Pages

03 September 2011

Ketika Orang mesti Berkorban




Saya pernah menonton tarian balet yang dimainkan oleh para penari profesional di kota Milwaukee, Amerika Serikat. Tarian itu dipentaskan dalam beberapa babak dengan berbagai cerita. Pentas tari balet itu juga diiringi oleh sebuah orkestra yang sangat profesional. Paduan musik begitu mempesona, sehingga membuat tarian balet itu semakin menarik disaksikan. Semua kursi yang ada di teater itu diisi penuh oleh para penonton, meski tiket masuk cukup mahal.

Yang menarik dari tarian balet itu adalah dalam salah satu espisode, penari utama terjatuh. Ia seorang penari laki-laki yang sering mengikuti pentas tarian balet. Ia tergelincir. Ia menabrak dinding panggung. Ia tampak menahan rasa sakit yang luar biasa. Kakinya mengalami cedera. Namun ia berusaha untuk bangun. Dengan kaki yang pincang, ia meneruskan tarian itu hingga selesai. Ia memainkannya dengan sangat sempurna, seolah-olah kakinya tidak mengalami cedera.

Begitu selesai, para penonton langsung berdiri. Serentak mereka bertepuk tangan. Mereka mengagumi sang penari yang melaksanakan tugasnya dengan sangat profesional. Keesokan harinya, berita-berita di koran lokal memuji kehebatan penari tersebut. Foto-foto yang dipasang di halaman depan koran-koran lokal itu adalah foto pemuda itu dengan kaki kanan yang digips.

Penari itu seolah tidak menghiraukan cedera kakinya. Ia membiarkan kakinya sakit. Yang penting adalah ia dapat menghibur para penonton. Yang penting adalah tanggung jawab profesi yang mesti ia tunjukkan. Untuk itu, ia mesti berani berkorban. Ia berani mengorbankan hidupnya bagi orang lain.

Sahabat, tidak semua orang berani mengorbankan hidupnya bagi sesamanya. Banyak orang membuat perhitungan demi perhitungan, ketika harus berhadapan dengan situasi yang menuntut korban. Orang tidak serta merta berani mengorbankan hidupnya untuk sesamanya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa korban itu bukan sekedar suatu tindakan heroisme. Tetapi berkorban itu suatu tindakan mulia. Suatu tindakan yang memberikan kemampuan orang untuk memiliki motivasi untuk memberikan hidupnya bagi sesama.

Kalau kita merefleksikan lebih dalam, sebenarnya hidup kita ini diwarnai oleh korban demi korban. Orang berkorban bagi sesamanya dengan bekerja keras dengan penuh tanggung jawab.

Ketika seorang ibu mesti menghadapi saat-saat yang mendebarkan untuk melahirkan anaknya, ia mengorbankan seluruh hidupnya. Baginya, yang penting adalah sang buah hati lahir dengan selamat. Ia tidak memikirkan lagi keselamatan dirinya. Ia seolah menyerah. Ia membiarkan tubuhnya sakit demi kehidupan sang anak.

Karena itu, kita diajak untuk berani mengorbankan hidup bagi orang lain. Berkorban itu membahagiakan. Berkorban itu menyenangkan, ketika orang berkorban dengan cinta yang mendalam. Suatu cinta yang memampukan seseorang untuk menyerahkan hidup bagi sesamanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


772

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.