Pages

29 Maret 2014

Tetap Setia kendati Banyak Tantangan



Masihkah Anda setia terhadap sesama yang hidup bersama Anda? Sejauh mana kesetiaan itu Anda pertanggungjawabkan?

Hachiko adalah seekor anjing peliharaan Profesor Ueno, seorang guru besar Universitas Kekaisaran di Tokyo, Jepang. Hachiko hidup dari tahun 1923 hingga 1935. Selama masa hidupnya yang dua belas tahun itu, Hachiko menunjukkan kesetiaannya yang luar biasa. Ia setia kepada tuannya dengan seluruh dirinya.

Setiap hari Hachiko mengantar tuannya ke stasiun kereta api. Setelah tuannya naik kereta api, Hachiko mencari tempat yang aman di stasiun kereta api kota itu. Ia menunggu tuannya pulang dari universitas. Lapar dan haus mesti ia tahan demi tuannya pulang dalam keadaan selamat.

Suatu sore, tuannya tidak pulang-pulang ke stasiun kereta api itu. Ternyata tuannya mengalami serangan jantung. Tuannya telah menghembuskan nafas terakhirnya di universitas. Namun Hachiko tetap setia menunggu tuannya pulang. Ia tidak mau ikut orang lain untuk pulang ke rumahnya. Ia tetap bertahan di stasiun kereta api itu. Suatu hari Hachiko mati di stasiun itu. Kematiannya menunjukkan kesetiaan seekor anjing terhadap tuannya. Ia mati dalam penantian.

Sahabat, setia itu tidak mudah. Namun kesetiaan itu bisa dilatih, dipelajari dan dibiasakan. Kesetiaan bisa dilatih dari hal-hal yang kecil. Seorang bijaksana berkata, “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.”

Kisah Hachiko si anjing setia memberikan suatu inspirasi kepada kita untuk berusaha setia kepada Tuhan dan sesama dalam hidup kita. Kesetiaan Hachiko terhadap tuannya tanpa batas. Berbagai tantangan mesti ia hadapi. Yang ada dalam instingnya hanyalah keselamatan tuannya.

Sebagai makhluk sosial, manusia juga dituntut untuk memiliki kesetiaan yang besar terhadap orang-orang sekitarnya. Seorang suami mesti selalu setia terhadap istrinya apa pun situasi hidup yang dihadapi. Sebaliknya seorang istri mesti selalu setia terhadap suaminya, meski kadang-kadang hidup ini kurang menyenangkan.

Memang, kesetiaan selalu menghadapi tantangan. Sepasang suami istri yang bahagia selalu ingin tetap bertahan dalam kesetiaan satu sama lain. Namun godaan sering datang menghadang kehidupan bersama. Godaan bisa saja membuat komitmen yang telah dibuat oleh mereka berantakan.

Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi ketika orang hanya mementingkan terpenuhinya keinginan-keinginannya. Ketika orang hanya mengikuti keinginan-keinginannya, orang akan membahayakan kesetiaannya terhadap sesamanya. Sehebat-hebatnya orang, orang tidak bisa memenuhi keinginannya. Mengapa? Karena keinginan manusia itu bermacam ragam dan bentuknya.

Untuk itu, orang mesti mengadakan suatu penegasan antara keinginan dan kebutuhan. Setiap keinginan tidak mesti dipenuhi. Namun setiap kebutuhan tentu saja berguna bagi perjalanan hidup bersama. Kebutuhan itu yang mesti dipenuhi, agar hidup orang menjadi semakin lebih baik.

Sebagai orang beriman, kita ingin tetap setia satu sama lain. Mari kita berusaha setia dengan memilah mana keingnan dan kebutuhan yang mesti kita penuhi. Tuhan memberkati.**



Frans de Sales SCJ

SIGNIS INDONESIA/Tabloid KOMUNIO


1085

28 Maret 2014

Berani Memberi dengan Sukacita

Sering orang merasa bahwa apa yang dimilikinya itu mesti dipertahankan sedapat mungkin. Tidak perlu diberikan kepada orang lain. Namun ketika orang berani memberi apa yang dimilikinya untuk orang lain, orang akan mengalami sukacita.

Suatu hari seorang pemuda menemukan sejumlah orang miskin yang sangat menderita. Ia merasa terpukul atas kondisi tersebut. Bagaimana mungkin di sebuah Negara yang makmur ini ternyata masih ada banyak orang yang menderita. Pemuda itu menyaksikan orang-orang itu menggigil, karena menahan lapar. Mereka mengerang-erang kesakitan, karena luka-luka bernanah yang tak terobati.

Lantas pemuda itu meninggalkan orang-orang itu. Ia tidak tahan melihat penderitaan mereka. Namun ia kembali lagi kepada mereka dengan sejumlah makanan, minuman dan obat-obatan. Ia memberi mereka makan. Ia mengobati luka-luka mereka. Beberapa saat kemudian orang-orang itu mulai berhenti menggigil. Kaki-kaki mereka pun mulai kuat untuk melangkah. Mereka mulai tersenyum.

Uluran kasih dari sesama mampu meringankan penderitaan. Orang-orang itu pun boleh menikmati sesaat sukacita. Mereka boleh mengalami indahnya kasih Tuhan melalui tangan-tangan yang dengan tulus memberi bantuan. Bagi mereka, itulah saat yang paling indah dalam hidup mereka. Suatu saat yang telah memberi mereka kesegaran raga. Saat di mana mereka boleh mengatakan bahwa Tuhan masih ada bersama mereka.

Sahabat, ada begitu banyak penderitaan di dunia ini. Orang mengalami penderitaan materiil seperti tidak punya rumah yang layak, berbagai macam penyakit dan kelaparan. Mereka berjuang untuk keluar dari penderitaan itu. Namun sering terjadi kebuntuan dalam hidup mereka. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena ada ketidakpedulian dari sesama manusia. Ada hati manusia yang tertutup begitu rapat oleh penderitaan sesamanya.

Tambahan lagi ada orang-orang yang tamak dan serakah. Orang-orang seperti ini enggan memberi sedikit dari kepunyaannya untuk sesamanya. Lebih baik mereka menyimpannya untuk diri mereka sendiri daripada mesti memberikannya untuk orang-orang yang tidak mereka kenal.

Karena itu, sedikit pemberian akan sangat bernilai bagi hidup manusia yang mengalami penderitaan itu. Seteguk air atau segenggam nasi akan sangat berharga bagi seorang penderita lapar. Akan ada sukacita yang begitu besar, ketika orang memberi dengan tulus mereka yang membutuhkan makanan.

Sebagai orang beriman, kita semua memiliki tugas dan kewajiban untuk membantu sesama yang berkekurangan. Ketika kita membantu mereka sebenarnya kita memberi kesempatan kepada mereka untuk bersukacita. Mereka memiliki kesempatan untuk berbahagia, meski hanya sesaat.

Mari kita mengulurkan tangan kita dengan hati yang tulus. Dengan demikian, semakin banyak orang akan menemukan bahagia dan damai dalam hidupnya. Hanya dengan cara ini orang beriman mengamalkan cinta kasih dalam hidupnya. Hanya dengan memberi sesama yang membutuhkan, kita dapat mengenal Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu secara lebih dekat. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

SIGNIS INDONESIA/Majalah FIAT
1084

27 Maret 2014

Senyum Membawa Damai bagi Hidup Bersama


Banyak orang merasa bahwa senyumnya kurang berarti bagi sesamanya. Namun senyum ternyata membawa damai.

Ada seorang istri yang percaya bahwa sesungging senyum akan mengubah hidup suaminya yang berhati keras dan ganas. Setiap kali suaminya pulang kerja, ia siap menyambutnya di depan pintu rumah. Seutas senyum telah ia siapkan. Meski wajah suaminya kadang-kadang tidak menyambut senyum itu, ia tetap tersenyum menyambut kedatangan suaminya.

Disenyumi terus-menerus setiap hari seperti itu, sang suami pun membalas senyum sang istri. Hatinya pun menjadi lembut, tidak keras dan ganas lagi. Suaminya itu belajar untuk mendekati segala sesuatu dengan kelembutan hati. Suami itu berkata, “Hati yang lembut ternyata mampu mengubah pandangan orang. Orang yang semula keras ternyata dapat menjadi lembut.”

Sang istri menemukan damai dalam hidupnya. Ia tidak perlu mengalami kekerasan dalam hidup. Ia merasakan bahwa hidup yang tenang dan damai itu begitu berharga baginya. Ia merasa beruntung. Karena itu, dalam perkumpulan ibu-ibu ia menceritakan pengalamannya. Kaum ibu yang lain pun mengikuti cara yang telah dibuatnya. Hasilnya sungguh luar biasa. Rumah tangga mereka tidak perlu dilanda oleh percekcokan. Damai menaungi keluarga mereka berkat seutas senyum yang meluncur dari hati yang tulus.

Sahabat, damai ternyata dapat dimulai dari seutas senyum tulus yang tersungging di bibir kita. Mereka yang mendapatkan senyum itu mengalami kasih yang terpancar dari senyum yang tulus itu. Karena itu, senyum ternyata sangat berharga bagi hidup manusia. Orang yang sulit senyum menemukan dunia ini begitu keras dan kejam. Bagi mereka, dunia ini mesti ditaklukan dengan kekerasan.

Sayang, banyak orang kurang peduli terhadap senyum. Banyak orang mengabaikannya. Akibatnya, perang dapat terjadi karena hati yang keras. Hati yang membatu dapat menjadi sumber matapetaka bagi hidup bersama. Karena itu, tersenyumlah dalam hidup ini. Tersenyumlah berkali-kali dalam sehari kepada orang-orang yang Anda cintai. Yakinlah bahwa senyum Anda akan mengubah suasana yang beku. Seutas senyum Anda akan membawa sukacita bagi sesama Anda.

Ada pepatah Latin yang berbunyi, ‘Si vis pacem, para belum’. Artinya, kalau Anda ingin damai, siapkan perang. Bagi orang beriman, ungkapan ini tidak berlaku. Orang beriman mesti mengandalkan kelemahlembutan untuk menciptakan damai. Karena itu, seutas senyum yang tersungging di bibir kita menjadi awal damai. Mulailah hari-hari Anda dengan senyum. Hanya dengan cara itu, Anda akan merasakan kasih Tuhan yang hidup dalam diri Anda. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

SIGNIS INDONESIA/Tabloid KOMUNIO


1084

24 Maret 2014

Berusaha Mendengarkan Suara Hati



Orang mengatakan bahwa suara hati itu suara Tuhan. Tuhan senantiasa mengingatkan manusia dalam perjalanan hidupnya, sehingga orang dapat melakukan hal-hal yang baik dan berkenan kepada Tuhan.

Suatu kali seorang anak menemukan sebuah kaleng berisi permen yang tertinggal oleh pemiliknya di depan pintu tokonya. Dengan hati girang anak itu melihat sekeliling. Ketika tahu bahwa dia hanya sendirian di situ, tak ada orang lain yang melihat, dia segera memasukkan tangannya ke dalam buyung itu. Karena dia anak yang rakus, dia mencoba mengambil permen sebanyak mungkin dalam satu genggaman.

Pada saat itu terdengar bunyi langkah orang. Karena takut tertangkap, anak itu berusaha mengeluarkan tangannya. Tetapi tangannya tidak bisa keluar, karena mulut kaleng itu terlalu sempit. Untuk mengeluarkan tangannya, dia harus mengurangi jumlah permen dalam genggamannya. Tetapi dia tidak mau melepaskannya. Anak itu tetap menarik-narik tangannya tetapi sia-sia. Segera ia ketahuan pemilik toko itu. Ia harus melepaskan semua permen itu.

Sahabat, milik orang lain itu memang selalu menggoda. Orang begitu ingin memiliki milik orang lain. Kisah di atas merupakan salah satu sisi kehidupan manusia. Seorang anak yang tidak dididik untuk menahan diri terhadap milik orang lain akan dengan mudah menguasai milik orang lain. Apalagi kalau milik orang lain itu dibiarkan begitu saja.

Tetapi orang yang sejak awal dididik untuk menghormati milik orang lain, pasti akan memiliki sikap menghargai milik orang lain itu. Ia tidak akan menguasainya di kala miliki orang lain itu dibiarkan begitu saja. Bahkan bila perlu ia menyelamatkannya. Ia akan menempatkannya di tempat yang aman untuk kemudian diberikannya kepada pemiliknya. Tentu perbuatan seperti ini akan mendapatkan penghargaan yang besar dari pemilik barang itu.

Untuk sampai pada sikap seperti ini, orang mesti belajar terus-menerus untuk menghargai dan menghormati milik sesama. Kadang-kadang ada godaan yang begitu besar untuk melanggar norma-norma yang ada, karena keinginan untuk memiliki itu begitu besar.

Berhadapan dengan situasi seperti ini, apa yang mesti dibuat oleh orang beriman? Orang beriman mesti mendengarkan suara hatinya. Untuk itu, orang beriman mesti belajar untuk memilah mana suara hati yang murni dan mana suara hatinya yang kurang murni. Setelah menemukan suara hati yang murni, ia mesti tetap setia kepada suara hatinya itu. Ia mengambil keputusan berdasarkan suara hati yang murni itu. Dengan demikian, ia akan mengalami kebahagiaan dalam hidup.

Mari kita berusaha untuk mendengarkan suara hati kita. Kita gunakan suara hati kita yang baik untuk mengambil sikap yang baik terhadap hal-hal yang kita hadapi dalam hidup ini. Dengan demikian, kita menjadi bahagia dalam perjalanan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

SIGNIS INDONESIA/Majalah FIAT


1083

23 Maret 2014

Selektif terhadap Tawaran-tawaran



Apa yang akan Anda lakukan, ketika tawaran-tawaran dari berbagai produk mendatangi Anda? Anda menolaknya? Atau Anda menerimanya dengan sukacita?

Ketika kembali dari Eropa, Dwight David Eisenhower (1890-1961), Presiden Amerika Serikat ke-34, berbicara kepada wartawan: “Seluruh dunia lapar akan kedamaian. Para pakar militer memberi tahu kemungkinan terjadinya perang nuklir yang mengerikan pada masa mendatang. Bencana akan menimpa umat manusia sebagai konsekuensinya. Hal ini merupakan rencana yang amat disukai iblis saat dia dengan terampil memintal jaringannya di seluruh dunia.”

Menurut Eisenhower, setiap negara yang dapat melaksanakan perdamaian, dapat mengendalikan dunia. Iblis akan memiliki seorang manusia super yang dapat melakukan hal itu. Dia akan menguasai dunia dengan bakat dan kemampuannya, sehingga dunia yang terkagum-kagum akan bertanya, “Siapa yang mampu berperang dengannya?”

Sahabat, kekuatiran Eisenhower itu juga menjadi kekuatiran manusia zaman sekarang. Ada banyak ketimpangan dalam hidup manusia. Manusia di zaman sekarang terancam hidupnya oleh berbagai dekadensi. Ada dekadensi moral dengan munculnya seks bebas. Ada dekadensi dalam kehidupan bersama. Orang semakin mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Egoisme dan kepentingan kelompok bertumbuh menjadi semakin kuat. Akibatnya, orang hanya peduli terhadap diri sendiri.

Muncul juga kelompok-kelompok yang anti agama yang menyebar ke dalam kehidupan bermasyarakat. Yang mereka bawa tampaknya baik-baik saja. Yang mereka bawa itu mudah meninabobokan manusia. Mereka berusaha untuk membahagiakan manusia dengan ajaran-ajaran yang mereka bawa itu.

Namun di balik itu semua, mereka punya misi tertentu untuk menguasai kehidupan manusia. Mereka punya misi tertentu untuk menjauhkan manusia dari Tuhan. Dengan berbagai cara, mereka mengajak manusia untuk mengandalkan diri sendiri. Banyak orang akan tersesat jalannya. Agama yang selama ini mengajarkan kebaikan dan kebenaran akan ditinggalkan.

Nah, apa jadinya kalau situasi seperti ini menimpa diri kita? Tentu saja kita akan merasa terombang-ambing. Nilai-nilai moral yang kita junjung tinggi selama ini akan lenyap begitu saja. Tidak akan bernilai banyak lagi bagi kita. Nilai-nilai itu menjadi hampa dalam hidup kita. Persaudaraan dan persahabatan yang kita bangun selama ini akan lenyap begitu saja. Seolah-olah menguap tanpa bekas. Lantas apa yang menjadi pegangan hidup kita? Kita akan bingung.

Karena itu, kita perlu hati-hati terhadap berbagai tawaran yang datang kepada kita. Kita mesti seleksi setiap tawaran yang kita peroleh itu. Kalau tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan kehidupan yang kita anut selama ini, kita mesti singkirkan. Dengan demikian, hidup kita menjadi lebih bermakna.

Bagi orang beriman, Tuhan tidak menjadi pemain cadangan dalam hidup kita. Namun Tuhan sungguh-sungguh menjadi satu-satunya pedoman hidup kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi kesempatan yang indah untuk memuliakan Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

SIGNIS INDONESIA/Tabloid KOMUNIO

1082

22 Maret 2014

Semangat Mengampuni Sesama yang Bersalah

Apa yang akan terjadi, ketika orang yang sangat dekat dengan Anda melakukan kesalahan dan dosa terhadap Anda? Saya rasa, Anda akan mengalami sakit hati yang luar biasa. Namun ketika Anda tidak mengampuni kesalahannya, dia akan terus-menerus menyakiti hati Anda.

Suatu hari, seorang ibu bersungut-sungut. Pasalnya, suaminya selalu pulang tengah malam dalam keadaan mabuk berat. Ia sudah tidur lelap, tetapi selalu terganggu oleh suaminya yang menggedor-gedor pintu depan. Setiap kali setelah membuka pintu, suaminya selalu marah-marah. Ia juga membentak istrinya berkali-kali, seolah-olah istrinya yang melakukan kesalahan.

Tidak tahan dengan situasi itu, ibu itu mendatangi seorang bijaksana. Ia meminta nasihat dari orang bijaksana itu. Ia menceritakan peristiwa-peristiwa yang dialaminya bersama suaminya. Salah satunya adalah mabuk berat yang dihadapi suaminya setiap malam. Ia merasa suaminya telah mengingkari janjinya untuk tidak minum minuman keras.

Ibu itu berkata kepada orang bijaksana itu, “Saya tidak tahan hidup dalam kondisi seperti ini. Setiap malam suami saya selalu mabuk berat. Tidak hanya saya saja yang terganggu. Anak-anak saya juga merasa sangat terganggu. Mereka tidak bisa belajar hal-hal yang baik dari orangtua mereka.”

Sambil tersenyum, orang bijaksana itu berkata, “Ini adalah beban yang mesti kamu tanggung. Namun Anda mesti mendoakan suamimu, agar ia meninggalkan kebiasaan jeleknya. Lebih mudah menyalahkan suamimu. Tetapi menurut saya, Anda lebih baik mengampuninya.”

Ibu itu merasa, selama ini ia tidak pernah mendoakan suaminya. Ia lebih sering mengumpat-umpat suaminya. Ia memojokkan suaminya. Sejak bertemu dengan orang bijaksana itu, ibu itu mulai mendoakan suaminya. Setiap kali ia menemukan suaminya dalam keadaan mabuk berat, ia menjamahnya dengan kasih. Ia tidak mengumpat-umpatnya seperti dulu lagi. Hasilnya luar biasa. Perlahan namun pasti, sang suami mulai menghentikan kebiasaannya minum minuman keras.

Sahabat, memang lebih mudah mengumpat-umpat orang-orang yang melakukan kesalahan kepada kita. Kita lebih mudah memojokkan orang-orang yang melakukan dosa. Sementara ketika kita melakukan kesalahan dan dosa, kita menuntut orang lain memaafkan atau mengampuni kita.

Kisah di atas memberi kita inspirasi untuk terus-menerus peduli terhadap orang yang bersalah dan berdosa terhadap kita. Kita boleh membenci kesalahan dan dosa yang diperbuatnya. Namun kita tetap mengasihi orang yang melakukan kesalahan dan dosa itu. Dengan mengasihi, kita berharap orang yang melakukan kesalahan dan dosa itu akan bertobat. Dia kita beri kesempatan untuk memperbaiki diri.

Kita mesti menyadari bahwa setiap orang pernah melakukan kesalahan dan dosa. Kita bukan manusia sempurna. Kita manusia yang lemah. Namun dalam ketidaksempurnaan dan kelemahan itu kita ingin menjadi manusia yang baik dalam kehidupan ini.

Mari kita terus-menerus berjuang untuk menjadi manusia yang baik dan benar di hadapan Tuhan dan sesama. Kita tidak hanya bersungut-sungut terhadap kesalahan dan dosa orang lain. Tetapi kita mencari cara-cara untuk membantu sesama menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/SIGNIS INDONESIA

1081

21 Maret 2014

Membiarkan Tuhan Melepas Dahaga Kita


Manusia hidup dalam perjalanan yang membuat manusia haus dan lapar secara rohani. Namun sebenarnya manusia tidak perlu cemas, karena Tuhan senantiasa memberikan perlindungan. Tuhan juga senantiasa memberikan kelegaan bagi manusia.

Suatu hari seorang musafir merasa haus luar biasa. Air di dalam tempat yang biasa ia bawa ternyata sudah habis. Terpaksa ia mesti mendekati sungai untuk mendapatkan air. Sudah sepuluh kilometer ia berjalan, ia belum juga menemukan rumah penduduk. Yang ia jumpai hanyalah hutan belantara.

Musafir itu akhirnya menemukan sebuah sumber air kecil setelah kilometer ke-13 dari perjalanannya hari itu. Begitu menemukan sumber air kecil itu, ia langsung bersujud. Ia mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Betapa kerinduannya itu ia temukan. Ia boleh menyegarkan tenggorokannya dengan seteguk air yang segar.

Ia menyorongkan kedua belah tangannya ke sumber air itu. Sambil tersenyum, musafir itu meneguk air yang jernih. Ia tidak peduli akan mengalami sakit perut, karena minum air yang belum direbus. Yang penting baginya adalah tenggorokannya segera terbebas dari rasa haus.

“Sekarang saya boleh menyegarkan rasa haus saya. Saya dapat melanjutkan perjalanan saya dengan tenang. Saya tidak perlu cemas lagi,” katanya dalam hati.

Musafir itu lalu memenuhi botol-botol yang kosong di ranselnya. Ia membawanya pergi bersamanya setelah menghilangkan penatnya di tempat itu.

Sahabat, dalam hidup ini banyak orang mengalami lapar dan haus. Ada yang lapar dan haus secara fisik. Artinya, tidak punya makanan dan minuman yang cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka ini perlu dibantu, agar mereka tidak mati kelaparan. Bagaimana pun mereka adalah sesama kita yang mesti mendapatkan pertolongan. Mereka adalah bagian dari hidup kita.

Namun ada pula yang mengalami lapar dan haus secara rohani. Ada berbagai alasan orang mengalami lapar dan haus dalam hal ini. Bisa saja orang kurang memiliki pengetahuan rohani. Atau orang kurang mendalami hidup rohaninya. Atau orang sama sekali tidak tertarik akan hidup rohani.

Kisah di atas mengajak kita untuk mencari dan menemukan sumber kehidupan rohani kita. Sang musafir menemukan sumber air yang menghilangkan dahaganya. Manusia yang lapar dan haus secara rohani mesti berusaha untuk menemukan Tuhan sebagai sumber kehidupannya. Ketika orang menjauhkan diri dari Tuhan, orang akan mengalami kekeringan dalam hidupnya.

Seorang bijak mengatakan bahwa Tuhan adalah mata air kehidupan. Karena itu, setiap orang yang datang kepada Tuhan akan mendapatkan air kehidupan. Orang itu akan disegarkan dengan meminum air pemberian dari Tuhan. Kita yakin bahwa Tuhan memberikan kasihNya sendiri sebagai air kehidupan yang memberi hidup kepada kita.

Untuk itu, orang beriman mesti percaya akan penyelenggaraan Tuhan. Hanya Tuhan yang menjadi andalan hidup manusia. Hanya Tuhan yang mampu memberikan air kehidupan untuk menyegarkan dahaga rohani manusia.

Orang mesti menyerahkan hidup ke dalam kuasa Tuhan. Hanya dengan cara demikian, orang dapat melepaskan diri dari dahaga rohani. Mari kita terus-menerus menimba air kehidupan dari Tuhan, karena Tuhanlah sumber kehidupan dan keselamatan kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

SIGNIS INDONESIA/Tabloid KOMUNIO


1080

20 Maret 2014

Memaknai Kebebasan dalam hidup



Apa yang akan terjadi terhadap diri Anda, ketika anak atau salah seorang dari keluarga Anda terlibat dalam suatu kecelakaan? Saya rasa, Anda pasti mengalami kepedihan yang luar biasa.

September 2013 lalu kita semua mendengar dan menyaksikan kisah yang sangat menyedihkan dari seorang remaja berusia 13 tahun. Namanya adalah Abdul Qodir Jaelani. Minggu dini hari (8/9) sekitar pukul 00.45 WIB, Abdul Qodir Jaelani mengalami kecelakaan di ruas tol Jagorawi. Ia mengendarai mobil sedan lancer. Mobil yang dikendarainya itu tidak bisa ia kendalikan. Mobil menghantam pagar pembatas lalu menyeberang dan menabrak dua mobil lain.

Peristiwa itu kemudian menewaskan enam orang. Sedangkan Abdul Qodir Jaelani dan temannya mengalami patah tulang pada beberapa bagian tubuh. Enam belas orang menjadi korban dari tragedi anak di bawah umur yang menyetir mobil. Berbagai pihak sangat menyayangkan peristiwa tragis itu. Banyak orang mesti menderita akibat ulah seorang anak yang semestinya tidak boleh menyetir mobil.

Soalnya adalah siapa yang mesti disalahkan? Abdul Qodir Jaelani adalah putra bungsu dari Ahmad Dhani, musisi terkenal di negeri ini. Ahmad Dhani merasa terpukul dan bersalah atas kejadian yang menimpa putranya. Bahkan, psikis Dhani pun ikut tergoncang melihat apa yang terjadi dengan putranya itu.

Pemerhati anak Seto Mulyadi yang menjengguk Abdul Qodir Jaelani di Rumah Sakit Pondok Indah, Minggu (8/9), bekata, "Dhani sangat tergoncang. Ia merasa bersalah sekali. Perlu pendampingan psikologis. Prihatin dan merasa bersalah," ujar.

Sementara sejumlah pihak yang lain mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi sebagai akibat dari salah urus dari orangtuanya. Orangtuanya begitu mudah memberikan izin kepada sang anak yang mengemudi mobil. Padahal umurnya belum cukup untuk mengemudi mobil.

Sahabat, pepatah tua mengatakan bahwa sesal kemudian tidak ada guna. Setiap peristiwa menyedihkan yang telah berlalu menjadi pelajaran pahit bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Orang mesti berani menimba makna kepahitan itu bagi hidup yang lebih baik lagi. Semua pihak yang terlibat mesti mau belajar. Tidak bisa hanya membiarkan peristiwa menyedihkan itu berlalu begitu saja.

Kisah tragis anak di bawah umur di atas mengajak kita untuk melihat hidup ini secara lebih jernih. Upaya untuk saling menyalahkan tidak memiliki makna apa-apa, karena semuanya sudah terjadi. Nasi telah menjadi bubur. Sesal kemudian tak ada guna. Namun kejadian ini tentu saja meninggalkan kepedihan demi kepedihan dalam hidup. Ada sejumlah orang yang menjadi korban kecelakaan. Mereka masih akan mengalami penderitaan dalam hidup.

Peristiwa tragis ini membuka refleksi yang lebih dalam tentang makna kebebasan dalam kehidupan bersama. Orang boleh saja mengatakan dirinya memiliki kebebasan untuk melakukan berbagai hal. Namun yang mesti diingat adalah kebebasan itu memiliki keterbatasannya. Dalam peristiwa tragis ini ada batas hukum, yaitu mengemudikan kendaraan di bawah umur.

Kebebasan dalam hidup juga mesti dilihat dalam konteks hidup bersama. Orang mesti menyadari bahwa kebebasannya dapat berakibat fatal bagi hidup orang lain. Mengendarai kendaraan dengan kencang bisa mencelakakan orang lain. Dan hal ini sering terjadi dalam kehidupan manusia.

Karena itu, orang beriman mesti memaknai kebebasannya dalam konteks yang lebih luas. Orang beriman mesti memaknai kebebasan dirinya dalam konteks keselamatan bagi diri dan sesamanya. Orang tidak hanya memikirkan kebaikan dirinya sendiri. Tetapi orang mesti memikirkan kebaikan banyak orang. Mari kita memaknai kebebasan kita dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, keselamatan diri dan sesama dapat terjamin. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Malajah FIAT


1079

19 Maret 2014

Pengalaman akan Kasih Meneguhkan Hidup



Pengalaman akan kasih senantiasa menjadi milik setiap manusia dalam hidup sehari-hari. Namun ada pula manusia yang kurang begitu mengalami kasih itu. Akibatnya, menusia mengalami ganguan secara psikologis dan spiritual.

Seorang remaja putri begitu tersanjung oleh pujian dari ayahnya atas prestasi gemilang yang diraihnya. Ia mengaku, selama ini ayahnya jarang sekali memberikan pujian kepadanya. Baru kali ini sang ayah memberikan pujian yang tinggi. Ayahnya pun mentraktir dirinya di sebuah restoran ternama di kotanya.

Remaja itu berkata, “Saya bersyukur atas perhatian ayah saya yang begitu besar. Hal ini menjadi pemacu bagi saya dalam meraih prestasi yang lebih besar lagi. Meski ayah jarang memberikan pujian, tetapi sejak awal saya yakin ayah sangat mendukung saya.”

Gadis remaja itu merasakan kasih yang begitu besar dari sang ayah. Ia ingin tetap berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi dirinya. Perjalanan hidupnya masih jauh. Ia masih sangat membutuhkan kasih sayang dari orangtuanya. Ia ingin agar kasih sayang orangtuanya senantiasa hadir dalam setiap perjalanan hidupnya.

Sahabat, sering orang mengalami kehilangan kasih sayang dalam hidupnya. Orang merasa hidup sendiri tanpa mendapatkan perhatian yang memadai dari sesamanya. Akibatnya, orang mengalami pertumbuhan yang lambat dalam kasih sayang itu. Orang mudah merasa loyo dalam hidupnya. Orang mudah menyerah ketika menghadapi persoalan-persoalan hidup.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kasih sayang merupakan kebutuhan manusia. Pengalaman akan kasih sayang itu memberikan kekuatan kepada seseorang untuk memacu dirinya dalam kegiatan-kegiatan hariannya. Orang menjadi lebih berani untuk melangkahkan kaki untuk merebut cita-cita yang dicanangkannya.

Bagi orang beriman, kasih sayang itu bersumber dari Tuhan sendiri. Tuhan senantiasa mengasihi ciptaanNya. Tuhan tidak pernah meninggalkan ciptaanNya berjuang sendirian di dunia ini. Tuhan senantiasa menyayangi ciptaanNya dengan menyertai dan membimbing ciptaanNya itu. Karena itu, orang beriman mesti menyerahkan hidupnya kepada kasih Tuhan.

Memang, tidak gampang orang berserah diri kepada kasih Tuhan. Mengapa? Karena manusia lebih mudah mengasihi dirinya sendiri. Manusia lebih mudah hidup dalam kuasa kasihnya, daripada membiarkan Tuhan menguasai dirinya dengan kasih. Manusia lebih suka berjuang sendiri dalam hidupnya.

Untuk itu, yang dibutuhkan adalah suatu pertobatan baru. Artinya, orang rela meninggalkan kesenangan dirinya sendiri dan menerima tawaran kasih sayang dari Tuhan. Orang tidak lagi memaksakan kehendaknya sendiri kepada Tuhan dan sesama. Tetapi orang berusaha untuk hidup dalam kehendak Tuhan. Orang berusaha untuk menumbuhkan kasih Tuhan dalam hidupnya. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih sukacita dan bahagia. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1078

18 Maret 2014

Mengasah Mutiara-mutiara yang Indah

Tuhan telah membekali kita semua dengan bakat-bakat. Yang mesti kita lakukan adalah kita mengasah bakat-bakat kita itu menjadi lebih baik lagi.

Suatu ketika Daiju mengunjungi guru Baso di China. Ketika mereka bertemu, Baso bertanya, "Kamu sedang mencari apa?"

Tanpa pikir panjang, Daiju menjawab, “Pencerahan.”

Baso agak bingung mendengar jawaban Daiju. Lantas ia berkata, “Kamu sudah memiliki mutiara dalam rumahmu. Mengapa kamu mencari lagi sesuatu di luar?"

Daiju tidak bisa mengerti. Dia tidak bisa menangkap kata-kata Baso dengan baik dan jelas. Jadi ia bertanya, “Di manakah mutiara itu?”

Sambil tersenyum, Baso menjawab, “Apa yang kamu tanyakan itu adalah mutiara itu.”

Seketika itu juga, Daiju mendapatkan pencerahan. Sejak saat itu dia mengajak teman-temannya untuk membuka mata mereka guna melihat mutiara dalam rumah mereka masing-masing dan menggunakan mutiara itu. Ternyata ada begitu banyak mutiara bertebaran di dalam rumah mereka. Mutiara-mutiara itu mesti digunakan untuk kebahagiaan mereka.

Sahabat, kita sering bingung akan diri kita sendiri. Kaum remaja yang sedang tumbuh biasanya masih belum punya pegangan yang pasti. Mereka masih meraba-raba tentang kemampuan-kemampuan mereka. Mereka mudah sekali tergoda oleh sesuatu yang ada di luar diri mereka. Karena itu, mereka mudah sekali mengikuti trend yang ada. Mereka suka mengikuti mode yang sedang berkembang.

Seolah-olah sesuatu yang ada di luar diri mereka itulah yang mesti mereka kejar dan dapatkan. Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa dalam diri kita tersedia mutiara-mutiara indah yang mesti kita temukan dan kembangkan. Mutiara-mutiara itu sangat berguna bagi kehidupan kita.

Kalau mutiara-mutiara berharga ini sudah kita temukan, kita mesti mulai mengolahnya menjadi sesuatu yang berguna untuk kehidupan kita. Ada orang yang tidak peduli dengan kemampuan-kemampuan yang ada dalam dirinya. Mereka biarkan begitu saja, sehingga mati dan tak berguna bagi hidup mereka. Tentu hal seperti ini sangat kita sayangkan. Mutiara-mutiara berupa kemampuan-kemampuan itu mesti diolah dan dikembangkan sebaik mungkin. Dengan demikian, menjadi sesuatu yang berharga bagi hidup kita.

Sebagai orang beriman, kita tidak ingin mutiara-mutiara itu lenyap begitu saja dari diri kita. Kita ingin agar mutiara-mutiara itu menjadi sesuatu yang berharga dan bernilai bagi perjalanan hidup kita. Karena itu, kita mesti mengolah dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang berguna untuk hidup kita.

Orang beriman itu orang yang tidak mau membiarkan kemampuan-kemampuan dalam dirinya sirna begitu saja. Orang beriman itu selalu mau berusaha untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya. Dengan demikian, ia dapat menghayati imannya dalam hidup yang nyata.

Mari kita berusaha sekuat tenaga untuk mengolah dan mengembangkan mutiara-mutiara indah di dalam diri kita. Jangan biarkan mutiara-mutiara itu menjadi karat dan tak berguna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

17 Maret 2014

Mengandalkan Kehendak Tuhan



Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan tantangan. Kalau kita tidak bertahan dalam tantangan, kita akan binasa. Karena itu, yang kita butuhkan adalah tuntunan dari Tuhan.

Menyadari bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, seorang nenek menyerahkan hampir satu kilogram emasnya kepada cucu tersayangnya. Emas sebanyak itu ia kumpul sejak ia masih gadis. Ketika menikah, emasnya semakin banyak. Pasalnya, sang suami selalu memberi uang untuk ia kelola. Kelebihan pengelolaan itu ia belikan emas. Lama-kelamaan ia memiliki emas dalam jumlah hampir satu kilogram itu.

Kepada cucunya, ia berkata, “Kamu harus simpan emas ini baik-baik. Jangan ada yang tahu. Kalau kamu punya kebutuhan yang mendesak, kamu boleh jual setengahnya.”

Sang cucu begitu bahagia menerima pemberian cuma-cuma dari sang nenek. Ia berkata kepada sang nenek, “Saya sangat bahagia mendapatkan emas ini. Tetapi tentu saja saya tidak akan serta merta menggunakannya. Bagi saya, emas ini membantu saya untuk meraih kebahagiaan dalam hidup.”

Sang nenek tersenyum mendengar pernyataan cucunya. Ia yakin, sang cucu tidak akan menghambur-hamburkan harta yang telah ia kumpulkan dengan susah payah itu. Ia yakin, cucunya akan menggunakannya dengan bijaksana.

Nenek itu berkata, “Dengan berbagai cara saya telah mengumpulkan emas dalam jumlah yang besar ini. Ini kemampuan yang diberikan oleh Tuhan. Tuhan telah memberi saya kemampuan untuk berusaha. Kamu juga mesti menggunakan kemampuanmu untuk meraih kebahagiaan dalam hidup.”

Sang cucu kemudian memeluk sang nenek. Ia berjanji untuk setia mengembangkan dirinya. Ia berjanji untuk mengembangkan pemberian sang nenek dengan sebaik-baiknya.

Sahabat, hidup manusia di dunia ini singkat. Banyak orang mengharapkan umur yang panjang, tetapi kenyataan bisa berkata lain. Ada yang ingin hidup seratus tahun, tetapi di usia belum 50 tahun mereka telah mengakhiri perjalanan hidup mereka di dunia ini. Orang bahkan tidak punya kuasa atas diri mereka.

Orang Jawa mengatakan bahwa hidup itu hanya mampir minum. Artinya, hidup itu sebentar. Seorang bijaksana mengatakan bahwa hidup manusia seperti suatu giliran jaga malam. Hidup ini seperti mimpi, seperti bunga dan rumput. Hidup manusia seperti angin dan bayangan. Hidup manusia seperti uap, sebentar ada lalu lenyap

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa hidup yang singkat ini mesti disiasati dengan bijaksana. Jangan hidup yang singkat ini dilalui dengan duka nestapa. Orang mesti melalui hidup yang singkat ini dengan meraih kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup ini. Meski hidup ini singkat, orang mesti menata hidupnya. Dengan demikian, hidup ini tidak hilang seperti angina atau menguap lenyap begitu saja.

Orang beriman tentu saja tidak mengandalkan diri sendiri dalam menata hidupnya. Tetapi orang beriman mesti menata hidupnya bersama Tuhan. Orang beriman selalu memikirkan apa yang Tuhan kehendaki bagi perjalanan hidupnya yang singkat ini. Tentu saja Tuhan menghendaki manusia hidup dalam kasih Tuhan. Artinya, orang beriman senantiasa membuka hatinya untuk menerima kasih Tuhan. Setelah itu, orang beriman mengalirkan kasih itu kepada sesamanya. Janganlah kasih itu hanya menjadi milik diri sendiri.

Hal ini tidak mudah, karena orang mesti memperjuangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang mesti menata hidupnya menjadi orang yang berguna bagi dirinya dan sesamanya. Untuk itu, mengandalkan kehendak Tuhan menjadi segala-galanya dalam kehidupan yang singkat ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1077

15 Maret 2014

Menghadapi Persoalan Hidup dengan Iman


Apa yang akan Anda lakukan, ketika Anda mesti berhadapan dengan seorang raksasa? Saya rasa, Anda akan mengalami kecemasan dalam hidup Anda.

Seorang anak gembala melawan seorang prajurit raksasa. Tentu saja hal ini sesuatu yang mengagetkan. Bagaimana mungkin, seorang anak yang lemah mampu menaklukkan seorang prajurit raksasa? Tetapi inilah yang terjadi dalam kehidupan ini.

Ribuan tahun yang lalu tampil seorang anak gembala bernama Daud. Ia menantang seorang prajurit raksasa bernama Goliat. Sang raksasa dikenal sebagai orang yang sangat kuat. Ia menggunakan senjata yang lebih hebat. Pedang bermata dua yang tajam siap menerjang Daud. Sedangkan Daud hanya menggunakan batu.

Namun tanpa rasa takut, Daud menantang Goliat. Raja Saul tergoda untuk melengkapi Daud dengan segala perlengkapan baju perang dan senjatanya. Daud menolaknya, karena tahu dia tidak bergantung pada itu. Daud siap berperang karena kuasa Tuhan menaunginya.

Dengan hanya sebuah katapel, Daud menembakkan sebutir batu kepada Goliat. Batu itu melesak ke dalam kepala sang raksasa. Daud menaklukkan raksasa itu bukan dengan kekuatan sendiri, namun oleh kekuatan Tuhan.

Batu itu mengenai dahi Goliat yang jatuh terjerembab ke tanah. Pedang Goliat bermata dua yang tajam menjadi tidak bermakna. Daud memenangkan pertempuran. Kemenangan itu berakibat bagi banyak orang. Orang-orang yang berada di pihak Daud mengalami pembebasan.

Sahabat, dalam kehidupan kita, kita juga berperang melawan raksasa-raksasa. Tentu saja raksasa-raksasa dalam arti kiasan, bukan seperti Goliat. Raksasa-raksasa yang kita hadapi dalam hidup kita adalah depresi, kekecewaan, penyesalan, kebimbangan, pencobaan, ketakutan, keputusasaan, kesepian, kekuatiran. Ada juga raksasa kecemburuan, penundaan waktu, kegagalan, kemarahan dan rasa bersalah yang menghantui hidup kita.

Kisah di atas dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk menaklukkan raksasa yang sering menghantui diri kita. Di kala kita menghadapi depresi, kita mesti berusaha untuk keluar dari depresi itu. Kita mesti berani memerangi depresi itu. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih baik. Kita menjadi lebih damai dalam menjalani hidup ini.

Memang, hal ini tidak mudah. Namun dengan bantuan rahmat Tuhan, kita akan mampu mengatasi depresi dalam hidup kita.

Namun sering manusia cenderung untuk mengatasi persoalan-persoalan dalam hidupnya sendirian. Manusia merasa mampu melakukan hal-hal spektakuler sendirian. Manusia mengandalkan kekuatannya sendiri. Manusia menyombongkan dirinya. Padahal Daud mampu mengalahkan si raksasa Goliat dengan bantuan Tuhan.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mengandalkan Tuhan dalam hidup ini. Tuhan senantiasa peduli terhadap hidup manusia. Yang penting adalah manusia mau membiarkan Tuhan masuk ke dalam kehidupannya. Yang penting, manusia mau menyerahkan seluruh hidupnya ke dalam kuasa Tuhan.

Mari kita libatkan Tuhan dalam hidup kita. Dengan demikian, hidup kita terbebas dari ‘raksasa-raksasa’ yang mengganggu hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1076

Tuhan Itu Andalan Hidup Manusia



Apa yang terjadi, ketika hidup Anda tanpa disertai oleh Tuhan? Saya yakin, Anda akan mengalami kecemasan dalam hidup ini.

Kirsty Collier mengalami kelainan jantung. Dokter kemudian memutuskan untuk memotong sepertiga jantungnya yang ternyata bisa tumbuh kembali. Jantung bocah itu tumbuh menggantikan sepertiga jantungnya yang diangkat tanpa harus menjalani transplantasi. Yang luar biasa, Kirsty menjalani pengangkatan sepertiga jantungnya saat berumur 4 bulan. Bayi itu kuat menjalani operasi yang berat itu.

Berbagai hal mengkuatirkan telah disampaikan dokter kepada orangtua Kirsty. Namun siapa nyana, ternyata bocah itu tumbuh sehat. Bahkan setelah 10 tahun berlalu, tak ada gangguan berarti pada kesehatannya. Yang terkejut justru para dokter, ketika suatu ketika melakukan check up pada tubuh Kirsty. Ternyata jantung bocah ini telah berukuran normal.

Belasan tahun lalu, Kirsty yang berusia 4 bulan divonis tak panjang umurnya karena menderita penyakit jantung parah. Kondisi jantungnya tidak sempurna. Pembuluh bilik kiri jantung yang seharusnya mengalirkan darah ke otot jantung, terhubung dengan pembuluh paru-paru tidak ke aorta. Akibatnya, organ itu kekurangan oksigen dan akhirnya membesar.

Makin hari kondisi Kristy bertambah kritis. Dokter yang menanganinya, Stephen Westaby, mengambil tindakan medis dengan mengangkat sepertiga bagian jantung yang rusak dan tak berfungsi normal di Rumah Sakit John Radcliffe, Oxford , Inggris. Ketika itu, ditemukan kerusakan fungsi jantung yang sangat parah. Cara-cara biasa sudah tak mungkin lagi kecuali operasi dan pengangkatan.

Tak disangka, Kirsty tumbuh layaknya anak normal. Ia tidak tampak sebagai orang yang sedang menanggung penyakit gawat. Belasan tahun berlalu, Kirsty masih baik-baik saja. Ia tampak sehat dan mampu beraktivitas layaknya mereka yang normal. Alangkah kagetnya dokter begitu memeriksa kondisi Kirsty. Jantungnya kembali ke ukuran normal. Organ pemompa darah itu ternyata tumbuh sendiri dan menutupi sepertiga bagian yang dulu dipotong tanpa harus melewati proses transplantasi. Vonis mati untuk Kirsty langsung menguap. Dia terbebas dari penyakit yang merongrong hidupnya.

Dokter Westaby berkata, “Kami merasa tak ada harapan sama sekali. Saya tak pernah mengira itu akan bekerja.”

Sahabat, banyak hal tampak mustahil dalam kehidupan ini. Namun bersama Tuhan, tidak ada yang mustahil. Selalu saja ada jalan. Selalu saja ada cara untuk menanggulangi berbagai persoalan yang dihadapi. Yang penting adalah orang mau bekerja sama dengan Tuhan dalam kehidupan ini.

Kisah di atas memberi kita kekuatan bahwa kecemasan terhadap hidup sebenarnya tidak perlu terjadi. Mengapa? Karena Tuhan menyelenggarakan hidup kita ini. Ketika orang berani memberikan hidup kepada Tuhan, orang akan mengalami damai dalam hidupnya. Tuhan menumbuhkan hidup ini. Tuhan menuntun manusia menuju hidup yang lebih baik.

Karena itu, orang beriman mesti berani memberikan hidupnya kepada Tuhan. Orang beriman mesti yakin bahwa Tuhan menjamin kehidupan ini. Apa pun yang akan terjadi pada kehidupan ini, manusia mesti mengarahkan hidupnya kepada Tuhan.

Memang, tidak mudah manusia mengarahkan hidupnya kepada Tuhan. Selalu saja ada gangguan atau godaan untuk meninggalkan Tuhan. Ada saja hal-hal yang menggoda manusia untuk berjalan sendiri tanpa bantuan Tuhan. Akibatnya, manusia mengalami kekeringan dalam hidupnya. Meski berlimpah harta kekayaan, tetapi manusia tidak mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya. Manusia selalu merasa kurang dalam kehidupan ini.

Karena itu, manusia mesti selalu kembali kepada Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan adalah sumber kehidupan manusia. Tuhan telah memberi hidup ini bagi manusia, agar manusia menatanya menjadi lebih baik. Mari kita senantiasa mendekatkan hidup kepada Tuhan. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1075

14 Maret 2014

Andalkan Rahmat Tuhan untuk Memurnikan Hati


Hati setiap orang mesti dimurnikan untuk menghadapi dan menjalani kehidupan yang penuh tantangan di dunia ini. Namun sering manusia tergoda untuk mengandalkan dirinya sendiri.

Ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Amerika Serikat, tahun 1994, saya terkejut menyaksikan orang-orang minum air langsung dari keran. Mereka menyebut sumber air yang ada di tempat-tempat umum itu fountain. Tinggal tekan tombol, air akan muncrat ke atas. Orang tinggal menadahnya dengan mulut. Dahaga pun lenyap.

Di rumah-rumah pun demikian. Orang tinggal membuka keran lalu menadahnya dengan gelas dan meminumnya. Orang tidak perlu takut akan menderita sakit perut. Mengapa hal itu bisa terjadi? Hal itu bisa terjadi, karena air sudah disterilkan dengan teknologi filterisasi.

Teknologi filterisasi ini membuat air murni dan aman diminum tanpa harus direbus terlebih dahulu. Dengan teknologi ini, air terbebas dari kandungan-kandungan, baik bakteri maupun ion-ion atau logam-logam yang ada dalam air. Teknologi filterisasi ini bahkan bisa mengubah air laut menjadi air minum yang bersih. Secara sepintas, air yang ada bisa jadi terlihat segar dan bersih, berwarna biru cerah. Tetapi kita mesti tetap memastikan bahwa air itu murni, sehingga aman diminum.

Sahabat, hidup rohani manusia mesti selalu mengalami pembersihan. Kita membersihkan hidup kita dari berbagai kotoran, akibat dari dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Sadar atau tidak, dosa dan kejahatan senantiasa mengancam hidup rohani kita. Kita telah berjuang untuk menghindari dosa dan kejahatan itu. Namun tetap saja kelemahan daging kita, membuat kita jatuh ke dalam dosa dan kejahatan.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa hidup rohani kita juga mesti murni. Kita mesti murni seperti air yang bisa langsung diminum dari keran. Memang, tidak mudah. Kita punya kecenderungan untuk melakukan dosa dan kesalahan. Santo Paulus mengatakan bahwa roh memang kuat, tetapi daging kita lemah.

Untuk itu, yang dibutuhkan adalah kita mesti menimba kekuatan dari Tuhan. Kita mohon kekuatan rahmat, agar kita menjadi kuat dalam perjalanan mengarungi hidup ini. Orang yang kuat itu orang yang selalu mengandalkan rahmat Tuhan. Orang yang murni hatinya itu orang yang senantiasa mengharapkan bantuan dari Tuhan untuk memurnikan hatinya.

Soalnya adalah manusia ingin berjuang sendiri. Manusia merasa dirinya mampu memurnikan hati dan hidupnya. Karena itu, manusia menolak bantuan dari rahmat Tuhan. Manusia tidak mau peduli terhadap kebaikan dan belas kasih Tuhan. Akibatnya, manusia mudah jatuh ke dalam dosa dan kejahatan. Manusia terjerembab ke dalam bahaya kematian jiwanya.

Mari kita mengandalkan rahmat dan belas kasih Tuhan. Dengan demikian, hidup kita dimurnikan oleh rahmat Tuhan. Kita menjadi orang-orang yang kuat berkat kerahiman Tuhan atas diri kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1074

13 Maret 2014

Bersama Tuhan, Mampu Mengatasi Persoalan Hidup



Mampukah Anda berjuang sendirian dalam mengatasi persoalan-persoalan Anda? Mungkin Anda mampu. Namun kemampuan Anda itu semu, karena Tuhan senantiasa menolong Anda dalam menghadapi persoalan-persoalan Anda.

Suatu malam yang dingin, seorang bapak bermimpi. Dalam mimpi itu, ia melihat sebuah gelas besar yang diisi dengan gelas lebih kecil. Sebuah kelereng diletakkan di dalam gelas yang kecil berisi air, lalu ditutup rapat. Gelas besar lalu diisi dengan air hingga hampir penuh.

Lantas ada tangan yang mulai mengaduk-aduk gelas besar itu. Air mulai bergolak. Ada sebagian air yang tumpah. Semakin kuat adukannya, semakin besar pula air bergolak dan semakin banyak pula air yang tumpah ke luar. Tetapi gelas kecil dengan kelereng di dalamnya terlihat tetap tenang seperti tidak mengalami apa-apa. Tidak ada yang tumpah, meski di luar air tengah tergoncang ke sana ke mari.

Bapak itu kemudian terbangun. Ia bingung mengartikan mimpinya. Setelah beberapa saat, ia berjalan mondar-mandir di kamarnya. Kemudian ia duduk di pinggir tempat tidurnya. Ia berdoa memohon ketenangan batin. Ia berkata, “Tuhan, semoga ini hanya sebuah mimpi. Semoga tidak terjadi apa-apa dalam hidup saya hari ini. Terima kasih, Tuhan, atas pernyertaanMu selama malam yang telah lewat.”

Sahabat, sering manusia ikut tergoncang oleh kegoncangan yang terjadi di sekitarnya. Mengapa? Karena manusia mudah diombang-ambingkan. Manusia mudah mengalami kecemasan dalam hidupnya oleh situasi di sekitarnya. Akibatnya, manusia sering mengalami duka nestapa dalam hidupnya.

Mimpi di atas mau mengatakan kepada kita bahwa meski terjadi banyak kegoncangan dalam hidup ini, kita mesti tetap bertahan. Ada berbagai persoalan yang kita hadapi, tetapi kalau kita hadapi dengan tenang, kita akan menemukan jalan keluar. Tuhan pasti membantu kita dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup.

Kita mesti menyadari bahwa hidup ini tidak selamanya berjalan dengan mulus. Ada saat orang berada di puncak kejayaannya. Tetapi ada juga saat orang terpuruk dalam kehidupannya. Dalam kondisi seperti itu, orang mesti tetap bertahan. Orang tidak perlu menyombongkan diri di kala sukses menyertai kehidupannya. Orang pun tidak perlu merasa ditinggalkan oleh Tuhan saat dirinya berada dalam keterpurukan.

Orang beriman itu orang yang selalu percaya akan penyelenggaraan Tuhan. Orang yang senantiasa menyertakan Tuhan dalam setiap peristiwa hidupnya. Memang, tidak mudah orang mau menyertakan Tuhan dalam hidupnya. Mengapa? Karena manusia memiliki egoisme dan gengsi. Dua hal ini mengatakan bahwa manusia bisa berjuang sendiri, tanpa pertolongan dari Tuhan. Manusia mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapinya.

Tentu saja hal ini tidak bisa dibenarkan begitu saja. Memang, manusia mampu melakukan apa saja untuk dirinya sendiri. Tetapi kemampuan itu hanya semu, karena Tuhan yang memiliki kehidupan ini. Kekuatan Tuhan yang menuntun manusia menuju kesuksesan dalam hidupnya.

Mari kita tetap setia kepada Tuhan dengan menerima pertolongan dari Tuhan. Kita juga mensyukuri kebaikanNya, karena Tuhan senantiasa berjalan bersama kita dalam kehidupan ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1073

Andalkan Rahmat Tuhan untuk Memurnikan Hati

Hati setiap orang mesti dimurnikan untuk menghadapi dan menjalani kehidupan yang penuh tantangan di dunia ini. Namun sering manusia tergoda untuk mengandalkan dirinya sendiri.

Ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Amerika Serikat, tahun 1994, saya terkejut menyaksikan orang-orang minum air langsung dari keran. Mereka menyebut sumber air yang ada di tempat-tempat umum itu fountain. Tinggal tekan tombol, air akan muncrat ke atas. Orang tinggal menadahnya dengan mulut. Dahaga pun lenyap.

Di rumah-rumah pun demikian. Orang tinggal membuka keran lalu menadahnya dengan gelas dan meminumnya. Orang tidak perlu takut akan menderita sakit perut. Mengapa hal itu bisa terjadi? Hal itu bisa terjadi, karena air sudah disterilkan dengan teknologi filterisasi.

Teknologi filterisasi ini membuat air murni dan aman diminum tanpa harus direbus terlebih dahulu. Dengan teknologi ini, air terbebas dari kandungan-kandungan, baik bakteri maupun ion-ion atau logam-logam yang ada dalam air. Teknologi filterisasi ini bahkan bisa mengubah air laut menjadi air minum yang bersih. Secara sepintas, air yang ada bisa jadi terlihat segar dan bersih, berwarna biru cerah. Tetapi kita mesti tetap memastikan bahwa air itu murni, sehingga aman diminum.

Sahabat, hidup rohani manusia mesti selalu mengalami pembersihan. Kita membersihkan hidup kita dari berbagai kotoran, akibat dari dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Sadar atau tidak, dosa dan kejahatan senantiasa mengancam hidup rohani kita. Kita telah berjuang untuk menghindari dosa dan kejahatan itu. Namun tetap saja kelemahan daging kita, membuat kita jatuh ke dalam dosa dan kejahatan.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa hidup rohani kita juga mesti murni. Kita mesti murni seperti air yang bisa langsung diminum dari keran. Memang, tidak mudah. Kita punya kecenderungan untuk melakukan dosa dan kesalahan. Santo Paulus mengatakan bahwa roh memang kuat, tetapi daging kita lemah.

Untuk itu, yang dibutuhkan adalah kita mesti menimba kekuatan dari Tuhan. Kita mohon kekuatan rahmat, agar kita menjadi kuat dalam perjalanan mengarungi hidup ini. Orang yang kuat itu orang yang selalu mengandalkan rahmat Tuhan. Orang yang murni hatinya itu orang yang senantiasa mengharapkan bantuan dari Tuhan untuk memurnikan hatinya.

Soalnya adalah manusia ingin berjuang sendiri. Manusia merasa dirinya mampu memurnikan hati dan hidupnya. Karena itu, manusia menolak bantuan dari rahmat Tuhan. Manusia tidak mau peduli terhadap kebaikan dan belas kasih Tuhan. Akibatnya, manusia mudah jatuh ke dalam dosa dan kejahatan. Manusia terjerembab ke dalam bahaya kematian jiwanya.

Mari kita mengandalkan rahmat dan belas kasih Tuhan. Dengan demikian, hidup kita dimurnikan oleh rahmat Tuhan. Kita menjadi orang-orang yang kuat berkat kerahiman Tuhan atas diri kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1074

12 Maret 2014

Menghadapi Hidup dengan Penuh Iman



Apa yang terjadi ketika Anda menghadapi hidup ini dengan penuh kecemasan? Saya yakin, ada banyak hal negatif yang akan terjadi dalam hidup Anda.

Pada suatu kali seorang pengusaha merasa takut melihat kondisi perekonomian negeri ini. Ia menilai, perekonomian negeri ini semakin lama semakin buruk. Pemerintah selalu mengumandangkan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi makro, tetapi faktanya di lapangan daya beli semakin menurun.

Ia berkata, “Harga-harga melambung tinggi. Uang yang masuk tetap sama, jika tidak malah berkurang. Harga daging sempat dikatakan tertinggi di dunia, lantas bandingkanlah pendapatan per kapita kita dengan negara-negara lain. Ini bisa menimbulkan kekuatiran bagi banyak orang, terutama kalangan menengah ke bawah yang akan terkena dampak terbesar dari situasi ini.”

Rasa kuatir terus-menerus timbul dalam hatinya. Tidak mau terus-terusan merasa cemas, ia pun kemudian berdoa dan kemudian tertidur pulas. Ketika bangun, ia merasa lega. Tetapi kemudian ia mulai merasa cemas lagi, karena persoalan perekonomian nasional tidak juga membaik. Bahkan akhir-akhir ini nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat anjlok. Pengimpor tidak berdaya lagi untuk mengimpor kedelai yang menjadi bahan baku bagi tempe dan tahu.

Sahabat, sepertinya manusia mesti selalu berjudi atas kehidupan ini. Manusia mesti berusaha untuk hidup baik dengan ekonomi yang memadai. Tetapi skala besar perekomonian negeri ini juga berpengaruh terhadap kehidupan pribadi manusia secara ekonomis. Daya beli semakin menurun, karena harga barang-barang kebutuhan hidup semakin tinggi. Pertanyaannya, bagaimana manusia bias hidup sejahtera dengan kondisi ekonomi yang kian terpuruk?

Yang mesti dilakukan manusia adalah tidak cepat panik terhadap situasi perekonomian nasional yang tidak menentu. Orang mesti dengan hati-hati mencermati perkembangan, sehingga ketika ada peluang positif, orang berani membenahi diri. Dengan demikian, orang tidak perlu cemas berkepanjangan.

Kisah pengusaha yang cemas di atas memberi kita peringatan bahwa orang mesti berani menghadapi kehidupan ini. Ada berbagai resiko yang mesti ditanggung, namun orang mesti tetap tenang. Ketenangan akan membantu orang untuk terus-menerus memperbaiki kondisi kehidupannya. Tentu saja orang mesti menjalani kehidupan ini dengan penuh iman kepada Tuhan.

Orang beriman selalu tidak melupakan Tuhan dalam perjalanan hidupnya. Mengapa? Karena hidup ini adalah milik Tuhan. Tuhan yang empunya kehidupan ini. Karena itu, berserah diri kepada Tuhan berarti orang berani menghadapi resiko-resiko kehidupan ini. Orang berani mempercayakan hidupnya kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang.

Memang, tidak gampang orang mau berserah diri kepada Tuhan. Banyak orang merasa gengsi. Banyak orang merasa bahwa dirinya mampu menghadapi berbagai gejolak kehidupan ini. Akibatnya, mereka dengan gagah perkasa mengandalkan kemampuan diri mereka.

Mari kita menyiapkan diri kita untuk menerima rahmat demi rahmat dari Tuhan, karena kita manusia lemah dan tak berdaya. Dengan demikian, hidup ini menjadi kesempatan untuk menciptakan kebahagiaan dan kedamaian bersama Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1072

11 Maret 2014

Menjalani Proses Kehidupan dengan Berani Berkorban



Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan tantangan. Namun sering banyak orang menghindari tantangan. Mereka memilih menjalani hidup ini dengan cara yang biasa-biasa saja. Akibatnya, banyak orang mengalami kejenuhan dalam hidup ini. Mereka begitu cepat putus asa.

Suatu ketika seorang suami menemani istrinya yang sedang membuat kue di dapur. Suami itu menyaksikan sang istri mengocok campuran beberapa bahan baku. Sang istri mengocoknya dengan penuh kesabaran, agar adonan kue bisa menjadi bagus. Sambil tersenyum sang suami berkata kepadanya bahwa pekerjaan itu terlihat melelahkan dan tampaknya membosankan.

Sambil menatap suaminya dengan senyuman, sang istri berkata, “Meski pegal, hal ini akan menentukan berhasil tidaknya kue yang akan dibakar.”

Setelah beberapa waktu, sang suami mulai melihat hasilnya. Pada saat disajikan, kue itu terasa lezat dan bagus bentuknya. Kue itu sukses dibuat.

Sambil mencicipi potongan kue itu, sang pun berpikir bahwa proses pembuatan kue hingga bisa dinikmati ini menggambarkan proses kehidupan. Kesabaran memberikan hasil yang baik dan enak untuk dinikmati. Meski dilalui dengan pegal dan capek, orang mesti menjalani proses kehidupannya.

Sahabat, hidup selalu menyita perhatian manusia. Hidup selalu meminta manusia untuk berani berkorban. Korban membuat orang capek dalam menjalani proses kehidupan. Korban menuntut kesabaran, karena korban akan mendatangkan sukacita dalam kehidupan ini. Orang yang berani bersabar dalam kehidupannya akan menemukan hidup ini begitu indah dan nikmat.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa kue itu baru bisa menjadi enak dan nikmat setelah ada jari-jemari yang rela mengocoknya. Kalau tidak ada yang berani berkorban, bahan-bahan baku tetaplah seperti itu. Tidak akan berubah bentuknya. Tepung akan tetap berada dalam bungkusnya. Telur akan tetap berada dalam cangkangnya. Gula tidak akan pernah berubah menjadi kue yang manis.

Ketika ada tangan yang mau bergerak untuk mencampur bahan-bahan baku itu dan mengocoknya, kue yang enak dan nikmat dapat tersaji di atas meja. Lidah-lidah dapat mencicip enaknya kue. Namun semua itu butuh korban. Semua itu butuh kesabaran dalam melakukan suatu kebaikan bagi kehidupan ini.

Banyak orang kurang sabar dalam menjalani proses kehidupan ini. Mereka ingin cepat-cepat menjadi orang yang kaya raya. Mereka ingin menjadi orang yang bahagia dalam sekejap. Tentu saja ini hanya mimpi. Tidak ada yang instant dalam kehidupan ini. Tidak ada yang mendadak terjadi dalam kehidupan ini. Semua mesti melalui proses. Dalam proses itu, terjadi korban yang mesti dilalui dengan penuh kesabaran.

Karena itu, mari kita menjalani proses kehidupan ini dengan penuh kesabaran. Orang yang hanya mau enaknya saja sering terjebak dalam kebingungan. Lantas kegalauan menjadi bagian dari kehidupannya. Orang beriman itu orang yang berani berkorban untuk meraih kebahagiaan dalam hidupnya. Mari kita menjalani proses kehidupan ini dengan penuh kesabaran. Dengan demikian, kita dapat menemukan hidup ini sungguh-sungguh memiliki makna yang mendalam. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1071

10 Maret 2014

Membangun Hati yang Mudah Tergerak

Sering manusia menutup mata dan hatinya ketika menyaksikan sesamanya sedang menderita. Tentu saja hal ini menjadi sesuatu yang kurang menyenangkan. Orang beriman semestinya memiliki hati yang mudah tergerak oleh penderitaan sesamanya.

Ada seorang tentara bernama Martinus yang hidup di Prancis pada abad keempat. Dalam suatu perjalanan militernya, ia berjumpa dengan seorang pengemis yang hampir mati kedinginan. Waktu itu, musim dingin sedang mendera bumi Prancis.

Melihat kondisi pengemis itu, Martinus jatuh kasihan. Ia turun dari kudanya. Sambil menatap pengemis itu, ia melepaskan mantolnya yang panjang yang membungkus tubuhnya. Lantas ia mengambil pedangnya. Beberapa saat kemudian ia memotong mantolnya itu. Lalu ia menyerahkan mantol itu kepada pengemis itu. Tidak lupa, ia juga memberikan sejumlah roti untuk pengemis itu. Hari itu, pengemis itu mengalami sukacita yang berlimpah-limpah.

Martinus meneruskan perjalanan kemiliterannya. Namun tidak lama kmudian, ia melepaskan baju kemiliterannya. Ia tersentuh oleh kondisi pengemis itu. Ia memberikan hidupnya untuk melayani sesama yang menderita. Ia mendorong sesamanya untuk mau peduli terhadap sesama yang menderita.

Sahabat, di dunia kita sekarang ini ada begitu banyak orang yang mengaku beriman kuat kepada Tuhan. Mereka beribadat dengan tekun. Mereka membaca Kitab Suci setiap hari. Tetapi sering pula kita jumpai dari orang-orang seperti itu suatu sikap egoisme yang tinggi. Kepedulian terhadap sesama yang menderita begitu kurang.

Ada suatu pemisahan antara ibadat yang khusyuk dan praktek hidup sehari-hari. Ada begitu banyak orang di sekitar kita yang membutuhkan bantuan. Mereka menginginkan uluran tangan dari sesamanya demi kelanjutan hidup mereka. Namun harapan mereka seolah sia-sia belaka. Hati mereka menjerit. Namun tidak ada yang mendengarkan jeritan mereka.

Kisah Martinus memberi suatu inspirasi bagi kita untuk memiliki suatu sikap iman yang benar kepada Tuhan. Martinus tidak perlu banyak bicara untuk membantu sesamanya yang sedang menderita. Ia tidak perlu membaca Kitab Suci dulu baru memberikan setengah dari mantolnya untuk pengemis yang kedinginan.

Hatinya terbuka untuk sesama yang menderita. Hatinya begitu mudah tersentuh oleh duka nestapa sesamanya. Hasilnya, sesamanya yang menderita itu mengalami sukacita. Ia menemukan kebahagiaan. Inilah suatu bentuk penghayatan iman yang benar. Tidak ada pemisahan antara ibadat yang khusyuk dengan praktik hidup.

Sebagai orang beriman, kita semua dipanggil untuk menghayati iman dalam hidup sehari-hari. Iman yang sering merupakan pengetahuan saja mesti menjadi nyata dalam hidup sehari-hari.

Untuk itu, kita mesti memiliki kepekaan hati. Kita mesti memiliki hati yang terbuka kepada sesama yang ada di sekitar kita. Ada begitu banyak orang yang butuh uluran tangan kita. Janganlah kita menggenggam erat tangan kita. Tetapi mari kita buka tangan dan hati kita lebar-lebar untuk sesama yang kita jumpai. Kalau ini yang kita buat, akan ada begitu banyak orang yang mengalami kebahagiaan dalam hidup. Ada sukacita berlimpah dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1071

09 Maret 2014

Belajar tentang Makna Kehidupan


Apa yang Anda kuatirkan tentang hidup ini? Banyak orang kuatir akan persediaan bahan-bahan untuk makan dan minum. Ada yang kuatir tidak punya barang-barang mewah untuk menunjang hidupnya.

“Kami tidak terlalu kuatir, jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih kuatir, jika mereka tidak pandai mengantri,” kata seorang guru di Australia.

Sewaktu ditanya mengapa dan bisa begitu, ia mengatakan bahwa kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan secara intensif untuk bisa Matematika. Sementara kita perlu melatih anak hingga 12 tahun atau lebih untuk bisa mengantri. Ia mengatakan, ada pelajaran berharga di balik proses mengantri.

“Tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu Matematika kecuali TAMBAH, KALI, KURANG dan BAGI. Sebagian dari mereka ada yang jadi penari, atlet olimpiade, penyanyi, musisi, pelukis, politikus. Biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara semua murid dalam satu kelas pasti akan membutuhkan ‘Etika Moral dan Pelajaran Berharga’ dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak,” katanya.

Ia mengatakan, ada pelajaran berharga di balik mengantri. Anak belajar manajemen waktu. Jika ingin mengantri paling depan, datang lebih awal dan persiapan lebih awal. Anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba terutama, jika ia di antrian paling belakang.

“Anak belajar menghormati hak orang lain. Yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling serobot merasa diri penting. Anak belajar berdisiplin dan tidak menyerobot hak orang lain. Anak belajar kreatif untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat mengantri,” tandasnya.

Di Jepang, biasanya orang akan membaca buku saat mengantri. Saat mengantri, anak bisa belajar bersosialisasi menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian. Anak belajar tabah dan sabar menjalani proses dalam mencapai tujuannya. Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat, mereka harus terima konsekuensinya di antrian.

Sahabat, berapa dari Anda yang mau peduli terhadap orang lain saat berada di antrian? Mungkin bisa dihitung dengan jari-jari tangan kita. Begitu banyak orang tidak ingin antri. Orang ingin berada di garis depan dalam suatu antrian. Karena itu, mereka mudah menyerobot. Tidak peduli terhadap keberadaan orang lain. Orang merasa diri jauh lebih penting daripada sesamanya. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena orang memiliki egoisme yang begitu besar.

Orang merasa dirinya yang paling penting. Orang tidak berani berhadapan dengan konsekuensi. Mokhtar Lubis, dalam bukunya Manusia Indonesia, mengatakan bahwa salah satu ciri orang Indonesia itu orang yang tidak bertanggungjawab. Orang yang tidak berani berhadapan dengan tanggung jawab. Selalu mengatakan ‘tidak’ atau ‘bukan saya’, ketika dimintai tanggungjawab atas kesalahan atau kejahatan yang dilakukannya.

Karena itu, yang dibutuhkan adalah belajar mengantri di tempat-tempat umum. Orang yang dengan sukarela mengantri itu orang yang memiliki rasa sabar yang tinggi. Orang seperti ini tidak pernah cemas akan kehidupannya. Mengapa? Karena ia sudah tahu akan konsekuensi yang dihadapinya, kalau ia tidak disiplin waktu. Akan ada kreativitas saat mengantri. Bisa saja menyapa orang-orang yang berada di depan, belakang atau samping kiri kanannya. Keramahannya memberikan kesempatan baginya untuk memiliki teman dan sahabat baru.

Sayang, di negeri ini tidak ada pendidikan untuk mengantri. Otak anak-anak Indonesia lebih dijejali oleh angka-angka matematis. Bukan nilai-nilai moral dan kehidupan yang sebenarnya lebih mereka butuhkan untuk perjalanan hidup mereka.

Untuk itu, dibutuhkan suatu kesadaran baru tentang makna kehidupan. Yang dibutuhkan dalam hidup ini bukan hal-hal material. Tetapi juga hal-hal moral dan spiritual yang justru membantu orang untuk maju dalam kehidupannya. Mari kita belajar untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih harmonis. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1070

08 Maret 2014

Belajar dari Kehidupan Sehari-hari


Belajar dari kehidupan sehari-hari mulai ditinggalkan oleh anak-anak zaman kini. Mereka lebih memilih sesuatu yang jauh dari diri mereka untuk belajar kehidupan. Padahal sesuatu yang dekat itulah sesuatu yang nyata.

Seorang anak selalu protes terhadap orangtuanya, ketika diminta untuk mengerjakan sesuatu. Setiap hari ia mesti menyelesaikan satu pekerjaan. Setiap anggota keluarga mempunyai tugas masing-masing. Sang Ibu bukan hanya memerintah anak-anaknya. Namun nasihatnya bak air terjun yang tidak pernah habis mengalir. Selalu saja muncul dari mulutnya kata-kata nasihat.

Suatu hari anak itu berkata, “Aku protes, mengapa setiap hari kami harus bekerja. Mengapa ibu selalu ngomel, memberi nasihat tanpa henti?”

Namun orangtuanya sudah punya alasan yang tepat untuk anaknya. Sang bapak berkata, “Kami minta kamu semua bekerja, bukan berarti kami tidak mencintai kalian. Kami sangat menyayangi kamu semua. Kami hanya ingin melatih kamu, supaya dapat bekerja.”

Rupanya kemandirian dalam hidup menjadi hal utama yang mau ditanamkan dalam diri anak-anak. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dan dapat memiliki masa depan yang cerah.

Suatu hari Sang Ibu berkata, “Semua itu kami lakukan karena cinta kepada anak-anak. Kami akan mewariskan hidup, iman dan cinta kepada anak-anak. Kami ingin hidup, cinta dan iman ini terus-menerus hidup. Anak-anak yang meneruskan usaha, perjuangan dan hidup kami.”

Sahabat, inilah suatu kesempatan yang sangat indah bagi anak-anak untuk belajar mengenai kehidupan. Orangtua menjadi contoh dan teladan bagi hidup anak-anak. Mereka dapat berbicara dari hati ke hati dan dapat saling menerima. Mereka dapat saling memahami.

Situasi seperti ini tentu saja sungguh-sungguh menyenangkan. Ada suasana saling berbagi kasih. Ada situasi orang saling belajar tentang makna kehidupan. Ternyata hidup itu tidak dijalani begitu saja. Hidup itu mesti diarahkan. Hidup itu mesti memiliki tujuan yang jelas.

Orangtua memberi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Ada pepatah mengatakan bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Artinya, orangtua yang mengajarkan sesuatu yang baik melalui cara hidupnya yang baik akan berbuah kebaikan pula. Hal itu tampak dalam perilaku anak-anaknya.

Soalnya, di zaman sekarang banyak anak yang kurang mendapatkan contoh dan teladan yang baik dari orangtuanya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaan dan bisnis mereka. Peran mereka sebagai orangtua sudah digantikan oleh baby sitter atau pengasuh. Mereka tinggal menerima beres saja.

Benarkah hal ini? Semestinya orangtua mengambil peran yang lebih banyak dalam mendidik anak-anak mereka. Orangtua mesti lebih banyak berada bersama anak-anak mereka. Orangtualah yang semestinya mewariskan nilai-nilai hidup kepada anak-anak mereka. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1069

07 Maret 2014

Membekali Diri dengan Iman



Iman merupakan kekuatan yang besar untuk menghadapi pergulatan hidup di zaman modern ini. Karena itu, orang beriman mesti berani menumbuhkan imannya.

Suatu hari seorang pemudi tampak bingung. Ia sudah banyak berdoa dan memuji Tuhan, tetapi hidupnya tetap biasa-biasa saja. Tidak ada perubahan yang besar terjadi dalam hidupnya. Begitu banyak persoalan yang ia hadapi. Ia ingin agar persoalan-persoalan itu cepat berlalu. Tetapi mengapa ia masih saja bergulat dengan persoalan-persoalan? Bukankah Tuhan itu mahabaik dan mahapenyayang?

Pemudi itu terus-menerus bergulat dengan persoalan-persoalan yang silih berganti mendatanginya. Ia merasa ketahanan imannya ditantang. Tetapi ia tidak pernah menyerah. Ia tetap berdoa kepada Tuhan. Ia menyerahkan hidupnya ke dalam tangan Tuhan. Ia yakin, Tuhan akan menolongnya.

Karena itu, meski persoalan-persoalan silih berganti menghadangnya, ia tetap bertahan di dalam imannya akan Tuhan. Ia membekali dirinya dengan hidup yang baik di hadapan Tuhan. Ia berusaha melakukan hal-hal yang baik dan berkenan kepada Tuhan.

Sahabat, kita hidup di dalam dunia. Menjadi orang beriman tidak berarti kita dijauhkan dari persoalan-persoalan hidup. Bahkan orang mengatakan bahwa semakin beriman kepada Tuhan, orang semakin banyak mengalami tantangan hidup. Hidup itu tidak menjadi semakin mudah. Tetapi orang sering bergulat dengan imannya dalam dunia yang nyata.

Untuk itu, iman yang teguh kepada Tuhan menjadi dasar atau landasan bagi hidup di zaman modern ini. Yang penting adalah orang mau terus-menerus terbuka kepada Tuhan dan sesama. Keterbukaan hati kepada Tuhan dan sesama itu membantu orang untuk senantiasa bertahan dalam imannya.

Orang yang beriman itu orang yang mampu bertahan dalam berbagai persoalan yang dihadapinya. Mengapa? Karena orang seperti ini selalu menaruh pengharapan kepada Tuhan. Orang seperti ini tidak gampang hilang akal, ketika ada persoalan yang menghadang hari-hari hidupnya. Bahkan ia akan mencari jalan-jalan untuk mengatasi persoalan-persoalan hidupnya. Tentu saja dengan bantuan Tuhan yang ia yakini senantiasa menyertainya.

Sebagai orang beriman, tentu kita ingin agar iman kita semakin menjadi nyata dalam hidup sehari-hari. Karena itu, kita mesti tetap menaruh pengharapan pada Tuhan. Kita berharap, Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang itu senantiasa menyertai perjalanan hidup kita. Tuhan tidak pernah membiarkan kita berjalan sendiri di dunia ini. Tuhan selalu bekerja bersama kita.

Untuk itu, pengaharapan itu juga mesti disertai dengan sikap pasrah setia kepada Tuhan. Orang yang takwa itu orang yang selalu kreatif dalam hidup ini. Orang yang tidak kehilangan akal saat berhadapan dengan berbagai persoalan hidup. Mari kita senantiasa menaruh pengaharapan kita kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1068

06 Maret 2014

Melepaskan Diri dari Sekat-sekat


Melepaskan diri dari kungkungan keterbatasan mengandaikan orang berani membarui dirinya. Sayang, banyak orang tetap tinggal dalam kungkungan keterbatasan itu.

Suatu hari seekor merpati lepas dari sangkarnya. Sejak kecil ia hidup di dalam sangkar. Bahkan ia dilahirkan di dalam sangkar itu. Ia terbang dan terbang. Namun tidak bisa terbang lebih tinggi dan jauh daripada merpati-merpati lain yang berada di alam bebas. Ia merasa penasaran melihat teman-temannya terbang begitu tinggi dan jauh. Ia ingin sekali terbang tinggi seperti mereka. Namun ia tidak bisa lakukan itu.

Lantas ketika bertemu dengan salah satu temannya, ia bertanya, ”Mengapa kamu bisa terbang tinggi dan jauh? Mengapa saya tidak punya kekuatan seperti kalian?”

Temannya itu balik bertanya kepadanya, ”Di mana tempat kamu tinggal selama ini? Dari mana kamu belajar terbang?”

Merpati putih itu terkejut mendengar pertanyaan temannya itu. Ia mengira, semua merpati pasti bisa terbang tinggi dan jauh. Saat itu juga ia mulai menyadari kenyataan dirinya. Sangkar yang selama ini menjadi tempat tinggalnya yang nyaman itu telah membentengi dirinya. Ia tidak bisa terbang lebih tinggi dan jauh. Sangkar itu telah memberi dia pelajaran untuk terbang sebatas sangkar itu.

Sahabat, sering manusia juga mengalami hal yang sama dengan merpati yang berada di dalam sangkar itu. Pikiran manusia sering terbelenggu oleh lingkungan di mana ia hidup. Lingkungan yang memiliki keterbatasan akan menjadikan manusia memiliki keterbatasan pula dalam hidup ini. Karena itu, manusia mesti berusaha untuk keluar dari lingkungan yang terbatas itu.

Soalnya, banyak orang membiarkan dirinya dibatasi oleh sekat-sekat. Mereka membiarkan diri mereka terbelenggu oleh keterbatasan-keterbatasan diri itu. Mereka berusaha untuk menikmatinya. Padahal ketika mereka berlangkah melewati batas-batas itu, mereka akan menemukan berbagai hal yang lebih hebat lagi.

Karena itu, orang mesti memilah-milah mana hal-hal yang membelenggu dirinya dan mana yang tidak. Hal-hal yang membelenggu diri itu mesti diperangi, agar manusia dapat menemukan sesuatu yang lebih luas. Orang tidak boleh membiarkan dirinya terbelenggu oleh sekat-sekat yang menghancurkan dirinya.

Untuk itu, orang mesti berani membarui diri secara terus-menerus. Caranya adalah dengan meninggalkan belenggu-belenggu itu dan menerima hal-hal baru yang mampu mengubah sikap hidupnya. Sikap hidup yang kurang baik mesti diganti dengan sikap hidup yang menguntungkan bagi diri dan sesama.

Orang beriman itu orang yang berani membarui dirinya. Orang yang mampu menilai secara kritis hal-hal yang membelenggu dirinya. Orang yang mau memajukan hidup dirinya dan sesamanya. Mari kita berusaha untuk membarui diri kita, agar kita tidak terkungkung oleh keterbatasan-keterbatasan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1067