Pages

29 September 2011

Mengejar dan Menghidupi Kebaikan


Ada seorang guru bijaksana yang mengajarkan kepada murid-muridnya untuk senantiasa mencari yang baik. Murid-muridnya tidak boleh mengejar yang jahat dalam hidup mereka. Guru itu memberi alasan bahwa hidup dalam kebaikan itu membuahkan hal-hal yang indah. Sukacita akan dialami dalam hidup manusia. Kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup manusia itu bukan hanya dalam angan-angan.

Sedangkan mengejar yang jahat hanya menaruh hidup di ujung bahaya. Hidup orang hanya dipenuhi dengan kebencian, iri hati dan kecenderungan untuk melakukan hal-hal jahat. Pikiran orang yang mengejar kejahatan itu hanya tertuju pada menghancurkan sesamanya.

Guru bijaksana itu berkata kepada murid-muridnya, “Cintailah yang baik. Hiduplah baik dengan semua orang. Yang harus ada dalam diri Anda adalah mengasihi semua orang tanpa memandang siapa mereka.”

Menurut murid-muridnya, ajaran seperti ini tidak gampang. Masih ada begitu banyak kecenderungan dalam diri mereka untuk membenci sesamanya. Mereka masih iri terhadap sesamanya yang melakukan hal-hal yang baik. Tentang hal ini, guru bijaksana itu berkata, “Kalau kamu melihat ada orang yang baik, jangan kamu menaruh iri atau benci. Tetapi kamu harus menerimanya dengan baik. Kamu harus belajar dari orang itu, bagaimana dia bisa melakukan kebaikan bagi sesamanya. Dengan cara itu, kamu mampu melakukan hal-hal yang baik.”

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang sering ngotot-ngototan. Banyak dari kita yang tidak mau orang lain melebihi kita dalam berbuat baik. Kita cenderung iri hati. Kita cenderung menyisihkan sesama yang melakukan kebaikan itu. Tentu saja hal ini mesti kita buang jauh-jauh. Mengapa? Karena hanya dalam kebaikan itu kita mampu memperjuangkan hidup ini. Hanya dalam suasana kasih dan persaudaraan kita mampu membawa hidup kita dan sesama menuju kebahagiaan.

Kisah pengajaran guru bijaksana tadi menjadi suatu inspirasi bagi kita untuk senantiasa mengutamakan kebaikan dalam hidup ini. Mencari dan menumbuhkan kebaikan dalam hidup kita lebih beruntung. Kita bebas dari konflik-konflik. Kita tidak perlu menempatkan hidup kita di ujung kebinasaan.

Untuk itu, kita mesti terus-menerus belajar untuk mengejar kebaikan dalam hidup kita. Artinya, dengan hidup dalam kebaikan itu, kita mau agar hidup ini menjadi lebih baik dan menyenangkan. Kita ingin membawa diri kita dan sesama kita menuju kebahagiaan yang menjadi dambaan hidup kita.

Mari kita mengejar kebaikan dalam hidup ini. Dengan demikian, kasih senantiasa tumbuh dan menjadi andalan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


792

28 September 2011

Harta Kekayaan Bukan Tujuan Hidup Kita



Dalam masyarakat tradisional sering muncul pikiran-pikiran tahayul ketika seseorang menderita sakit. Orang yang sakit dikatakan sebagai orang yang kerasukan roh jahat. Lalu muncul berbagai kisah tentang roh-roh jahat itu. Misalnya, dikisahkan tentang roh yang bergentayangan. Akibatnya, orang semakin takut. Orang merasa bahwa dirinya selalu dikuasai oleh roh jahat itu.

Pengobatan bagi orang yang dikatakan kerasukan roh jahat itu pun dilakukan secara tradisional. Si sakit dibawa ke dukun yang dikenal ampuh mengusir roh-roh jahat dari diri seseorang. Dengan jampi-jampinya, dukun itu mengobati si sakit. Kadang-kadang si sakit dibentur-benturkan. Hasilnya? Si sakit tetap sakit. Ia tidak sembuh. Bahkan mungkin semakin mengalami penderitaan akibat depresi yang mendalam.

Soalnya adalah pernahkah orang melihat atau bersentuhan dengan roh-roh itu? Tentu saja orang akan mengatakan bahwa roh-roh itu tidakk kelihatan. Namanya saja roh. Tentu saja tidak bisa dilihat apalagi disentuh. Orang yang percaya akan adanya roh-roh itu akan mempertahankan pandangan mereka dengan berbagai argumentasi.

Berhadapan dengan situasi seperti ini, orang beriman mesti buat apa? Tentu saja orang beriman mesti menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Meskipun Tuhan juga tidak bisa dilihat dan disentuh, namun kasih Tuhan senantiasa hidup. Kasih Tuhan itu dapat dirasakan dalam hidup sehari-hari. Mengapa? Karena hakekat Tuhan adalah mengasihi manusia. Kasih itu menemani perjalanan hidup manusia. Kasih itu menumbuhkan iman yang semakin mendalam kepada Tuhan.

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang mengandalkan keduniawian. Banyak orang mencari, mengejar dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Mereka bangun rumah yang besar-besar. Mereka membeli mobil dengan harga yang mahal. Mereka berpikir bahwa dengan begitu mereka akan mengalami kedamaian dalam hidup ini. Akibatnya, harta kekayaan itu yang mereka andalkan. Harta kekayaan itu menjadi roh-roh baru di zaman modern ini. Harta kekayaan itu terus-menerus menghantui diri mereka untuk terus-menerus mengejar dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.

Tentu saja situasi seperti ini akan mengganggu hidup manusia beriman. Terjadi konflik batin. Manusia mesti bertarung dengan dirinya, apakah mau mengandalkan harta kekayaannya atau mengandalkan Tuhan dalam hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita mesti sadar bahwa harta kekayaan itu bukan segala-galanya. Harta kekayaan itu sarana untuk mencapai hidup yang bahagia. Harta kekayaan itu benda yang dapat binasa. Ketika orang tidak mengalami kebahagiaan dalam hidup karena harta kekayaan, orang mesti meninggalkannya. Orang mesti berpegang teguh pada imannya akan Tuhan.

Mari kita memperlakukan harta kekayaan bukan sebagai tujuan hidup kita. Kita andalkan Tuhan sebagai tujuann terakhir dari perjalanan hidup kita. Dengan demikian, hidup ini memberi kita kebahagiaan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

791

Berani Berkorban bagi Sesama


Ada seorang pembantu yang baik hati. Ia bekerja dengan penuh tanggung jawab. Ia mengurus dengan baik rumah majikannya. Ia menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan majikannya. Makanan kesukaan majikannya selalu ia siapkan. Menu makanan yang lain ia selalu sediakan tanpa harus diperintah oleh majikannya.

Majikannya merasa bahwa pembantunya itu telah melakukan hal-hal yang sangat baik. Ia tidak perlu kuatir akan apa yang ia makan atau minum. Kalau ia harus keluar kota, ia tidak perlu kuatir. Semua ia serahkan kepada pembantunya. Ketika ia kembali ke rumahnya, segala sesuatu tetap seperti biasa. Sang pembantu mengatur segala-galanya dengan baik. Bahkan ia seperti sudah hafal semua kebiasaan majikannya.

Suatu hari rumah sang majikan didatangi perampok. Pembantu yang seorang perempuan itu sendirian berada di rumah. Majikannya sedang berada di luar negeri. Melalui kamera cctv, pembantu itu mengamati dua orang perampok mengendap-endap. Lantas mereka membobol salah satu jendela di rumah itu. Mereka pun masuk ke dalam rumah dengan mudah. Pembantu itu tidak gentar menghadapi mereka.

”Saya mesti mempertahankan rumah ini dan segala isinya. Saya tidak boleh menyerah kepada dua perampok ini,” katanya dalam hati.

Apa yang terjadi kemudian? Pembantu itu menghadapi dua perampok yang berbadan tegap itu. Ia mampu menghalau dua perampok itu keluar rumah. Untuk usahanya itu, ia mesti kehilangan satu jari ibunya. Pedang salah satu perampok sempat menyabet jarinya sebelum ia menghalau mereka keluar.

Sahabat, pengorbanan yang berani telah ditampakkan oleh pembantu itu. Ia rela kehilangan ibu jarinya demi kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Ia berani menghadapi resiko yang akan terjadi atas dirinya. Orang yang berani mengorbankan diri bagi sesamanya akan mengalami sukacita dalam hidupnya.

Seorang guru bijaksana mengatakan bahwa seorang gembala yang baik adalah orang yang berani mempertaruhkan nyawanya bagi gembalaannya. Ketika ada serangan terhadap domba-dombanya, ia mesti berani mempertahankan. Ia mesti berani menghalau serangan itu.

Kesetiaan pada tugas merupakan suatu panggilan hidup manusia. Orang yang setia pada tugas-tugasnya akan mendapatkan sukacita berlipat ganda. Hidupnya akan sejahtera. Hidupnya akan dipenuhi dengan kegembiraan. Memang, tidak gampang orang tetap setia pada tugas yang dipercayakan kepadanya. Ada berbagai godaan dan rintangan. Ada berbagai tuntutan yang mesti dijalankan.

”Barangsiapa kehilangan nyawanya karena cintanya yang besar kepada sesamanya, ia akan mengalami sukacita dalam hidup ini,” kata sang guru bijaksana.

Nah, beranikah Anda berkorban untuk sesama Anda? Saya yakin, Anda berani berkorban untuk sesama Anda. Hanya dengan berkorban, Anda akan mengalami hidup ini begitu indah. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


790

27 September 2011

Pentingnya Motivasi dalam Perjuangan

Ada seorang aktivis kemanusiaan yang rajin mengunjungi mereka yang mengalami penindasan. Biasanya ia mengajak mereka untuk berbicara dari hati ke hati. Kalau ada persoalan yang mereka hadapi, ia akan membantu mereka untuk mencari solusi. Bagi masyarakat yang dikunjungi, kehadiran aktivis itu sungguh-sungguh membantu mereka. Mereka dapat memperjuangkan hak-hak mereka. Mereka tidak perlu takut untuk menyuarakan pendapat mereka.

Aktivis itu pun bekerja dengan sukarela. Ia tidak meminta bayaran atas bantuan-bantuan berupa pendapat-pendapat yang diberikannya. Baginya, ia wajib memberikan pertolongan bagi mereka yang sedang mengalami kesulitan hidup. Tidak boleh ada orang yang mengalami penindasan dalam hidup ini.

”Bukankah setiap orang memiliki harkat dan martabat yang sama? Setiap orang punya hak untuk mengalami suasana bebas,” katanya.

Karena itu, ia tak henti-hentinya mengkampanyekan persamaan hak. Ia tidak takut ditangkap. Baginya, kalau pihak keamanan menangkap dirinya karena memperjuangkan orang kecil, itu merupakan resiko suatu perjuangan. Ia harus mampu mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya.

Sahabat, beranikah Anda memperjuangkann hak-hak sesama Anda? Kalau ada sekelompok orang yang hidup di sekitar Anda mengalami penindasan, beranikah Anda datang untuk membantu mereka? Saya yakin, Anda akan mau. Anda akan menghadapi persoalan sesama Anda itu, meskipun akan ada resiko yang terjadi.

Persoalannya, mengapa Anda mau melakukan hal itu? Apa motivasi yang membara dalam diri Anda untuk memperjuangkan hak-hak sesama Anda itu? Nah, motivasi ini yang mesti Anda temukan. Kalau motivasi Anda hanya mau ikut arus saja, saya yakin Anda tidak akan lama memperjuangkan sesama Anda. Ketika ada tantangan yang menghadang, Anda akan lari terbirit-birit. Atau kalau tidak ada tantangan, Anda akan mudah bosan.

Untuk itu, setiap orang mesti memiliki motivasi dalam melakukan suatu pekerjaan. Seorang ibu yang memelihara dan membesarkan anaknya yang cacat, misalnya, memiliki cinta kasih sebagai motivasi yang memacu dirinya. Kalau dia tidak memiliki cinta kasih yang besar dan mulia, mungkin anaknya yang cacat itu sudah ia buang ke sungai.

Karena itu, dalam perjuangan orang juga perlu mengadakan penegasan roh. Artinya, orang mesti terus-menerus merefleksikan hal-hal yang mendasari perjuangannya. Orang mesti berani bertanya diri tentang motivasi yang menyertai perjuangannya.

Mari kita temukan motivasi yang baik dan indah dalam setiap perjuangan hidup kita. Dengan demikian, kita menemukan betapa indah hidup ini bagi diri kita dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


789

26 September 2011

Bangun Relasi dengan Tuhan Melalui Doa

Ada seorang anak yang suka berdoa. Ke mana pun ia pergi, ia pasti berdoa lebih dahulu sebelum berangkat. Ketika tiba di tempat tujuan, ia juga berdoa. Bahkan sepanjang perjalanan, ia melewatkan waktu-waktunya dengan berdoa. Ia ingin agar perjalanan hidupnya sungguh-sungguh ditemani oleh Yang Mahakuasa.

Suatu hari, ia lupa berdoa. Waktu itu ia hendak berangkat ke sekolah. Ia sibuk menyiapkan buku-buku pelajaran, sehingga ia lupa berdoa. Apa yang terjadi sesudah itu? Anak itu merasa ada yang kurang dalam dirinya. Ia merasa resah. Ia merasa kekuatiran hinggap dalam dirinya. Ia merasa tidak tenang.

Melihat kondisi anaknya, sang ibu yang mengantarnya pagi itu ke sekolah juga bingung. Ia tidak mengerti apa yang sedang dialami oleh anaknya.”Apa yang terjadi denganmu? Ada yang tertinggal di rumah?” tanya sang ibu.

Anak itu juga bingung. Ia tidak tahu mau menjawab apa. Ia berusaha mengingat-ingat apa yang tertinggal di rumahnya. Namun ia tidak menemukannya. Setelah hampir sampai di pintu gerbang sekolah, anak itu baru ingat.

Ia berkata, ”Mama, saya lupa berdoa tadi sebelum berangkat. Saya tidak tahu mengapa saya sampai melupakan hal yang sudah biasa saya lakukan. Bukankah berdoa itu sudah menjadi bagian dari hidup saya, bu?” Sang ibu berusaha menghiburnya.

Sahabat, sudahkah Anda berdoa hari ini sebelum Anda memulai suatu pekerjaan? Atau Anda lupa bahkan tidak peduli sama sekali terhadap doa? Bukankah berdoa itu membangun relasi yang lebih dekat dengan Tuhan? Bagaimana rasanya kalau Anda tidak berdoa?

Kisah di atas memberi inspirasi kepada kita tentang manfaat doa dalam hidup kita. Doa ternyata memberi ketenangan dalam hidup seseorang. Orang yang mengawali hari-hari hidupnya dengan berdoa akan mengalami betapa hidup ini menyenangkan. Orang tidak perlu merasa cemas. Orang tidak perlu kuatir dan takut akan apa yang akan dikerjakan pada hari itu.

Doa juga menjadi kesempatan bagi manusia untuk mengucapkann syukur dan terima kasih atas perlindungan Tuhan. Tuhan begitu baik kepada manusia. Tuhan senantiasa mengasihi manusia. Meskipun manusia membangkang dengan melakukan dosa-dosa, Tuhan tetap mengasihinya. Tuhan menawarkan pengampunan. Tuhan tidak meninggalkan manusia hancur lebur oleh dosa-dosa yang dilakukannya.

Karena itu, melalui doa, kita diajak untuk mensyukuri anugerah Tuhan dalam hidup kita. Kita diajak untuk tetap setia kepada Tuhan yang telah mengasihi kita itu. Marilah kita berdoa, Tuhan kami mengucapkan terima kasih atas penyertaanMu selama hari ini. Kami mengalami kebaikanMu melalui orang-orang yang membantu kami. Semoga kami senantiasa mengalami kasihMu dalam hidup ini. Amin. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


788

25 September 2011

Beriman dalam Hidup Sehari-hari

Ada seorang guru bijaksana yang mengajar penuh wibawa. Ia tidak hanya mengajar, tetapi ia juga menyembuhkan orang-orang sakit yang datang kepadanya. Ia tidak memandang siapa mereka. Ia menerima semua orang yang datang kepadanya dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Ia juga tidak memaksa mereka untuk menganut ajarannya. Kalau mereka mau menjadi muridnya, syukur. Kalau mereka tidak mau, juga tidak apa-apa.

Suatu hari, ada seorang pejabat tinggi datang kepadanya. Pejabat tinggi itu orang yang tidak seiman dengan guru bijaksana itu. Ia berkata, ”Guru, bantu saya. Ada seorang bawahan saya yang sakit lumpuh. Tiba-tiba saja dia menjadi lumpuh. Saya bingung. Dia sangat menderita. Sekarang dia berada di rumah saya.”

Guru bijaksana itu mendengarkan dengan penuh perhatian. ”Saya akan datang menyembuhkannya. Mari kita pergi sekarang,” kata guru bijaksana itu kepada pejabat tinggi itu.

Namun pejabat tinggi itu merasa tidak layak menerima kehadiran guru bijaksana itu. ”Saya tidak layak menerima guru di rumah saya. Katakan sepatah kata saja, maka bawahan saya itu akan sembuh,” kata pejabat tinggi itu.

Guru bijaksana itu tertegun mendengar kata-kata pejabat tinggi itu. Ia kagum terhadap iman orang itu. Lantas ia berkata, ”Terjadilah apa yang kauinginkan.”

Saat itu juga bawahan dari pejabat tinggi itu sembuh. Ada beberapa orang yang datang memberi kabar bahwa bawahannya sudah sembuh. Pejabat tinggi itu tersungkur di kaki guru bijaksana itu. ”Guru, jadikan saya salah seorang muridmu,” katanya.

Dengan senyumnya yang menawan, guru bijaksana itu berkata, ”Janganlah kau mau menjadi murid saya hanya karena sebuah mukjijat. Tidak baik orang beriman hanya karena mukjijat.”

Sahabat, banyak orang baru beriman kepada Tuhan setelah keajaiban-keajaiban terjadi dalam hidup mereka. Benarkah demikian? Ada benarnya. Namun orang mesti kritis. Orang mesti melanjutkan dengan mendalami imannya kepada Tuhan. Orang tidak boleh berhenti pada keajaiban-keajaiban itu. Mengapa? Karena bahayanya adalah ketika tidak ada keajaiban lagi orang tidak beriman lagi kepada Tuhan.

Orang beriman itu mesti membangun imannya dalam hidup sehari-hari. Pengalaman-pengalaman hidup yang biasa-biasa dalam hidup sehari-hari itu memberi makna iman. Iman itu mesti bertumbuh di dalam kehidupan yang nyata. Iman itu bertumbuh ketika orang membuka hatinya lebar-lebar bagi kasih Tuhan dalam hidup yang nyata. Iman itu bertumbuh subur, ketika orang peduli terhadap sesamanya yang sakit dan menderita. Seseorang dikatakan sungguh-sungguh punya iman, ketika ia mampu menjamah sesamanya yang membutuhkan bantuannya.

Mari kita bertumbuh dalam iman dalam hidup sehari-hari dengan membuka hati kita bagi hadirnya Tuhan dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


787

24 September 2011

Menyadari Panggilan Hidup sebagai Ibu


Menjadi ibu bukan sekedar sebuah kewajiban. Namun menjadi ibu itu suatu panggilan hidup dari setiap perempuan. Soalnya adalah apakah banyak perempuan menyadari hal ini? Bukankah kita menyaksikan ada kaum ibu yang kurang peduli terhadap anak-anak yang mereka lahirkan? Ada pula yang menyiksa buah hati yang mereka lahirkan itu.

Namun bagi supermodel asal Brasil, Adriana Lima, menjadi ibu lebih membanggakan daripada menjadi model. Model pakaian dalam terkenal Victoria’s Secret ini melahirkan anak perempuannya yang diberinya nama Valentina. Perempuan berusia 30 tahun ini melahirkan Valentina November 2009 lalu. Sekarang ia sedang menikmati setiap momen menjadi ibu.

”Pekerjaan terbaik di dunia bagiku adalah menjadi ibu. Aku tak pernah menyangka bisa mencintai sedemikian besar. Aku justru selalu bertanya apakah cinta tanpa syarat itu ada? Sekarang aku tahu itu ada, karena aku merasakannya sendiri,” kata Adriana.

Menjadi seorang ibu ternyata bukan sekedar melahirkan dan mempunyai anak. Lima berpenghasilan tertinggi di antara para model, yaitu 7,5 juta dollar AS. Tentang perannya sebagai ibu dalam kehidupan nyata, ia berkata, ”Peristiwa ini sungguh-sungguh mengubah diriku. Kini aku menjadi lebih matang dan merasa lebih aman. Peristiwa ini juga mengubah prioritas hidupku.”

Lima bercerita, saat melahirkan Valentina, dia mengalami proses kelahiran yang cukup berat. Dia menderita preeklampsia dan harus melahirkan bayinya enam minggu lebih awal. ”Beratnya hanya 1,9 kilogram. Aku berharap bisa langsung membawanya ke rumah, tetapi tak mungkin,” kata Adriana tentang anaknya.

Sahabat, tentu saja ungkapan kegembiraan sebagai ibu dari Adriana Lima ini memberi kekuatan kepada setiap ibu. Menjadi seorang ibu berarti orang memberikan hidupnya bagi generasi muda penerus dirinya. Orang mengorbankan banyak hal bagi sang anak. Seorang ibu tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia memikirkan kelangsungan hidup sang anak.

Karena itu, menjadi ibu merupakan suatu panggilan untuk memperjuangkan kehidupan. Kehidupan seorang anak manusia ada di tangan seorang ibu. Baik buruknya seorang anak ditentukan oleh seorang ibu. Karena itu, dibutuhkan tanggung jawab yang besar dari seorang ibu. Ia tidak hanya sekedar melahirkan anaknya. Tetapi ia mesti merawat sang anak dalam suasana cinta kasih yang mendalam.

Seorang ibu yang baik dan bertanggung jawab akan memberikan seluruh hidupnya bagi anak yang dilahirkannya. Ia tak jemu-jemu mencintai anaknya itu. Ia mengorbankan seluruh hidupnya untuk anak yang dilahirkannya. Semoga kaum ibu menyadari panggilannya menjadi ibu bagi anak-anak mereka. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

786

23 September 2011

Beriman dalam Keseharian Hidup




Ada seorang kaya yang sangat kikir. Ia punya banyak pembantu. Namun ia memberi mereka gaji di bawah upah minimum. Baginya, yang penting para pembantunya itu melaksanakan tugas-tugas dengan penuh tanggung jawab. Ia membayar tenaga mereka dan mereka tidak protes. Orang kaya ini juga tidak takut kepada Tuhan. Baginya, Tuhan itu hanyalah ilusi orang-orang. Tuhan itu tidak ada. Ia tidak hanya mengungkapkannya melalui pikirannya saja. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari ia tidak peduli terhadap orang lain. Kalau ada orang miskin yang datang kepadanya, ia segera mengusirnya pergi. Ia tidak ingin melihat wajah mereka. Ia tidak mau mereka mengganggu dirinya.

Suatu hari orang kaya yang kikir ini jatuh sakit. Sakitnya itu sangat parah. Ia mesti dibawa ke rumah sakit oleh istrinya. Para pembantunya yang tinggal di rumah merasa damai. Mereka tidak perlu dipelototi atau diperintah-perintah oleh orang kaya yang kikir itu. Mereka pun tidak mau mengunjungi bos mereka itu.

Dalam situasi sakit yang mencekam itu, orang kaya yang kikir itu meminta bantuan Tuhan. “Tuhan, kalau Engkau ada, tunjukkanlah kebaikan-Mu kepadaku. Sembuhkanlah penyakit saya ini,” ia berdoa, Istrinya yang menemaninya kaget mendengar doa suaminya. “Pak, bukankah bapak tidak percaya bahwa Tuhan itu ada? Mengapa bapak berdoa minta bantuan Tuhan?” ia bertanya.

“Bukankah semua orang melakukan hal yang sama ketika mereka sakit? Jadi saya juga berdoa, siapa tahu Tuhan itu ada. Siapa tahu Tuhan membantu saya,” suaminya menjawab. Sahabat, dalam hidup ini ada banyak orang yang kurang percaya akan hadirnya Tuhan. Mereka mengandalkan sesuatu yang lain di luar diri mereka. Mereka tidak yakin bahwa Tuhan hadir dalam keseharian hidup mereka. Karena itu, mereka berani melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya, membunuh sesamanya, mencuri, merampok atau melakukan tindakan korupsi.

Karena itu, apa yang harus dilakukan oleh orang beriman dalam hidup ini? Orang beriman mesti tetap membangun keyakinannya kepada Tuhan. Orang beriman mesti tetap setia kepada Tuhan. Kesetiaan itu ditunjukkan dengan menghargai hidup dan hak-hak hidup orang lain. Hanya dengan cara itu, orang mengakui diri beriman dalam praksis hidup sehari-hari.

Mari kita tetap memberikan hidup kita kepada Tuhan dengan berlaku adil terhadap sesama kita. Kita mau melaksanakan ajaran cinta kasih yang menjadi dasar dan sumber hidup manusia. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih bermakna bagi diri kita dan sesama kita. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ


785

21 September 2011

Hidup dengan Rencana yang Cermat



Ada seorang pemburu yang kecewa. Ia meluapkan kekecewaannya dengan membakar hutan di mana ia berburu rusa. Pasalnya adalah sudah lima hari ia berburu, tetapi rusa-rusa itu tidak muncul-muncul juga. Ia merasa ditipu oleh rusa-rusa itu. Padahal biasanya ia pulang membawa rusa yang besar-besar saat berburu rusa. Akibatnya, ia kecewa. Ia mengambil pemantik, menghidupkannya dan membakar hutan itu. Kebakaran besar pun terjadi.

Setelah satu minggu, pemburu itu baru menyadari kesalahannya. Kesalahan yang ia lakukan adalah ia mengambil posisi di mana angin bertiup dari belakangnya. Ia tidak melawan arah angin yang datang itu. Akibatnya, rusa-rusa itu mencium bau dari dirinya. Rusa-rusa itu tahu bahwa mereka sedang berada dalam bahaya. Karena itu, mereka pun lari terbirit-birit untuk menyembunyikan diri.

Pemburu itu sangat menyesal. Ia tidak menyadari hal itu. Ternyata ia tidak membuat survei lebih dahulu tentang arah angin. Akibatnya, apes baginya. Ia tidak berhasil membawa hasil buruannya pada hari itu. Ia pulang dengan tangan hampa. Ia tidak cermat dalam berburu.

Sahabat, kecermatan dalam hidup mesti selalu dikembangkan. Mengapa? Karena kecermatan itu akan membantu orang dalam meraih kesuksesan hidup. Orang yang cermat akan hidup dengan baik. Orang yang tidak cermat biasanya sering salah perhitungan. Akibatnya, kerugian demi kerugian akan menjadi bagian hidupnya. Sesal kemudian tidak berguna.

Kisah tadi mau mengajak kita untuk senantiasa memperhitungkan tindakan-tindakan yang akan kita lakukan. Karena itu, orang mesti memiliki rencana untuk hidupnya. Orang tidak bisa hidup begitu saja tanpa rencana-rencana yang cermat. Akibat yang akan dialami adalah ketidakpastian dalam hidup. Orang tidak punya pegangan hidup, karena tidak punya rencana hidup.

Sebagai orang beriman, kita mesti menjalani hidup ini dengan rencana yang cermat. Rencana itu kita buat bersama Tuhan. Kok mesti begitu? Karena Tuhan ingin agar kita hidup bahagia. Tuhan ingin agar hidup kita itu sungguh-sungguh bermakna. Hidup ini mesti memiliki kemampuan untuk berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Untuk itu, dibutuhkan suatu rencana yang cermat.

Kehadiran Tuhan dalam hidup kita membantu kita untuk tetap setia pada rencana-rencana yang telah kita buat. Tuhan memberikan semangat bagi kita, agar kita dapat menjalani hidup ini dengan baik. Mari kita hidup dengan rencana-rencana yang cermat. Dengan demikian, hidup ini kita alami sebagai sesuatu yang damai dan indah. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


784

20 September 2011

Dunia Ini Bagian dari Diri Kita

Hewan-hewan langka semakin punah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi, karena berbagai faktor. Namun satu faktor yang paling dominan adalah manusia yang berburu hewan-hewan itu untuk kebutuhan diri mereka. Hewan-hewan langka tersebut dibunuh dan dijual untuk kepentingan manusia.

Salah satu hewan yang sering diburu adalah ikan paus. Di banyak tempat di dunia ini banyak orang berburu mamalia yang hidup di laut ini. Salah satu tempat yang menjadi perburuan ikan paus adalah di perairan Norwegia. Orang-orangg Norwegia termasuk orang-orang yang tangguh dalam berburu ikan paus.

Penyanyi asal Inggris, Leona Lewis, merinding saat menyaksikan tayangan yang menunjukkan seekor ikan paus mati perlahan-lahan setelah diburu pemburu paus Norwegia. Ia berkata, ”Tayangan mengerikan yang dirilis WSPA itu menunjukkan, perburuan paus yang dilakukan orang-orang Norwegia adalah hal yang sangat kejam. Itulah mengapa harus dihentikan saat ini juga.”

Karena itu, ia berharap Pemerintah Norwegia bersikap lebih tegas melawan perburuan paus. Penyanyi lagu ”Bleeding Love” ini merupakan anggota organisasi penyayang binatang World Society for the Protection of Animals (WSPA). Ia juga meminta para pemimpin negara-negara Skandinavia menghentikan perburuan sebelum makhluk itu punah.

Bagi Leona Lewis, perbuatan ini bertentangan dengan perilaku bangsa yang modern dan beradab seperti Norwegia. Ia berkata, “Pemerintah Norwegia harus mendengar suara ribuan orang di seluruh dunia, termasuk orang-orang Norwegia yang memprotes perdagangan paus.”

Sahabat, apakah Anda salah seorang yang peduli terhadap hewan-hewan atau tanaman-tanaman yang terancam punah? Atau Anda seorang yang masa bodoh saja, karena hadirnya hewan dan tanaman itu tidak berpengaruh terhadap hidup Anda?

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, Anda semestinya punya kepedulian terhadap hadirnya hewan-hewan atau tanaman-tanaman langka itu. Mereka adalah bagian dari ekosistem di mana kita hidup. Ketika salah satu dari rantai ekosistem itu lenyap, kehidupan kita pun akan terpengaruh. Pemanasan global atau global warming yang terjadi sekarang ini merupakan salah satu bukti manusia yang kurang peduli terhadap lingkungan hidup.

Kita mesti menyadari kerusakan lingkungan merupakan kerusakan terhadap hidup kita sendiri. Mengapa? Karena kerusakan itu juga mempengaruhi kehidupan kita. Ketika panas menerpa kehidupan kita, kita tidak merasa nyaman. Hidup kita menjadi terganggu. Hidup kita menjadi terancam. Dan bahkan kita juga akan cepat punah dari kehidupan ini.

Karena itu, mari kita menanamkan kesadaran yang mendalam pada diri kita. Dunia yang kita hidupi sekarang ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita. Ketika kita merusaknya, kita juga merusak diri kita sendiri. Kalau kita memeliharanya sebaik-baiknya, kita juga akan mengalami kebahagiaan dalam hidup ini. Mari kita lestarikan lingkungan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


783

15 September 2011

Mengendalikan Keinginan




Ada seorang nenek yang ingin membahagiakan cucunya. Suatu hari ia memasak bubur kesukaan cucunya. Seperempat ayam kampung ia cuil-cuil untuk dicampurkan ke dalam bubur tersebut. Ia berharap cucunya akan menikmati bubur kesukaannya itu. Kali ini ia mau buat kejutan bagi cucunya itu.

Begitu cucunya pulang dari sekolah, sang nenek langsung menghidangkan bubur itu. Melihat bubur kesukaannya, sang cucu langsung melahapnya. Bubur satu mangkok besar itu ia habiskan dalam sekejap.

“Masih ada, nek?” tanya sang cucu.

Sambil tertawa, sang nenek menjawab, “Besok nenek akan masak lagi. Tidak baik kamu makan sebanyak-banyaknya. Kamu akan cepat bosan. Tidak boleh kamu habiskan makanan sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat.”

Sang cucu tidak begitu percaya akan kata-kata sang nenek. Baginya, makanan yang enak itu mesti dihabiskan. Tidak boleh disisakan. Karena itu, dia memaksa neneknya untuk mengambilkan bubur yang menurut dia masih disimpan oleh neneknya. Rupanya mulutnya sudah tidak tahan untuk melahap bubur kesukaannya.

Namun tetap saja sang nenek tidak memenuhinya. Nenek itu mengatakan bahwa cucunya mesti mengendalikan diri. Ia tidak boleh mengikuti keinginannya. “Keinginanmu itu harus kamu kendalikan. Yang berhasil mengendalikan keinginannya akan menemukan hidup ini sebagai sesuatu yang indah. Ia tidak perlu menderita, karena terlanjur mengikuti keinginannya,” kata nenek itu.

Sahabat, pernahkah Anda berusaha untuk mengendalikan keinginan Anda? Misalnya, Anda ingin sekali makan bakso kepala sapi, namun Anda sedang diet. Kalau Anda makan, Anda akan melanggar diet Anda. Anda sudah tahu akibatnya, yaitu berat badan tubuh Anda tidak bisa turun. Atau Anda akan mengalami serangan stroke yang berat. Tentu saja Anda akan mengalami suatu pergulatan batin. Anda dituntut untuk menggunakan kebebasan Anda untuk memutuskan: apakah Anda memilih untuk hidup sehat atau mengalami penderitaan.

Orang yang mampu mengendalikan keinginan dirinya akan menemukan hidup ini sebagai sesuatu yang menggembirakan. Hidup ini terasa ringan. Orang mampu memutuskan untuk memilih yang baik dan benar bagi hidupnya. Tidak gampang untuk mengendalikan diri. Mengapa? Karena banyak orang ingin hidup enak. Padahal hidup yang enak itu belum tentu membahagiakan. Hidup yang enak bisa menjerumuskan orang ke dalam kegelapan hidup.

Banyak orang memilih untuk mengikuti keinginan-keinginan mereka. Sebenarnya mereka sadar bahwa keinginan-keinginan itu dapat menjerumuskan hidup mereka ke dalam kebinasaan. Namun mereka kurang peduli. Mereka lebih memilih untuk memenuhi keinginan mereka. Kalau sudah terlanjur, lalu mereka menyesal. Ingat, sesal kemudian tidak berguna.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk mampu mengendalikan keinginan-keinginan diri kita. Kita mesti sadar bahwa tidak setiap keinginan mesti dipenuhi. Ada keinginan yang tidak perlu dipenuhi, karena tidak menyangkut kebutuhann primer. Tidak dipenuhi tidak apa-apa. Mari kita berusaha mengendalikan keinginan-keinginan diri kita. Dengan demikian, kita dapat tumbuh dalam suasana yang baik dan menggembirakan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


782

14 September 2011

Memiliki Cinta yang Tulus dan Murni



Ada seorang ibu yang enam tahun lalu melahirkan anaknya. Namun sang anak belum juga dapat merangkak. Ia belum juga dapat berdiri. Kaki dan tangannya tampak lemas, meski anak itu sangat bersemangat. Anak semata wayangnya itu suka tersenyum. Matanya menatap tajam. Bicaranya lancar. Satu kekurangan dalam dirinya, yaitu ia tidak bisa berdiri dan berjalan seperti anak-anak normal lainnya.

Meski kondisi anaknya seperti itu, sang ibu tidak pernah berhenti memberinya semangat. Dengan penuh kasih, sang ibu memberikan sentuhan-sentuhan. Sang ibu membisikkan kata-kata indah ke dalam telingannya. Ia memberi motivasi bagi sang buah hati untuk tetap maju dalam hidupnya.

Ia berkata, “Nak, minggu depan kamu akan bisa berjalan. Tidak usah kuatir. Setelah kamu bisa berjalan, kamu akan berlari sekuat-kuatnya. Mau kan?”

Sang buah hati itu menganggukkan kepalanya. Ia ingin sekali melakukannya. Lantas ia berkata kepada ibunya, “Tapi mama, kalau minggu depan saya belum bisa berjalan, apa mama akan menangis? Apa mama akan memarahi saya? Kalau saya belum bisa berlari, apa mama akan memukul pantat saya?”

Sang ibu tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan buah hatinya. Ia menatap wajahnya dalam-dalam. Lantas ia tersenyum. Sang buah hati pun membalas senyumnya. Dua senyum itu bertaut. Suatu optimisme tampak pada wajah dua insan itu.

Sang ibu berkata dengan penuh kepercayaan, “Kalau kita percaya kepada Tuhan, tidak ada yang mustahil. Suatu saat kamu pasti bisa berjalan dan berlari.”

Sahabat, banyak orang mudah putus asa saat tidak punya jalan untuk keluar dari persoalan hidup. Mereka berhenti di tempat. Mereka cemas, bagaimana bisa keluar dari persoalan-persoalaa hidup. Tidak ada gerakan untuk keluar dari persoalan-persoalan hidup. Akibatnya, mereka gagal dalam kehidupan ini.

Orang yang putus asa itu orang yang kehilangan daya dorong dalam hidupnya. Daya dorong itu adalah cinta yang mendalam. Suatu cinta yang tulus dan murni mampu membangkitkan orang dari keterpurukan hidup. Ini yang tidak dimiliki oleh mereka yang putus asa. Cinta mereka terhadap diri dan sesama tidak mendalam. Cinta mereka begitu dangkal. Cinta mereka tidak sedalam samudera.

Karena itu, kita mesti terus-menerus belajar untuk mencintai diri kita sendiri dan sesama kita. Kisah ibu tadi menjadi suatu contoh yang indah bagi kita. Ia memberikan cintanya yang begitu tulus dan murni. Ia memiliki daya dorong yang begitu kuat bagi sang buah hati. Ia ingin agar sang buah hati tetap memiliki semangat untuk bangkit dan berjuang.

Sebagai orang beriman, daya dorong kita yang terbesar adalah kasih Tuhan kepada kita. Setiap hari Tuhan mengasihi kita dengan berbagai cara. Cinta Tuhan begitu tulus dan murni. Tuhan senantiasa memberi apa yang kita butuhkan. Tuhan ingin agar kita memiliki sukacita dan damai dalam hidup ini.

Untuk itu, kita mesti menyerahkan hidup kepada Tuhan. Dengan demikian, kita dapat menimba kuatnya cinta Tuhan bagi hidup kita. Kita dapat terus-menerus memiliki harapan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


781

13 September 2011

Berusaha Mengatasi Keterbatasan Diri




Ada seorang pemuda yang sulit sekali bangun pagi. Ia baru bisa bangun jam 10 pagi. Ketika ditanya alasannya, ia mengatakan bahwa ia butuh waktu lebih lama untuk tidur. Padahal ia seharusnya berangkat untuk bekerja. Karena itu, ia selalu terlambat masuk kerja. Berbagai alasan ia ungkapkan ketika ditegur oleh bosnya.

Suatu ketika, pemuda itu kemudian punya tekad yang kuat untuk mengubah pola hidupnya. Ia ingin menjadi orang yang sukses. Ia tidak ingin berlama-lama menikmati empuknya kasur. Namun ia mengalami kesulitan. Tidak gampang baginya untuk meninggalkan kebiasaannya tidur berjam-jam.

Pemuda itu tidak putus asa. Ia terus-menerus berusaha. Ia ingin sukses dalam usahanya. Karena itu, setiap malam ia pergi tidur jam delapan. Ia punya keyakinan bahwa lebih cepat tidur ia akan bangun lebih pagi juga. Hari-hari pertama ia masih gagal. Ia masih tetap bangun sekitar jam sepuluh pagi. Ia tetap tidak putus asa. Ia lakukan lagi hari-hari berikutnya. Dan suatu hari, ia berhasil. Pagi itu ia bangun jam enam pagi. Setelah dua minggu berusaha, ia pun berhasil.

Ia sangat bergembira atas keberhasilannya itu. Kini ia tidak perlu lagi membuat alasan-alasan. Ia tidak perlu dipertanyakan lagi oleh bosnya. Ia bisa datang ke tempat kerjanya tepat waktu.

Sahabat, ada hal-hal kecil yang sering dianggap sepele oleh banyak orang. Namun sebenarnya hal-hal kecil itu sangat berpengaruh dalam hidup manusia. Hal-hal kecil itu dapat membantu manusia untuk bertumbuh dalam kebersamaan. Ketika orang mau hidup bersama orang lain, orang akan mendapatkan kesempatan untuk berkembang lebih baik.

Karena itu, hal-hal yang kecil itu mesti diolah. Hal-hal kecil itu mesti didayagunakan. Kisah tadi menunjukkan kepada kita usaha untuk mengatasi hal-hal yang dianggap kecil itu ternyata tidak mudah. Orang mesti berjuang. Orang mesti berusaha mengatasi keterbatasan dirinya. Dengan demikian, ia dapat hidup dan berkarya bersama orang lain dengan lebih baik.

Dalam kisah tadi, pemuda itu sungguh-sungguh berusaha. Ia tidak mau menyerah pada keadaan. Ia berusaha terus-menerus untuk mengatasi keterbatasan dirinya. Ia berhasil berkat kerja kerasnya. Ia boleh mengalami sukacita. Ia boleh memetik hasil usahanya itu. Namun tidak hanya dia sendiri yang menikmati kesuksesan hasil usahanya. Orang-orang yang ada di sekitarnya pun mengalami kebaikan dari perubahan diri pemuda itu. Artinya, hidup yang kita jalani ini kita tidak hidupi untuk diri kita sendiri. Kita juga hidup bagi orang lain di sekitar kita.

Karena itu, setiap kali ada perubahan dalam diri kita, orang lain juga akan merasakan perubahan itu. Sebagai orang beriman, kita mesti sadar bahwa setiap perubahan yang baik yang terjadi pada diri kita juga memberi pengaruh yang baik bagi sesama kita. Mari kita berusaha mengubah kebiasaan-kebiasaan kita yang kurang baik. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

780

12 September 2011

Menumbuhkan Tanggung Jawab dengan Cinta Mendalam


Ada seorang tukang cukur yang sangat berpengalaman. Setiap hari ia mendapatkan pelanggan sekitar dua puluh orang. Ia sangat sibuk dengan pekerjaan itu. Namun ia melakukan pekerjaan itu dengan sangat bersukacita. Ia melakukannya bukan karena terpaksa. Ia melakukannya demi orang-orang yang ia cintai.

Suatu hari ia mendapat pelanggan seorang yang terpandang di kotanya. Orang itu sangat terkenal. Tidak ada orang yang tidak mengenalnya. Dengan penuh semangat ia memotong rambut orang terkenal dan terpandang itu. Ia ingin memberikan yang terbaik bagi orang terpandang itu. Ia ingin agar orang terpandang tampil semakin anggun dan berwibawa. Ia tidak ingin memalukan orang terkenal itu.

Sambil memotong rambut orang itu, ia berkata, “Bapak, saya tidak tahu mengapa bapak datang ke tempat saya hari ini. Tetapi saya sangat bersukacita. Bapak mau menaruh kepercayaan kepada saya. Saya tidak akan sia-siakan kepercayaan bapak.”

Orang terpandang itu tersenyum mendengar kata-kata tukang cukur itu. Lalu ia berkata, “Bapak, saya bisa saja pergi ke salon yang lebih canggih untuk memotong rambut saya. Namun saya memilih bapak untuk memotong rambut saya. Saya datang ke tempat bapak bukan karena bayarannya lebih murah. Tidak! Saya yakin, bapak tidak akan membuat saya malu. Bapak akan mengerjakannya dengan penuh tanggung jawab.”

Tukang cukur itu sangat bersyukur atas kepercayaan yang diberikan orang terpandang itu. Ia memotong rambut orang terpandang itu dengan sangat rapih dan baik sekali. Ia ingin memberikan yang terbaik bagi orang terpandang itu.

Sahabat, seseorang yang dipercaya untuk melakukan hal-hal besar akan mengerjakannya dengan sebaik-baiknya. Ia ingin membuktikan diri sebagai orang yang dapat dipercaya. Ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah orang yang dapat diandalkan untuk melakukan sesuatu yang besar. Ia ingin mempertanggungjawabkan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Namun kepercayaan itu mesti didasari oleh kasih. Orang tidak hanya mengerjakan suatu pekerjaan demi pekerjaan itu. Namun orang mesti disemangati oleh kasih yang mendalam kepada sesamanya. Tukang cukur dalam kisah tadi tidak mengerjakan pekerjaan itu untuk pekerjaan itu. Ia mengerjakannya karena ada kasih yang mendalam kepada sesamanya. Kasih itu mendorong dirinya untuk melakukan pekerjaan itu. Ia menjadi bahagia.

Pertanyaan bagi kita adalah apakah apa yang kita lakukan itu didasarkan pada kasih yang mendalam kepada sesama kita? Atau kita melakukan suatu pekerjaan hanya karena kewajiban saja? Banyak orang melakukan suatu pekerjaan karena kewajiban. Orang merasa wajib melakukan suatu pekerjaan karena ia mesti bertanggung jawab atas sesamanya. Atau ada orang yang melakukan suatu pekerjaan karena merasa malu kalau dikatakan tidak punya pekerjaan.

Sebagai orang beriman, tentu kita tidak demikian. Kita ingin melakukan suatu pekerjaan, karena didorong oleh kasih yang berkobar-kobar kepada sesama. Dengan demikian, kita bekerja dengan lepas bebas. Tidak terbebani oleh kewajiban-kewajiban tertentu. Kita memiliki daya dorong yang kuat dari kasih yang besar kepada sesama. Mari kita lakukan suatu pekerjaan karena cinta kasih kita kepada sesama. Dengan demikian, hidup kita menjadi lebih damai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

779

11 September 2011

Indahnya Memberi

Pagi itu wajah seorang nenek berusia 76 tahun itu tampak gembira ria. Di tangannya ia memegang sebuah gunting tanamann berwarna oranye. Nenek ini memang seorang yang suka bekerja di kebun. Di halaman rumahnya terhampar bunga-bunga yang sedang merekah indah. Warna-warni bunga-bunga itu membuat sang nenek selalu bersukacita. Ia merasa hidupnya semakin hidup. Kerut-kerut di wajahnya seolah-olah musnah di kala ia berada di tengah-tengah kebun bunganya.

Pagi itu, dengan sekali sentak, setangkai bunga mawar merah muda telah pindah dari kebunnya. Ketika ditanya untuk apa, sambil ternyum, ia berkata, “Ini untuk ulang tahun cucu tersayang saya. Cucu saya itu orang baik. Saya tidak boleh melewatkan ulang tahunnya hari ini.”

Itulah tanda cinta sang nenek kepada cucunya. Baginya, sekuntum mawar itu memberikan sukacita dalam diri sang cucu. Ia pun bergembira dapat memberi hadiah dari kebun di halaman rumahnya. Begitu cucunya pulang sekolah, ia akan memberikan hadiah terindah itu kepada cucunya.

Bagi sang nenek, hidup itu adalah memberi. Menurutnya, ketika seseorang memberi apa yang dimiliki kepada orang lain sebenarnya ia tidak kehilangan apa-apa. Apalagi yang diberikan itu adalah cinta dan perhatian. Orang yang memberi cinta dan perhatian akan menuainya lebih banyak lagi.

Karena itu, setangkai mawar merah muda bagi ulang tahun sang cucu itu tanda cinta dan perhatiannya kepada sang cucu. Ia ingin membahagiakan sang cucu. Ia ingin agar sang cucu mengalami sukacita pada hari ulang tahunnya. Namun lebih dari itu, ia ingin agar sang cucu senantiasa menemukan cinta dan perhatian dari sesamanya. Ia boleh berbahagia berkat cinta dan perhatian itu.

Sahabat, pernahkah Anda mengalami sukacita, ketika Anda memberi sesuatu kepada sesama Anda? Atau Anda malahan merasa berdukacita, karena Anda merasa kehilangan ketika memberi itu? Nah, kalau Anda merasa berdukacita, Anda mesti belajar dari sang nenek dalam kisah tadi. Ia memberi dengan penuh sukacita. Ia mengalami kebahagiaan dalam hidupnya.

Sering orang beranggapan bahwa ketika seseorang memberi sesuatu kepada orang lain, ia kehilangan. Sebenarnya tidak. Ketika kita memberi, memang sesuatu itu hilang. Namun maksud baik kita dan perbuatan baik kita tetap ada di dalam diri kita. Semakin banyak kita berbuat baik, kita akan menemukan bahwa kebaikan itu menjadi suatu habit, kebiasaan yang tidak bisa lepas dari diri kita lagi.

Kita kemudian bertumbuh dalam kebaikan itu terus-menerus. Yang dikenang dari diri kita adalah kebaikan-kebaikan kita itu. Kebaikan itu kemudian tumbuh dalam hidup orang lain juga. Tidak hanya menjadi milik diri kita. Mengapa? Karena pada dasarnya orang mau belajar sesuatu yang baik dari sesamanya.

Karena itu, belajar dari sang nenek dalam kisah tadi, mari kita terus-menerus menyediakan diri kita untuk memberi. Apa yang kita berikan kepada orang lain hanyalah simbol dari cinta dan perhatian kita kepada sesama. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih indah. Dengan memberi, kita mau menjadi bagian dari hidup sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


778

10 September 2011

Ketika Orang Berani Menghadapi Konsekuensi



Siapa bilang hidup itu tidak memiliki konsekuensi? Kalau orang sungguh-sungguh memaknai kehidupan ini, orang akan mengatakan bahwa hidup ini penuh dengan konsekuensi. Orang yang mau maju dalam usaha, misalnya, harus berani berkorban. Ia mesti bangun pagi-pagi untuk menyiapkan segala sesuatu, agar usahanya hari itu berhasil dengan baik. Atau ia mesti pergi tidur larut malam, agar usahanya tetap bertumbuh dan berkembang dengan baik.

Orang juga mesti berani mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Orang tidak bisa melarikan dari dari tanggung jawab atas suatu perbuatannya. Abdee Negara, gitaris Slank, mengalami hal ini. Menjadi seorang musisi ternama membawa konsekuensi yang besar dalam kehidupannya.

Menurut Abdee, demi penampilan bermusik terbaik, ia terus mempelajari keterampilan dan pengetahuan tenang musik. Bahkan hingga sekarang, setelah ia menjadi seorang gitaris yang populer. Sebenarnya rasa bermusik itu sudah ia latih sejak masih SMA. Selepas SMA, keseriusan bermusik memuncak. Banyak waktu dia habiskan untuk berlatih di studio musik.

Ia berkata, ”Saya belajar gitar otodidak. Tapi karena tak ingin sekadar bisa main musik, pengetahuan wajib saya cari. Untuk itulah saya kursus musik, agar praktik dan teori bisa dikuasai.”

Menurutnya, bersama Slank, dia mendapat popularitas. Namun, popularitas menuntut konsekuensi berkurangnya waktu bersama keluarga. Abdee merindukan waktu jeda untuk berkumpul bersama keluarga. Ia berkata, ”Jarang saya bisa kumpul bareng keluarga.”

Sahabat, tentu saja Anda semua akan setuju, kalau setiap dari kita mesti mengorbankan diri kita untuk meraih kesuksesan dalam hidup. Ada konsekuensi yang mesti kita hadapi, agar apa yang kita usahakan dapat berhasil dengan baik.

Tidak ada orang yang sukses dalam hidupnya tanpa kerja keras. Ada banyak waktu yang dikorbankan. Tak terhitung banyaknya tetes-tetes keringat yang bercucuran. Bahkan mungkin ada begitu banyak tetes air mata yang mesti dicucurkan demi kehidupan yang lebih baik.

Untuk itu, orang mesti memiliki iman yang kuat dan teguh. Artinya, dengan iman itu orang terus-menerus menumbuhkan tekad untuk dapat maju dalam kehidupannya. Iman itu mendorong seseorang untuk tidak putus asa dalam berusaha. Iman yang kuat dan teguh itu membantu seseorang untuk tetap setia pada pilihan hidupnya. Orang tidak mudah digoyahkan oleh berbagai tantangan dan rintangan.

Karena itu, orang beriman mesti senantiasa memiliki fokus dalam hidupnya. Abdee Negara, sang gitaris populer itu, memusatkan perhatiannya sungguh-sungguh pada apa yang dikerjakannya. Nah, sering banyak orang mengalami kesulitan dalam hal ini. Untuk itu, kita belajar dari gitaris sukses ini, agar kita pun dapat berhasil dalam hidup ini.

Mari kita memusatkan hidup kita pada usaha-usaha kita. Dengan demikian, kita dapat menemukan hidup yang bahagia. Hidup ini menjadi sesuatu yang indah bagi kita. Hidup ini bukan menjadi suatu beban. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


777

08 September 2011

Perlu Usaha Terus-menerus Membangun Karakter



Selama di Palembang, sudah dua kali mobil saya ditabrak oleh pengendara motor dari belakang. Dua-duanya terjadi di jalan raya yang ramai. Kali yang pertama terjadi di atas Jembatan Ampera. Dalam kemacetan sore hari, tiba-tiba sebuah motor menabrak mobil saya. Praaakkkkk.

Yang kena adalah ban serep yang tergantung di belakang mobil saya. Tidak terjadi sesuatu yang merugikan. Suara memekik terdengar dari pengendara motor yang seorang perempuan. Tidak ada urusan apa-apa. Saya melanjutkan perjalanan ke arah Plaju. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan perempuan itu dan motornya. Kan dia yang menabrak mobil saya. Jadi apa yang terjadi atas dirinya, biaralah dia tanggung sendiri.

Peristiwa kedua terjadi di Jalan Kolonel Atmo. Kali ini tiga orang mengendarai satu motor. Yang di tengah tidak pakai helem. Mobil saya yang sedang berhenti karena lampu merah langsung saja ditabraknya. Lagi-lagi kali ini pun mengenai ban serep yang tergantung di belakang mobil. Prakkkk...

Tidak terjadi kerusakan pada mobil saya. Motor itu kemudian menghilang pergi setelah menyenggol dua motor lain yang sedang berhenti. Terdengar suara seorang perempuan yang memekik. Ia hampir terjatuh, karena tersenggol. Seorang lelaki yang juga disenggol oleh pengendara motor itu kemudian mengejar ketiga lelaki itu. Tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Yang pasti adalah saya juga segera pergi setelah lampu hijau menyala.

Sahabat, tanggung jawab terhadap suatu perbuatan ternyata masih sangat tipis dalam diri banyak orang. Orang mencari pembenaran diri, meskipun dirinya bersalah atas perbuatan itu. Orang mudah menghindari suatu kesalahan yang telah diperbuatnya. Orang mudah mencari kambing hitam. “Bukan saya, tetapi orang lain yang melakukannya.” Begitu kata banyak orang untuk melarikan diri dari tanggung jawab.

Tentu saja sikap seperti ini bukanlah sikap orang-orang yang berpribadi dewasa. Ini sikap kekanak-kanakan dari orang yang hanya mau mencari enaknya sendiri. Orang yang tidak mau menanggung resiko atas perbuatan yang dilakukannya. Kita prihatin terhadap sikap hidup seperti ini.

Karena itu, dibutuhkan pembangunan karakter yang terus-menerus bagi anak-anak bangsa ini. Karakter yang baik yang dimiliki oleh anak-anak bangsa ini akan membantu pembangunan hidup berbangsa dan bernegara. Yang sering diprihatinkan adalah pembangunan di segala bidang digembar-gemborkan. Tetapi pembangunan karakter diri sering dilupakan. Akibatnya, kita memiliki manusia yang memiliki kepribadian yang tidak matang. Orang tidak berani bertanggung jawab, ketika menghadapi suatu persoalan dalam hidupnya.

Mari kita berusaha membangun karakter hidup kita menjadi lebih baik. Dengan karakter yang baik itu, kita dapat menemukan hidup yang lebih baik. Hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk membahagiakan diri dan sesama. Damai dapat kita ciptakan bersama ketika kita memiliki karakter yang baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


776

06 September 2011

Mengosongkan Diri bagi Kehendak Tuhan

Mengosongkan Diri bagi Kehendak Tuhan


Minat dan kecintaan seseorang pada bidang tertentu membantu orang itu untuk bertumbuh dalam kemampuan yang dimiliki. Orang merasa didorong oleh minat dan kecintaan itu. Orang merasakan ada motivasi yang lebih untuk mengembangkan bidang yang diminati dan dicintai itu. Albert Einstein memberikan perhatian penuh pada ilmu Fisika yang diminati dan dicintainya. Seluruh pikiran dan hidupnya dicurahkan untuk ilmu tersebut. Hasilnya adalah anak dari pasangan Hermann Einstein dan Pauline Koch ini diangkat menjadi profesor di Universitas Zurich. Ia pun mendapat hadiah Nobel di bidang ilmu Fisika pada tahun 1921.

Namun meski Albert Einstein orang yang sangat jenius untuk ukuran manusia, ia tetap rendah hati. Ia tetap mengakui bahwa semua kemampuan yang ia miliki itu berasal dari Tuhan. Ia hanyalah alat yang dipakai oleh Tuhan untuk menemukan ilmu Fisika yang ajaib itu. Ia berkata, “Tuhan tidak bermain dadu dengan alam ciptaan-Nya. Segala keajaiban ilmu pengetahuan membuktikan kodrat alam ini.” Ungkapannya ini merupakan kesimpulan dari semua penelitian yang dilakukannya dari semasa ia kecil. Baginya, hal itu semakin membuktikan kejeniusan dan kemahakuasaan Allah. Otak manusia tidak
sanggup menyamai-Nya.

Sahabat, ketika orang sudah sukses, banyak orang cenderung untuk mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Orang lupa bahwa apa yang dicapainya itu sebenarnya berasal dari kekuatan yang Mahakuasa. Orang menjadi lupa diri. Ini namanya kesombongan. Orang semestinya sadar bahwa apa yang diperoleh itu berkat kebaikan Tuhan. Belas kasih Tuhan senantiasa memberikan kepada manusia apa yang menjadi kebutuhan hidup manusia itu.

Kisah Albert Einstein menunjukkan kepada kita bahwa mengandalkan kekuatan diri sendiri hanyalah suatu kesia-siaan. Manusia mesti menyerahkan seluruh hidupnya pada Tuhan. Sikap penyerahan diri itu menunjukkan bahwa manusia memiliki kerendahan hati. Manusia tidak boleh gegabah dalam hidupnya. Manusia mesti senantiasa mengakui ketidakberdayaannya di hadapan Tuhan. Dengan demikian, manusia menerima kekuatan dari Tuhan.

Untuk itu, perlu suatu usaha pengosongan diri. Artinya, orang berani mengosongkan pikiran dan keinginan-keinginannya. Lantas orang membiarkan keinginan Tuhan masuk dan tinggal dalam dirinya. Orang tidak mengendalikan pikiran dan keinginan-keinginannya sendiri. Tetapi orang merelakan dirinya dituntun oleh Tuhan yang mahapengasih dan penyayang.

Yakinlah, ketika kita membiarkan diri dituntun oleh Tuhan, kita akan mengalami damai dalam hidup ini. Kita akan mengalami Tuhan yang begitu dekat dengan kita. Tuhan yang selalu setia menemani perjalanan hidup kita. Mari kita menyerahkan hidup kita kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

775

05 September 2011

Memperjuangkan Makna Kehidupan



Bayi berusia lima bulan bernama Ferry itu mesti terkapar di Rumah Sakit Koja, Jakarta Utara, hingga pertengahan Juni 2010 lalu. Kedua tangan dan kakinya patah. Ia bukan jatuh dari ketinggian. Ia mengalami penderitaan itu bukan karena kenakalannya sebagai seorang anak. Namun ia mengalami penderitaan yang parah itu, karena disiksa oleh ibu kandungnya sendiri. Usai menganiaya sang anak, sang ibu kandung ditangkap polisi. Sedangkan sang ayah belum ditemukan. Menurut keterangan, sudah lama sang ayah meninggalkan Ferry dan kakaknya serta sang ibu.

Pertanyaannya, mengapa seorang ibu tega menganiaya anak kandungnya sendiri? Mengapa tangan yang biasa digunakan untuk membelai sang buah hati itu mesti digunakan untuk membanting sang anak? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tentu bermacam-macam. Namun satu hal yang pasti adalah penyiksaan itu sebagai ungkapan penolakan atas kehadiran sang anak.

Bisa saja kehadiran sang anak dianggap sebagai pengganggu. Ia bisa dianggap sebagai beban dalam kehidupan. Karena itu, lebih baik dienyahkan melalui penyiksaan itu. Dalam kondisi kalangkabut, orang bisa melakukan apa saja terhadap kehidupan. Bahkan orang nekat mengakhiri kehidupan sesamanya.

Menurut pihak Komnas Perlindungan Anak, dampak yang akan diderita oleh Ferry tidak hanya dari segi fisik. Namun dampak yang lebih besar adalah dampak psikologis. Ferry yang masih balita itu hanya bisa menahan rasa sakit tanpa bisa melawan.

Sahabat, tentu saja banyak orang akan merasa marah mendengar dan menyaksikan peristiwa kejam dari seorang ibu kandung ini. Tidak sepantasnya seorang ibu yang telah melahirkan anaknya kemudian menyiksannya habis-habisan. Hal ini bisa terjadi oleh suatu kebiadaban. Orang yang biadab itu orang yang tidak mengindahkan norma-norma kehidupan. Orang yang tidak ambil pusing terhadap kehidupan sesamanya.

Karena itu, kisah tragis Ferry tadi mesti menjadi peringatan bagi manusia. Kehidupan harus terus-menerus dipertahankan dan diperjuangkan. Apalagi oleh orang-orang yang terdekat seperti sang ibu dan anak itu. Mengapa kehidupan mesti dipertahankan dan diperjuangkan? Karena kehidupan itu berharga. Kehidupan itu memiliki nilai-nilai luhur yang mesti selalu dijunjung tinggi. Kehidupan itu hak setiap manusia. Setiap orang yang dilahirkan memiliki hak atas kehidupan yang sama dengan yang lain.

Kisah penyiksaan terhadap bayi berusia lima bulan tadi menunjukkan betapa kehidupan dianggap sepele. Kehidupan seolah tidak memiliki nilai-nilai luhur sedikit pun. Kehidupan seolah tidak memiliki makna. Karena itu, orang boleh menghancurkannya. Tentu saja sikap seperti ini sangat disayangkan. Orang beriman mesti selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan.

Karena itu, orang mesti memiliki kesadaran bahwa Tuhan yang telah memberikan kehidupan kepada manusia ingin agar kehidupan ini diperjuangkan. Orang yang menganggap remeh terhadap kehidupan dan kemudian menyiksanya itu orang yang tidak beriman. Imannya hanya sampai di bibir saja, tidak sampai merasuk ke dalam seluruh hidupnya. Mari kita terus-menerus memperjuangkan kehidupan. Dengan demikian, kita dapat menjadi manusia yang sungguh-sungguh beriman. Hidup ini akan menjadi semakin indah. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ



774

04 September 2011

Menghargai Usaha Sesama




Piala Dunia 2010 sudah digelar di Afrika Selatan. Ratusan pemain dari 32 negara membuktikan aksi mereka dalam mengolah bola. Spanyol muncul sebagai kampiun. Sementara itu, banyak pula dari pemain-pemain berbakat ingin memperkuat negaranya. Mereka berkompetisi. Mereka berusaha untuk menjadi salah satu anggota dari tim mereka.

Tidak demikian dengan gelandang Inggris, Paul Scholes. Padahal ia sempat ditawari oleh pelatih Fabio Capello untuk masuk ke skuad untuk Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. Ia menolak karena menghormati jasa rekan-rekannya yang telah berhasil membawa Inggris ke putaran final Piala Dunia.

Sejak Euro 2004, Scholes memutuskan mundur dari skuad tim Inggris yang berjuluk The Three Lions ini. Alasannya, ia lebih memilih berkonsenterasi bersama klubnya Manchester United. Komitmen Scholes itu pun tak sia-sia. Ia berhasil membawa "Setan Merah" meraih tiga gelar Premier League, juara Liga Champions dan juara Piala Dunia Antarklub.

Melihat performa yang cukup konsisten dan pengalaman yang dimilikinya, Capello berniat membawa Scholes ke Afrika Selatan. Selain Scholes, Capello juga memanggil bek tengah Liverpool, Jamie Carragher. Sementara Caragher mengaminkan keinganan Capello, Scholes malah menolak.

Scholes menolak karena tak ingin "mencuri" posisi rekannya yang telah berhasil membawa Inggris ke putaran final. Tentang penolakannya, Paul Scholes berkata, “Pemain dalam skuad telah menghabiskan waktu hampir dua tahun untuk membawa Inggris lolos. Sedangkan aku sudah lama tak membela Inggris. Aku tidak ingin mencuri posisi seseorang yang telah berjasa mengantarkan Inggris ke Afrika Selatan.”

Sahabat, inilah sikap kesatria dari seorang kompetitor. Ia menyadari diri bahwa ia mesti memberikan tempatnya kepada mereka yang telah berjuang. Ia tidak ingin merebut tempat mereka hanya untuk popularitas dirinya sendiri.

Dalam hidup ini banyak orang haus akan popularitas. Mereka berjuang habis-habisan demi merebut popularitas itu. Mereka tidak peduli bahwa akibat ambisi mereka orang lain akan mengalami penderitaan. Mereka punya prinsip, yang penting saya senang dan meraih keinginan diri saya. Yang penting popularitas diri saya terus-menerus memuncak.

Benarkah sikap seperti ini? Tentu saja orang boleh punya ambisi dalam hidup ini. Namun orang mesti sadar bahwa ambisi mesti diikuti oleh suatu kerja keras. Kalau orang tidak mau bekerja keras untuk meraih keinginannya, orang akan mengambil jalan pintas. Kalau orang punya harta yang banyak, orang akan menggunakannya untuk menghancurkan diri orang lain. Yang penting dirinya sendiri mengalami sukacita dan bahagia dalam hidup ini.

Kisah tadi mau mengajak kita untuk memiliki penghargaan terhadap orang lain. Kalau kita tidak mampu melaksanakan suatu pekerjaan, kita mesti ikhlas untuk menyerahkan kepada mereka yang mampu. Kalau kita tidak berjerih payah untuk suatu usaha, kita juga mesti fair untuk tidak memetik hasilnya. Janganlah kita menuai di tempat di mana kita tidak menanam dan merawatnya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

773

03 September 2011

Ketika Orang mesti Berkorban




Saya pernah menonton tarian balet yang dimainkan oleh para penari profesional di kota Milwaukee, Amerika Serikat. Tarian itu dipentaskan dalam beberapa babak dengan berbagai cerita. Pentas tari balet itu juga diiringi oleh sebuah orkestra yang sangat profesional. Paduan musik begitu mempesona, sehingga membuat tarian balet itu semakin menarik disaksikan. Semua kursi yang ada di teater itu diisi penuh oleh para penonton, meski tiket masuk cukup mahal.

Yang menarik dari tarian balet itu adalah dalam salah satu espisode, penari utama terjatuh. Ia seorang penari laki-laki yang sering mengikuti pentas tarian balet. Ia tergelincir. Ia menabrak dinding panggung. Ia tampak menahan rasa sakit yang luar biasa. Kakinya mengalami cedera. Namun ia berusaha untuk bangun. Dengan kaki yang pincang, ia meneruskan tarian itu hingga selesai. Ia memainkannya dengan sangat sempurna, seolah-olah kakinya tidak mengalami cedera.

Begitu selesai, para penonton langsung berdiri. Serentak mereka bertepuk tangan. Mereka mengagumi sang penari yang melaksanakan tugasnya dengan sangat profesional. Keesokan harinya, berita-berita di koran lokal memuji kehebatan penari tersebut. Foto-foto yang dipasang di halaman depan koran-koran lokal itu adalah foto pemuda itu dengan kaki kanan yang digips.

Penari itu seolah tidak menghiraukan cedera kakinya. Ia membiarkan kakinya sakit. Yang penting adalah ia dapat menghibur para penonton. Yang penting adalah tanggung jawab profesi yang mesti ia tunjukkan. Untuk itu, ia mesti berani berkorban. Ia berani mengorbankan hidupnya bagi orang lain.

Sahabat, tidak semua orang berani mengorbankan hidupnya bagi sesamanya. Banyak orang membuat perhitungan demi perhitungan, ketika harus berhadapan dengan situasi yang menuntut korban. Orang tidak serta merta berani mengorbankan hidupnya untuk sesamanya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa korban itu bukan sekedar suatu tindakan heroisme. Tetapi berkorban itu suatu tindakan mulia. Suatu tindakan yang memberikan kemampuan orang untuk memiliki motivasi untuk memberikan hidupnya bagi sesama.

Kalau kita merefleksikan lebih dalam, sebenarnya hidup kita ini diwarnai oleh korban demi korban. Orang berkorban bagi sesamanya dengan bekerja keras dengan penuh tanggung jawab.

Ketika seorang ibu mesti menghadapi saat-saat yang mendebarkan untuk melahirkan anaknya, ia mengorbankan seluruh hidupnya. Baginya, yang penting adalah sang buah hati lahir dengan selamat. Ia tidak memikirkan lagi keselamatan dirinya. Ia seolah menyerah. Ia membiarkan tubuhnya sakit demi kehidupan sang anak.

Karena itu, kita diajak untuk berani mengorbankan hidup bagi orang lain. Berkorban itu membahagiakan. Berkorban itu menyenangkan, ketika orang berkorban dengan cinta yang mendalam. Suatu cinta yang memampukan seseorang untuk menyerahkan hidup bagi sesamanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


772

02 September 2011

Hidup Ini Bukan Sekedar Materi



Ada seorang pemuda yang dicari-cari oleh majikannya. Pasalnya, pemuda itu menggelapkan ratusan juta rupiah miliki majikannya. Semestinya uang tagihan dari penjualan rumah ia serahkan kepada majikannya. Namun pemuda itu menggunakan uang tersebut untuk usaha-usaha dan kepentingan pribadinya. Akibat dari perbuatan itu, sang majikan menderita kerugian ratusan juta rupiah.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan pemuda itu? Selidik punya selidik, ternyata pemuda itu sering hidup dalam kemewahan. Ia sering traktir teman-temannya makan malam di rumah makan yang mewah. Ia juga gonta-ganti mobil-mobil mahal. Pakaiannya serba mahal. Ia menampilkan diri sebagai orang kaya. Padahal gajinya sebulan hanya cukup untuk kebutuhan satu bulan.

Pemuda itu tidak pernah merasa cukup dalam hidupnya. Karena itu, ia menghilang begitu ketahuan bahwa ia menggelapkan uang majikannya. Ia pindah ke kota lain. Ia mendapatkan pekerjaan baru berkat tipu muslihatnya. Namun di sana pun ia tetap melakukan kebiasaannya dengan hidup dalam kemewahan. Ia memanipulasi uang milik majikannya. Kali ini ia kena getahnya. Ia tertangkap tangan. Ia diadukan ke pihak berwajib. Ia mesti mendekam di penjara dalam suasana kemiskinan yang menyiksa.

Sahabat, ada ungkapan ‘sepandai-pandainya tupai meloncat, sekali-kali ia akan jatuh juga’. Bisa saja bahwa kejatuhan itu hanya sebentar, sehingga membuat orang tidak terpuruk. Bisa saja kejatuhan itu menjadi motivasi bagi seseorang untuk bangkit dan maju dalam hidupnya. Tetapi bisa saja kejatuhan itu membuat orang mengalami kehancuran dalam hidupnya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa tipu muslihat tidak akan bertahan lama. Tipu muslihat akan segera terbongkar, entah kapan waktunya. Karena itu, orang dituntut untuk hidup dalam kejujuran dan kebenaran. Soalnya, mengapa orang berani melakukan tipu muslihat? Orang berani melakukan tipu muslihat, karena orang ingin hidup enak tanpa bekerja keras. Orang ingin berleha-leha saja tanpa mau mengotori tangannya dengan pekerjaan yang menantang.

Kisah tadi menunjukkan bahwa orang tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah dicapai akan melakukan suatu sikap yang tidak terpuji. Benjamin Franklin berkata, ”Rasa cukup membuat orang miskin menjadi kaya. Tetapi rasa tidak cukup membuat orang kaya menjadi miskin.”

Artinya, orang merasa cukup atas apa yang dimiliki senantiasa berusaha untuk mensyukurinya. Sedangkan orang yang tidak merasa cukup atas apa yang dimilikinya, sering merasa belum punya apa-apa. Akibatnya, orang seperti ini mempertaruhkan apa yang dimilikinya. Ia menggadaikannya. Sering kali orang seperti ini kehilangan apa yang telah dimilikinya itu.

Karena itu, kita diajak untuk berani mengatakan bahwa kita merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Rasa cukup itu memacu kita untuk berani bersyukur atas apa yang kita miliki. Kita pun tidak boleh mengukur hidup kita dari segi materi saja. Kita juga memiliki nilai-nilai hidup yang begitu indah. Nilai-nilai itu mampu memberi kita kekuatan untuk menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini. Untuk itu, kita mesti memiliki keseimbangan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


771

Mendengarkan dengan Baik



Ada seorang anak yang diam ketika diberi nasihat oleh orangtuanya. Tidak ada anggukan kepala tanda setuju. Atau ia juga tidak menggelengkan kepada sebagai tanda tidak setuju. Tidak ada reaksi apa-apa yang ia tunjukkan. Ia tidak memberikan ekspresi apa-apa. Kadang-kadang orangtuanya dibuatnya terheran-heran.

Namun hal yang sangat mengagumkan adalah ternyata ia mendengarkan semua nasihat orangtuanya dengan baik. Ia langsung melakukan nasihat-nasihat orangtuanya. Misalnya, ketika orangtuanya menasihatinya untuk belajar dengan rajin dan baik, ia langsung melaksanakannya. Hasilnya sangat mengagumkan. Nilai-nilai ulangannya selalu yang terbaik. Karena itu, orangtuanya pun memberikan dukungan yang besar kepadanya.

Ketika ditanya tentang sikap hidupnya yang demikian, ia mengatakan bahwa yang penting bukan reaksi langsung. “Saya sadar bahwa saya harus melakukan apa yang dinasihatkan oleh orangtua saya. Percuma saya mendengarkan dengan baik, tetapi saya tidak mampu melaksanakannya dalam hidup saya. Jadi saya memilih untuk diam.”

Sahabat, setiap orang punya sikap yang berbeda-beda terhadap suatu nasihat. Ada yang langsung bereaksi dengan keras, karena tidak mau didikte atau digurui. Ada yang tampaknya setuju, tetapi apa yang dilakukan tidak sesuai dengan nasihat itu. Ada lagi yang bersikap acuh tak acuh.

Tentu saja setiap orang punya kebebasan untuk menyikapi suatu nasihat atau saran. Namun yang penting adalah suatu nasihat yang baik selalu berguna bagi kehidupan manusia. Suatu nasihat yang baik memberikan arahan bagi manusia untuk menjalani hidup ini dengan baik.

Karena itu, orang dituntut untuk memasang telinganya untuk mendengarkan nasihat-nasihat yang baik. Mendengarkan dengan baik itu memberi kesempatan bagi seseorang untuk mulai melaksanakan nasihat-nasihat yang baik itu. Mendengarkan dengan baik itu membuka wawasan baru bagi seseorang dalam menjalani hidupnya.

Namun banyak orang kurang punya telinga yang baik untuk mendengarkan. Banyak orang lebih suka mendengarkan diri mereka sendiri. Mereka kurang suka mendengarkan nasihat-nasihat yang baik dari orang lain. Mereka merasa bahwa nasihat-nasihat orang lain itu hanyalah usaha untuk menguasai diri mereka. Benarkah demikian?

Untuk itu, kita perlu belajar mendengarkan dengan baik. Artinya, kita ingin agar apa yang disampaikan kepada kita menjadi suatu masukan yang berguna bagi hidup kita. Kita mau bersikap rendah hati, agar apa yang kita dengarkan itu membuahkan hasil bagi kehidupan kita. Kita bersyukur bahwa masih ada orang yang mau memberi nasihat yang baik bagi kita.

Sebagai orang beriman, mendengarkan dengan baik setiap nasihat orang lain menjadi suatu keutamaan. Artinya, dari sikap itu muncul suatu perjuangan untuk meneruskan kehidupan ini. Dengan sikap mendengarkan itu, kita mau melaksanakan tugas-tugas kita sebagai orang beriman. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


770

Memelihara Kehidupan



Sepasang suami isteri meninggalkan anak mereka diasuh pembantu rumah sewaktu mereka bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Ia sering dibiarkan pembantu bermain sendirian, karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan. Tetapi karena lantainya terbuat dari marmer, maka coretan tidak tampak. Dicobanya lagi pada mobil yang baru dibeli ayahnya. Karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja, karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan, ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing. Ia mengikuti imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah langsung menjerit, “Kerjaan siapa ini!”

Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Mukanya merah padam ketakutan, lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Ia berkata singkat, “Saya tidak tahu, tuan.”

Sang ayah lantas mendatangi anaknya. Tanpa pikir panjang, ia memukul-mukul kedua telapak tangan anaknya sampai bengkak dan luka-luka. Tangan anak itu dipenuhi darah. Hasilnya adalah sang anak mengalami penderitaan yang luar biasa. Suhu tubuhnya naik. Malam itu, ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia merasa bahwa ayahnya tidak mencintainya. Ayahnya membencinya. Ayahnya menolak kehadiran dirinya. Perasaan itu terus-menerus hidup di dalam dirinya.

Sahabat, tentu saja kita tidak mengharapkan sesuatu yang jelek terjadi atas diri kita. Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa materi mengatasi segala-galanya. Demi materi, orang dapat menyingkirkan sesuatu yang lebih besar, yaitu cinta. Semestinya bapak itu mendahulukan kasih terhadap anaknya. Ia tidak perlu mendahulukan mobil barunya itu.

Dalam hidup ini, banyak orang sering bertindak gegabah. Orang merasa bahwa apa yang dimilikinya itu sangat berharga. Bahkan lebih berharga daripada manusia. Akibatnya, mereka bertindak semena-mena terhadap sesamanya. Mereka mengabaikan hak-hak hidup sesamanya. Padahal hak-hak hidup manusia itu hal yang paling utama yang mesti dipertahankan.

Karena itu, kita mesti terus-menerus menumbuhkan kesadaran untuk memperjuangkan hak-hak hidup manusia. Kita tidak boleh bersikap semena-mena terhadap hidup. Kita juga tiddak perlu bermain-main dengan hidup yang kita miliki ini. Tuhan telah menganugerahkan hidup ini kepada kita untuk kita pelihara dan kita hargai. Mari kita terus-menerus memelihara kehidupan kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih bermakna dan berhasil guna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


769

01 September 2011

Mengobati Luka Batin




Ada seorang anak yang melarikan diri dari rumahnya. Usai makan bersama kedua orangtuanya, ia menyelusup dalam kegelapan lalu menghilang. Orangtuanya panik begitu tahu sang anak meninggalkan rumah. Mereka mencari ke mana-mana. Namun mereka tidak dapat menemukannya.

Beberapa lama kemudian, mereka sadar bahwa sang anak meninggalkan rumah karena kesalahan mereka sendiri. Selama makan malam, mereka selalu mengomeli sang anak. Akibatnya, sang anak tidak merasa nyaman berada di rumah. Ia memutuskan untuk minggat.

Penyesalan selalu datang terlambat. Malam itu, sang anak tidak pulang. Ia bersembunyi di rumpun pisang yang berada di belakang rumah. Tubuhnya bentol-bentol, karena digigit nyamuk semalaman. Keesokan harinya, ia muncul di meja makan. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia membisu. Ia makan dan minum. Setelah itu, ia menyiapkan buku-bukunya. Ia berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Ia tidak mau diantar oleh kedua orangtuanya.

Hari itu menjadi hari yang sangat mencekam bagi anak itu. Tubuhnya hidup. Tetapi jiwanya lesu. Ia butuh semangat yang lebih besar untuk memotivasi dirinya. Namun anak itu bisa menerima keadaannya. Di kelas, ia dapat berinteraksi dengan teman-temannya. Ia dapat berbicara dengan mereka. Ia bisa ngobrol dengan mereka. Tetapi ia kembali membisu begitu ia tiba kembali di rumah. Bahkan ia tidak mau memandang wajah ayah dan ibunya.

Sahabat, luka batin yang diderita seseorang dapat menumbuhkan kebencian yang mendalam. Orang tampak tidak punya masalah. Namun di dalam hatinya tumbuh api yang membara. Orang marah terhadap mereka yang menyakitinya. Perlawanan dalam diam bisa menjadi lebih berbahaya daripada perlawanan secara frontal.

Kisah tadi mengingatkan kita untuk tetap hati-hati dalam hidup ini. Orang tidak boleh gegabah dalam hidup ini. Orang mesti berpikir panjang untuk melakukan tindakan yang kurang menyenangkan terhadap orang lain. Apalagi tindakan kurang menyenangkan itu dilakukan terhadap buah hati sendiri. Luka itu akan mengendap. Sulit sekali diobati. Karena orang yang mengalami itu mulai menginternalisasi luka batin itu ke dalam dirinya. Akibatnya akal fatal bagi kehidupan bersama.

Karena itu, langkah yang mesti diambil adalah orang mesti segera mengobati luka batin itu. Orang tidak boleh membiarkan luka itu tetap menganga dan melebar. Mengobati berarti orang yang melakukan kesalahan itu mesti berani meminta maaf atas perbuatannya. Orang mesti menyadari bahwa perbuatannya telah melukai sesamanya. Kalau ini yang terjadi, hidup akan menjadi lebih bermakna. Luka yang dalam dan pedih tidak perlu ada. Kehidupan ini menjadi suatu kesempatan untuk menikmati kebaikan dan sukacita.

Mari kita berusaha untuk mengobati setiap luka batin yang kita miliki. Dengan demikian, hidup ini menjadi sumber sukacita bagi semua orang. Orang hidup untuk membahagiakan sesamanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


768