Pages

19 Juni 2012

Menumbuhkan Cinta yang Tulus

Apa yang akan Anda lakukan kalau orang yang sangat Anda cintai mengalami duka dan derita dalam hidupnya? Anda meninggalkannya sendirian, atau anda mengorbankan hidup Anda bagi dia?

Robertson MCQuilkin mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai Rektor di Universitas Internasional Columbia dengan alasan ingin merawat istrinya, Muriel. Sang istri menderita sakit Alzheimer, yaitu gangguan fungsi otak. Muriel seperti bayi, tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk makan, mandi dan buang air pun ia harus dibantu.

Robertson memutuskan untuk merawat istrinya dengan tangannya sendiri, karena Muriel adalah wanita yang sangat istimewa baginya. Suatu kali Robertson membersihkan lantai bekas ompol Muriel. Di luar kesadarannya, Muriel malah menyerahkan air seninya sendiri kepada suaminya. Robertson tiba-tiba kehilangan kendali emosinya. Ia menepis tangan Muriel dan memukul betisnya untuk menghentikannya.

Setelah itu, Robertson menyesal. "Apa gunanya saya memukulnya? Walaupun tidak keras, tetapi itu cukup mengejutkannya. Selama 44 tahun kami menikah, saya belum pernah memukulnya karena marah. Namun kini di saat ia sangat membutuhkan saya, saya memperlakukannya demikian. Ampuni saya, Tuhan," ia berkata dalam hatinya.

Lalu tanpa peduli apakah Muriel mengerti atau tidak, Robertson meminta maaf atas hal yang telah dilakukannya. Robertson dan Muriel menikah pada 14 Februari 1948. Pada hari istimewa itu Robertson memandikan Muriel. Lantas ia menyiapkan makan malam dengan menu kesukaan Muriel. Pada malam harinya menjelang tidur, ia mencium dan menggenggam tangan Muriel.

Pada 14 Februari 1995, Robertson memandangi istrinya yang tak berdaya. Ia berdoa, "Tuhan yang baik, Engkau mengasihi Muriel lebih dari aku mengasihinya. Jagalah kekasih hatiku ini sepanjang malam. Biarlah ia mendengar nyanyian malaikat-Mu. Amin!"

Pagi harinya, ketika Robetson berolahraga dengan menggunakan sepeda statisnya, Muriel terbangun dari tidurnya. Ia berusaha untuk mengambil posisi yang nyaman, kemudian melempar senyum manis kepada Robertson. Untuk pertama kalinya setelah selama berbulan-bulan Muriel yang tidak pernah berbicara memanggil Robertson dengan suara yang lembut dan bening, "Sayangku.... sayangku...". Robertson melompat dari sepedanya dan segera memeluk wanita yang sangat dikasihinya itu.

Sahabat, cinta yang tulus tetap tumbuh dalam hidup sehari-hari. Tidak peduli terhadap berbagai tantangan yang ada. Sakit dan derita bukan menjadi halangan bagi tumbuhnya cinta yang tulus. Justru pada saat-saat sakit dan derita semestinya cinta itu semakin hidup dalam diri setiap orang. Mesti ada solidaritas yang terus tumbuh di saat-saat sakit dan derita menerpa hidup seseorang.

Kisah di atas menunjukkan kepada kita bahwa pada saat-saat sakit dan derita justru orang membutuhkan cinta yang lebih tulus dan mendalam. Perhatian menjadi suatu bukti tetap hidupnya cinta yang tulus itu. Robertson rela mengorbankan kedudukannya yang tinggi demi cintanya kepada sang istri yang tak berdaya di atas tempat tidur. Namun pengorbanan itu tanpa sia-sia. Ia mendapatkan balasannya dengan sapaan mesra dari sang istri yang bertahun-tahun lamanya tak terdengar. Itulah sukacita. Itulah damai yang menggayut di hati, meski kata-kata itu sangat minim.

Sebagai orang beriman, kita juga dipanggil untuk senantiasa menumbuhkan cinta yang tulus dalam hati dan hidup kita. Cinta yang tulus itu mesti berbuah. Buahnya adalah kepedulian dan perhatian bagi yang lemah dan tak berdaya. Di saat-saat susah menyelimuti hidup kita, kita butuh cinta yang tulus dari sesama.

Mari kita tumbuhkan cinta yang tulus dalam hidup kita, agar damai menjadi bagian dari hidup kita. Untuk itu, kita butuh memiliki hati yang peka terhadap setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Cinta yang tulus dapat tumbuh saat orang membuka hatinya lebar-lebar bagi hidup sesamanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

909

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.