Pages

31 Maret 2012

Berubah untuk Hidup yang Lebih Baik


Apa yang akan Anda lakukan, kalau ada banyak orang mengalami penderitaan karena perbuatan negatif Anda? Ada mau menikmatinya saja atau Anda mau berubah?

Ada seorang pemuda yang menggunakan hidupnya untuk menipu dan berbohong. Ia banyak kali menipu orang-orang. Sampai-sampai orang sekampung menjulukinya sebagai Raja Pembohong. Dengan menipu itu, pemuda itu meraup berbagai keuntungan material. Ia hidup foya-foya dengan hasil tipuannya itu.

Suatu hari ia jatuh sakit. Ia menderita suatu penyakit yang sangat kronis. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Ia sangat menderita oleh penyakit misterius itu. Ia sadar, saat-saat terakhir hidupnya sudah dekat. Karena itu, ia meminta teman-temannya untuk datang mendekat. Ia ingin menyampaikan sebuah wasiat kepada mereka.

Dengan nafas yang tersengal-sengal, pemuda itu berkata, "Maafkan aku, kalau aku selama ini suka berbohong dan menipu. Tetapi sekarang ajalku sudah mendekat. Tidak mungkin lagi aku berbohong. Aku menyimpan harta karun di dalam peti yang aku kubur di bawah pohon mangga di depan rumah.” Tidak lama kemudian, pemuda itu pun menghembuskan nafas terakhirnya.

Semua temannya segera menuju tempat yang disebutkannya dalam pesan terakhirnya. Mereka menggali dan benar, mereka menemukan sebuah peti. Tak sabar semua orang ingin melihat harta karun seperti apa yang disimpan oleh pemuda itu.

Ketika peti dibuka, ternyata hanya ada selembar kertas yang bertuliskan: "INI ADALAH KEBOHONGANKU YANG TERAKHIR KALI."

Sahabat, kita hidup dalam zaman yang menuntut banyak hal dari kita. Akibatnya, banyak orang mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Banyak orang merasa tidak mampu untuk menjalani hidup ini secara normal. Berbagai cara negatif pun mereka lakukan, asal mereka dapat meneruskan perjalanan hidup ini.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa kebohongan atau ketidakjujuran bukan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Kebohongan mesti diakhiri untuk membangun hidup yang lebih baik. Kebohongan hanya menumbuhkan rasa sakit hati. Kebohongan hanya meninggalkan beban mental bagi hidup.

Saat-saat ini kita menyaksikan terjadi banyak kebohongan publik. Ada berbagai rekayasa yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya bagi diri sendiri. Terakhir kita menyaksikan kebohongan publik mengenai subsidi BBM. Pihak pemerintah inginnya untung melulu. Sebaliknya, masyarakat banyak selalu menuai kebuntungan dalam hidup sehari-hari. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Akibatnya, banyak rakyat yang mengalami penderitaan dalam hidup. Kita menyaksikan begitu banyak anak yang mengalami gizi buruk. Kita menyaksikan ada begitu banyak generasi muda yang tidak mendapatkan pendidikan yang baik. Akibatnya, banyak terjadi kriminalitas dalam kehidupan kita sehari-hari.

Apa yang mesti kita lakukan untuk memperbaiki situasi yang bobrok seperti ini? Satu-satunya cara adalah dengan melakukan perubahan tingkah laku. Orang mesti sadar bahwa hal-hal jelek dan negatif yang mereka lakukan itu mengakibatkan penderitaan bagi sesamanya.

Untuk itu, orang mesti melakukan perubahan atas tingkah lakunya. Orang mesti berubah untuk hidup yang lebih baik. Mari kita berubah untuk membantu sesama kita memiliki hidup yang lebih baik. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk mengagungkan kehidupan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


885

30 Maret 2012

Tuhan Sumber Kebahagiaan Manusia



Dalam hidup ini, sebenarnya apa yang Anda cari? Harta kekayaan yang berlimpah? Atau hati yang penuh dengan harta rohani yang memberi kedamaian yang tahan zaman?

Tahun 1923, ada sebuah pertemuan penting di Hotel Edgewater Beach, Chicago, Amerika Serikat. Pesertanya adalah sembilan orang paling sukses di dunia keuangan. Mereka adalah orang-orang yang menemukan rahasia cara gampang untuk menumpuk uang.

Namun, apa yang terjadi dengan sembilan orang ini puluhan tahun kemudian? Charles Schwab adalah seorang direktur perusahaan baja yang kaya. Namun ia meninggal dalam kebangkrutan. Lima tahun sebelum kematiannya, dia hidup dengan banyak hutang.

Samuel Insuli adalah direktur perusahaan alat rumah tangga. Ia mati sebagai buronan hukum dan hidup miskin di luar negeri. Howard Hopson adalah direktur perusahaan gas terbesar yang menjadi gila.

Arthur Cotton adalah pedagang tepung gandum. Ia mati di luar negeri dalam keadaan pailit. Richard Whitney adalah seorang direktur bursa saham New York. Ia menghabiskan waktu di penjara Sing-Sing yang terkenal itu. Albert Fall adalah anggota kabinet Presiden yang akhirnya dibebaskan dari penjara supaya bisa meninggal di rumah.

Jesse Livermore, "beruang" terbesar di Wall Street, tetapi mati bunuh diri. Ivan Krueger adalah pemegang monopoli yang mati bunuh diri. Leon Fraser adalah direktur Bank International Settlements yang mati bunuh diri.

Sembilan orang ini tahu cara mengumpulkan uang, tetapi tidak tahu bagaimana harus hidup. Pertanyaannya, mengapa mereka mesti mengakhiri hidup mereka secara tragis? Jawabannya adalah harta kekayaan itu tidak memberikan jaminan kebahagiaan bagi hidup mereka.

Sahabat, apa yang bisa kita petik dari kisah di atas? Yang bisa kita petik adalah bahwa manusia hidup dalam situasi dunia yang tidak mudah. Ada berbagai tuntutan hidup yang mesti kita penuhi. Kalau kita tidak mampu mengelola hidup kita dengan baik, hidup kita pun akan berakhir secara tragis.

Sembilan orang dalam kisah di atas sering menyembah "pemberian" itu, bukannya menyembah Sang Pemberi. Jika Anda punya berkat berlebih, jangan melupakan orang-orang yang berkekurangan. Percayalah, di sana Anda akan bertemu Tuhan.

Banyak orang mencari kebahagiaan dalam uang, harta, pernikahan dan karir. Namun akhirnya mereka gagal. Kebahagiaan tidak mereka temukan. Mengapa? Karena yang mereka andalkan adalah kemampuan diri mereka sendiri. Mereka tidak menyertakan Tuhan dalam usaha-usaha mereka.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mengandalkan Tuhan dalam hidup ini. Tuhan membantu kita untuk mengelola hidup kita dengan baik dan benar. Marik kita berusaha menyertakan Tuhan dalam usaha-usaha kita membahagiakan diri dan sesama. Dengan demikian, hidup ini menjadi indah dan berguna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

884

29 Maret 2012

Membangun Persahabatan dalam Hidup

Selama ini, apakah Anda punya seorang sahabat sejati? Apa yang Anda dapatkan dari sahabat sejati itu? Tentu saja ada begitu kebaikan yang Anda peroleh dalam menjalin persahabatan.

Ada seorang pemuda yang merasa seolah-olah hari-hari hidupnya ini dilalui sendirian. Ia berusaha untuk menemukan seorang sahabat, tetapi ia merasa selalu ditolak. Namun pemuda ini tidak putus asa. Ia punya harapan bahwa kalau ia punya usaha dan keyakinan, tidak lama lagi ia akan menemukan seorang sahabat yang sejati.

Benar. Pemuda itu tidak usah menunggu terlalu lama. Dalam situasi demikian, ia menemukan seorang sahabat yang senantiasa menemani dirinya. Dialah seorang gadis dari desanya. Seorangg gadis sederhana yang mau mendengarkan keluh kesah pemuda itu. Gadis itu membuka hatinya, agar pemuda itu dapat menyandarkan harapan padanya.

Hari-hari hidup pemuda itu pun penuh dengan sukacita. Ia bergembira bahwa ada seorang sahabat yang mau berbagi suka dan duka dengan dirinya.

Sahabat, Anda pernah mendengar lagu Lean On Me? Salah satu lirik lagu ini adalah lean on me, when you’re not strong and I’ll be your friend. Artinya, bersandarlah padaku, ketika engkau sedang lemah dan aku akan menjadi sahabatmu. Lagu ini mengungkapkan tentang kebaikan seorang sahabat. Lagu ini menampilkan hati seorang sahabat yang selalu mau terbuka terhadap sesamanya.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa manusia membutuhkan sahabat. Tentu sahabat yang tidak hanya menguntungkan bagi dirinya sendiri. Tetapi sahabat yang saling mengisi hidup. Gadis dalam kisah tadi menyediakan hatinya bagi curahan hati pemuda itu. Ia ingin agar hatinya menjadi tempat yang nyaman bagi sesamanya. Hati yang dipenuhi dengan belas kasih. Menjadi sahabat berarti menaruh kasih setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaran.

Untuk itu, dibutuhkan hati yang jujur dan murni. Hati yang seperti ini senantiasa menawarkan kebaikan bagi sesama. Hati yang tidak mementingkan diri sendiri. Tentu saja tidak mudah kita jumpai orang yang punya hati seperti ini. Mengapa? Karena manusia lebih mementingkan dirinya sendiri. Bahkan tidak jarang kita menyaksikan ada sahabat karib yang kemudian saling membantai. Hal itu terjadi karena mereka hanya mengandalkan diri sendiri.

Ketika ada sahabat yang menderita atau mengalami kesulitan dalam hidup, yang lain melarikan diri. Tidak menyediakan dirinya sebagai tempat bersandar. Tentu saja ini bukan sahabat yang sejati. Ini sahabat yang oportunis yang mencari kesempatan baik bagi dirinya sendiri saja.

Karena itu, kita diajak untuk senantiasa membangun persahabatan yang baik dan benar. Caranya adalah dengan menyediakan diri sebagai tempat bersandar bagi sesama kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi sesuatu yang indah. Hidup ini menjadi kesempatan untuk mengagungkan Tuhan dalam hidup kita. Mengapa? Karena Tuhan hadir dalam diri sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


883

27 Maret 2012

Menghadapi Masalah Hidup Bersama Tuhan

Apa yang menjadi penghalang bagi Anda untuk maju? Ketika Anda menghadapi persoalan hidup, apa yang akan Anda lakukan? Anda terpuruk dalam persoalan itu? Atau Anda bangkit untuk menghadapinya bersama Tuhan?

Namanya adalah Roger Crawford. Ia bekerja sebagai konsultan dan pembicara motivator bagi banyak perusahaan fortune 500 di penjuru Amerika. Ketika masih di universitas, ia adalah pemain tenis untuk Marymount Layola University dan menjadi pemain tenis profesional.

Roger dilahirkan dengan kondisi yang disebut ectrodactylism. Ketika masih dalam kandungan, dokter hanya melihat seperti ada jari jempol keluar dari lengan kanannya dan jari-jari tumbuh di lengan kirinya. Namun ia tidak memiliki telapak tangan. Kaki kirinya terus menyusut hanya memiliki tiga jari. Kaki ini diamputasi saat ia berumur lima tahun. Orangtuanya diberitahu bahwa Roger tidak akan pernah memiliki kehidupan yang normal

Namun orangtua Roger tidak menyerah. Mereka membentuk Roger menjadi manusia normal dan mengajarinya hidup mandiri. Ketika Roger telah siap, ia disekolahkan di sekolah umum. Mereka mengajarinya berpikir positif. Jadilah Roger seorang pribadi yang positif.

Roger tidak membiarkan kekurangannya menghambatnya untuk berhasil. Ia menjalani hidupnya dengan maksimal, karena ia mempercayai bahwa Tuhan memberikan kelebihan unik dalam dirinya di balik semua kekurangan yang ada dalam dirinya.

Sahabat, banyak orang sering merasa ada berbagai penghalang yang menghambat hidup mereka. Karena itu, begitu ada tantangan yang menghadang, hati mereka menciut. Mereka tidak berani menghadapi tantangan hidup itu. Yang mereka inginkan adalah hidup yang mulus tanpa kesulitan.

Kisah Roger tadi memberi kita suatu inspirasi bahwa cacat bukanlah akhir dari segala-galanya. Ketika kita mengalami kesulitan dalam hidup, yang mesti kita lakukan adalah berani menghadapi kesulitan itu. Dengan berani menghadapinya, kita mampu menemukan solusi atas kesulitan-kesulitan itu. Ketika kita tidak berani menghadapi kesulitan hidup, kita akan tumbuh menjadi orang yang tidak kreatif. Kita tidak punya strategi yang baik untuk mengatasi kesulitan hidup kita.

Tentu saja kita juga mesti memiliki iman yang teguh kepada Tuhan. Iman itu memberi kita motivasi untuk menghadapi berbagai kesulitan yang kita hadapi. Iman itu menjadi cahaya bagi kita dalam kegelapan. Beriman berarti menyerahkan hidup kepada Tuhan. Beriman berarti membiarkan Tuhan masuk ke dalam hidup kita. Dengan demikian, kita mampu menyelesaikan persoalan-persoalan hidup kita sesuai dengan kehendak Tuhan.

Mari kita tetap berani memperjuangkan hidup ini dalam situasi apa pun. Bagi kita, hidup ini sangat berharga. Hidup ini menjadi kekuatan yang membawa damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

882

26 Maret 2012

Memaknai Kesementaraan dalam Hidup


Di mata Anda, apa makna harta kekayaan bagi hidup Anda? Apakah harta kekayaan itu segala-galanya? Atau harta kekayaan itu hanya sementara yang bisa hilang setiap saat?

Ada seorang pengembara tiba di sebuah negeri di Timur Tengah. Orang ini mendengar ada seorang bijaksana di negeri itu. Ia sangat ingin menemui orang bijak itu. Pria bijaksana itu dikenal saleh dan baik hati, sehingga sangat dikasihi banyak orang. Untuk itu, tidak sulit menemukan pria bijaksana itu. Ketika pengembara itu bertanya di mana rumahnya, setiap orang yang ditemuinya langsung menunjuk ke arah ujung perkampungan di mana berdiri sebuah gubuk reyot.

Ketika ia mengetuk pintu gubuk itu, muncul seorang pria tua yang mempersilahkan ia masuk. Pengembara itu sangat terkejut mendapati bahwa pria bijaksana itu tinggal di gubuk reyot. Isi rumahnya hanya sebuah meja, sebuah kursi, satu kompor dan alat memasak saja.

Karena merasa tidak nyaman, pengembara itu bertanya, “Di mana perabot rumah Anda?”

Orang bijak itu balik bertanya dengan lembut, “Mana milik Anda?”

Pengembara itu menjawab, “Tentu saja di rumah saya. Kan saya sedang merantau. Tidak mungkin saya membawa perabotan saya.”

Sambil tersenyum, orang bijak itu berkata, “Saya juga. Saya kan sedang merantau di dunia ini.”

Pengembara itu tidak bisa berkata apa-apa. Ia tercengang mendengar kata-kata orang bijak itu.

Sahabat, sering kita merasa bahwa kita adalah pemilik dunia ini. Padahal kita hanyalah diberi pinjaman oleh Sang Pemilik, yaitu Tuhan untuk menggunakan hal-hal duniawi untuk kehidupan kita. Kita hanyalah pengembara yang bepergian ke mana-mana. Namun kita tetap dimiliki oleh Tuhan yang empunya kehidupan ini.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa kita mesti sadar akan perjalanan hidup kita di dunia ini. Yang mesti kita lakukan bukan menumpuk harta yang berlimpah-limpah untuk kehidupan kita. Yang mesti kita utamakan dalam hidup adalah mewujudkan iman kita. Caranya adalah dengan membagikan apa yang kita miliki untuk sesama yang sangat membutuhkan.

Orang yang hanya berpikir tentang mengumpulkan harta kekayaan hanyalah sibuk dengan dirinya sendiri. Akibatnya, orang menjadi resah, ketika harta kekayaannya berkurang atau hilang. Orang menjadi begitu posesif, sehingga tidak mampu lagi mengarahkan hidup bagi sesama.

Karena itu, orang beriman mesti selalu sadar bahwa pengembaraan di dunia ini akan berakhir. Hidup di dunia ini tidak ada yang abadi. Harta kekayaan akan lenyap, karena tidak bersifat kekal. Harta kekayaan tidak menjamin keselamatan jiwa-jiwa. Harta kekayaan hanyalah sarana bagi manusia untuk hidup lebih baik di bumi ini. Dengan demikian, manusia memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal baik bagi sesama.

Mari kita sadari bahwa kita hanyalah pengembara di dunia ini. Dengan demikian, kita mampu mengorbankan hidup bagi sesama yang membutuhkan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


881

23 Maret 2012

Berani Keluar dari Kunkungan Egoisme


Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda merasa hasil yang Anda capai kurang dihargai? Anda putus asa untuk melajutkan karya-karya Anda? Atau Anda bangkit kembali untuk meretas kesuksesan dalam hidup Anda?

Ada seorang gadis muda yang sangat suka menari. Kepandaiannya menari sangat menonjol dibanding dengan rekan-rekannya, sehingga dia sering menjadi juara di berbagai perlombaan. Dia berpikir, dengan apa yang dimilikinya saat ini, suatu saat nanti dia ingin menjadi penari kelas dunia. Dia membayangkan dirinya menari di Rusia, Cina, Amerika, Jepang, serta ditonton oleh ribuan orang yang memberi tepukan kepadanya.

Suatu hari, di kotanya dikunjungi oleh seorang pakar tari yang berasal dari luar negeri. Pakar ini sangatlah hebat. Dari tangan dinginnya telah banyak dilahirkan penari-penari kelas dunia. Gadis muda ini ingin sekali menari dan menunjukkan kebolehannya di depan sang pakar tersebut. Kesempatan itu datang juga. Gadis muda itu berhasil menjumpai sang pakar di belakang panggung, seusai sebuah pagelaran tari.

”Pak, saya ingin sekali menjadi penari kelas dunia. Apakah Anda punya waktu sejenak, untuk menilai saya menari? Saya ingin tahu pendapat Anda tentang tarian saya,” pinta si gadis muda itu.

”Oke, menarilah di depan saya selama 10 menit,” kata pakar tari itu.

Belum sepuluh menit berlalu, sang pakar berdiri dari kursinya. Serta merta ia meninggalkan gadis muda itu begitu saja. Betapa hancur hati gadis muda itu melihat sikap sang pakar. Gadis itu langsung berlari keluar. Pulang ke rumah, dia langsung menangis tersedu-sedu.

Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada apa-apanya di hadapan sang pakar. Kemudian dia ambil sepatu tarinya dan dia lemparkan ke dalam gudang. Sejak saat itu, dia bersumpah tidak pernah akan menari lagi. Belakangan, gadis muda itu tahu kalau sang pakar itu meninggalkan dirinya, karena ia menari begitu indah.

Sahabat, orang yang gampang patah semangat mudah menemukan jalan buntu dalam hidupnya. Orang seperti ini biasanya tidak kreatif dalam hidupnya. Apa yang akan dikerjakannya selalu serba salah. Tentu saja situasi seperti ini tidak baik bagi pertumbuhan seseorang dalam hidupnya.

Kisah di atas mengatakan kepada kita bahwa orang mesti berani berusaha terus-menerus untuk meraih impian. Orang tidak boleh berhenti berusaha hanya karena tidak mendapatkan pujian dari sesamanya. Pujian itu sering melumpuhkan orang untuk meretas hidup yang lebih baik. Orang hanya terpaku pada prestasi yang diraihnya. Orang tidak mudah untuk melangkahkan kaki demi sesuatu yang lebih baik lagi.

Orang beriman mesti tidak boleh terpaku pada prestasi-prestasi yang telah diraihnya. Orang beriman mesti maju terus untuk memiliki hidup yang lebih baik lagi. Untuk itu, dibutuhkan suatu ketahanan dalam usaha untuk meraih hidup yang lebih baik. Orang mesti berani keluar dari kungkungan egoismenya. Orang mesti berani meninggalkan keinginan-keinginan pribadi untuk menjadi terkenal.

Mari kita berusaha untuk terus-menerus meraih hidup yang lebih baik dengan tidak mudah puas atas apa yang telah kita raih. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi semua orang. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


880

Inspirasi Kehidupan: Biji Gandum yang Mati


"Aku berkata kepadamu: sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah" (Yoh. 12:24).

Peristiwa kematian Yesus yang tragis bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan terjadi dalam suasana emosional penuh antipati terhadap Yesus. Kematian Yesus telah diberitakan oleh Sang Guru yang telah mondar-mandir dari Galilea ke Yerusalem memberitakan kehadiran Kerajaan Allah. Bahkan peristiwa itu sudah diramalkan jauh-jauh hari sebelumnya oleh Nabi Yesaya dalam pasal terkenal mengenai Hamba Allah yang Menderita.

Ketika Philipus dan Andreas datang menghadap Yesus untuk menyampaikan keinginan orang-orang Yunani untuk bertemu dengan Yesus, Sang Guru cinta kasih itu memberikan jawaban yang lain. Sebuah jawaban yang berkenaan dengan eksistensi dirinya di dunia ini. “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan," katanya. Kemulian yang diperoleh Yesus berkat relasi istimewa dengan Bapa-Nya.

Dalam relasi itu Yesus menyerahkan diri kepada Bapa secara total dan Bapa-Nya menerimanya secara utuh pula. Relasi itu pula memampukan Yesus mengejawantahkan penyerahan dirinya dalam pola yang sangat manusiawi. Ia mengalami kegelapan maut sama seperti manusia lainnya. “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja, tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” Yesus, sang biji gandum itu, merelakan dirinya membusuk di dalam tanah tempat berpijaknya manusia demi kehidupan bagi banyak orang. Dia gugur di tangan bangsanya sendiri yang ironisnya sedang menantikan kedatangan sang Mesias.

Perjalanan panjang yang dilalui Yesus sejak masa kanak-kanak-Nya yang bahagia di Nazareth seolah-olah sirna ditelan sebuah kesia-siaan. Yesus seolah-olah mengalami jalan buntu di puncak tengkorak nan ngeri. Ia terjerembab tak berdaya menghadapi serbuan tinju dan hempasan pecut dari para algojo.

Penyerahan diri Yesus sampai titik darah terakhir di kayu salib mengisyaratkan terpenuhinya sabda-Nya di atas. Penyerahan itu bukan pertama-tama berdasarkan atas pamrihnya terhadap Bapa, tetapi lebih-lebih sebagai wujud nyata kasih setia-Nya kepada Allah dan manusia. "Sarungkan pedangmu itu; bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepadaKu?" kata Yesus kepada Petrus yang membabi buta memotong telinga salah seorang serdadu di taman Getsemani (Yoh. 18:11). Suatu pernyataan yang mencerminkan keradikalan Yesus menanggapi kehendak Allah. Meminum cawan yang diberikan Bapa adalah komitmen Yesus yang tidak dapat dihalangi oleh manusia yang takut dan ingin mencari keselamatannya sendiri.

Nubuat biji gandum yang mati membawa konsekuensi bagi Yesus untuk menyerahkan diri dalam kesetiaan yang penuh melayani sesama manusia. Yesus masuk dalam solidaritas dengan penderitaan manusia yang tertatih-tatih di bumi fana ini - karena penindasan, pemerkosaan hak-hak hidup, korupsi, manipulasi dan intimidasi dari sesama manusia yang memiliki kuasa - menuju terang yang sejati. Solidaritas yang bersumber dari Bapa itu memampukan Yesus memanggul salib melintasi jalanan berbatu tajam-tajam menuju puncak kemenangan yang gilang-gemilang.

Dia Tuhan yang mati di salib justru menghidupkan dan memberikan harapan kepada dunia akan suatu damai sejahtera yang langgeng dan yang tak lekang retas oleh karatnya jaman. Manusia boleh menikmati suatu damai dari Allah sendiri yang tetap bertahan hingga akhir zaman.

Dewasa ini: Masih Adakah Biji Gandum yang Mau Mati?

Tak dapat disangkal dalam dunia kita dewasa ini banyak orang berupaya mengejar kehidupan yang lebih baik. Berbagai macam usaha, dari yang kecil hingga yang besar, dari yang halal hingga yang tidak halal, ditumbuhsuburkan. Orang menyadari betapa pentingnya makna dan nilai kehidupan bagi manusia, sehingga orang pun rela bersaing untuk suatu cita-cita yang mulia.

Kehidupan yang aman tentram lahir batin telah memacu manusia untuk memperjuangkan nilai-nilai kehidupan. Manusia berlomba-lomba merebut posisi yang baik dalam masyarakat. Manusia ingin memperoleh kesejahteraan dan kehormatan yang dapat mempengaruhi sesamanya.

Namun tidak jarang pula kita temukan bahwa kemapanan dan kesejahteraan di dunia telah memacu orang untuk saling menjegal, bahkan di antara sesama saudara sendiri. Individualisme dan kapitalisme yang bertentangan dengan semangat Injil bertumbuh subur bagai cendawan di musim hujan sebagai pengejawantahan sikap ingin menciptakan kesejahteraan bagi diri sendiri. Mereka terlelap dalam arus cinta diri berlebihan. Orang kurang memedulikan sesamanya yang jatuh terjerembab dalam kemiskinan dan kenistaan karena kalah bersaing.

Pertanyaan selanjutnya kepada dunia kita dewasa ini adalah masih adakah biji gandum yang mau mati untuk menghasilkan banyak buah? Masih adakah manusia yang tanpa pamrih memperjuangkan hak-hak hidup sesama manusia yang hancur karena penindasan, represi dan tindakan sewenang-wenang?

Sikap mau melayani sesama manusia mesti diiringi dengan sikap pengorbanan diri bagi kepentingan sesama. Artinya, o-rang merelakan sebagian dari dirinya untuk hidup sesama. Orang mau berjuang sampai titik darah penghabisan bagi kembalinya martabat manusia yang diinjak-injak oleh semangat egoisme berlebihan.

Yesus, sang biji gandum sejati, telah menunjukkan sikap pengorbanan diriNya bagi kepentingan manusia. Biji gandum itu mati di tanah manusia yang penuh dengan penindasan untuk mengembalikan martabat manusia kepada Allah yang hilang akibat pembangkangan manusia. Sikap tidak setia manusia dibalas dengan kesetiaan Yesus kepada kehendak Bapa. Dengan kesetiaan Yesus itu manusia diselamatkan. Manusia masuk dalam arus karya keselamatan yang dibawa oleh Yesus. “Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar” (Rom 5:19).

Hal yang sangat mendesak bagi kita sekarang adalah mengembangkan penyerahan diri kepada Allah sebagai pernyataan kesetiaan kita kepada Allah. Tantangan dunia modern semakin gencar menghadang kita, yaitu agar kita meninggalkan iman akan Kristus, hendaknya membuka mata hati kita untuk tetap menatap Yesus yang tergantung di salib. Di sana, di atas kayu salib itu kita dapat menimba buah dari biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati itu. “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (Fil. 1:29). Pengorbanan diri kita sungguh-sungguh didasari oleh semangat penyerahan diri Yesus kepada Bapa dan manusia. **



Frans de Sales, SCJ

(1)

18 Maret 2012

Aku Cinta Kamu

Oleh
Pastor Felix Supranto, SS.CC

Malam itu jalan raya di Tangerang lengang. Aku dengan antusias merayakan Misa Requiem untuk memperingati empat puluh hari seorang nenek yang luar biasa. Senyuman ramah dari umat yang datang melenyapkan kelelahan setelah sebelumnya menjadi nara sumber dalam Raker Bimas Katolik Banten yang diikuti oleh beberapa pastor dari Dekenat Tangerang Keuskupan Agung Jakarta dan Dekenat Barat Keuskupan Bogor pada tanggal 06 Maret 2012. Menanamkan penghayatan Ekaristi sejak kanak-kanak sehingga mereka mempunyai semangat berbagi merupakan program yang harus dihidupi.

Semangat berbagi itu ada dalam diri nenek yang dipanggil Tuhan pada usia delapan puluh lima tahun itu. Pengabdian merupakan semangat hidupnya. Berbagi dan terus berbagi menjadi ciri khasnya. Dalam keadaan susah dan senang, ia terus berbagi. “Jangan menjarah milik Tuhan” merupakan keyakinannya. Tuhan memberikan anugerah kepadanya. Seorang pria kaya, penjual kaset piringan hitam, menikahinya. Perkawinan mereka dikaruniai dua anak perempuan.

Pada saat kaya, nenek ini sangat murah hati/dermawan kepada siapa yang membutuhkan pertolongannya. Banyak anak-anak dari saudara-saudaranya di luar kota yang tidak mampu dibawanya ke Jakarta untuk disekolahkan sampai memperoleh pendidikan yang layak. Ia tahu betapa pentingnya pendidikan, walaupun dirinya sendiri buta aksara. Ketika suaminya tiada, hartanya mulai berkurang dan terus berkurang. Walaupun begitu, hatinya tetap senantiasa mengalirkan kebaikan. Ia menjual apa saja yang masih ada, termasuk peniti emas kebanggaannya, untuk menghidupi anak-anaknya dan membantu sesama yang kekurangan. Meskipun pada masa tuanya tidak lagi mempunyai harta dunia yang diunggulkan, ia mendapatkan karunia harta surgawi, harta yang tidak bisa lenyap, yaitu iman akan Tuhan Yesus. Setelah menjadi seorang Katolik, ia selalu berdoa jam tiga siang. Hatinya sangat gembira ketika ia diberitahu bahwa jam tiga siang merupakan saat Yesus wafat. Ia menyatakan kegembiraan imannya yang mendalam walaupun ia buta pengetahuan: “Aku gembira karena selama ini aku ternyata berdoa bersama Bunda Maria di bawah kaki Yesus di salib”. Nenek ini memang buta aksara, tetapi ia tidak buta iman dan hati nuraninya, sehingga kedua anak dan ketiga cucunya sangat bangga dengannya. Ia pun dianugerahi Tuhan dengan diperkenankan menghadap Bapa di Surga pada hari Jumat, hari wafatnya Tuhan, 27 Januari 2012 lalu.

Sukacita sejati bukan sukacita karena uang yang mengalir deras memenuhi depositonya. Sukacita karena menumpuknya uang bagaikan sebuah balon yang ditiup. Semakin ditiup, balon itu semakin membesar dan bisa melayang, tetapi besarnya balon hanya berisi angin saja. Pada waktunya balon itu akan meledak sampai menghancurkan dirinya tanpa bekas. Ia habis dengan sia-sia. Sukacita sempurna didapatkan dengan menghidupi Tema Minggu Prapaskah keempat, yaitu Minggu Laetare (Bersukacita). Sukacita yang sempurna didapatkan dengan mengisi hidupnya dengan iman. Sukacita iman adalah sukacita yang bukan berasal dari dunia, tetapi suka cita yang diwariskan oleh senyuman Allah yang sabar dan penuh kasih. Sukacita yang tidak terlihat sebagai sukacita, tetapi terasa sebagai sukacita. Sukacita iman adalah sukacita cinta: “Arti cintaku untukmu. Aku cinta kamu.... berarti aku sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah kamu dan kita. Aku menghambakan dan menghampakan hatiku hanya untukmu. Aku tetap ada, tetapi ada hanya untukmu”. Sukacita cinta dialami melalui pengorbanan dan pemberian diri, yaitu mau menjadi Hosti yang diambil, diberkati, dipecah-pecah, dan dibagi dalam konsekrasi. Karena itu, yang mencintai Tuhan dan sesama dengan menanggung dukacita sebagai resikonya akan bersukacita: “Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! Bergiranglah bersama-sama dia segirang-girangnya, hai semua orang yang berkabung karenanya!” (Yesaya 66:10). Tuhan memberkati.

Sumber: Warta RC Tahun V Edisi 48

Renungan Hari Ini 879

Ketika Anda menghadapi tantangan dalam hidup, apa yang Anda lakukan? Anda putus harapan? Atau Anda berjuang untuk mengatasinya?

Ada seorang gadis yang ingin sekali melihat danau tiga warna di gunung Kelimutu, Flores Tengah. Untuk bisa melihat ketiga danau ini secara serempak, ia harus mendaki hingga tempat tertinggi. Soalnya adalah gadis ini menderita penyakit asma. Ia mengalami kesulitan untuk mendaki ratusan tangga yang terbentang di hadapannya. Apalagi udara sangat dingin di pagi hari menerpa tubuhnya. Ia cemas kalau-kalau penyakit asmanya kumat.

Karena itu, ia berhenti di tengah-tengah. Ia tidak mau melanjutkan pendakian. Ia tidak mau ambil resiko. Apalagi nafasnya sudah terengah-engah. Ia pun duduk sambil menikmati indahnya dua danau yang berdekatan, yaitu danau berwarna hijau dan biru. Namun kemudian muncul keinginan dalam dirinya untuk melangkahkan kaki lagi menuju puncak. Ia tidak mau menghabiskan waktu hanya duduk di tangga itu.

Ia pun berdiri. Dalam hati ia berkata, “Saya harus mengalahkan ketakutan yang ada dalam diri saya. Saya mesti berani untuk naik sampai ke puncak. Mungkin danau berwarna hitam itu menyimpan misteri yang perlu saya ketahui.”

Langkah-langkah kakinya pun menembus tangga-tangga yang ada di hadapannya. Di saat ia merasa capek, ia pun berhenti. Ia membiarkan dirinya diterpa angin dingin di pagi hari itu. Lantas ia melanjutkan lagi perjalanannya. Ia pun melewati semua anak tangga hingga puncak. Di sana ia menikmati indahnya danau berwarna hitam yang tenang. Ia berusaha untuk menghirup udara pagi yang segar.

Sahabat, apa yang akan Anda lakukan ketika Anda mengalami kesulitan dalam hidup? Tentu Anda berusaha untuk mencari jalan keluar. Anda tidak mau tenggelam dalam kesulitan-kesulitan itu. Anda mesti bangkit dari kesulitan-kesulitan itu dengan cara menemukan solusi-solusi terbaik.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa ketika orang takut terhadap dirinya sendiri, orang tidak akan bisa maju dalam hidupnya. Kebahagiaan hanyalah fatamorgana yang hampa. Keberhasilan dalam hidup hanyalah sebuah angan-angan yang sulit menjadi kenyataan.

Orang yang mau berusaha dengan menghadapi tantangan-tantangan akan menuai keberhasilan. Harapan untuk meraih kesuksesan dalam hidup bukan hanya sebuah dambaan kosong. Namun harapan itu menjadi kenyataan ketika orang berani menguasai rasa takut dalam dirinya. Tantangan bukan menjadi sesuatu yang mesti ditakuti. Justru tantangan-tantangan itu menjadi motivasi untuk meraih kesuksesan dalam hidup.

Sebagai orang beriman, tentu kita tidak mau berjuang sendirian di kala menghadapi berbagai tantangan. Kita ingin bekerja bersama Tuhan dalam mengatasi berbagai persoalan hidup ini. Karena itu, kita diajak untuk senantiasa membuka hati kita lebar-lebar bagi rahmat Tuhan. Kita mesti meminta pertolongan Tuhan, ketika hidup ini terasa kurang menyenangkan. Dengan demikian, kita memiliki semangat dalam meraih kesuksesan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


879

17 Maret 2012

Menghargai Partner Kerja Kita

Apa yang Anda banggakan dari partner kerja Anda? Kesuksesannya atau ketrampilannya? Banyak penggemar sepakbola tidak asing lagi dengan Ryan Giggs. Ia adalah gelandang Manchester United yang telah berusia 38 tahun. Meski umurnya sudah tua untuk ukuran dunia olahraga sepakbola, tetapi Ryan Giggs masih menampilkan kepiawaiannya dalam menggocek bola. Umpan-umpannya yang akurat dapat menjadi makanan empuk bagi para penyerang Manchester United seperti Wayne Rooney, Berbatov dan Javier ‘Chicarito’ Hernandez.

Meski memiliki talenta yang selangit dalam sepakbola, Ryan Giggs tetap rendah hati. Ia tetap berlatih keras. Ia disiplin dalam latihan-latihan. Ia tidak membesar-besarkan kehebatannya dalam mengolah bola. Bahkan ia tidak segan-segan memuji kehebatan penyerang baru Manchester United bernama Chicarito.

Tentang pemain muda asal Mexico ini, ia mengatakan Chicharito memiliki kesamaan dengan legenda klub itu, Ole Gunnar Solskjaer, yaitu pemain pelapis yang tidak tampil mengecewakan kapan pun diberi kesempatan. Kenyataannya, Chicarito yang baru bergabung dengan MU pada akhir musim lalu telah menorehkan sejumlah prestasi. Di Liga Champions dan Premier League, ia telah bermain sebanyak 29 kali, dengan 15 di antaranya sebagai pengganti. Ia telah mencetak 15 gol bagi klubnya.

Giggs berkata, "Dalam sesi latihan pramusim, Chicarito tampak seperti orang yang lahir untuk mencetak gol. Ia sama dengan Ole dalam hal mencetak gol penting dan selalu ingin mencetak gol penting."

Bagi Giggs, permainan Chicarito berdampak besar bagi tim, karena Wayne Rooney bisa mendapat ruang di belakangnya. Hal itu memberi Wayne Rooney ruang untuk bermain dan menciptakan penampilan maksimal.

Ia memberi kesimpulan, "Jadi, Chico sangat penting. Tidak hanya karena gol-golnya, tetapi penampilan keseluruhan sebagai bagian tim. Ia menyedot perhatian lawan dan itu bagus untuk pemain (MU) yang ada di belakangnya, karena itu memberi mereka ruang untuk bermain."

Sahabat, pernahkah Anda memuji kehebatan partner Anda dalam bekerja? Memuji kehebatan partner kita dalam bekerja berarti kita sungguh-sungguh menghargainya. Ia bukan sekedar sosok pekerja. Tetapi ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari tim kita.

Kisah tadi menggambarkan keberhasilan sebuah tim yang bekerja bersama-sama. Ryan Giggs yang sangat berpengalaman dalam bermain sepakbola tidak menyelepelekan rekan satu timnya. Ia memujinya. Ia memberikan penghargaan yang tinggi. Pertama-tama bukan karena kehebatan rekannya yang lebih yunior itu. Tetapi pertama-tama karena kebersamaan dalam tim telah menghasilkan kesuksesan yang gemilang.

Sering banyak orang merasa bisa bekerja sendiri. Orang merasa seolah-olah teman satu timnya hanyalah pengganggu pekerjaannya. Karena itu, orang mudah menyingkirkan rekan satu timnya. Orang menganggap rekannya yang bekerja dengan baik sebagai musuh yang mesti disingkirkan. Tentu saja sikap seperti ini adalah sikap yang keliru. Orang yang mau maju mesti berani untuk bekerja bersama sebagai sebuah tim yang mampu menghasilkan sesuatu yang spektakuler.

Dalam kehidupan bersama kita membutuhkan kehadiran sesama. Bukan hanya sekedar hadir. Tetapi sesama menjadi bagian dari kehidupan kita. Mereka adalah partner yang mampu membawa hidup kita ke arah yang lebih baik dan sukses. Karena itu, mari kita menyadari pentingnya kehadiran partner kerja kita. Dengan demikian, kita dapat menghasilkan sesuatu yang berguna bagi kehidupan bersama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

878