Pages

20 Februari 2012

Bertumbuh Selagi Masih Ada Waktu

Apa yang akan Anda lakukan dalam hidup, ketika Anda merasa sudah cukup? Anda diam saja? Atau Anda tetap menimba kebijaksanaan dari kehidupan sehari-hari?

Seorang pemuda mengatakan bahwa ia sering mengecewakan ibunya. Ia tidak menuruti nasihat-nasihatnya yang baik. Ia sering membohongi ibunya yang sudah lama menjanda itu. Padahal ibunya begitu baik kepadanya. Ibunya sangat mencintai dirinya. Ibunya selalu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Di usianya yang sudah tua, ibunya menderita komplikasi beberapa penyakit seperti darah tinggi, diabetes, kolesterol tinggi dan sakit lever. Kini ibu itu tidak bisa aktif seperti dulu. Tubuhnya yang dulu tegar sekarang tampak loyo, tak berdaya. Pemuda itu jatuh kasihan terhadap kondisi ibunya.

Karena itu, pemuda itu berusaha untuk merawat ibunya dengan baik. Ia merasa berhutang budi terhadap ibunya. Ia ingin membalas kebaikan ibunya. Saat inilah saat yang tepat untuk memberikan perhatian kepadanya. Ia tidak perlu membohongi ibunya lagi. Ia mesti mengurus ibunya dengan sebaik-baiknya.

Suatu hari, sang ibu yang dicintainya itu menghembuskan nafas terakhirnya. Ia meninggal dalam dekapan satu-satunya anak yang masih tinggal dengannya, yaitu pemuda itu. Ia menutup matanya dalam damai. Tidak ada pemberontakan. Ia merasakan kasih yang begitu dalam dari sang anak. Pemuda itu pun merasa terharu atas peristiwa itu. Ia telah mengantar kepergian ibunya untuk selama-lamanya dalam damai.

Sahabat, kasih seorang ibu tak terbatas. Setidak-tidaknya ini kasih seorang ibu yang normal. Ia tidak peduli terhadap tingkah laku anak-anaknya yang kurang baik terhadap dirinya. Ia bahkan mengampuni dosa-dosa anaknya. Atau bahkan ia tidak menganggap kenakalan mereka sebagai dosa dan kesalahan. Ia mudah melupakan dosa dan kesalahan mereka. Ia tidak menaruh dendam terhadap mereka.

Kisah di atas mengungkapkan betapa indahnya kasih ibu yang tak pernah lekang oleh waktu. Dalam kondisi fisik yang tidak baik lagi, ia masih mengasihi anaknya. Ia memberikan yang terbaik baginya hingga saat-saat terakhir hidupnya. Damai ia tinggalkan bagi sang anak yang setia menungguinya.

Kita hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Kita hidup bersama orang-orang yang terdekat yang kita kasihi. Apa yang kita rasakan dirasakan juga oleh mereka. Damai yang kita tampilkan dalam hidup kita juga dirasakan oleh sesama kita. Kita belajar hidup dari sesama kita.

Namun sering kita kurang mau belajar dari sesama kita. Kita merasa bahwa kita sudah mencapai kesempurnaan hidup ini. Kita merasa bahwa kita sudah mampu hidup dengan keadaan kita sekarang. Tentu saja sikap seperti ini merupakan suatu kesombongan. Ini suatu keangkuhan dari seorang manusia yang tak sempurna.

Kita mesti sadar bahwa kita adalah makhluk yang terbatas. Kita adalah makhluk yang tidak sempurna. Karena itu, kita mesti terus-menerus belajar dari kehidupan. Kebijaksanaan kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Kebijaksanaan tidak jatuh dari langit. Damai yang kita temukan itu tidak kita dapatkan dari dunia khayalan. Damai itu kita temukan dalam kebersamaan hidup sehari-hari.

Seorang bijak berkata, “Hai anakku, peliharalah perintah ayahmu, dan janganlah menyia-nyiakan ajaran ibumu. Tambatkanlah senantiasa semuanya itu pada hatimu, kalungkanlah pada lehermu. Jikalau engkau berjalan, engkau akan dipimpinnya. Jikalau engkau berbaring, engkau akan dijaganya. Jikalau engkau bangun, engkau akan disapanya. Karena perintah itu pelita, dan ajaran itu cahaya, dan teguran yang mendidik itu jalan kehidupan” (Amsal 6:20-23). Mari kita bangun hidup yang baik dan benar dalam hidup sehari-hari bersama sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

875

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.