Pages

04 Oktober 2011

Berkorban Tanpa Pamrih



Suatu hari saya harus menjemput seorang teman di bandara. Ia datang pada siang hari. Namun ia mengalami penundaan penerbangan. Lama saya harus menunggu teman saya itu. Waktu menunggu itu saya gunakan untuk jalan-jalan di sekitar bandara. Saya juga mampir di kafe untuk minum dan makan. Lama saya duduk di sana. Pesawat tidak datang-datang juga. Akhirnya saya putuskan untuk pulang. Soalnya, saya ada acara pada malam harinya.

Di tengah perjalanan, teman saya itu menelpon bahwa dia sudah mendarat. Ia minta saya untuk menjemputnya. Pasalnya, baru pertama kali itu ia ke Kota Palembang. Ia takut tersesat. Ia takut nyasar. Ia juga mengatakan bahwa ia belum makan sejak pagi. Jadi ia ingin mampir ke rumah makan untuk makan.

Saya langsung balik kanan. Saya kembali ke bandara. Saya mesti menjemput teman saya itu. Saya tidak ingin mengecewakan teman saya itu. Apalagi sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu. Itulah saatnya kami saling bertemu untuk bercerita tentang pengalaman kami masing-masing.

Sampai di bandara, teman saya itu sudah keluar ke pelataran bandara. Ia mencari-cari saya. Ia tampak agak cemas. Tiba-tiba saya muncul dari belakang. Saya menepuk punggungnya. Ia sangat terkejut. Lantas begitu melihat saya, ia langsung memeluk saya. Ia sangat bergembira. Ia tidak perlu cemas lagi. Ia telah menemukan sahabatnya yang sudah lama tidak berjumpa. Kegembiraan menjadi bagian dari hidupnya malam itu. Ia menemukan bahwa hidup ini semakin bermakna, ketika ada orang yang mau berkorban untuknya.

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang banyak perhitungan. Orang berhitung tentang berapa jumlah uang yang mesti mereka peroleh dari suatu pekerjaan. Orang berhitung tentang keuntungan yang mereka peroleh setelah membantu sesamanya. Orang ingin agar apa yang dikorbankannya memperoleh kembali gantinya.

Tentu saja situasi seperti ini sering membuat relasi antarsesama menjadi renggang. Orang terlalu memperhitungkan korban yang telah dikeluarkannya. Orang memiliki pamrih yang begitu besar terhadap sesamanya.

Pertanyaannya, sejauh mana peranan iman dalam kehidupan sehari-hari? Apakah iman hanya berperan untuk diri sendiri? Bukankah iman mesti hidup dalam kehidupan yang nyata dengan berani berkorban tanpa pamrih?

Sebagai orang beriman, kita mesti berani mengorbankan hidup kita bagi kebahagiaan sesama. Korban itu mesti dilakukan tanpa pamrih. Hanya dengan cara ini, kita dapat membahagiakan sesama. Kita yang berani berkorban itu pun akan menemukan sukacita dan bahagia dalam hidup ini.

Orang yang berkorban secara semu akan menemukan hidup ini menjemukan. Hidup ini kurang bermakna. Hidup ini tidak membahagiakan. Hidup ini tidak indah bagi dirinya. Orang seperti ini akan mudah frustrasi dan stress. Mengapa? Karena orang tidak menemukan makna yang terdalam dari hidup ini. Mari kita berani mengorbakan hidup kita bagi kebahagiaan sesama tanpa menghitung untung atau rugi. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


796

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.