidak ada yang baru. Jadi raja memutuskan untuk mendrop semua jawaban mereka.

Lantas suatu hari sementara berjuang melawan musuhnya di medan perang, dia sengaja memisahkan diri dari para prajuritnya dalam sebuah hutan yang lebat. Lalu dia berjalan sendirian. Tanpa seorang pengawal pun. Semakin jauh ia berjalan, ia merasa lapar dan haus yang tak tertahankan. Akhirnya ia menemukan sebuah pertapaan.

Ia masuk ke dalam pertapaan itu dalam kondisi yang lemah. Seorang pertapa tua menerimanya dengan hangat dan menghidangkan secangkir air sejuk bagi raja. Ia juga diberi makan yang secukupnya. Sesudah beristirahat di tempat tidur pertapa itu, raja itu bertanya, “Manakah pelayanan terbaik yang harus aku berikan kepada rakyatku?”

Pertapa tua itu menjawab, “Memberikan secangkir air kepada seseorang yang kehausan.”

Raja mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu ia bertanya lagi, “Kapan itu dapat diberikan?”

Dengan penuh kebijaksanaan pertapa itu berkata, “Ketika dia datang dari jauh dan kesepian, sedang mencari suatu tempat yang dapat dicapainya.”

Raja itu sangat terkejut. Ternyata pelayanan yang terbaik itu sangat sederhana. Selama ini ia selalu memikirkan pelayanan yang hebat-hebat. Tetapi pada kenyataannya rakyatnya membutuhkan hal-hal yang biasa untuk mencapai kesejahteraan, damai dan ketenteraman.

Di jaman kini banyak orang menggembar-gemborkan tentang melayani sesama. Ada berbagai usaha yang hebat-hebat dengan program yang luar biasa pula untuk melayani rakyat. Ada usaha-usaha untuk membantu pengentasan kemiskinan. Pertanyaannya, apa yang sudah dicapai melalui program yang hebat-hebat itu? Mungkin sudah banyak yang dicapai. Tetapi kenyataannya adalah masih ada begitu banyak orang yang menderita kelaparan, kurang gizi. Bahkan masih juga ditemukan adanya gizi buruk di daerah-daerah tertentu. Lalu pelayanan macam apa yang sudah diberikann untuk mengentas kemiskinan itu?

Orang yang sungguh beriman itu memberikan suatu pelayanan yang tuntas, tanpa berpikir tentang dirinya sendiri. Ia tidak memikirkan apa yang akan ia peroleh setelah memberikan pelayanan bagi sesamanya yang membutuhkan pertolongan. Mungkin yang terjadi dengan persoalan gizi buruk atau busung lapar adalah persoalan kesungguhan melayani orang-orang yang miskin. Kesungguhan itu mesti tampak dalam karya yang nyata. Kesungguhan pelayanan itu mesti tampak dalam kejujuran dan kesetiaan untuk melayani mereka yang miskin dan lemah.

Hari ini kita sudah berusaha untuk melayani sesama. Karena itu, mari kita bawa semua bentuk pelayanan kita itu dalam hidup kita. Kita ucapkan syukur dan terima kasih atas penyertaan Tuhan bagi kita. Tuhan begitu baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


337
Bagikan

Menahan Diri dari Emosi




Suatu siang, seorang pegawai perempuan keluar dari kantornya untuk beristirahat. Seperti biasa ia pergi ke cafetaria di seberang kantornya. Ia memberi semangkok bakso kesukaannya dan sebatang coklat.

Namun hari ini sungguh berbeda. Setelah menemukan meja kecil yang nyaman di pojok ruangan, ia beranjak untuk mencari sesuatu. Ketika duduk kembali, seorang pria duduk di seberang mejanya. Pria itu membawa secangkir teh, sebuah donat dan sedang memakan coklat yang baru dibeli perempuan itu. Lelaki itu tidak meminta maaf atau berkata apa-apa. Ia memakannya begitu saja.

Perempuan itu terperangah melihat lelaki itu sedang mengunyah coklat kesayangannya. Ia marah, tetapi tidak bisa berkata apa-apa. Secepat mungkin ia menyantap baksonya. Meski begitu, semakin dalam ia memikirkan hal itu, ia pun semakin geram. Akhirnya, ia berdiri sambil mengentakkan kaki di samping lelaki itu, merebut sisa donat yang sedang dinikmati lelaki itu dan memakannya habis.

Dengan gaya yang begitu meyakinkan seolah-olah ia mau berkata kepada lelaki itu, “Rasain. Bagaimana rasanya kalau diperlakukan seperti itu?”

Beberapa saat kemudian ia kembali ke kantornya. Lelaki itu dibiarkannya terheran-heran, karena tidak tahu sama sekali apa yang ada dalam pikiran perempuan itu.

Begitu tiba di kantornya, ia membuka dompetnya. Dan ia kaget setengah mati begitu melihat coklat yang dibelinya aman-aman saja di dalam dompetnya.

Kekurangtelitian dapat berakibat fatal bagi hidup manusia. Orang lain akan menjadi korban kekurangtelitian kita. Kisah tadi melukiskan seorang perempuan yang ceroboh. Ia merasa bahwa hanya dia sendiri yang menyukai makanan tertentu. Orang lain tidak menyukai kesukaannya itu. Ia keliru. Tetapi kesadarannya baru terjadi setelah semuanya terjadi. Ini yang namanya hidup tanpa refleksi. Orang tidak berpikir panjang tentang apa yang diperbuatnya.

Kurang teliti dalam hidup bisa disebabkan oleh berbagai hal. Mungkin orang seperti ini kurang menganggap penting tentang suatu hal. Ia tidak begitu peduli terhadap hal-hal yang dianggapnya sepele. Atau orang seperti ini terlalu sibuk dengan berbagai macam hal dalam kehidupannya.

Akibatnya, hal-hal yang semestinya membutuhkan perhatian lebih, diabaikannya. Orang seperti ini mesti membutuhkan buku catatan atau asisten yang bisa membantunya dalam memberikan perhatian. Atau orang seperti ini orang yang cuek terhadap berbagai hal. Yang penting baginya adalah menyenangkan hatinya. Orang lain boleh menderita atas perbuatannya. Nah, orang seperti ini mesti sadar bahwa ia tidak hidup sendirian di dunia ini. Ia ada bersama orang lain. Ia hidup juga bagi orang lain, bukan hanya bagi dirinya sendiri.

Hari ini kita mengalami begitu banyak hal baik. Artinya, begitu banyak orang peduli terhadap kehadiran kita. Apa yang mau kita katakan kepada orang-orang yang peduli terhadap kita? Kita mau mengatakan banyak terima kasih bahwa kepedulian sesama itu membantu kita untuk bertumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


336
Bagikan