Pages

29 November 2011

Sukacita karena Cinta


Ada seorang wanita yang menikah dengan pria yang tidak dicintainya. Ia menikah hanya menuruti keinginan orangtuanya. Suaminya menyuruhnya untuk bangun pukul lima pagi tiap hari, membuatkan sarapan untuknya dan menyajikannya tepat pukul enam. Sang suami mengharapkannya selalu siap melayaninya.

Hidup wanita itu menderita, karena hanya berusaha melayani setiap kebutuhan dan permintaan suaminya. Sampai suatu waktu suaminya meninggal dunia.

Beberapa tahun kemudian, wanita itu menikah kembali. Kali ini dengan seorang pria yang sangat dicintainya. Suatu hari, ketika sedang membereskan dan membersihkan kertas-kertas kuno, dia menemukan selembar kertas berisi peraturan yang harus dilakukan sebagai istri. Peraturan itu dibuat oleh mendiang suaminya.

Dengan hati-hati, dia membaca peraturan itu. “Bangun pukul lima. Hidangkan pada pukul enam tepat.” Dia terus membaca dan tiba-tiba berhenti serta merenung.

“Lho, bukankah apa yang saya lakukan sekarang pun persis dengan apa yang saya lakukan dulu? Mengapa sekarang saya bisa melakukannya dengan sukacita, tanpa merasa terpaksa?” katanya.

Ia tersenyum geli setelah menyadari perjalanan hidupnya. Lantas ia menjawab dalam hatinya, ”Ini karena cinta. Saya lakukan semua ini karena cinta. Saya merasakan sukacita atas apa yang aku lakukan ini.”

Sahabat, pernahkah Anda merasa melakukan sesuatu karena terpaksa? Apa hasil yang Anda peroleh? Tentu saja Anda tidak akan mengalami sukacita. Anda tidak merasa bahagia setelah melakukan semua hal yang baik itu. Anda justru merasa tertekan. Anda merasa apa yang telah Anda lakukan itu tidak membuahkan sesuatu bagi hidup Anda.

Sebaliknya, kalau Anda melakukan sesuatu dengan semangat yang dilandasi oleh cinta, Anda akan lakukan apa saja demi cinta itu. Tidak perlu diminta, Anda akan lakukan sesuatu untuk orang-orang yang Anda cintai itu. Meski berat pekerjaan itu, Anda akan merasa ringan karena menyenangkan.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa segala sesuatu yang kita lakukan demi cinta akan membahagiakan hidup kita. Untuk itu, kita mesti senantiasa menimba kasih dari Tuhan yang adalah sumber cinta. Tuhan memberi tanpa menarik kembali. Tuhan memberi tanpa meminta kita untuk membalasnya. Yang diinginkan Tuhan dari kita adalah kita mencintai sesama kita dengan setulus hati. Bukan dengan terpaksa. Mari kita mengandalkan kasih dalam hidup ini. Dengan demikian, kita mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ



832

27 November 2011

Menenangkan Hati dan Pikiran

Dalam Kisah legenda Tiga Negara, diceritakan bahwa negeri Shu memiliki seorang ahli strategi jenius bernama Kung Ming. Berkali-kali pihak musuh ingin menghancurkan pasukan Shu dan membunuhnya. Tapi berkali-kali mereka gagal meski pihak Shu punya tentara lebih sedikit.

Pernah satu kali Kung Ming dan ratusan tentaranya mendadak dikepung puluhan ribu tentara negeri Wei di kota Hsi Cheng. Hendak memanggil bala bantuan, jelas tidak mungkin. Lari juga sudah terlambat. Nah, apa yang dilakukan Kung Ming? Ternyata dia justru menyuruh prajuritnya membuka keempat pintu gerbang kota lalu membiarkan suasana hening tanpa suara sama sekali.

Kung Ming dan dua pembantunya lalu naik ke loteng kota dan memainkan siter dengan tenangnya. Ketika gerombolan musuh datang, pemandangan dan suasana hening yang aneh itu justru membuat mereka menjadi ragu-ragu bahkan takut. Akhirnya, mereka justru kabur, karena takut diperdaya Kung Ming yang terkenal banyak akalnya. Siasat Kung Ming ini kini terkenal dengan nama Siasat Kota Kosong.

Sahabat, apa yang terjadi ketika Anda menghadapi suatu persoalan rumit dalam hidup Anda? Banyak dari Anda yang panik, tidak tenang. Banyak dari Anda yang bertindak gegabah. Banyak orang ceroboh. Akibatnya, persoalan yang sebenarnya mudah diselesaikan akhirnya menjadi berlarut-larut. Untuk itu, apa yang diperlukan dari manusia saat menghadapi persoalan?

Kisah sukses Kung Ming mengalahkan musuh meski tak punya kekuatan sama sekali menjadi inspirasi bagi kita. Kekuatannya sebenarnya hanya satu. Ia tetap tenang, sehingga bisa menghasilkan jalan keluar atas persoalan yang dihadapinya. Ia tidak mudah panik. Ia juga tidak mencampuradukan persoalan rumit yang dihadapinya itu. Satu per satu ia usahakan untuk diselesaikan dengan tenang.

Ketika orang panik saat menghadapi persoalan, orang tidak akan fokus lagi pada penyelesaian persoalan itu. Akibatnya, masalahnya tidak selesai. Justru masalah tersebut dapat melebar ke mana-mana.

Untuk itu, kita diajak untuk bersikap tenang ketika kita menghadapi suatu persoalan. Usahakan agar persoalan-persoalan itu dihadapi satu per satu. Jangan mencampuradukan persoalan-persoalan. Persoalan yang rumit seperti benang kusut akan terurai dengan mudah, kalau kita menghadapinya dengan penuh ketenangan.

”Juga orang bodoh akan disangka bijak, kalau ia berdiam diri dan disangka berpengertian kalau ia mengatupkan bibirnya" (Amsal 17:28). Mari kita menenangkan hati dan pikiran kita untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang kita hadapi. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

830

Menyiapkan Diri untuk Meraih Sukses


Suatu ketika, seorang pria mendapati seekor gorila bergelantungan di pohon pekarangan belakang rumahnya. Segera saja, ia menelepon jasa penangkapan binatang buas. Dengan segera juga, seorang pawang gorila datang membawa sebuah tongkat, seekor anjing, borgol dan senapan.

Pawang itu berkata kepada pemilik rumah, ”Dengarkan taktiknya. Saya akan memanjat pohon itu dan memukul gorilanya dengan tongkat sampai dia jatuh. Nah, begitu ia jatuh, anjingku ini sudah dilatih untuk langsung menggigit organnya. Saat si gorila melindungi diri dengan menyilangkan kedua tangannya di depan, kamu langsung pakaikan borgol ini, ya.”

Pemilik rumah itu menjawab, ”Oke, mengerti. Tapi buat apa senapan ini?”

Sambil tersenyum kecut, pawang itu berkata, ”Oh itu.. Yah, kalau saya jatuh duluan sebelum si gorila, kamu tembak anjingku.”

Sahabat, kesuksesan dalam hidup setengahnya ditentukan oleh persiapan yang matang. Orang tidak bisa meraih keberhasilan tanpa persiapan yang baik. Orang yang meraih kesuksesan dengan persiapan yang minim hanyalah suatu kebetulan. Itu hanya sekali terjadi. Tidak akan berulang-ulang lagi.

Para pencipta sejarah kehidupan manusia biasanya tidak muncul dengan tiba-tiba. Presiden Soekarno sukses membawa kemerdekaan bagi bangsa ini tidak muncul dengan tiba-tiba. Ia telah mempersiapkan diri dengan menuntut ilmu di perguruan tinggi. Ia mengikuti berbagai organisasi. Ia sering ditangkap oleh pihak penjajah saat melakukan suatu gerakan. Ia dibuang di berbagai tempat di negeri ini untuk menjauhkan dirinya dari perjuangan sesama sahabatnya.

Sukses akhirnya ia raih dengan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan asing. Kesuksesan itu ia raih melalui berbagai cara. Ia berjuang untuk itu. Ia mengalami situasi sepi dan sendirian. Namun ia tetap tegar. Ia terus-menerus memupuk keyakinannya bahwa suatu saat nanti bangsa Indonesia akan terbebas dari belenggu penjajahan.

Apa yang telah Anda lakukan untuk meraih kesuksesan dalam hidup ini? Anda tidur-tidur saja sambil bermimpi kebahagiaan akan jatuh dari langit-langit rumah Anda? Anda nongkrong saja di depan rumah Anda sambil menyaksikan penjual martabak keliling yang berlepotan keringat menjajakan dagangannya?

Tentu saja kalau Anda ingin sukses dalam hidup ini, Anda mesti mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak ada yang mudah. Yang ada adalah Anda mesti menyiapkan mental Anda sebaik-baiknya untuk masuk ke dalam dunia yang penuh persaingan. Kalau persiapan Anda cukup baik dan matang, tampaknya Anda tidak perlu tunggu waktu lama untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan.

Sambil menyiapkan diri Anda baik-baik, mari kita mohon kekuatan dari Tuhan. Dengan demikian, Anda tidak hanya berjuang sendiri. Namun Anda sertakan Tuhan dalam perjuangan Anda. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

25 November 2011

Merasakan Sakitnya Cambukan Tuhan


Seorang wanita sedang menikmati udara musim panas di Swiss. Suatu hari dia berjalan-jalan. Ketika mendaki sebuah lereng gunung, dia tiba di rumah seorang gembala. Dia menuju pintu dan melongok ke dalam. Dia melihat seorang gembala sedang duduk dikelilingi ternaknya. Di dekatnya terbaring seekor domba. Ketika wanita itu memperhatikan dengan cermat, ia melihat kaki domba itu patah. Hatinya cepat tergerak oleh rasa simpati terhadap domba yang terluka itu.

Sambil memandang gembala itu, ia bertanya, “Apa yang terjadi dengan domba itu?”

Gembala itu menjawab, ”Bu, saya telah mematahkan kakinya.”

Perempuan itu sangat terkejut mendengar jawaban seperti itu. Wajah wanita itu menyiratkan kengerian dan rasa sakit. Ketika melihat hal itu, gembala itu berkata: “Bu, dari semua domba saya, domba inilah yang paling bandel. Dia tidak pernah mematuhi saya. Dia tidak mau mengikuti arah yang saya tunjukkan. Dia ngelayap ke tempat-tempat curam dan terjal yang membahayakan dirinya. Tidak hanya itu, dia juga membuat domba-domba saya yang lain berserakan. Saya sudah berpengalaman menangani domba nakal semacam ini. Jadi, saya mematahkan kakinya. Hari pertama saya mendekatinya dan memberinya makan, dia mencoba menggigit saya. Saya membiarkan hal ini selama dua hari. Kemudian, saya kembali lagi. Dan sekarang, dia tidak mau memakan makanan yang saya berikan, tetapi juga menjilati tangan saya dan menunjukan sikap penyerahan bahkan kasih sayang. Dan sekarang izinkan saya memberitahu ibu sesuatu. Jika domba itu sudah sehat, dia akan menjadi domba teladan dalam kumpulan ternak saya. Tidak ada domba yang lain yang lebih cepat mendengar suara saya. Tidak ada domba lain yang mengikuti saya begitu dekat selain dia.”

Sahabat, pernahkah Anda merasakan sakitnya dicambuk atau ditampar orang? Tentu saja Anda akan merasa sakit. Anda tidak mau terima perlakuan kasar dari orang lain. Anda manusia yang mesti dilindungi dan dihargai. Mungkin Anda akan marah besar. Anda akan beradu mulut dengan orang yang menampar Anda. Atau Anda akan menyumpahinya habis-habisan.

Namun pernahkah Anda mengadakan refleksi atas kejadian seperti itu? Apakah hal seperti itu hanya Anda rasakan sebagai sesuatu yang memalukan Anda? Atau Anda akan berusaha untuk menemukan titik lemah dari hidup Anda?

Mungkin kisah domba yang kakinya dipatahkan tadi dapat memberi inspirasi kepada kita untuk belajar menemukan hal-hal baik dari perlakuan yang kita rasakan kurang adil. Mungkin kisah tadi dapat membantu kita untuk merefleksikan perjalanan hidup kita. Bukankah kita manusia lemah? Bukankah kita manusia yang mudah jatuh ke dalam kesalahan dan dosa?

Dalam hidup beriman, kadang-kadang kita rasakan Tuhan mencambuk kita. Mengapa? Karena kita tidak setia kepada Tuhan. Kita mau berjalan sendiri menurut keinginan diri kita. Kita menenggelamkan diri kita di dalam lubang dosa dan kenistaan. Karena itu, kita perlu cambukan. Dengan demikian, kita mampu menyadari tujuan hidup kita.

Sang Bijaksana berkata, ”Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak; ‘hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Ibr. 12:5-6). Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


828

24 November 2011

Siapa Mencintai Uang Tidak akan Puas dengan Uang

Siapa Mencintai Uang Tidak akan Puas dengan Uang



Seorang milyarder asal Austria bernama Karl Rabeder, memberikan setiap sen kekayaannya senilai tiga juta Poundsterling atau setara Rp 50 Miliar setelah menyadari kekayaannya tidak membuat dirinya bahagia. Dia menjual villa mewah dengan danaunya serta pemandangan pegunungan Alps senilai Rp 21 Miliar. Dia juga menjual rumah pertanian dari batu serta belasan hektar lahan dengan nilai Rp 10 Miliar. Turut ia jual adalah enam koleksi pesawat terbang layang senilai Rp 6 Miliar dan sebuah mobil mewah senilai Rp. 700 Juta.

Dia mengatakan bahwa dia berencana untuk tidak menyisakan apa pun dari kekayaannya, karena bagi dia uang menghalangi datangnya kebahagaian. Ia akan keluar dari rumah mewahnya itu, lalu menyepi ke sebuah rumah sederhana. Semua hasil penjualan hartanya akan menjadi modal untuk lembaga amal yang dia dirikan di Amerika Tengah dan Latin, tetapi ia tidak akan mengambil gaji dari situ.

Sejak menjual hartanya, Rabaeder mengatakan bahwa dirinya merasa bebas. Ia tidak lagi merasa terbebani. Namun dia mengatakan, ia tidak akan menghakimi orang kaya yang memilih untuk terus menumpuk kekayaan.

Sahabat, tahun lalu muncul gagasan untuk mengadakan uang aspirasi bagi para anggota DPR. Uang itu akan digunakan untuk membangun rumah di daerah di mana para anggota DPR tersebut mewakili konstituennya. Rumah yang dibangun itu menjadi sekretariat di mana para konstituen akan datang untuk memberikan aspirasi mereka. Spontan saja banyak kalangan mempersoalkan gagasan tersebut. Lebih banyak kritik yang dituai oleh para anggota DPR.

Menurut banyak kalangan, saat ini yang dibutuhkan bukan dana aspirasi. Tetapi yang dibutuhkan saat ini adalah kinerja para anggota DPR yang sungguh-sungguh peduli terhadap masyarakat. Yang dikuatirkan adalah penyalahgunaan terhadap dana aspirasi yang begitu besar. Jangan-jangan uang tersebut masuk kantong pribadi. Jangan-jangan gagasan tersebut hanyalah cara untuk mengelabui masyarakat.

Lantas orang pun bertanya, apa motivasi di balik gagasan tersebut? Jawabannya adalah orang ingin membahagiakan diri dengan uang. Orang merasa bahwa kalau mereka memiliki uang yang banyak, mereka akan mengalami sukacita dan damai. Tentu saja pandangan seperti ini tidak sepenuhnya benar.

Coba kita simak kembali kisah Rabeder di atas. Milyarder asal Austria itu justru tidak merasakan kebahagiaan dengan memiliki kekayaan yang berlimpah. Sikapnya pun jelas! Ia melepaskan semua kekayaannya itu, karena tidak membahagiakan dirinya. Ia tidak ingin hidupnya tergantung pada kekayaan itu. Baginya, kekayaan itu mesti dikendalikan oleh dirinya.

Ternyata kebahagiaan itu tidak diukur dari harta kekayaan. Ketenangan hidup itu tidak terletak pada banyaknya uang dan harta yang dimiliki. Tetapi kebahagiaan itu terjadi ketika orang mampu menggunakan harta kekayaan itu demi membahagiakan diri dan sesamanya. Karena itu, ketika harta kekayaan tidak bisa diandalkan untuk mencapai kebahagiaan, harta itu mesti dilepas.

Mari kita membangun sikap yang benar terhadap harta kekayaan yang kita miliki. Dengan demikian, kita akan mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Sang Bijaksana berkata, “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya” (Pengkotbah 5:19). Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


829

22 November 2011

Mendidik Hati yang Mudah Tersentuh

Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda berhadapan dengan sesama Anda yang sedang menderita? Anda tergerak hati oleh belas kasihan? Atau Anda biarkan saja, karena Anda tidak punya hubungan apa-apa dengannya?

Remaja bernama Bagas Yanuarsa (13) ini benar-benar berhati besar. Di tengah teman seusianya yang sibuk bermain dan belajar, dia justru rela menghabiskan waktunya untuk merawat ibunda tercinta, Muniroh (32), yang mengidap penyakit scleroderma.

Scleroderma adalah penyakit yang konon disebut manusia kayu. Akibat penyakit yang dideritanya ini, Muniroh tidak mampu melakukan aktivitas layaknya ibu rumah tangga normal. Muniroh sudah 4 tahun mengidap penyakit ini.

Mereka sekeluarga tinggal di Dusun Gales, Desa Sideroje, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Bersama sang adik bernama Rizal Dwi Ananto (4), Bagas mau tidak mau harus menggantikan pekerjaan ibunya yang hanya bisa duduk dan berbaring.

Sebelum berangkat ke sekolah, biasanya Bagas dan Rizal harus mencuci piring, memasak bahkan mencuci pakaian. Sementara sang suami, Supriyanto (36), bekerja sebagai tenaga honorer di Pusat Pengembangan dan Permberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Bidang Seni Budaya Yogyakarta, jarang pulang mengingat jarak Yogya dan Magelang yang cukup jauh.

"Suami saya pulang kadang tiga hari sampai lima hari sekali. Jadi selama ini hanya anak saya yang mengurus saya. Saya merasa kasihan dengan anak saya yang tidak bisa bermain bersama anak-anak lain," kata Muniroh.

Bagi Bagas, apa yang dia lakukan saat ini ikhlas untuk ibu tercintanya. Bagas menganggap tugas-tugas ini bagian dari kewajibannya sebagai anak. Meski dia tidak menampik masa kecilnya tidak seindah teman-temannya.

"Saya rela melakukan ini semua. Mau bagaimana lagi, ibu sudah seperti itu. Saya yang merawat ibu, menggantikan baju, memandikan ibu. Semua itu saya lakukan hanya untuk ibu saya tercinta," kata Bagas.

Sahabat, kisah-kisah kemanusiaan yang menyayat hati selalu terjadi dalam perjalanan hidup manusia. Ada kisah-kisah heroik yang membuat kita berdecak kagum. Ada kisah-kisah kasih yang mendorong kita untuk membuka hati kita bagi sesama. Ada pula kisah-kisah pengorbanan yang memberi kita motivasi untuk mengulurkan tangan kita bagi sesama yang sedang menderita.

Kisah Bagas memilukan hati kita. Kita tersentuh oleh pengorbanan yang dilakukan oleh sang anak bagi sang ibu tercinta. Namun kisah pengorbanan Bagas memberi kita suatu semangat untuk berani meninggalkan egoisme kita. Kita mesti berani rela kehilangan hal-hal yang menyenangkan hati kita. Kita rela memberi perhatian bagi orang-orang yang kita cinta dengan hati yang tulus.

Bagas melakukan hal ini dengan mulus. Ia tidak perlu berkata kepada ibunya, “I love you mama.” Tetapi ia menunjukkan dalam perbuatan bahwa ia sangat mencintai sang mama tercinta.

Apa yang mesti kita lakukan untuk orang-orang di sekitar kita yang mengalami duka nestapa dalam hidup ini? Kita biarkan saja mereka terjerembab dalam penderitaan mereka? Atau kita menyingsingkan lengan baju kita untuk membantu mereka agar lepas dari penderitaan?

Orang beriman tentu mudah tersentuh hatinya oleh penderitaan sesamanya. Karena itu, mari kita mengorbankan hidup kita bagi sesama yang sedang menderita. Dengan demikian, hidup ini menjadi semakin damai dan indah. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


827

21 November 2011

Kematian Kecil

di antara pekik tawa

tak tertunda suatu malapetaka

dari rintihan pahit getir serakah dunia

menghanyut ke kekelaman kelabu ungu



kau kurenggut patah remuk

mengapa tak kau tanggung?

kau tak tega meronta kesakitan?

di bawah roda-roda keparat ini?



kau yang jadi omelan

kau yang menjilat busa-busa liur keparat ganas

kau yang ditindih gading retak pecah

di mana sekarang wajahmu?



bira nafasmu mencuat meronta dari poros bumi

merajuk hatiku yang lagi tegar cinta

menjulur lidahmu harapkan kasih

namun kian kurenggut citamu di kaki cinta

hingga berkeping beterbangan disambar angin

aku pengkhianat!

penjerumus kematian kecil ini!



Frans de Sales, SCJ

6 Mei 1982

Melepaskan Hal-hal Buruk dari Diri

Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda terjerumus ke dalam hal-hal yang kurang baik? Anda biarkan saja diri Anda terjerumus? Atau Anda berusaha untuk keluar dari situasi seperti itu?

Ada seorang pemuda yang terkenal keras kepala. Ia juga tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Suatu hari ia mendatangi seorang tua yang bijaksana. Ia ingin belajar memiliki hati yang lembut seperti orang tua itu. Ia sadar bahwa hanya dengan memiliki hati yang lemah lembut orang akan mengalami hidup yang damai dan sejahtera. Ia ingin meninggalkan sikapnya yang keras kepala itu.

Namun orang tua yang bijaksana itu mengajak pemuda itu berjalan memasuki hutan. Setelah lama berjalan, orang tua itu menghentikan langkahnya. Lalu ia menunjuk sebatang pohon yang kecil. “Cabutlah pohon!” katanya kepada pemuda itu.

Pemuda itu heran memandang orang tua itu. Namun ia segara membungkuk ke arah pohon kecil itu. Hanya dengan dua jari, ia dengan mudah dapat mencabut pohon itu. Ia tidak butuh banyak tenaga untuk melepaskan pohon kecil itu dari akarnya. Orang tua itu tersenyum menyaksikan pemuda itu.

Lantas orang tua itu mengajak pemuda itu untuk meneruskan perjalanan. Setelah berjalan lebih jauh lagi, orang tua itu berhenti di depan sebatang pohon yang agak besar. Sambil menatap wajah pemuda itu, ia berkata, “Coba, cabut pohon ini.”

Pemuda itu menuruti perintah orang tua itu. Namun kali ini, dia menggunakan kedua tangannya. Dengan sekuat tenaga, ia mencabut akar pohon itu. Kali ini pun pemuda itu berhasil melaksanakan permintaan orang tua itu. Ia bangga bahwa ia memiliki kesetiaan kepada orang tua itu.

Kedua insan itu meneruskan perjalanan. Tidak berapa lama, mereka berhenti di bawah sebatang pohon yang agak besar dan keras. Sambil melemparkan senyumnya, orang tua itu berkata kepada pemuda itu, “Sekarang, cabutlah pohon ini!”

Pemuda itu menggelengkan kepalanya. Pohon itu terlalu besar untuk dilepaskan dari akar-akarnya. “Aku tidak dapat mencabut pohon sebesar ini. Untuk memindahkannya diperlukan sebuah buldozer,” kata pemuda itu.

Sahabat, semakin besar pohon mengakar ke dalam tanah, sulitlah pohon itu dicabut menggunakan tangan. Meski kita memiliki tenaga yang luar biasa kuat, tetapi mustahil bagi kita untuk melepaskannya. Kita lebih mudah menggunakan parang atau kapak untuk memotong pohon tersebut.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa dosa dan kesalahan yang kita lakukan itu semakin sulit kita lepaskan, ketika akar-akarnya semakin dalam membelit jiwa kita. Kebiasaan kita yang baik atau buruk yang sudah kita bangun bertahun-tahun akan sulit kita tinggalkan. Kita akan bawa ke mana pun kita pergi.

Kalau kebiasaan itu baik, yang kita tanamkan dalam diri dan sesama adalah hal-hal baik. Kita dapat mempengaruhi sesama kita untuk melakukan hal-hal baik itu. Namun ketika kita lebih menonjolkan hal-hal yang buruk, kita akan mengalami kesulitan untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk itu. Kita mengalami kesulitan untuk meninggalkan hal-hal yang kurang baik dari dalam diri kita. Mengapa? Karena sudah mengakar dan menguat.

Karena itu, orang beriman mesti selalu berusaha untuk melepaskan hal-hal yang buruk sejak awal. Orang butuh waktu dan kesempatan yang baik meninggalkan dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan buruknya itu. Dengan demikian, hidup menjadi kesempatan untuk membahagiakan diri sendiri dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

20 November 2011

Membahagiakan Sesama

Bacaan Kitab Suci selengkapnya klik disini kunjungi Renungan Pagi

Apa kabar Anda hari ini? Saya harap Anda mengalami suasana yang menggembirakan, karena Tuhan menyertai Anda hari ini. Anda mesti selalu bersemangat untuk menjalani hari ini, sehingga Anda bisa membagikan kasih Anda kepada sesama.

Seorang ibu bekerja seharian penuh. Ia bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan bagi anak-anak dan suaminya. Lantas ia mengepel lantai rumah dan membersihkan kaca-kaca jendela. Meski capek, ia masih bias tersenyum. Ia bersyukur dapat mengabdikan hidupnya bagi sesama yang sangat dicintainya. Baginya, hidup itu suatu pengorbanan. Hidup itu mesti membaktikan hidup bagi sesama. Ia bahagia melakukan hal-hal yang baik bagi sesamanya.

Ia berkata, “Kebahagiaan dapat saya rasakan saat saya mampu memberikan hidup saya bagi orang-orang yang terdekat. Mereka mencintai saya. Ini tanda saya mencintai mereka.”

Sahabat, tentu saja setiap kita ingin hidup bahagia. Namun kita juga ingin sesama kita bahagia. Kebahagiaan yang hanya dialami dan dirasakan sendiri hanyalah suatu bentuk pemuasan ego saja. Kita tidak bisa bahagia sendirian. Kita senantiasa berada dalam relasi dengan sesama kita. Karena itu, menjadi suatu tugas bagi kita untuk menyalurkan kebahagiaan itu kepada sesama kita.
Rata Penuh
Nah, kebahagiaan seperti apa yang dikehendaki Tuhan, mari kita dengarkan pengajaran Yesus ini.

Dalam salah satu pengajaran-Nya, Yesus bersabda, "Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya. Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing, dan Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya. Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. Dan Ia akan berkata juga kepada mereka yang di sebelah kiri-Nya: Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya. Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku. Lalu merekapun akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau? Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku. Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal."

Sahabat, ada banyak orang yang membutuhkan bantuan dari kita. Mampukah kita mengulurkan tangan kita bagi mereka yang membutuhkan? Mari kita memberi perhatian kepada sesame yang membutuhkan. Dengan demikian, damai dapat menjadi bagian dari hidup manusia. Tuhan memberkati. ** (Frans de Sales, SCJ)

19 November 2011

Tuhan Itu Satu-satunya Pegangan Hidup

Suatu hari ada sebuah rumah di suatu kota terbakar. Pemiliknya terbangun dari tempat tidurnya. Ia panik menghadapi asap yang mulai memenuhi seluruh ruangan. Dalam kondisi seperti, itu ia ingat ada sebuah lemari dinding yang bisa menyelamatkan dirinya. Ia masuk ke dalamnya. Namun pintu lemari itu tidak bisa dibuka dari dalam. Ia bertahan di dalam lemari dinding itu.

Sementara itu, tetangganya menelpon pemadam kebakaran untuk datang ke tempat kejadian. Tidak lama kemudian, petugas pemadam kebakaran datang. Mereka berhasil memadamkan api yang mulai membesar. Pada saat bersamaan, mereka membuka pintu di mana pemilik rumah itu berada. Mereka mendengar suara pemilik rumah yang menggedor-gedor pintu lemari dinding dari dalam.

Nyawa pemilik rumah itu selamat. Ia bersyukur atas bantuan para petugas pemadam kebakaran. Ia juga bersyukur bahwa ia telah membuat lemari dinding yang kini menyelamatkan nyawanya.

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang mudah membuat kita terbakar. Terbakar oleh apa? Kita dapat terbakar oleh situasi hidup yang tidak menentu. Ada berbagai godaan yang membuat manusia kehilangan jati dirinya. Orang menjadi salah arah dalam hidupnya. Akibatnya, orang tidak memaknai kehidupan ini. Orang hidup asal hidup saja. Orang tidak punya visi yang jelas dalam hidupnya.

Untuk itu, orang mesti mempunyai visi dalam hidup ini. Kisah di atas mau mengatakan bahwa orang mesti memiliki pegangan yang pasti dalam hidup ini. Kalau orang tidak punya pegangan hidup, orang akan mengalami kebinasaan ketika godaan-godaan menyerang kehidupan.

Bagi orang beriman, pegangan hidup kita satu-satunya adalah Tuhan yang hidup dalam keseharian hidup kita. Sering orang beriman kurang menyadari kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Mereka merasa Tuhan tidak tahu perbuatan-perbuatan mereka. Padahal Tuhan tidak jauh dari hati kita. Tuhan hadir bersama langkah-langkah kaki kita. Tuhan hadir dalam kata-kata yang kita ucapkan. Tuhan hadir dalam perbuatan-perbuatan baik dan jahat yang kita lakukan.

Karena itu, orang beriman mesti menggantungkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Hanya dengan cara demikian, orang mengalami kebahagiaan dalam hidupnya. Orang mengalami Tuhan yang begitu peduli terhadap hidupnya. Untuk itu, kita mesti mengarahkan hidup kita kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


826

18 November 2011

Kita Butuh Kebijaksanaan bagi Hidup

Ketika William McKinley (1843-1901), Presiden Amerika Serikat ke-25, diambil sumpahnya sebagai presiden, dia mengucapkan kalimat ini: “Beri saya kebijaksanaan dan pengetahuan, sehingga saya bisa memimpin bangsa ini.”

William McKinley hidup dari tahun 1843 hingga 1901. Dalam usia yang tidak terlalu tua itu ia menjadi salah seorang presiden yang cukup sukses. Meskipun dia memperoleh penghormatan tertinggi, dia sangat sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Dia juga sadar bahwa dia memerlukan pertolongan Ilahi. Dia merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang terbatas yang senantiasa membutuhkan pertolongan Tuhan. Ia terus-menerus memohon kebijaksanaan dari Tuhan.

Setelah acara pelantikan, Pastor W.V. Morrison dari New England, yang menjadi guru McKinley ketika masih kanak-kanak, mengunjungi presiden itu. Ketika berpamitan Morrison berkata, “Engkau memiliki tanggung jawab besar yang diletakkan di atas pundakmu. Tetapi kasih dan kepercayaan bangsa Amerika ada di belakangmu.”

“Saya berharap memperoleh simpati dan doa darimu dan semua orang kudus,” jawab Presiden McKinley.

Sahabat, banyak orang punya pengetahuan yang luas. Namun belum tentu mereka punya kebijaksaan dalam hidup. Akibatnya, banyak orang hanya menggunakan ilmu dan pengetahuannya untuk menjalani hidup ini. Banyak kekeliruan dilakukan oleh orang-orang seperti ini. Kekacauan dalam hidup bersama bisa terjadi. Kekalutan dapat menghantui hidup manusia. Ketika terjadi krisis dalam hidup, orang seperti ini akan mudah menyerah. Pengetahuan yang luas belum mampu membantu orang dalam menyelesaikan krisis hidup.

Untuk itu, dibutuhkan kebijaksanaan. Orang yang bijaksana mendekati suatu persoalan tidak hanya dari satu sisi saja. Orang bijaksana akan menghadapi persoalan-persoalan hidup dari berbagai sudut pandang. Kadang-kadang keputusan yang mereka buat tampak tidak populer. Tetapi keputusan yang mereka buat itu sangat berguna dalam kehidupan bersama.

Dari mana kebijaksanaan itu diperoleh? William McKinley berdoa kepada Tuhan untuk memohon kebijaksanaan. Artinya, kebijaksanaan itu berasal dari Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Tentang kebijaksanaan, Bob Jones berkata, ”Kebijaksanaan adalah kemampuan menggunakan pengetahuan untuk mengatasi keadaan darurat dengan sukses. Manusia dapat memperoleh pengetahuan, tetapi kebijaksanaan berasal dari Allah.”

Mari kita mohon kebijaksanaan dari Tuhan, agar kita selalu diberi kekuatan untuk menjalani hidup ini. Seorang nabi berkata, ”Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang pada kebenaran seperti bintang-bintang, tetap untuk selama-lamanya” (Dan. 12:3). Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


825

16 November 2011

Mengandalkan Kebaikan Hati


Suatu hari, saya pergi ke pasar 16 Ilir Palembang. Saya bertemu dengan banyak kuli yang sedang menarik gerobak. Beban yang mereka tarik bermacam-macam jenisnya. Ada yang sangat berat, tetapi ada juga yang sangat ringan. Di tempat yang ramai itu mereka mesti trampil menarik gerobak. Kalau tidak, gerobak mereka akan ngadat.

Waktu itu saya melihat dua orang penarik gerobak yang sedang berhenti. Barang yang mereka tarik itu ternyata terlalu berat. Keringat deras mengucur membasahi tubuh mereka. Selain karena berat, mereka juga mengalami macet. Dalam kondisi seperti itu, seorang berpakaian bersih dan rapi datang menolong kedua orang kuli itu.

Saya merasa kagum melihat orang itu. Tidak banyak kata-kata, ia membantu dua kuli itu untuk keluar dari kemacetan. Hasilnya, dua kuli itu dapat menarik gerobak mereka meninggalkan keramaian. Sedang orang yang membantu itu meninggalkan mereka tanpa perlu dibayar.

Sahabat, ternyata masih ada orang yang punya hati mulia dalam dunia yang serba maju sekarang ini. Ada orang yang tidak peduli terhadap dirinya sendiri. Begitu ada sesamanya yang mengalami kesulitan dalam hidup, mereka langsung turun tangan. Mereka membantu dengan ikhlas hati, tanpa perlu diberi penghargaan.

Kebaikan hati itu membantu orang lain menemukan sukacita dalam hidupnya. Kebahagiaan itu juga diperoleh melalui hati yang tergerak oleh belas kasihan. Nah, masihkah kita menemukan orang yang mudah tergerak hatinya untuk kebahagiaan sesamanya?

Kita berharap masih ada begitu banyak orang yang mau peduli terhadap sesamanya. Orang seperti ini akan menemukan dalam hidupnya bahwa hidup ini memiliki makna yang begitu dalam dan indah.

Memang, tidak gampang orang memiliki hati yang mudah tergerak oleh belas kasihan. Lebih gampang menemukan orang yang cuek terhadap situasi di sekitarnya. Lebih gampang menjumpai orang yang acuh tak acuh terhadap sesamanya. Orang tega membiarkan sesamanya mengalami penderitaan dalam hidupnya. Banyak orang lebih mudah mencari aman bagi diri mereka sendiri.

Seorang bijaksana berkata, “Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang.” Artinya, orang yang baik hati itu mesti menampakkan kebaikannya dalam hidup yang nyata.

Tentang kebaikan hati, Frederick W. Faber berkata, “Kebaikan hati telah mempertobatkan lebih banyak orang berdosa ketimbang semangat, kefasihan lidah, dan kepandaian.” Artinya, orang yang mengandalkan kebaikan hati itu membuka hatinya lebar-lebar bagi kebahagiaan sesamanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sakes, SCJ

Meraih Sukses melalui Usaha Keras



Seorang senator Amerika Serikat, yang dihormati dan dikagumi karena pengetahuan, kebijaksanaan, dan pengertian yang dimilikinya ditanya, “Senator, Anda tidak pernah kuliah. Bagaimana Anda bisa menjadi pakar di bidang masalah nasional dan internasional? Di mana Anda belajar begitu banyak hal?”

Jawabannya sangat sederhana dan langsung pada sasaran. “Saya membuat peraturan ketika masih berusia delapan belas tahun bahwa dalam satu hari saya harus membaca paling sedikit dua jam. Di atas kereta api, di hotel, di ruang tunggu, saya harus membaca majalah, ringkasan berita, laporan politik, buku-buku yang baik, puisi, dan Kitab Suci,” katanya.

Orang yang bertanya itu terkagum-kagum mendengar jawaban sang senator. “Cobalah anak muda. Dengan cara itu, engkau akan menjadi orang yang berpendidikan,” kata Senator itu lagi.

Sahabat, banyak orang bermimpi menjadi orang hebat dan pintar. Banyak orang bercita-cita setinggi langit dan menguasai dunia. Namun cita-cita itu sering hanya tinggal cita-cita. Mengapa? Karena orang tidak membekali diri dengan kerja keras. Cita-cita yang tidak dibarengi dengan usaha yang nyata hanyalah mimpi di siang bolong.

Kisah senator tadi memberi inspirasi bagi kita, agar kita berani membuat target dalam hidup kita. Kalau kita ingin maju dan meraih cita-cita yang kita canangkan, kita mesti berani berkorban. Kita mesti menyadari bahwa tidak ada keberhasilan yang diraih tanpa korban.

Untuk itu, orang mesti mulai merancang hidupnya. Orang mesti merancang strategi-strategi yang jitu untuk meraih sukses dalam hidup. Sukses itu diraih melalui butiran-butiran keringat yang mengucur untuk kebahagiaan diri dan sesama. Adakalanya ada butiran-butiran air mata yang meleleh.

Orang yang mau sukses itu juga berani menahan rasa sakit. Setelah semua derita dan kerja keras itu berlalu, orang mengalami sukacita. Orang mengalami hidup ini begitu bermakna. Hidup ini menjadi suatu kenangan yang tak akan pernah dilupakan. Hidup ini menjadi kesempatan untuk membahagiakan diri dan sesama. Inilah panggilan setiap orang beriman, yaitu membawa sukacita bagi sesamanya melalui usaha-usaha kerasnya.

Mari kita berusaha untuk terus-menerus meraih sukses dengan berani mengorbankan hidup kita. Dengan demikian, kita dapat mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

823

15 November 2011

Potret Wajah Itu

Pukul tujuh itu,

terpotret sebuah wajah

nyentrik matanya melototi aku

dan bira nafasnya terhembus rindu



pukul delapan dua puluh menit,

terlelap aku dalam rindunya

dan dia berbisik lirih

dalam sugesti yang terhempas



Frans de Sales, SCJ (Distinguished Member of International Society of Poets in Washington DC, USA)

3 Juni 1984

Segera Mulai Lakukan Sesuatu

Anda punya masalah dalam menyelesaikan suatu pekerjaan? Mengapa Anda punya masalah? Ada banyak alasan tentunya. Namun satu hal yang mesti Anda perhatikan adalah Anda mesti berani mulai untuk menyelesaikan masalah Anda.

Selama bertahun-tahun seorang petani tua terpaksa membajak di sekeliling sebuah batu besar di salah satu petak sawahnya. Batu itu telah mematahkan beberapa mata bajak dan sebuah cangkul miliknya. Semakin hari, batu itu makin menyusahkan petani itu.

Suatu hari, setelah mata bajaknya kembali patah dan teringat akan berbagai kesulitan yang telah ditimbulkan batu itu, akhirnya ia memutuskan melakukan sesuatu. Ia menancapkan linggis ke dasar batu itu. Betapa terkejutnya dia karena ternyata tebal batu itu hanya sekitar 30 cm.

Dengan menggunakan palu besar, batu itu pun dihancurkannya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, petani itu tersenyum. Ia malu pada dirinya sendiri. “Seharusnya saya dapat mengatasi batu ini sejak pertama kali saya temukan batu ini. Kalau itu terjadi, saya tidak perlu bersusah-susah sampai bertahun-tahun,” katanya.

Sahabat, banyak orang suka menunda-nunda untuk melakukan sesuatu yang sangat berguna bagi hidupnya dan sesamanya. Akibatnya, mereka sering mengalami kesulitan dalam hidup ini. Beban semakin berat, karena tumpukan pekerjaan atau masalah yang tidak pernah diselesaikan.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kita tidak perlu menunda-nunda untuk menyelesaikan suatu masalah. Kalau kita menunda, bayarannya akan lebih besar. Resiko yang diakibatkannya itu akan lebih besar. Petani itu telah membuang banyak waktu, pikiran dan alat-alat pertaniannya. Ia tidak berani mengambil langkah sejak awal. Ia menunda-nunda. Ketika ia berani mengambil tindakan, ternyata ia menemukan kemudahan dalam menyeleksaikan persoalannya.

“Tragedi kehidupan terjadi adalah bukan karena hidup berakhir sedemikian cepat, tetapi karena kita menunggu demikian lama untuk memulainya,” kata seorang bijaksana.

Betul! Kita tidak akan pernah tahu, kalau kita tidak pernah memulai. Kalau kita tidak pernah memulai, lalu kapan kita akan menyelesaikan, apalagi menikmatinya?

Luka yang ada di kaki kita akan segera sembuh, kalau kita segera mengobatinya. Tetapi kalau kita biarkan saja dengan mengatakan nanti juga sembuh, kita mesti siap-siap untuk menderita lebih lama. Keadaan tidak selalu baik. Orang yang menunda bertindak sampai semua faktor mendukung, sebenarnya tidak akan mengerjakan apa pun. Penundaan tidak akan pernah menyelesaikan suatu masalah.

Orang beriman senantiasa punya iman dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Karena itu, orang mesti berani mengambil tindakan yang cepat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau suatu masalah yang dihadapi. Dengan demikian, orang tidak perlu menimbun pekerjaan atau masalah dalam hidupnya. “Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai” kata seorang bijak (Pkh. 11:4).

Jangan pernah menunda apa yang seharusnya kita lakukan hari ini. Jangan sampai bahwa pada akhirnya yang datang hanyalah penyesalan tiada akhir. Anda tidak perlu menunggu berhasil untuk melakukan sesuatu, sebab Anda tidak akan berhasil, jika tidak mulai melakukan sesuatu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

14 November 2011

Berlatih Diri untuk Senantiasa Peduli

Di New York, seorang tukang pos ditembak oleh seorang penembak jitu. Ia tidak boleh lama-lama berada di dalam lobi. Ia disuruh keluar dari lobi sebuah bangunan, karena darahnya mengotori karpet.

Di Oklahoma, seorang perempuan melahirkan di trotoar. Para pejalan kaki memalingkan mukanya. Seorang sopir taksi melihat ke arahnya, kemudian menancap gas mobilnya. Sebuah hotel di dekatnya menolak meminjaminya selimut.

Di Dayton, Ohio, selusin orang melihat seorang perempuan mengalami kecelakaan. Mobilnya masuk Sungai Miami. Mereka melihat kejadian itu dengan acuh tak acuh, ketika perempuan itu memanjat atap mobilnya dan berteriak bahwa dia tidak dapat berenang. Tak lama kemudian, perempuan itu mati tenggelam.

Sahabat, begitu banyak kejadian seperti kisah-kisah di atas ini terjadi di sekitar kita. Banyak yang peduli terhadap korban-korban kecelakaan atau kriminal. Mereka membawa korban-korban tersebut ke rumah sakit terdekat. Mereka memberikan pertolongan. Mereka mengulurkan tangan bagi para korban tersebut. Banyak dari para korban itu mengalami kedamaian dalam sisa-sisa hidup mereka.

Namun kita juga menemukan kisah-kisah mengenaskan seperti kisah-kisah tadi. Begitu banyak gelandangan dibiarkan terlunta-lunta. Mereka kemudian menghembuskan nafas dalam sunyi senyap dunia. Tiada tangan yang mau mengulur bagi mereka. Tiada sapaan mesra bagi mereka. Bahkan banyak orang menjauhi mereka. Banyak orang merasa takut terhadap kehadiran mereka. Karena itu, dibuat aturan-aturan untuk menyingkirkan mereka.

Pertanyaannya, mengapa situasi seperti ini mesti terjadi? Situasi seperti ini terjadi karena disposisi batin manusia. Orang kurang punya hati yang terbuka untuk sesamanya. Orang melihat sesamanya sebagai pengganggu kehidupan. Orang merasa bahwa kehadiran sesamanya bukan sebagai rahmat bagi diri mereka.

Orang beriman mesti menyadari bahwa ketidakpedulian terhadap sesama merupakan salah satu bentuk dosa. Sang bijaksana berkata, “Jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak 4:17).

Dante Alighieri bahkan lebih keras lagi berkata, “Tempat yang paling pantas di neraka disediakan bagi mereka yang pada saat krisis moral tidak melakukan apa-apa”.

Kepedulian terhadap sesama itu mendatangkan rahmat keselamatan bagi sesama. Kalau kita peduli terhadap sesama yang membutuhkan bantuan kita, kita menyelamatkannya dari kebinasaan. Kita memberi sesama itu kesempatan untuk melanjutkan hidupnya. Ketika kita berani mengulurkan tangan bagi sesama yang menderita, kita memberikan sukacita.

Mari kita berlatih terus-menerus untuk memiliki kepedulian terhadap sesama kita. Dengan demikian, semakin banyak rahmat yang kita alirkan kepada sesama kita. Banyak sesama kita yang mengalami damai dan sukacita dalam hidup. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ
KOMSOS Keuskupan Agung Palembang
822

13 November 2011

Hati-hati Terhadap Tawaran-tawaran


Ketika kembali dari Eropa, Dwight David Eisenhower (1890-1961), Presiden Amerika Serikat ke-34, berbicara kepada wartawan: “Seluruh dunia lapar akan kedamaian. Para pakar militer memberi tahu kemungkinan terjadinya perang nuklir yang mengerikan pada masa mendatang. Bencana akan menimpa umat manusia sebagai konsekuensinya. Hal ini merupakan rencana yang amat disukai iblis saat dia dengan terampil memintal jaringannya di seluruh dunia.”

Menurut Eisenhower, setiap negara yang dapat melaksanakan kedamaian, dapat mengendalikan dunia. Iblis akan memiliki seorang manusia super yang dapat melakukan hal itu. Dia akan menguasai dunia dengan bakat dan kemampuannya, sehingga dunia yang terkagum-kagum akan bertanya, “Siapa yang mampu berperang dengannya?”

Sahabat, kekuatiran Eisenhower itu juga menjadi kekuatiran manusia zaman sekarang. Ada banyak ketimpangan dalam hidup manusia. Manusia di zaman sekarang terancam hidupnya oleh berbagai dekadensi. Ada dekadensi moral dengan munculnya seks bebas, korupsi dan nepotisme. Ada dekadensi dalam kehidupan bersama. Orang semakin mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Egoisme dan kepentingan kelompok bertumbuh menjadi semakin kuat. Akibatnya, orang hanya peduli terhadap diri sendiri.

Muncul juga kelompok-kelompok yang anti agama yang menyebar ke dalam kehidupan bermasyarakat. Yang mereka bawa tampaknya baik-baik saja. Yang mereka bawa itu mudah meninabobokan manusia. Mereka berusaha untuk membahagiakan manusia dengan ajaran-ajaran yang mereka bawa itu.

Namun di balik itu semua, mereka punya misi tertentu untuk menguasai kehidupan manusia. Mereka punya misi tertentu untuk menjauhkan manusia dari Tuhan. Dengan berbagai cara, mereka mengajak manusia untuk mengandalkan diri sendiri. Banyak orang akan tersesat jalannya. Agama yang selama ini mengajarkan kebaikan dan kebenaran akan ditinggalkan.

Nah, apa jadinya kalau situasi seperti ini menimpa diri kita? Tentu saja kita akan merasa terombang-ambing. Nilai-nilai moral yang kita junjung tinggi selama ini akan lenyap begitu saja. Tidak akan bernilai banyak lagi bagi kita. Nilai-nilai itu menjadi hampa dalam hidup kita. Persaudaraan dan persahabatan yang kita bangun selama ini akan lenyap begitu saja. Seolah-olah menguap tanpa bekas. Lantas apa yang menjadi pegangan hidup kita? Kita akan bingung.

Karena itu, kita perlu hati-hati terhadap berbagai tawaran yang datang kepada kita. Kita mesti seleksi setiap tawaran yang kita peroleh itu. Kalau tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan kehidupan yang kita anut selama ini, kita mesti singkirkan.

Dengan demikian, hidup kita menjadi lebih bermakna. Tuhan tidak menjadi pemain cadangan dalam hidup kita. Namun Tuhan sungguh-sungguh menjadi satu-satunya pedoman hidup kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi kesempatan yang indah untuk memuliakan Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

821

11 November 2011

Sebuah Potret

Mendung

dan angin sepoi pagi menerpa bumi

kutatap sebuah potret

berderap melunasi akhir

dia tersenyum kepadaku

apa yang mesti didamba

tercecer dari keningnya



dia terus berderap maju

kali ini dia menyapaku

dan kumemadu canda

mengidungkan kata ceria

dan apa yang dikata,

juga kataku berpadu



Frans de Sales, SCJ (Distinguised Member of International Society of Poets in Washington DC, USA)

31 Mei 1984

Hidup Fleksibel demi Kebahagiaan Bersama

Anda punya persoalan dengan penerapan peraturan yang Anda buat untuk kehidupan bersama? Mengapa hal itu bisa terjadi?

Seorang pria masuk ke sebuah bank untuk melakukan sebuah transaksi. Sang teller minta maaf sambil menjelaskan bahwa transaksi itu tidak dapat dilakukan karena petugas yang bersangkutan sedang berhalangan. Pria itu pun siap-siap pergi sambil meminta teller tersebut memvalidasi resi parkirnya.

Namun dengan tegas sang teller mengatakan bahwa kebijakan bank mereka tidak mengizinkan validasi parkir, kalau nasabah tidak bertransaksi. Pria ini mohon dispensi, karena toh ia bermaksud melakukan transaksi dan petugasnya sendiri yang berhalangan. Meski demikian, sang teller tetap bersikeras sambil berkata bahwa ini sudah kebijakan dari bank yang tidak bisa diganggu gugat.

Kesal terhadap kebijakan yang demikian kaku, pria itu melakukan transaksi. Caranya adalah dia menarik seluruh dananya yang ada di bank itu sebesar US$ 1.5 juta! Teller ini tidak tahu bahwa pria tersebut adalah John Acres, pimpinan puncak IBM!

Akibatnya, bank tersebut kehilangan nasabah yang sangat besar dan penting hanya karena menerapkan kebijakan yang sangat kaku. Memang, setiap perusahaan harus memiliki aturan-aturan yang jelas, namun bukan berarti harus kehilangan fleksibilitas dalam penerapannya.

Jika setiap aturan diterapkan dengan cara yang sedemikian kaku, aturan-aturan itu tidak akan menjadikan perusahaan tersebut tambah maju. Justru sebaliknya, perusahaan tersebut kehilangan peluang atau kesempatan yang sangat berarti.

Sahabat, sudah berapa banyak kesempatan baik yang lepas dari tangan Anda hanya karena Anda bersikap kaku dalam hidup? Tentu saja sudah banyak kesempatan baik yang hilang. Anda mungkin tidak bisa menghitungnya. Yang Anda alami kemudian adalah Anda menyesali sikap yang telah Anda lakukan itu.

Kisah di atas menunjukkan kepada kita betapa suatu aturan yang kaku menjadi bumerang bagi diri sendiri. Suatu aturan yang ketat dan kaku kurang efektif dalam membangun kehidupan bersama. Karena itu, peraturan seperti ini mesti dikoreksi. Peraturan seperti ini mesti dirombak ulang, agar dapat menjadi acuan dalam kehidupan bersama.

Orang beriman mesti bersikap fleksibel dalam hidup ini. Peraturan boleh ada untuk membangun kehidupan bersama, tetapi orang mesti berusaha untuk menemukan cara-cara yang baik dalam menerapkan peraturan itu.

Kalau Anda seorang pemimpin, Anda mesti memberikan aturan main yang jelas bagi kelompok Anda. Namun pada saat yang sama, Anda harus memiliki sikap lentur dalam menerapkan aturan tersebut. Mengapa? Karena kita menghadapi orang-orang yang beragam dengan kepribadian yang beragam. Persoalan-persoalan yang dihadapi pun beragam.

Buatlah peraturan yang tegas, terapkanlah dengan fleksibel. Dengan demikian, peraturan yang Anda buat bisa memiliki nilai manfaat. Tidak menghambat kemajuan Anda sendiri, tapi memberikan sumbangsih yang berarti bagi kemajuan hidup bersama. Mari kita tingkatkan hidup yang berkualitas dengan berlaku fleksibel. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Meraih Kualitas Hidup

Anda ingin punya kualitas hidup yang lebih baik? Apa yang Anda lakukan untuk memiliki kualitas yang lebih baik itu?

Beberapa waktu lalu dunia dihebohkan oleh kehadiran kopi luwak. Kopi khas Indonesia ini tidak hanya terkenal di dalam negeri. Tetapi kopi luwak mengharum ke seluruh penjuru dunia. Kopi luwak pun melegenda di seluruh dunia.

Apa yang membuat kopi luwak sedemikian dahsyat dan membangunkan mata semua orang yang tertidur? Kedahsyatan kopi luwak terletak pada citarasanya. Hal ini membuat kopi luwak melangit harganya. Harganya begitu mahal. Di pasaran dunia harganya bisa sampai 300 hingga 600 USD per kilogram atau 5 dolar secangkir. Hal ini membuat kopi luwak lebih mahal dari kopi mana pun.

Bukan hanya itu, kopi ini juga mahal dan terkenal karena keunikannya. Kopi ini diperoleh dari buah-buah kopi biasa yang dimakan luwak atau musang lalu dikeluarkan lewat kotorannya. Rupanya, luwak punya insting yang sangat luar biasa dalam mengenali kualitas buah kopi. Luwak hanya mau makan kopi yang berkualitas. Sedemikian hebat pilihan luwak itu hingga bahkan manusia menghargai ampasnya dengan begitu tinggi.

Sahabat, setiap orang ingin punya kualitas dalam kehidupannya. Setiap orang ingin hidup ini sungguh-sungguh bermakna. Tidak ada orang yang ingin mati sia-sia. Tidak ada orang yang ingin hidupnya berakhir begitu saja tanpa makna. Orang ingin hidup ini sungguh-sungguh memiliki makna yang mendalam.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa kualitas hidup itu sungguh-sungguh penting bagi kehidupan manusia. Untuk itu, manusia mesti memperjuangkannya. Kualitas hidup yang sejati itu tidak bisa ditawar-tawar. Hidup yang berkualitas tinggi memiliki nilai yang tinggi pula.

Orang yang punya kualitas tinggi dalam hidupnya akan menjadi cermin bagi hidup banyak orang. Orang-orang akan datang kepadanya untuk meminta berbagai nasihat dan pertimbangan. Orang-orang tidak enggan untuk mendapatkan berbagai hal baik dari dirinya. Mengapa? Karena biasanya orang punya kualitas yang tinggi dalam hidupnya selalu menampilkan kesederhanaan. Kerendahan hati menjadi bagian dari diri orang seperti ini.

Orang beriman mesti berusaha memiliki kualitas khusus yang membedakan dirinya dengan orang-orang biasa. Orang beriman seperti ini hidupnya selalu ditandai dengan saling berbagi. Kepeduliannya terhadap hidup sesama menjadi suatu ukuran kualitas yang baik itu. Orang seperti ini biasanya punya keringanan tangan dalam membantu sesama. Orang seperti ini tidak jemu-jemu memberikan diri bagi sesamanya.

Memang, ada banyak tantangan dalam membangun kualitas yang tinggi dalam hidup ini. Namun orang mesti memandang tantangan itu sebagai kesempatan untuk memurnikan motivasi hidupnya. Tantangan menjadi kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup itu. Ibarat emas yang mesti disepuh dalam bara api yang menyala-nyala, kualitas hidup mesti selalu diuji dalam hidup sehari-hari.

Mari kita berusaha untuk membangun hidup yang berkualitas. Dengan demikian, hidup ini menjadi semakin bermakna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

10 November 2011

Antrian Jiwa-jiwa di Pintu Surga

Di pintu itu,

perhentian manusia

dari ziarah hidup di dunia ini

untuk peroleh bahagia selama



Di depan pintu surga itu,

telah menunggu jiwa-jiwa penat

yang menyeberangi sempit titian

dan ingin bersua yang dicari



Di depan pintu surga itu,

jiwa-jiwa bertangis duka

sia segala ziarah hidup

banyak yang antri terputus harapan

jalan terhalang dosa dunia



Di depan pintu surga itu,

ada jiwa tersenyum ceria

telah bersanding yang dicari

sukses segala ziarah dunia

telah berbuat yang diperintah Tuhan



Frans de Sales, SCJ (Distinguised Member of International Society of Poets in Whasington DC, USA)

29 Mei 1984

Menjauhkan Hidup dari Keangkuhan


Pada hari-hari terakhir kemerdekaan Prancis, seorang prajurit menulis sepucuk surat ke rumahnya, “Kami telah melihat begitu banyak hal yang aneh terjadi di medan perang. Baru-baru ini, kami melihat sejumlah besar prajurit Jerman yang melompat-lompat dan menari-nari, karena menyangka akan dipenjara! Kadang-kadang seorang serdadu Nazi Jerman dibawa masuk dengan tampang kejam, keras, dan ganas. Salah satu dari orang fanatik ini suatu hari dibawa masuk dalam keadaaan luka parah. Dia memerlukan transfusi darah dan dokter mengatakan hal itu kepadanya.”

“Apakah ini darah Inggris?” tanya Serdadu Jerman itu kepada dokter.

“Ya, darah Inggris yang baik. Jika engkau menolak transfusi, engkau akan mati,”

Dengan angkuh, serdadu Nazi Jerman itu berkata, “Kalau begitu, saya lebih baik mati,” jawab dokter itu sambil menatap wajahnya.

Tidak lama kemudian, jenazahnya dibawa keluar untuk dimakamkan. Tidak mengherankan, jika orang-orang Inggris berteriak di pintu, ’Betapa bodohnya orang itu!’

Sahabat, keangkuhan dapat membawa malapetaka bagi kehidupan. Kesombongan dapat membuat orang kehilangan segala-galanya. Gengsi itu mahal harganya. Demi gengsi, orang rela kehilangan dirinya sendiri. Benarkah hal seperti ini?

Tentu saja, orang yang bijaksana tidak akan mengandalkan keangkuhan. Orang yang mau sukses dalam hidupnya menghindari kesombongan. Orang yang ingin maju dalam hidupnya akan membiarkan gengsi lenyap dari dirinya.

Kisah di atas memberi inspirasi bagi hidup kita. Orang mesti memiliki sikap rendah hati dalam hidupnya. Orang tidak boleh membiarkan dirinya digerogoti oleh kesombongan. Mengapa? Karena keangkuhan atau kesombongan menutup diri orang terhadap sesamanya. Serdadu Nazi Jerman itu menutup hatinya terhadap kebaikan sesamanya. Karena itu, hidupnya menjadi sia-sia. Hidupnya tidak berarti bagi sesamanya. Ia mengakhiri hidupnya secara tragis.

CH Spurgeon menasihatkan kita agar kita jangan angkuh karena ras, wajah, rumah atau harta. Mengapa? Karena keangkuhan atau kesombongan menyingkirkan sesama. Harta yang banyak dapat menjadi penghalang kemajuan dalam hidup bersama. Orang hanya mau menerima sesamanya karena hartanya yang banyak. Ketika harta itu lenyap, orang tidak lagi menerima sesamanya. Persaudaraan menghilang dari kehidupan bersama.

Orang beriman mesti mengutamakan kerendahan hati. Orang beriman mengutamakan hati yang terbuka lebar bagi sesamanya. Sang kebijaksanaan berkata, “Berbahagialah orang yang menaruh kepercayaan pada TUHAN, yang tidak berpaling kepada orang-orang yang angkuh, atau kepada orang-orang yang telah menyimpang kepada kebohongan!” (Mzm. 40:5).

Mari kita berusaha untuk hidup baik dan benar di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan demikian, kita boleh mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan senantiasa peduli terhadap orang yang dengan rendah hati datang kepadanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

820

08 November 2011

Membuka Hati untuk Memupuk Kepedulian



Suatu hari, seorang gadis kecil diminta untuk menghafal ayat yang berbunyi, ”Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah”. Anak itu harus maju ke atas panggung dan mengucapkan apa yang telah dihafalnya itu.

Ketika sudah berada di panggung, anak itu mulai berkata, ”Biarkan….” Namun dia berhenti. Dia tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Dia demam panggung. Grogi. Itulah pertama kali baginya berdiri di atas panggung.

Dia merasa takut. Dia tidak ingin ditertawakan oleh penonton. Ia pun berusaha lagi. Ia berkata, ”Biarkan anak-anak itu…..” Dia terdiam. Gadis itu masih demam panggung.

Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Dari depannya, ratusan penonton bertepuk tangan memberikan dukungan kepadanya. Akhirnya dengan usaha keras, gadis itu berhasil mengucapkan ayat-ayat itu, meskipun tidak persis. Ia berkata, “Yesus mau kita semua datang kepada-Nya dan jangan seorang pun mencoba menghalang-halangi kita.”

Semua penonton terbengong-bengong dibuatnya. Pasalnya, ia mengajak semua orang untuk datang kepada Yesus. Padahal banyak penonton di hadapannya tidak hidup sesuai dengan keinginan Tuhan. Mereka lebih banyak melaksanakan kehendak pribadi mereka. Mereka tidak peduli terhadap sesamanya yang menderita. Hari itu, gadis kecil itu telah membuat mereka punya kepedulian terhadap sesama. Hasilnya, beberapa bulan kemudian para penonton itu mulai berubah sikap. Mereka menjadi orang-orang yang peduli terhadap sesamanya.

Sahabat, sering orang menganggap remeh anak-anak kecil. Kata-kata anak-anak kecil sering tidak dihiraukan. Padahal kata-kata mereka juga punya makna yang memberikan semangat dan daya dorong bagi perubahan hidup. Kisah di atas merupakan salah satu contoh tentang kuatnya kata-kata yang mampu mengubah cara hidup. Meskipun gadis kecil itu tidak hafal kata-kata Yesus kata demi kata, dia dapat menangkap intisari ucapan Yesus dengan tepat!

Anak itu tentu saja mendatangkan sukacita bagi hidup sesamanya. Banyak orang kemudian memiliki kepedulian terhadap sesamanya. Banyak orang hidup tidak hanya untuk dirinya sendiri. Banyak orang mulai peduli terhadap kehendak Tuhan dalam hidup mereka. Sang bijaksana berkata, “Anak-anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya, tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya” (Ams. 10:1).

Untuk mencapai kebijaksanaan yang mendatangkan sukacita, orang mesti belajar untuk menerima sesamanya dalam hidupnya. Orang mesti belajar dari Yesus yang menerima semua orang yang datang kepada-Nya. Yesus tidak peduli siapa yang datang kepada-Nya. Ia mau menerima mereka semua. Mengapa? Karena Yesus mengasihi semua orang. Yesus mau agar semua orang mengalami sukacita dalam hidupnya.

Mari kita memupuk sikap menerima semua orang dalam hidup kita. Dengan demikian, kita dapat menjadi orang-orang yang memiliki keterbukaan hati kepada semua orang. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ




819

06 November 2011

Kudengar Jeritan Itu

Kudengar jeritan itu

dari arah rimbun pepohonan

telah terbantai manusia jahanam

apa yang diperbuat?

Dia tak bercacat



Dan jeritan itu mengerang-erang

harapkan semilir kasih

buat hidup sedetik lagi

tak berbelas orang yang lewat



Frans de Sales, SCJ (Distinguised Member of International Society of Poets Whasington DC, USA)

26 Mei 1984

Membuka Diri bagi Kekuatan Tuhan

Pernahkah Anda mengalami kesendirian dalam hidup ini? Anda merasa Tuhan tidak peduli terhadap duka nestapa yang Anda alami?

Seorang anak kecil sering dibawa oleh ayahnya ke tempat ibadat. Di sana ia biasa belajar berdoa dengan khusyuk. Ayahnya pun sering memberitahu dirinya bahwa Tuhan begitu baik terhadap dirinya. Bahkan kasih Tuhan kepadanya tak pernah mengenal batas. Anak itu yakin akan penjelasan ayahnya. Ia semakin percaya dan menaruh pengharapan pada Tuhan semata.

Namun anak itu belum puas saat ayahnya memberi penjelasan bahwa Tuhan begitu besar. Soalnya adalah ia belum pernah melihat Tuhan. Ia membayangkan Tuhan sebesar gajah yang pernah ia lihat di kebun binatang. Atau Tuhan sebesar batu besar yang ada di belakang rumahnya.

“Papa, seberapa besar sih Tuhan itu?” tanya anak itu suatu hari.

“Kan sudah ayah jelaskan tentang Tuhan yang besar. Nah, jawaban yang benar adalah tergantung seberapa besar kamu menyediakan tempat untuk Tuhan,” kata ayahnya.

Anak itu terkejut mendengar kata-kata ayahnya. Baginya, Tuhan yang besar itu tidak mungkin menempati dirinya yang begitu kecil. Lantas ia berkata, “Ayah, setiap hari saya siapkan tempat untuk Tuhan dalam hati saya. Saya merasakan begitu damai. Saya yakin, Tuhan hadir dalam hati saya yang kecil ini.”

Sahabat, sering kita menyangsikan kehadiran Tuhan dalam diri kita. Apalagi di saat-saat kita mengalami duka nestapa. Kita merasa Tuhan tidak lagi peduli terhadap kita. Tuhan menjauh dari hidup kita. Kita merasa berjuang sendirian. Kita merasa tidak punya pegangan hidup lagi.

Benarkah demikian? Kisah tadi memberi kita peneguhan bahwa Tuhan senantiasa hadir dalam diri kita yang kecil. Tuhan tidak pernah beranjak dari diri kita. Mengapa? Karena Tuhan mengasihi kita. Pada hakekatnya Tuhan itu kasih. Dia ingin melimpahkan kasih setianya kepada kita. Dia ingin agar manusia tidak mengalami duka nestapa dalam hidupnya.

Soalnya adalah manusia kurang berani membuka hatinya kepada Tuhan. Manusia mau berjuang sendiri. Manusia menutup diri terhadap kehadiran Tuhan dalam dirinya. Akibatnya, manusia merasa berjuang sendirian. Manusia merasa ditinggalkan oleh Tuhan. Manusia akhirnya terlunta-lunta dalam perjalanan hidupnya. Manusia mengalami duka nestapa hidup ini.

Orang beriman adalah orang yang senantiasa mengandalkan kekuatan Tuhan. Orang beriman tidak membiarkan dirinya dikuasai egoisme dirinya. Karena itu, kita mesti terus-menerus membuka hati kita kepada Tuhan. Kita arahkan segenap kekuatan kita kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Dengan demikian, kita mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Kautambat Batinmu

Antara tangis dan keceriaan

tergurat segumpal kata

kau dan aku lagi bersanding

dekat rimbun pepohonan



Dulu kau mengikat kata

dan kupelihara kata itu

dalam sanubari kering

kini kembali kautambat batinmu



Frans de Sales, SCJ (Distinguised Member of International Society of Poets Whasington DC, USA)

26 Mei 1984

Jangan Balas Kejahatan dengan Kejahatan

Bagaimana sikap Anda terhadap orang yang kurang baik terhadap Anda? Anda ikut-ikutan bersikap kurang baik pula?

Suatu hari saya dan seorang teman berbelanja di salah satu supermarket di kota Palembang. Setelah mengambil barang-barang yang kami butuhkan, kami menuju kasir untuk membayar. Kami memegang nota pembayaran masing-masing di tangan. Yang kami jumpai adalah seorang kasir yang saat itu berwajah seram. Ia tampak sedang punya masalah. Entah masalah apa, yang penting dia sedang kurang begitu bersahabat.

Akibatnya, kasir itu melayani kami dengan kurang begitu baik. Tiada seutas senyum pun menghiasi wajahnya. Wajahnya cemberut. Teman saya merasa jengkel terhadap pelayanan yang tidak bersahabat itu. Ia menendang-nendang kaki saya, seolah mendesak agar kami segera pergi dari hadapan kasir itu.

Sebaliknya, saya merasa tidak ada persoalan dengan wajah kasir itu. Saya menikmati saja pelayanan seperti itu. Toh, bagi saya yang penting saya bayar apa yang saya beli lalu saya segera pergi. Teman saya itu malah merasa saya tidak waras menyaksikan pelayanan yang buruk dari kasir itu.

Tidak lama kemudian kami pun pergi dengan barang-barang belanjaan kami. “Mengapa kamu bersikap sopan kepada penjual menyebalkan itu? Kamu kan lihat wajahnya yang cemberut seperti itu. Masak kamu malah meladeni dia dengan senyum segala?” tanya teman itu kepada saya.

Sambil tersenyum, saya menjawab, “Mengapa saya harus mengizinkan dia menentukan caraku dalam bertindak? Biarin saja dia cemberut. Saya tidak perlu terpengaruh oleh sikapnya itu. Dia punya kebebasan untuk bersikap seperti apa terhadap kita. Kamu boleh marah terhadapnya, tetapi tidak bisa melarangnya.”

Sahabat, sering kita menghendaki agar orang lain sama seperti kita dalam segala hal. Namun keinginan kita itu tidak mungkin terjadi. Mengapa? Karena setiap orang punya keunikan. Kita tidak pernah dilahirkan sama. Kita dilahirkan berbeda. Bahkan anak kembar pun tidak sama dalam tindak tanduk mereka. Karena itu, yang mesti kita lakukan adalah kita menghargai tingkah laku sesama kita. Kita sendiri mesti tetap bertahan dalam perbuatan baik yang kita miliki.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa melakukan suatu tindakan baik tidak tergantung dari tindakan orang lain terhadap kita. Orang boleh bersikap kurang jujur dan adil terhadap kita. Namun kita mesti tetap bertahan pada perbuatan baik kita kepada sesama. Hanya dengan cara seperti ini kita melestarikan cinta kasih yang telah kita perjuangkan selama bertahun-tahun.

Janganlah kita membalas kejahatan dengan kejahatan. Mengapa? Karena akan terjadi hidup yang tidak menyenangkan. Kita akan menemukan suatu situasi hidup yang tidak membahagiakan. Perbuatan kasih yang kita tampilkan dalam hidup ini akan membantu kita untuk bertumbuh dan berkembang dengan lebih baik. Karena itu, mari kita hidup dalam kasih Tuhan. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk menumbuhkan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

04 November 2011

Kudengar jeritan itu

Kudengar jeritan itu

dari arah rimbun pepohonan

telah terbantai manusia jahanam

apa yang diperbuat?

Dia tak bercacat



Dan jeritan itu mengerang-erang

harapkan semilir kasih

buat hidup sedetik lagi

tak berbelas orang yang lewat



Frans de Sales, SCJ (Distinguised Member of International Society of Poets Washington DC, USA)

26 Mei 1984

Membuka Diri bagi Kekuatan Tuhan

Pernahkah Anda mengalami kesendirian dalam hidup ini? Anda merasa Tuhan tidak peduli terhadap duka nestapa yang Anda alami?

Seorang anak kecil sering dibawa oleh ayahnya ke tempat ibadat. Di sana ia biasa belajar berdoa dengan khusyuk. Ayahnya pun sering memberitahu dirinya bahwa Tuhan begitu baik terhadap dirinya. Bahkan kasih Tuhan kepadanya tak pernah mengenal batas. Anak itu yakin akan penjelasan ayahnya. Ia semakin percaya dan menaruh pengharapan pada Tuhan semata.

Namun anak itu belum puas saat ayahnya memberi penjelasan bahwa Tuhan begitu besar. Soalnya adalah ia belum pernah melihat Tuhan. Ia membayangkan Tuhan sebesar gajah yang pernah ia lihat di kebun binatang. Atau Tuhan sebesar batu besar yang ada di belakang rumahnya.

“Papa, seberapa besar sih Tuhan itu?” tanya anak itu suatu hari.

“Kan sudah ayah jelaskan tentang Tuhan yang besar. Nah, jawaban yang benar adalah tergantung seberapa besar kamu menyediakan tempat untuk Tuhan,” kata ayahnya.

Anak itu terkejut mendengar kata-kata ayahnya. Baginya, Tuhan yang besar itu tidak mungkin menempati dirinya yang begitu kecil. Lantas ia berkata, “Ayah, setiap hari saya siapkan tempat untuk Tuhan dalam hati saya. Saya merasakan begitu damai. Saya yakin, Tuhan hadir dalam hati saya yang kecil ini.”

Sahabat, sering kita menyangsikan kehadiran Tuhan dalam diri kita. Apalagi di saat-saat kita mengalami duka nestapa. Kita merasa Tuhan tidak lagi peduli terhadap kita. Tuhan menjauh dari hidup kita. Kita merasa berjuang sendirian. Kita merasa tidak punya pegangan hidup lagi.

Benarkah demikian? Kisah tadi memberi kita peneguhan bahwa Tuhan senantiasa hadir dalam diri kita yang kecil. Tuhan tidak pernah beranjak dari diri kita. Mengapa? Karena Tuhan mengasihi kita. Pada hakekatnya Tuhan itu kasih. Dia ingin melimpahkan kasih setianya kepada kita. Dia ingin agar manusia tidak mengalami duka nestapa dalam hidupnya.

Soalnya adalah manusia kurang berani membuka hatinya kepada Tuhan. Manusia mau berjuang sendiri. Manusia menutup diri terhadap kehadiran Tuhan dalam dirinya. Akibatnya, manusia merasa berjuang sendirian. Manusia merasa ditinggalkan oleh Tuhan. Manusia akhirnya terlunta-lunta dalam perjalanan hidupnya. Manusia mengalami duka nestapa hidup ini.

Orang beriman adalah orang yang senantiasa mengandalkan kekuatan Tuhan. Orang beriman tidak membiarkan dirinya dikuasai egoisme dirinya. Karena itu, kita mesti terus-menerus membuka hati kita kepada Tuhan. Kita arahkan segenap kekuatan kita kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Dengan demikian, kita mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Menahan Kemarahan demi Kebaikan Semua

Suatu siang seorang pemuda kelelahan. Baru saja ia marah-marah terhadap anak buahnya yang melakukan kesalahan. Kepada seorang teman dekatnya, ia berkata, “Saya kesal dengan semua ini. Mengapa mereka tidak melakukan apa yang saya instruksikan? Mengapa mereka kerjakan apa yang mereka inginkan? Dan itu salah. Saya lelah dengan semua ini.”

Pemuda yang punya usaha bengkel itu merasa jengkel terhadap para karyawannya. Ia menyimpan kekesalannya itu dalam hatinya. Akibatnya, ia tidak bisa melakukan apa yang menjadi tugas-tugasnya. Hari itu ia banyak kehilangan keuntungan. Seharusnya banyak penghasilan ia peroleh pada hari itu. Akibat kemarahannya itu, ia banyak kehilangan pelanggan. Ia mesti bangkit lagi. Ia mesti berusaha untuk mengembalikan lagi para pelanggannya. Mereka lari ke bengkel lain, karena kesalahan para karyawannya.

Namun pemuda itu menyadari bahwa tenggelam dalam kemarahan tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Ia akan kehilangan semakin banyak keuntungan. Karena itu, ia mengumpulkan semua karyawannya. Ia memberikan pengarahan kepada mereka. Ia memberikan pelatihan untuk mereka, sehingga mereka dapat memperbaiki kesalahan. Dengan cara itu, dalam waktu singkat ia dapat mengembalikan lagi para pelanggannya. Suatu sukses kemudian ia raih dalam usahanya itu.

Sahabat, amarah atau kemarahan melemahkan manusia. Amarah membuat orang rugi dalam setiap usaha yang dilakukannya. Ketika Anda punya usaha yang sedang bertumbuh, Anda dianjurkan untuk mengekang kemarahan Anda. Mengapa? Karena kemarahan dapat menghilangkan kemajuan usaha Anda. Energi Anda terpusat pada diri Anda sendiri yang tidak ingin disepelekan.

Amarah biasanya berhubungan erat dengan egoisme seseorang. Mengapa seseorang itu marah? Benjamin Franklin mengatakan bahwa amarah tidak pernah terjadi tanpa alasan, tetapi jarang oleh alasan yang baik. Artinya, kemarahan atau amarah itu lebih didominasi oleh alasan yang kurang baik. Orang gampang marah, karena orang tidak mau dirinya disepelekan. Orang gampang marah, karena orang merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan yang lebih. Kalau ada orang yang kemampuannya lebih dari dirinya, ia akan marah. Ia tidak mau terima.

Dalam pengalaman hidup sehari-hari, orang bebal lebih gampang dikuasai amarah. Mengapa? Karena orang bebal tidak punya banyak akal untuk menghadapi berbagai persoalan dalam hidupnya. Ia punya keterbatasan dalam hidupnya.

Sayangnya, orang bebal sering merasa diri serba tahu. Akibatnya, orang bebal biasanya merasa gampang tersaingi oleh orang lain. Sang Kebijaksanaan mengatakan bahwa orang bebal melampiaskan seluruh amarahnya, tetapi orang bijak akhirnya meredakannya.

Karena itu, orang beriman mesti selalu berusaha untuk menahan amarahnya. Orang beriman mesti menjadi orang yang bijak dalam hidup ini dengan mengarahkan dirinya kepada kebaikan. Kalau kita mampu menahan amarah dalam hidup ini, kita akan meraih sukses dalam perjalanan hidup kita.

Mari kita menahan diri dari rasa marah. Kita berusaha untuk menahan diri, agar kita memperoleh rahmat Tuhan yang berlimpah-limpah. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


818

03 November 2011

Kisah Paduan

Di seberang sana

dalam kesunyian Groto

ribuan burung berkicau-kicauan

beradu cinta



cintakah itu

jika tak ada paduan?



serangkaian lebah bergemuruh

menjelma...

mengejutkan...



Lari menjauh

mendekat lagi

berpapasan



Bisikan lebah pada burung

mengisah awal cinta

burung turut menimba butiran cinta

berpeluk padu dalam keheningan



Frans de Sales, SCJ (Distinguised Member of International Society of Poets Washington DC)

3 Mei 1981

Doa Membantu Kita Lepas dari Kekuatiran

Kekuatiran sering dialami manusia dalam hidup ini. Soalnya, mengapa manusia merasa kuatir? Ada berbagai alasan. Bagaimana manusia mengatasi kekuatiran dalam hidupnya?

Seorang pelajar sedang kuatir akan nilai-nilai ulangan kenaikan kelas. Ia merasa kurang tenang. Pasalnya, ia sudah berusaha sedemikian rupa mengerjakan soal-soal ulangan, tetapi ia kurang yakin kebenarannya. Beberapa hari ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia selalu terbangun pada jam dua pagi. Padahal biasanya ia tidur pulas mulai jam sepuluh malam hingga jam lima pagi.

Pelajar itu resah, jangan-jangan ia tidak bisa mendapatkan nilai yang tertinggi untuk pelajaran-pelajaran favoritnya. Sang ibu pun menangkap suasana batin anaknya. Ia berusaha untuk menenangkan anaknya. Ia berusaha meyakinkan dia bahwa apa yang ia risaukan hanyalah bayang-bayang saja.

“Mama, saya sungguh-sungguh yakin ada soal-soal ujian untuk pelajaran-pelajaran saya tidak bisa saya kerjakan dengan baik. Ibu mendukung saya, tetapi bagaimana kalau hal itu benar-benar terjadi?” kata anak itu.

Sang ibu membawa anaknya dalam doa. Ia berharap, sang anak dapat menenangkan diri. Ia mendoakannya agar apa yang dirisaukan anaknya tidak perlu terjadi. Beberapa hari kemudian, sang anak tampak tenang. Ia bisa membantu ibunya menjaga toko. Ia bisa memusatkan pikiran dan perhatiannya pada hal-hal yang baik dan benar.

Sahabat, kecemasan atau kekuatiran sering menimpa manusia. Pertanyaannya adalah mengapa manusia cemas atau kuatir? Jawabannya tentu saja banyak. Ada berbagai alasan bagi seseorang untuk merasa cemas atau kuatir. Di saat orang berada dalam situasi seperti ini, orang akan melakukan hal-hal yang membantu dirinya untuk menenangkan diri.

Sang ibu dalam kisah di atas mengambil salah satu langkah yang terbaik dari berbagai nasihat bagi orang yang sedang berada dalam kekuatiran. Ia membawa anaknya dalam doa-doanya. Ia mempersembahkan situasi yang dihadapi anaknya dalam doa-doanya. Ia yakin, Tuhan akan selalu mendengarkan doa-doanya. Bagi ibu itu, doa menjadi penawar terbaik bagi anaknya yang sedang resah dan gelisah.

Tentu saja orang beriman memilik cara-cara untuk keluar dari kecemasan atau kekuatiran. Orang beriman tidak bekerja sendirian. Orang beriman senantiasa bekerja bersama Tuhan. Mengapa? Karena orang beriman yakin bahwa setiap inchi dari hidupnya selalu disertai Tuhan. Tuhan tidak pernah meninggalkan dirinya sedetik pun.

Untuk itu, yang dibutuhkan adalah sikap penyerahan yang mendalam kepada Tuhan. Orang berima itu orang yang tidak mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Orang beriman itu mengandalkan kekuatan Tuhan yang meraja dalam dirinya. Karena itu, mari kita serahkan hidup kita kepada Tuhan. Kita biarkan Tuhan yang memimpin perjalanan hidup kita. Dengan demikian, hidup menjadi semakin indah. Hidup ini menjadi kesempatan bagi kita untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Membaca dan Mendengarkan Firman Tuhan


Ketika Jacob de Shazer pergi ke Jepang sebagai anak buah Jimmy Doolittle, pada tanggal 18 April 1942, dia adalah seorang ateis. Dia ditangkap dan dipenjarakan oleh orang Jepang. Dia melihat dua orang temannya ditembak oleh dua regu tembak. Dia juga melihat temannya yang lain mati kelaparan.

Selama berbulan-bulan, dia merenungkan pertanyaan mengapa orang-orang Jepang membencinya dan mengapa dia membenci mereka. Dia mulai mengingat kembali beberapa hal yang pernah didengarnya tentang kekristenan.

Dengan berani, dia bertanya kepada petugas penjara, apakah mereka dapat mengusahakan sebuah Alkitab baginya. Mula-mula mereka tertawa terbahak-bahak dan menganggapnya bergurau. Kemudian mereka memperingatkannya, agar ia tidak mengganggu mereka. Tetapi ia terus meminta Alkitab, padahal ia seorang ateis. Seseorang yang tidak percaya adanya Tuhan.

Bulan Mei 1944, seorang penjaga membawakannya sebuah Alkitab. Penjaga itu melemparkan Alkitab itu kepadanya dan berkata, “Engkau boleh meminjamnya selama tiga minggu. Tiga minggu lagi saya akan mengambilnya kembali.”

Sesuai ucapannya, tiga minggu kemudian penjaga itu mengambil Alkitab itu dan de Shazer tidak pernah melihatnya lagi. Pada tahun 1948, de Shazer, istrinya dan bayi laki-lakinya kembali ke Jepang sebagai misionaris. Semua ini disebabkan karena Alkitab yang dipinjam dari seorang penjaga Jepang selama tiga minggu.

Sahabat, Immanuel Kant, seorang filsuf, mengatakan bahwa Alkitab adalah mata air semua kebenaran yang tidak pernah habis. Keberadaan Alkitab merupakan berkat terbesar yang pernah dialami manusia. Tentu saja sumber kebenaran itu telah mengubah hidup seorang ateis menjadi seorang yang percaya akan keberadaaan Tuhan dalam kehidupan ini.

Kisah di atas mengingatkan kita bahwa Alkitab atau Kitab Suci dari agama mana pun memiliki sumber kebenaran yang tak pernah habis ditimba. Orang beriman mesti membaca atau mendengarkan firman Tuhan yang sudah ditulis di dalam Kitab Suci itu. Dengan demikian, orang sungguh-sungguh mengerti kehendak Tuhan bagi hidupnya.

Soalnya, bagi manusia zaman sekarang adalah apakah manusia masih memiliki semangat untuk membaca dan mendengarkan firman Tuhan? Bukahkah mata dan telinga manusia sudah begitu banyak disibukkan oleh berbagai hal? Mata manusia kini tersilau oleh berbagai materi, sehingga tidak mampu lagi membaca firman Tuhan. Akibatnya, Kitab Suci yang begitu sakral hanya tergeletak di ruang tamu diselimuti debu.

Kini telinga manusia lebih banyak diisi oleh hiruk pikuk dunia. Tidak ada tempat lagi bagi firman Tuhan dalam telinga manusia. Akibatnya, manusia hanya mendengarkan keinginannya sendiri. Manusia menuruti kehendak egoismenya sendiri. Hasilnya, banyak dukacita yang mesti ditanggung oleh manusia. Mengapa? Karena ternyata kehendak dirinya sendiri tidak sesuai dengan kehendak Tuhan.

Sebagai orang beriman, kita mesti menyediakan mata dan telinga kita bagi firman Tuhan. Kita baca dan renungan firman Tuhan. Kita dengarkan baik-baik kehendak Tuhan bagi hidup kita. Tentu saja Tuhan selalu berkehendak baik bagi kita. Tuhan selalu menginginkan damai dan sukacita bagi hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


817

02 November 2011

Nenek Itu Masih Tersenyum

Di tepian sungai

duduk seorang nenek

dia berkisah

mengenang memori tahun-tahun silam



pernahkah ada cinta yang lampus?

atau terbawa arus sungai?



Dan kini dia bukan sendirian

tangis sang bayi, cucunya

merajuk cintanya yang hampir sirna

dan dia sadar,

cintanya belum terbawa arus sungai



seutas senyum tersungging di wajahnya



Frans de Sales, SCJ

28 Mei 1984

Memberi dengan Hati yang Tulus

Pernahkah Anda memberi hidup Anda kepada sesama Anda? Tentu saja Anda pernah melakukan pemberian seperti ini. Namun yang mesti Anda lakukan adalah Anda mesti memberi dengan segenap hati Anda.
Rata Penuh
Ada seorang anak yang sangat pelit. Apa yang dimilikinya tidak boleh diambil oleh orang lain, bahkan adiknya sendiri pun tidak boleh menyentuhnya. Kalau ia sedang makan sesuatu, ia tidak peduli adiknya yang berada di hadapannya sambil menadahkan tangan. Ia biarkan saja adiknya meminta kepadanya makanan tersebut. Ia akan masukkan semuanya ke dalam mulutnya.

Anak ini kemudian tumbuh dalam kesendirian. Dua adik dan satu kakaknya kurang peduli terhadap dirinya. Mereka dengan enteng saling berbagi. Mereka dengan mudah saling memberi. Ketika mereka memiliki sesuatu yang berharga, mereka akan berbagi bertiga. Sedangkan saudara mereka yang kikir itu tidak diberi bagian.

Dalam perjalanan waktu, anak yang kikir itu lebih banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya. Usaha-usahanya seringkali tersendat. Ia menjadi orang yang kurang sejahtera dibandingkan tiga saudaranya yang lain. Akibatnya, ia banyak mengeluh. Namun keluhan-keluhannya itu tidak menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Ia semakin terpuruk dalam hidupnya.

Sementara tiga saudaranya menikmati hidup yang sejahtera. Usaha-usaha mereka berhasil dengan begitu baik. Mereka tidak perlu mengeluh dalam hidup. Mereka juga siap membantu saudara mereka yang kikir itu, kalau ia meminta bantuan dari mereka. Namun soalnya adalah saudara yang kikir itu merasa gengsinya akan turun kalau ia meminta bantuan dari saudara-saudaranya.

Sahabat, semakin banyak orang memberi, semakin banyak orang mendapatkan kembali hal-hal yang baik. Tentu saja pemberian seperti ini dilakukan dengan sepenuh hati. Bukan dengan terpaksa. Orang memberi dengan setulus hati. Orang memberi tanpa suatu keinginan untuk mendapatkan kembali apa yang diberikan itu dalam jumlah yang lebih banyak.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita untuk tetap memiliki semangat untuk memberi. Sering kita mengalami kesulitan untuk memberi. Mengapa? Karena kita merasa bahwa kita tidak punya apa-apa, mengapa kita mesti memberi? Atau kita merasa apa yang kita punyai itu tidak bernilai apa-apa. Jadi untuk apa kita memberi?

Tentu saja pandangan memberi seperti ini sangat materialistis. Kita tunggu sampai kita punya sesuatu yang berharga dulu baru kita mau memberi. Padahal kita bisa memberi hal-hal lain yang tidak seharusnya barang-barang yang kita punyai. Kita dapat memberi diri kita. Kita dapat menyediakan waktu dan kemampuan kita untuk kemajuan diri sesama kita.

Kita dapat memberi teladan hidup kepada sesama kita. Teladan hidup yang baik akan mampu membangkitkan semangat hidup bagi sesama kita. Ini yang lebih berharga daripada kita mesti memberi sesuatu yang bersifat materi. Mari kita hidupkan semangat untuk memberi dari apa yang kita punyai. Kita beri pengalaman-pengalaman hidup kita bagi sesama kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi semakin bermanfaat dalam hidup bersama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Menghadirkan Tuhan dalam Hidup

Pernahkah Anda membaca buku The Ancient Mariner? Kalau Anda pernah membacanya, pasti Anda akan mengatakan bahwa buku ini merupakan salah satu novel dengan imajinasi paling aneh yang pernah dikarang. Apalagi ketika Anda baca pada bagian ketika pelaut kuno itu mewakili mayat semua orang mati yang hidup kembali untuk mengendalikan kapal. Ada mayat yang menarik tali, memegang kemudi, atau membentangkan layar. Betapa anehnya gagasan ini.

Bicara tentang mayat sebenarnya bicara tentang situasi sekitar kebisuan. Mayat mewakili kebisuan atau kekuan. Mayat itu tak bergerak. Kaku. Dingin. Kalau orang tidak punya inisiatif sama sekali akan dikatakan seperti mayat. Orang hidup, tetapi tidak punya gairah. Orang kehabisan akal untuk menjalani hidup ini.

Kalau suatu suasana dalam kehidupan bersama mengalami kebekuan, suasana seperti itu mencerminkan sesuatu yang dingin. Relasi menjadi kaku. Tidak bermakna sama sekali. Ada orang-orang yang hidup. Tetapi mereka tidak saling menghidupi. Mereka tidak saling menyapa dengan senyum yang terbuka lebar. Mereka kuatir dengan diri mereka sendiri. Mereka hanya berusaha untuk keselamatan diri mereka sendiri.

Sahabat, mungkin Anda pernah mengalami suasana seperti ini. Anda mungkin merasa aneh, mengapa suasana yang beku justru terjadi dalam hidup Anda. Mengapa suasana yang kurang menyenangkan itu menghantui diri Anda? Anda terus-menerus bertanya. Namun Anda sendiri belum tentu berani untuk memecah kebekuan itu. Anda tidak berani mengubah situasi seperti itu, karena Anda merasa enggan.

Situasi yang beku dalam hidup kita sering menjadi penghalang bagi kita untuk menghasilkan sesuatu yang berguna. Tidak ada kreativitas. Kalau orang beragama, orang hanya menjalankan agamanya sebagai suatu kewajiban. Yang penting beribadat. Yang penting berdoa ketika harus berdoa. Orang tidak peduli bahwa hidup beragama itu mesti berbuah kebaikan bagi kehidupan bersama.

Tentang orang seperti ini, Santo Paulus mengatakan bahwa orang seperti ini secara lahiriah menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya.

Karena itu, tugas umat beriman adalah menghidupi iman itu dalam perjalanan hidup sehari-hari. Iman mesti berbuah kebaikan bagi diri sendiri dan sesama. Iman yang sungguh-sungguh hidup itu tidak dijalankan hanya karena kewajiban. Orang beriman mesti berani mengubah situasi yang beku menjadi cair dan enak untuk semua orang.

Buah-buah iman itu mesti tampak dalam perbuatan-perbuatan baik. Orang yang memiliki iman yang sejati itu biasanya mengasihi pula sesamanya. Orang seperti ini biasanya peduli terhadap sesamanya. Orang seperti ini tidak membius sesamanya dengan janji-janji yang muluk-muluk. Orang seperti ini menghadirkan Tuhan yang hidup dalam perjalanan hidupnya.

Mari kita membawa Tuhan yang hidup kepada sesama kita. Kita hadirkan Tuhan yang baik itu kepada sesama kita. Dengan demikian, hidup beriman kita berbuahkan kebaikan dan damai dalam hidup bersama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

816

01 November 2011

Mega-mega Senja

Mega-mega itu berarak duka

mengusik hari nan ceria

menyelimuti diriku

dalam gulita senja



Terbayang wajah itu dua tahun silam

kekenang biasan memori

telah terluruh mega-mega senja

di kala jarak kian mengembang



Frans de Sales, SCJ

24 Mei 1984

Berdoa dengan Segenap Hati dan Tenaga

Apa yang akan Anda lakukan, ketika Anda merasa doa-doa Anda tidak dikabulkan oleh Tuhan? Anda berhenti berdoa? Anda mengeluh kepada Tuhan? Atau Anda mengerima kenyataan hidup Anda?

Suatu sore, seorang gadis mengikuti ibadat di gereja. Gadis itu merasa sangat terganggu, karena sore itu hujan deras mengguyur bumi. Atap gereja yang terbuat dari aluminium bergemuruh oleh hempasan hujan yang sangat deras. Gadis itu agak resah. Ia ingin berdoa dalam keheningan malam, tetapi kenapa suara gemuruh hujan menghilangkan konsentrasinya.

Namun gadis itu tidak hilang akal. Ia tidak mau berdiam diri begitu saja. Ia ingin berdoa dengan baik dan tenang. Karena itu, ia pergi ke sudut gereja. Ia berdiri sambil menyandarkan tubuh ke dinding gereja. Ia menatap derasnya butiran air hujan yang seolah ditumpahkan dari langit.

Dalam kondisi seperti itu, ia berdoa, “Tuhan, kami mau mendengarkan sabda-Mu dalam Perayaan Ekaristi. Tapi bagaimana mungkin dengan keterbatasan pendengaran kami seperti ini, kami bisa mendengar sabda-Mu? Hujan deras ini membuat kami tidak bisa mendengar dengan baik. Tolong Tuhan, Perayaan Ekaristi akan segera dimulai. Biarlah selama Perayaan Ekaristi hujan ini reda, supaya kami bisa mendengarkan sabda-Mu dengan jelas.”

Doa-doa itu ia lantunkan dengan penuh keyakinan dan harapan. Ia percaya, Tuhan akan mendengarkan apa yang ia katakan. Mungkin ini naif, masak suara Tuhan bisa terbendung oleh gemuruh hujan?

Setelah, gadis itu masuk gereja, karena waktu hampir menunjukkan jam 17.00 WIB, saatnya Perayaan Ekaristi dimulai. Ketika kaki melewati ambang pintu gereja, ia merasakan suara air yang menghantam aluminium, atap gereja, mulai melembut. Saat Perayaan Ekaristi dimulai, hujan betul-betul reda. Tinggal sisa rintik-rintik kecil yang ada.

Sahabat, kekuatan doa membuktikan bahwa manusia semestinya selalu mengarahkan hidupnya kepada Tuhan. Berdoa itu sebenarnya tidak sekedar berkata-kata di hadapan Tuhan dalam keheningan. Tetapi berdoa itu menyerahkan seluruh kepribadian kita. Kita menyerahkan suka duka hidup kita. Kita menyerahkan iman kita kepada Tuhan. Kita mau mengatakan kepada Tuhan bahwa kita hanya bisa melanjutkan hidup ini dengan bantuan Tuhan. Tanpa bantuan Tuhan, kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa doa yang penuh iman membawa orang semakin dekat dengan Tuhan. Berdoa yang tak kunjung putus merupakan panggilan hidup manusia. Mengapa? Karena pada dasarnya manusia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan dari Tuhan.

Banyak orang kurang yakin akan kebaikan Tuhan. Karena itu, mereka tidak mau berdoa. Atau mereka berdoa hanya pada saat-saat tertentu saja. Atau mereka berdoa karena mereka butuh sesuatu dari Tuhan. Tentu saja sikap seperti ini bukan sikap orang beriman yang baik. Keberadaan kita sebenarnya suatu sikap doa yang terus-menerus. Mengapa? Karena kita adalah milik kepunyaan Tuhan. Hidup kita semestinya selalu terarah kepada Tuhan. Hati yang terarah itu hati yang selalu berdoa.

Mari kita berdoa dengan segenap hati dan tenaga kita. Dengan demikian, Tuhan mendengarkan doa-doa kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Bayang-bayang

Pukul duapuluhduaduapuluh

dia memanggil namaku

perlahan dan mesra

lalu lenyap dalam lelap tidurku

aku terpukau dalam remang gulita



Pukul duapuluhtigatigapuluh

aku memanggil namanya

kali ini dia tersenyum

dan kudekap dalam lelap tidurku

ah, hanya bayang-bayang



Frans de Sales, SCJ

25 Mei 1984

Menampilkan Diri Apa Adanya

Banyak orang memoles diri mereka untuk tampil lebih baik. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda juga ingin memoles diri Anda?

Ada seorang gadis yang ingin tampil dalam suatu acara yang sangat penting. Ia tidak ingin malu di hadapan orang banyak. Ia ingin dielu-elukan sebagai perempuan tercantik yang akan tampil di pentas. Karena itu, yang ia lakukan adalah ia memoles wajahnya sedemikian rupa. Jerawat-jerawat coba ia hilangkan dari pipinya. Dengan make up yang serba tebal, ia berharap bahwa jerawat-jerawat itu tidak akan tampak.

Untuk sementara, gadis itu berhasil menyembunyikan jerawat-jerawatnya. Ia mampu memukau para pengunjung acara itu. Ia mampu menarik perhatian mereka dengan sangat baik. Tepuk tangan sorak-sorai pun menuju ke arah gadis itu. Ia mendapatkan apa yang ia harapkan malam itu.

Namun setelah pulang ke rumahnya, gadis itu merenung tentang kebohongan yang telah ia lakukan. Ia menyadari bahwa ia tidak tampil dengan keasliannya. Ia telah mengelabui publik yang menyambutnya dengan sukacita. Ia merasa, kebohongan itu justru menyakiti hatinya. Ia tidak tampil apa adanya.

“Saya telah membiarkan ratusan orang percaya pada apa yang tidak sesungguhnya ada pada diri saya. Saya menyesal,” katanya.

Sahabat, manusia memang pandai memoles dirinya. Manusia pandai dalam menampilkan dirinya, meski tampil tidak dengan semestinya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi, karena manusia ingin menutupi kekurangan-kekurangannya. Manusia tidak mau orang lain menyaksikan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dirinya. Atau bisa jadi manusia tidak ingin mengecewakan orang lain.

Kisah di atas mau mengatakan bahwa gadis itu ingin menyenangkan orang lain. Ia tidak ingin orang lain menyaksikan kerut-kerut di pipinya, karena puluhan jerawat yang bercokol di sana. Ia ingin penampilannya tidak membuat orang lain kecewa. Namun ia kemudian kecewa. Ia merasa tidak tampil apa adanya. Ia telah membohongi publik. Tentu saja kesadaran seperti ini penting meski datangnya kemudian.

Pernahkah Anda memoles diri Anda? Rasanya kita semua pernah memoles diri kita. Caranya bermacam-macam. Ada yang memotong rambutnya sedemikian rupa sehingga kelihatannya aneh. Ia ingin tampil beda dengan yang lain. Ia tidak ingin menjadi makhluk yang sama dengan orang lain. Lantas orang akan menganggap situasi seperti itu situasi yang nyentrik.

Pertanyaan yang mendasar bagi kita adalah mengapa kita memoles diri kita? Ada banyak alasan. Namun satu hal yang penting adalah kita ingin tampil beda. Kita ingin menunjukkan identitas diri kita. Kita ingin mengatakan kepada orang lain bahwa kita mampu melakukan sesuatu yang spektakuler.

Namun tidak berarti kita mesti menyembunyikan identitas kita yang sebenarnya. Semestinya kita tampil apa adanya sebagaimana kita yang sebenarnya. Polesan hanya bisa menipu manusia. Namun sesungguhnya Tuhan melihat hati kita. Tuhan memperhitungkan yang ada di dalam hati manusia. Sebagai orang beriman, kita diajak untuk menampilkan diri apa adanya. Dengan demikian, kita mampu menghadirkan diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ