Pages

30 April 2014

Mengalami Tuhan dalam Hidup Sehari-hari


Sering orang mengalami bahwa Tuhan jauh dari hidupnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena orang hanya mengandalkan dirinya sendiri. Tuhan hadir dalam kehidupan manusia.

Di suatu desa, hiduplah seorang petani dan anaknya. Ayah dan anak ini menanam padi untuk penghidupan mereka. Setelah mencangkul di musim kemarau yang panas, keduanya mulai menanam di musim hujan tiba. Maklum, kebun yang mereka miliki adala ladang yang hanya bisa ditanami di musim hujan.

Sang anak bekerja tanpa kenal lelah membantu ayahnya. Ia tidak peduli kedua telapak tangannya menjadi tebal. Butir-butir keringat yang ia cucurkan menjadi sumber rejeki bagi keluarganya. Setelah menanami ladang penuh dengan padi, keduanya mulai beristirahat. Mereka menunggu sampai masa penyiangan tiba. Mereka akan membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di sela-sela padi.

Setelah masa penyiangan selesai, keduanya tetap bekerja dengan memberi pupuk pada batang-batang padi itu. Hingga suatu ketika keduanya menikmati hasil panen yang melimpah dari ladang mereka. Setelah beberapa hari padi-padi itu dipanen, sang anak berkata kepada ayahnya, “Ayah, beri saya waktu untuk istirahat. Saya mau pergi ke kota. Boleh kan sesekali saya menikmati hasil kerja kita?”

Ayahnya tersenyum mendengar permintaan anaknya. Ia mengerti itulah keinginan setiap pemuda. Mereka bekerja untuk mengumpulkan uang. Setelah itu mereka gunakan untuk berfoya-foya. Mereka butuh kesempatan untuk menikmati hidup. Tidak selamanya orang hanya bekerja dan bekerja.

Karena itu, ayahnya mengijinkan anaknya itu untuk meninggalkan desa menuju kota. Meski ia tahu bahwa anaknya akan seperti rusa masuk kota, ia tetap membiarkan anaknya pergi. Ia butuh pengalaman. Ia butuh kesempatan untuk mengisi hidupnya dengan pengalaman-pengalaman baru. Apa yang akan terjadi dengan dirinya, sang ayah yakin, anaknya akan mampu bertanggungjawab.

Sahabat, orang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Orang yang berani bergelut dengan pengalaman akan menemukan bahwa hidup ini memiliki aneka keindahan. Orang berani belajar dari pengalaman-pengalaman itu. Orang mengasah ketrampilan dirinya melalui pengalaman-pengalaman itu.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa orang akan menemukan pengalaman baru dalam hidupnya, ketika ia berani melangkahkan kakinya. Pengalaman itu mesti dijalani. Pengalaman tidak datang dengan sendirinya. Ketika pemuda itu berani meninggalkan desanya, ia boleh berharap akan mendapatkan berbagai pengalaman menarik. Pengalaman-pengalaman baru itu akan memperkaya dirinya dalam hidupnya sehari-hari.

Demikian halnya dengan pengalaman akan Tuhan. Kita percaya bahwa penyertaan Tuhan kita alami dalam kehidupan kita yang nyata. Mengapa? Karena Tuhan hadir dalam perjalanan hidup kita. Tuhan hadir dalam pengalaman hidup kita sehari-hari. Karena itu, orang beriman mesti berani mencari Tuhan dalam hidup sehari-hari.

Orang beriman mesti berusaha menemukan Tuhan dalam kehidupannya yang nyata. Lantas kalau sudah berjumpa dengan Tuhan, orang mesti berani bertanya tentang kehendak Tuhan bagi dirinya. Hanya dengan cara ini, orang mampu berjalan bersama Tuhan. Orang mampu mengenal kehendak Tuhan bagi hidupnya. Dengan demikian, orang menemukan sukacita dan damai dalam hidupnya. Tuhan memberkati **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/SIGNIS INDONESIA


1088

26 April 2014

Mengampuni meski Terasa Sakit




Memaafkan sesama tidak selalu mudah. Hal ini karena di dalam diri kita sudah tertanam rasa sakit. Kita bahkan berusaha untuk membalas dendam.

Seorang gadis merasa kecewa luar biasa terhadap pacarnya. Pasalnya, ia merasa sudah banyak berkorban untuk pacarnya itu. Tetapi pacarnya itu serta merta meninggalkan dirinya. Tanpa alasan yang jelas. Bahkan pacarnya itu sudah punya pacar baru. Hati gadis itu pedih serasa diiris sembilu.

Gadis itu mengaku bahwa ia sulit melupakan peristiwa pedih itu. Akibatnya, ia merasa sulit untuk mengampuni mantan pacarnya itu. Ia berkata, ”Tidak ada pintu maaf di hati saya baginya. Saya merasa sakit. Saya tidak bisa menerima perlakuannya. Saya sadar, saya bukanlah yang tercantik, tetapi saya juga punya hak untuk tidak diperlakukan seperti ini.”

Sejak itu, gadis itu tidak percaya terhadap setiap lelaki. Ia menolak semua pemuda yang berusaha mendekatinya. Ia tidak mau gagal untuk yang kedua kalinya. Ia menutup pintu hatinya rapat-rapat bagi setiap cinta dari kaum lelaki. Ia memutuskan untuk hidup sebatang kara. Ia tidak mau hidup bersama seorang lelaki pun untuk membangun sebuah keluarga. Baginya, hidup menyendiri lebih bermakna.

Sayang, gadis itu tetap merasa sulit untuk mengampuni. Pintu pengampunan sudah tidak ada bagi mantan pacarnya itu. Ia hidup dalam situasi penuh curiga. Mengapa hal itu terjadi? Karena ia tidak ingin disakiti. Ia tidak ingin dikecewakan lagi. Baginya, satu kali kecewa itu sudah cukup. Gadis itu akhirnya mengakhiri hidupnya dalam kesendirian dan kekecewaan yang mendalam.

Sahabat, orang yang hidup tanpa cinta kasih itu sebenarnya orang yang telah mati. Ia tidak digerakkan oleh dorongan cinta kasih yang menjadi dasar hidup seorang manusia. Orang seperti ini lebih mementingkan dirinya sendiri. Orang seperti ini tumbuh dalam egosime yang sangat kuat.

Padahal cinta kasih yang normal itu membawa rasa sakit dalam hidup. Cinta kasih yang tulus itu membiarkan dirinya merasa kecewa, karena korbannya dianggap sepele. Cinta kasih yang sesungguhnya itu dibangun di atas butir-butir keringat dan airmata. Ada rasa sakit. Ada korban. Namun orang tidak berhenti pada rasa sakit dan korban. Orang mesti bangkit dari rasa sakit itu. Orang mesti berani meninggalkan rasa sakit dan kecewa. Caranya adalah dengan berani melupakan perlakuan dari mereka yang menyebabkan hati tersayat-sayat. Caranya adalah dengan mengampuni mereka yang telah membuat menusuk hati kita dengan kata-kata yang tidak mengenakkan.

Orang beriman itu selalu punya pintu pengampunan bagi sesamanya yang melakukan dosa dan kesalahan terhadap dirinya. Hanya dengan pengampunan itu, orang dapat lepas dari rasa sakit hati. Hanya dengan memberikan maaf yang tulus orang dapat mengobati luka batinnya.

Membiarkan diri terus-menerus didera oleh kekecewaan adalah suatu tindakan kurang bijak. Mengapa? Karena yang mengalami rasa sakit itu adalah diri sendiri. Bukan orang lain. Yang mengalami luka batin itu adalah diri sendiri. Karena itu, dalam ketegaran hati orang mesti memiliki hati yang mudah tersentuh untuk mengampuni sesamanya. Tuhan memberkati **



Frans de Sales SCJ

Majalah FIAT/SIGNIS INDONESIA


1087

15 April 2014

Mengasihi Seperti Tuhan Mengasihi Kita



Sudahkah Anda mengasihi saudara Anda yang paling dekat dengan tulus hati? Kalau belum, mengapa Anda belum bisa mengasihinya dengan hati yang tulus?

Suatu hari seorang ibu tiba-tiba meninggal dunia. Beberapa menit sebelumnya ia baru saja menelephone seorang temannya. Tetapi begitu selesai memutuskan hubungan telephone, ia pun merebahkan diri. Ia menghembuskan nafas terakhirnya. Banyak orang tidak percaya akan peristiwa itu. Orang-orang yang mendengar berita itu pun menggeleng-gelengkankan kepala. Ada yang berkata, “Begitu cepat dia pergi untuk selamanya. Tidak disangka. Dia meninggal dengan begitu damai.”

Pada hari pemakaman, ribuan orang datang melayat. Kali ini mereka datang bukan karena mereka terkejut oleh peristiwa kematian yang tiba-tiba itu. Tetapi lebih dari itu, mereka ingin memberikan penghormatan yang terakhir bagi ibu itu. Mereka mencintai ibu itu. Mereka menyanginya.

Salah seorang pelayat berkata, “Dia orang yang baik. Dia peduli terhadap sesamanya. Ia tidak memilih orang dalam bergaul. Ia bergaul dengan semua orang.”

Seorang yang lain lagi mengatakan bahwa ibu itu seorang yang beramal dengan hati yang tulus. Ia tidak mencari muka. Ia tidak mau disanjung-sanjung. Karena itu, pantaslah ribuan orang melayat saat dia meninggal dunia. Tidak sedikit pula dari para pelayat itu meneteskan air mata. Mereka merasa kehilangan seseorang yang sangat berjasa bagi perjalanan hidup mereka.

Sahabat, kebaikan seseorang tidak dinilai dari seberapa besar ia mengasihi, tetapi dari seberapa besar ia dikasihi oleh orang lain. Mengasihi berarti orang berani memberikan hidup bagi yang lain tanpa mengharapkan balasannya. Hal ini sering sulit terjadi, karena banyak orang takut kehilangan dirinya. Banyak orang takut kehilangan kasih itu. Padahal ketika orang mengasihi yang lain, orang mendapatkan kasih yang tak henti dari sesamanya itu.
  
Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa perbuatan baik dalam kasih itu tinggal tetap di dalam diri orang-orang yang menerima kasih itu. Mengapa? Karena kasih itu tak berkesudahan. Kebencian, iri hati dan kesombongan akan berlalu, tetapi kasih terhadap sesama akan dikenang terus-menerus. Kasih tidak membunuh, tetapi kasih justru memberi hidup kepada manusia.

Namun kasih yang sungguh-sungguh kudus dan asali berasal dari Tuhan. Setiap hari Tuhan mencurahkan kasih-Nya ke dalam hati manusia. Sering manusia melewatkan kasih Tuhan itu. Manusia tidak bisa menerima kasih Tuhan, karena mau mengandalkan dirinya sendiri. Manusia berpikir bahwa kemampuannya mampu melakukan kasih yang besar kepada sesamanya.

Untuk itu, yang dibutuhkan adalah manusia membuka hatinya lebar-lebar bagi hadirnya kasih Tuhan dalam dirinya. Kesombongan diri mesti dibuang jauh-jauh, karena manusia adalah makhluk yang lemah. Santo Yohanes berkata, “Di luar dari Tuhan yang adalah kasih itu sendiri, tidak ada seorang pun dari kita yang dapat benar-benar mengasihi atau dikasihi” (1Yoh. 4:7-8).

Mari kita saling mengasihi dengan mendasarkan kasih kita pada kasih Tuhan. Dengan demikian, kita boleh ambil bagian dalam kebahagiaan kekal. Tuhan memberkati. **
 


Frans de Sales SCJ

Majalah FIAT


1086

11 April 2014

Menghidupi Kebaikan yang Telah Kita Rebut


Kebaikan tidak datang dengan sendirinya. Kebaikan mesti diperjuangkan terus-menerus. Karena itu, orang beriman tidak boleh berpangku tangan demi menghidupi kebaikan dalam hidup sehari-hari.

Ada seorang guru bijaksana yang mengajarkan kepada murid-muridnya untuk senantiasa mencari yang baik. Murid-muridnya tidak boleh mengejar yang jahat dalam hidup mereka. Guru itu memberi alasan bahwa hidup dalam kebaikan itu membuahkan hal-hal yang indah. Sukacita akan dialami dalam hidup manusia. Kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup manusia itu bukan hanya dalam angan-angan.

Sedangkan mengejar yang jahat hanya menaruh hidup di ujung bahaya. Hidup orang hanya dipenuhi dengan kebencian, iri hati dan kecenderungan untuk melakukan hal-hal jahat. Pikiran orang yang mengejar kejahatan itu hanya tertuju pada menghancurkan sesamanya.

Guru bijaksana itu berkata kepada murid-muridnya, “Cintailah yang baik. Hiduplah baik dengan semua orang. Yang harus ada dalam diri Anda adalah mengasihi semua orang tanpa memandang siapa mereka.”

Menurut murid-muridnya, ajaran seperti ini tidak gampang. Masih ada begitu banyak kecenderungan dalam diri mereka untuk membenci sesamanya. Mereka masih iri terhadap sesamanya yang melakukan hal-hal yang baik.

Tentang hal ini, guru bijaksana itu berkata, “Kalau kamu melihat ada orang yang baik, jangan kamu menaruh iri atau benci. Tetapi kamu harus menerimanya dengan baik. Kamu harus belajar dari orang itu bagaimana dia bisa melakukan kebaikan bagi sesamanya. Dengan cara itu, kamu mampu melakukan hal-hal yang baik.”

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang sering ngotot-ngototan. Banyak dari kita yang tidak mau orang lain melebihi kita dalam berbuat baik. Kita cenderung iri hati. Kita cenderung menyisihkan sesama yang melakukan kebaikan itu. Tentu saja hal ini mesti kita buang jauh-jauh. Mengapa? Karena hanya dalam kebaikan itu kita mampu memperjuangkan hidup ini. Hanya dalam suasana kasih dan persaudaraan kita mampu membawa hidup kita dan sesama menuju kebahagiaan.

Kisah pengajaran guru bijaksana di atas menjadi suatu inspirasi bagi kita untuk senantiasa mengutamakan kebaikan dalam hidup ini. Mencari dan menumbuhkan kebaikan dalam hidup kita lebih beruntung. Kita bebas dari konflik-konflik. Kita tidak perlu menempatkan hidup kita di ujung kebinasaan.

Untuk itu, kita mesti terus-menerus belajar untuk mengejar kebaikan dalam hidup kita. Artinya, dengan hidup dalam kebaikan itu, kita mau agar hidup ini menjadi lebih baik dan menyenangkan. Kita ingin membawa diri kita dan sesama kita menuju kebahagiaan yang menjadi dambaan hidup kita.

Mari kita mengejar kebaikan dalam hidup ini. Dengan demikian, kasih senantiasa tumbuh dan menjadi andalan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1087

02 April 2014

Dalam Kegalauan, Tetap Beriman kepada Tuhan



Apa yang akan terjadi, ketika Anda mampu mengabadikan otak Anda dalam keabadian digital? Saya merasa bahwa hal ini akan membawa kegoncangan terhadap iman Anda.

Stephen Hawking mengatakan bahwa otak mampu berdiri sendiri di luar tubuh dan mendukung manusia untuk memperoleh keabadian.

Pada Sabtu (21/9) yang lalu, Hawking berkata, "Saya pikir otak seperti sebuah program dalam pikiran, seperti komputer, jadi secara teoretis sebenarnya mungkin untuk menyalin otak ke komputer dan mendukung bentuk kehidupan setelah mati."

Namun, menurut Hawking, seperti ini masih di luar kapasitas manusia saat ini. Selama ini, berdasarkan kepercayaan yang diyakini, banyak manusia memahami bahwa setelah mati, manusia akan menjadi abadi di alam yang berbeda. Jiwa manusia bertemu dengan Tuhan serta berada di surga atau neraka sesuai perbuatannya selama hidup.

Keabadian seperti yang diungkapkan Hawking kerap disebut dengan keabadian digital. Dalam hal ini, manusia abadi tetapi tidak dalam tubuh biologisnya. Dalam keabadian digital, eksistensi manusia tak lagi tergantung pada tubuh karena tubuh bisa diupayakan.

Keabadian seperti yang dimaksud Hawking sebenarnya sudah sering dibahas, termasuk oleh Ryan Kurzweil, salah satu insinyur di Google.

Dalam Global Futures 2045 International Congress, sebuah konferensi futuristik yang digelar di Amerika Serikat pada 14-15 Juni 2013 lalu, seperti diberitakan Huffington Post pada 20 Juni 2013, Kurzweil mengungkapkan bahwa keabadian digital bisa tercapai pada tahun 2045.

Salah satu teknologi kunci yang mendukung keabadian digital adalah mind uploading atau pengunggahan pikiran ke komputer alias dunia digital.

Sementara itu, keabadian digital mungkin terjadi dan telah banyak dibicarakan, tetapi banyak pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Misalnya, mengapa manusia harus hidup abadi? Apa manfaatnya? Apa masalahnya kalau manusia hidup lalu mati saja seperti yang dialami saat ini?

Sahabat, setiap orang ingin meraih hidup abadi, namun tidak semudah yang diinginkan. Orang mesti berusaha hidup baik dan benar di hadapan Tuhan dan sesama. Tentu saja keabdian yang dimaksud tidak sama dengan keabadian digital. Keabadian yang ingin diraih oleh manusia yang hidup adalah persekutuan yang erat dengan Sang Pencipta kehidupan setelah manusia menghembuskan nafas terakhir.

Keabadian digital boleh saja terjadi dengan mengandaikan otak manusia yang masih berfungsi setelah kematiannya. Namun bukankah otak selalu menjadi ukuran ketika nyawa seseorang dipertaruhkan? Ketika orang tidak berfungsi lagi lalu dokter akan mengatakan bahwa seseorang telah tiada.

Memang seandainya keabadian digital sungguh-sungguh terjadi, tentu saja tidak semua otak manusia itu diabadikan. Tentu ada seleksi-seleksi yang diadakan agar dapat direkam dengan baik ke dalam computer yang tersedia. Andaikan setiap orang bisa mengkopi data-data yang ada dalam otaknya, tentu saja tindakan ini tidak perlu menunggu kematian manusia tersebut. Selagi masih hidup sehat walafiat, orang bisa mengkopi data-data yang ada dalam otaknya.

Sebagai orang beriman, kita tetap teguh pada iman kita akan keabdian yang bersekutu dengan Tuhan. Tuhan selalu ingin bersekutu dengan kita dalam keabadianNya. Memang, untuk itu manusia mesti membuka hatinya terhadap rahmat demi rahmat yang dicurahkan kepadanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Signis Indonesia/Majalah FIAT

1086