Pages

04 April 2015

Aliran-Aliran Air Hidup

Tubuh Tuhan lemas tak berdaya dalam penyerahan total kepada Bapa. Begitu nafas terakhir Ia hembuskan, tertunduklah kepala-Nya ingin menyatukan diri-Nya dengan dunia yang telah Ia tebus.
     
Sudah selesaikah semuanya? Tidak! Masih ada rahmat istimewa yang Ia tinggalkan bagi umat Allah yang masih mengembara di dunia ini. Ia tinggalkan aliran-aliran air hidup bagi dahaga jiwa manusia.
  
Serdadu-serdadu serta merta menombak lambung Yesus, begitu mereka tahu bahwa Yesus sudah menghembuskan nafas terakhirNya. Apa yang terjadi? Tombak itu tidak hanya menembus lambung-Nya. Tombak itu merobek juga jantung-Nya. Darah dan air mengalir membasahi tubuh-Nya dan bumi manusia.

Tentu para prajurit itu terheran memandang Yesus yang telah mereka tikam. Mereka tidak tahu artinya. Mereka hanya melaksanakan tugas. Untung ada seorang lain yang menyaksikan peristiwa itu. Ia memberikan kesaksian mengenai kebenaran itu. Ia memandang kepada Dia yang telah mereka tikam. Pada pesta Pondok Daun di Yerusalem, Yesus sudah menyatakan bahwa kehidupan akan diperoleh manusia, kalau mereka mau minum dari aliran-aliran air hidup yang mengalir dari hati-Nya.
   
“Dan pada hari terakhir pada puncak perayaan itu, Yesus berdiridan berseru: ‘Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum! Barangsiapa percaya kepadaku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup...’” (Yoh 7:37-38).
    
Yesus meninggalkan aliran air hidup itu untuk dunia yang selalu haus akan kasih Allah. Dunia selalu membutuhkan seteguk air yang mengalir tenang dari hati-Nya yang lembut dan rendah hati. Air yang Dia berikan bukan air biasa seperti Musa yang memberi air kepada umat Israel di padang gurun. 
    
Yesus memberikan air yang tidak akan pernah binasa. Air yang Ia berikan itu mengalir tiada henti. Air itu merasuk setiap hati yang beku, agar menimba mata air hidup yang tidak pernah mati itu.
     
Yesus meninggalkan aliran air hidup dari hati-Nya itu untuk dunia.Siapa saja yang rindu meminumnya mesti datang kepada-Nya, karena Ia tidak pernah menolak setiap jiwa yang haus.

Dewasa Ini: Masih Ada Aliran Air Hidup
 
Setiap pagi seorang ibu selalu berdoa di depan salib di dalam gereja. Salib itu sangat besar. Tampak jelas sekali mahkota duri yang menusuk kepala Yesus. Lantas ada semacam aliran air yang mengalir dari lambung Yesus yang tertikam. Ibu itu melakukan doa itu usai misa harian. Matanya sering memandang ke lambung Tuhan Yesus yang tertikam.
   
Meski salib itu digantung agak tinggi, ia tetap mendongakkan kepala menatap lambung yang tertikam itu. Sementara itu mulutnya komat-kamit melantunkan doa-doa. Entah doa apa. Ia sungguh-sungguh khusyuk menikmati doa pagi usai misa pagi itu sementara umat yang lain khusyuk berdoa kepada Tuhan melalui Bunda Maria dengan menyalakan lilin di depan patung Bunda Maria.
   
“Ibu, mengapa ibu selalu menatap salib itu?” suatu kali saya bertanya kepadanya.

“Saya haus,” jawabnya singkat.

“Mengapa ibu haus?”

“Karena anak-anak saya kurang setia kepada Tuhan Yesus. Ada yang sering pergi ke gereja-gereja lain pada hari Minggu. Ada yang tidak mau ke gereja lagi pada hari Minggu,” tutur ibu itu memberikan alasan.
 
“Jadi?”
 
“Saya ingin menyegarkan rasa haus saya dari lambung Tuhan Yesus yang tertikam. Memandang saja lambung-Nya hati saya terasa disegarkan,” kata ibu itu sembari berjanji untuk membujuk anak-anaknya kembali ke Gereja Katolik.
  
Keesokan harinya, ia tetap berlutut di tempat yang sama memandang salib besar yang terpampang di sebelah kiri altar itu. Ia yakin, denganmemandang lambung Yesus yang tertikam, ia mampu menimba air kehidupan yangmengalir dari hati Tuhan Yesus.
 
“Anak-anak saya mulai sadar. Mereka mulai mau kembali ke Gereja Katolik,” cerita ibu itu suatu hari lain beberapa bulan kemudian.
   
“Reaksi ibu?”
   
“Saya senang sekali. Doa saya dikabulkan oleh Tuhan Yesus. Hari Minggu yang lalu kami sekeluarga duduk di satu deretan bangku di gereja. Usai misa saya mengajak mereka untuk berdoa .Kami bersama-sama memandang lambung Tuhan Yesus yang tertikam. Sungguh luarbiasa! Rasa haus saya sungguh-sungguh disegarkan oleh Tuhan Yesus sendiri,” tutur ibu itu sambil meneteskan air mata kebahagiaan.
   
Ibu dan keluarganya kemudian setiap pagi mengikuti Misa Kudus digereja. Tidak lupa mereka berlutut di hadapan salib Yesus untuk menimba aliran-aliran air hidup yang mengalir dari lambung-Nya yang sobek oleh tombak prajurit-prajurit yang bengis.
    
Aliran-aliran air hidup itu memang masih mengalir hingga kini. Ia tidak pernah berhenti mengalir, karena kasih-Nya tak pernah putus. Ia mengasihi semua orang termasuk para pendosa yang jahat sekalipun. Aliran air hidup yang mengalir itu juga menarik setiap hati yang dahaga, karena pengembaraan yang tak berujung. Tuhan Yesus tetap menantikan setiap orang yang dahaga untuk menimba air kehidupan dari hati-Nya. **

Frans deSales SCJ

02 April 2015

Inilah Anakmu, Inilah Ibumu

Jumat, 03 April 2015
Hari Jumat Agung --- Memperingati Sengsara dan Wafat Tuha
n
     

Yes. 52:13 - 53:12; Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25; Ibr. 4:14-16; 5:7-9; Yoh. 18:1-19:42 
    

 Dari ketinggian salib yang memuliakan-Nya, Sang Putra memandangi sang Bunda yang terpuruk dalam kepedihan sore yang mencekam dan sepi. Sang Bunda tercinta masih bersimbah air mata di kala sang Putra yang dikasihi tergantung di salib. Batinnya tersayat, bukan hanya sekadar oleh selembar sembilu. Tetapi sanubarinya terluka bagai ditusuk pedang ’samurai’.

Ramalan Simeon di kala ia mempersembahkan Sang Putra di Bait Allah itu tergenapi. Kini batinnya sungguh-sungguh tertikam sebilah tombak kekejaman. Karena itu, ia menangis meratapi putranya. Ia memandanginya dari bawah salib sambil menyerahkan Putranya ke dalam tangan Sang Bapa.
 
“Kenapa peristiwa keji ini mesti menimpa Engkau? Aku, ibumu, berada di sini siap menerimamu kembali ke dalam haribaanku,” barangkali itulah kata-kata yang pas ia ucapkan dari bibirnya yang gemetar.

“lbu, mengapa engkau menangis? Aku di atas salib ini sedang mengejawantahkan kehendak Bapa-Ku. Aku sudah dimuliakan, karena tugasku sudah purna,” kata Sang Putra, menghibur kepedihan batin sang Bunda.

Memang, Dia sudah mulia dengan memeluk salib yang berat itu. Kemuliaan-Nya semakin sempurna di kala korban-Nya diterima oleh Sang Bapa. Karenanya, Dia ingin agar Sang Bunda pun belajar daripada-Nya. Biarlah ia belajar berkorban, agar semakin banyak orang memperoleh keselamatan.

Caranya adalah dengan menyerahkan murid terkasih-Nya ke dalam tangan Sang Bunda. “Ibu, inilah anakmu,” kata-Nya dari atas kemuliaan-Nya.

Sang Bunda mesti belajar mencapai kemuliaan dengan menerima sesamanya dalam hidup sehari-hari. Hal itu sama seperti yang Dia lakukan ketika menerima semua orang yang datang kepada-Nya. “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang,” kata Yesus kepada seorang perempuan yang hendak dirajam karena kedapatan berbuat zinah.

Inilah suatu contoh betapa kemuliaan yang Dia peroleh itu melalui suatu sikap penerimaan yang tulus terhadap kehendak Bapa. Hal itu Dia wujudkan dengan menerima kehadiran semua orang. Dan pada saat-saat terakhir, ketika Di amenyerahkan diri kepada orang-orang yang mau menangkapnya, Yesus dengan tegas melarang Petrus yang mencabut pedangnya. Dia tidak ingin kehendak Bapa-Nya terhalangi oleh kehendak pribadi-Nya sendiri.

“Sarungkanlah pedangmu; bukankah Aku harus meminum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku?” tandas-Nya kepada Petrus.
  
Di bawah salib kemuliaan itu, Sang Bunda sudah banyak belajar meminum cawan itu. Karena itu, ia rela menerima tugas menjadi ibu bagi semua orang. Ia mesti menimpa dirinya untuk menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi anak-anaknya dalam pergulatan hidup di dunia ini. Ia mengajari anak-anaknya memberi makna terhadap setiap penderitaan, karena ia sendiri sudah menemukan makna penderitaan itu dalam diri Sang Putra.
  
Sejalan dengan Sang Bunda, sang manusia pun diberi tugas untuk memberi makna terhadap kehidupan ini. Bagi Tuhan Yesus, hidup bukan berakhir pada penderitaan. Justru penderitaan itu menjadi jalan menuju kemuliaan. Karenanya, Dia mengajak sang murid untuk merefleksikan lebih dalam mengenai hidup ini.

Untuk mencapai kemuliaan, orang mesti pula menerima Tuhan dan sesamanya. Karena itu, Yesus yang mulia di atas salib itu meminta kesediaan sang murid untuk menerima Bunda-Nya yang masih diselubungi dukacita. “Inilah ibumu,” katanya.

Reaksi murid itu sungguh luar biasa. Mulai hari itu, ia menerima Bunda Maria tinggal bersamanya. Tidak diceritakan sampai kapan mereka tinggal bersama. Namun tindakan murid itu menunjukkan bahwa ia rela menerima sesamanya yang menderita. Hanya melalui sikap menerima itu, ia mampu mendapatkan kemuliaan.

Dewasa Ini: Masih banyak Ibu yang Menderita

Suatu ketika seorang ibu tua mendatangi saya. Di tangannya ia memegang sebuah kantong plastik hitam berisi pakaian-pakaiannya. Air mata terus-menerus bercucuran dari matanya membasahi wajahnya yang penuh keriput itu.
 
“Tolong saya, romo. Saya diusir anak saya,” katanya sambil menyeka air matanya.
“Kenapa ibu diusir?”

“Kata anak saya, saya terlalu cerewet. Saya terlalu banyak menuntut. Jadi lebih baik saya tidak tinggal dirumahnya saja,” ibu itu berusaha menjelaskan.

Saya berusaha mengerti keadaan ibu itu. Setelah mengetahui nama dan alamat anaknya, saya mengajak ibu itu pulang ke rumahnya. Kami naik becak sampai di depan pintu rumah anaknya. Saya kaget luar biasa. Saya berhadapan dengan sebuah rumah yang besar dengan halaman luas. Pasti penghuninya bukan orang miskin atau pas-pasan.

“Sayang sekali rumah sebagus ini kurang dihiasi oleh cinta kasih. Masak seorang anak tega mengusir pergi ibu yang telah melahirkannya? Tetapi inilah kenyataan zaman,” kata saya dalam hati.

“Oh, romo. Baru pertama kali kesini?” tanya tuan rumah, seorang ibu muda, sambil mempersilakan saya duduk.

“Yah, pertama kali ini saya kesini. Mudah-mudahan saya tidak mengganggu,” kata saya.
“Sama sekali tidak, romo,” jawabnya singkat sambil menebarkan seutas senyum.

“Saya datang menghantar ibu Anda, dia baru saja mendatangi saya, karena ia mengaku diusir oleh anak kandungnya sendiri,” saya memulai pembicaraan.

lbu muda itu tampak tegang. Wajahnya yang ceria berubah menjadi pucat.

“Kenapa ibu saya, romo?” ia pura-pura bertanya.

“Yah, ibu Anda membutuhkan kasih darimu. Dia butuh diterima. Anda masih ingat kata-kata Tuhan Yesus sewaktu Ia ditinggikan di atas salib? Tuhan Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada seorang murid-Nya. Murid itu menerima tanpa banyak kata,” saya mencecar ibu muda beranak dua itu.

“Maafkan saya, romo. Saya kilaf,” katanya sambil mencucurkan air mata penyesalan.

“Saya mengerti. Tetapi sekarang Anda mesti minta maaf dari ibu Anda. Katakan padanya bahwa Anda masih mencintainya,” saya berusaha memahaminya.

“Mama.....” ia berteriak sambil memeluk ibunya yang berdiri perlahan-lahan dari tempat persembunyiannya dibalik kursi yang saya duduki.

Rekonsiliasi pun terjadi. Kasih kembali mereka jalin. Sejak itu, saya tidak pernah mendengar lagi percekcokan di antara mereka. Terjadi suatu harmoni di antara mereka, karena mereka saling menerima sebagai murid-murid Tuhan Yesus.

Namun rekonsiliasi itu bukan berjalan tanpa peran Tuhan Allah yang lebih dahulu menerima kehadiran manusia, apa pun dosa yang telah mereka perbuat. Tuhan tidak pernah melupakan ciptaan-Nya. Kalau pun manusia melupakan Tuhan, Allah tidak akan pernah melupakannya. “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kadungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau,” Sabda Tuhan (Yes. 49:15).

Benar, Tuhan menghendaki agar kita tidak saling melupakan, karena kita adalah saudara-saudari yang mesti saling menerima. **

Frans de Sales SCJ

Aku Haus

Saat-saat terakhir penuh penderitaan itu diterima oleh Yesus sebagai suatu jawaban atas kehendak Bapa-Nya. Bapa menghendaki Dia melaksanakan korban salib itu untuk menebus dosa manusia. Melalui salib yang memuliakan-Nya, Yesus menyatukan kembali manusia dengan Allah. Dosa Adam yang lama dihapus oleh Yesus. Manusia memperoleh rahmat penebusan.

Dari atas salib Yesus masih berseru, “Aku haus!”
    
Perjalanan menuju Golgota menyita seluruh tenaga Yesus. Penyerahan diri-Nya di atas kayu salib masih membutuhkan kekuatan ekstra. Ia ingin menuntaskannya. Namun ia masih membutuhkan seteguk air yang bisa menyegarkan kerongkongan-Nya. Dahaga-Nya menuntut Dia untuk berseru meminta tolong kepada sesama manusia. Siapa tahu masih ada orang yang mau mendengarkan permohonannya. Dengan demikian, sisa-sisa terakhir hidup-Nya dapat memperkuat penyerahan diri-Nya secara total kepada Sang Bapa.

Soalnya, orang-orang yang berdiri di bawah salib itu justru kurang tanggap. Mereka justru memberikan anggur asam kepada-Nya. Mereka lebih mengutamakan kebencian dan balas dendam ketimbang memberikan seteguk air segar bagi Tuhan Yesus. Ia terpaksa menghisap anggur asam. Dan itulah yang menjadi saat terakhir.
     
Yesus merasa lelah, letih lesu dan tidak berdaya. Yesus seolah-olah merasa ditinggalkan oleh Bapa-Nya. Injil Matius melukikskan situasi ini dengan kata-kata yang bagus sekali, “Eloi, Eloi, lama sabaktani!” (Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?)
    
Yesus merasa ditinggalkan semua orang. Murid-murid yang dahulu begitu dekat dengan-Nya kini tercerai-berai mencari se!amat sendiri-sendiri. Padahal di saat-saat seperti itu, Ia sangat membutuhkan kehadiran dan dukungan mereka. Karena itu, seruannya itu bagai sebuah gugatan terhadap Bapa-Nya sendiri yang seolah-olah menutup telinga terhadap jeritan penderitaan-Nya.
 
Seolah-olah Ia putus asa menghadapi saat-saat terakhir hidup-Nya. Ternyata tidak! Justru dalam saat-saat seperti itu, Yesus tetap menampakkan konsistensi penyerahan diri-Nya kepada kehendak Bapa-Nya. 
   
Sesudah menghirup anggur asam itu Yesus berkata, “Sudah selesai.” Artinya, Yesus sudah menyelesaikan tugas perutusan-Nya ke dunia. Ia telahmengangkat seluruh umat manusia dari debu dosa. Ia berhasil mempertemukanmanusia dengan Allah dalam diri-Nya.

Dewasa ini: Yesus masih Haus
   
Suatu ketika seorang bapak yang pernah kaya raya mengeluh kepada saya, “Dulu ketika saya masih punya banyak uang dan barang-barang, banyak orang datang kepada saya. Tetapi lihat, apa yang terjadi sekarang? Mereka semua hilang entah ke mana.”
       
“Tetapi masih ada saya di sini. Anggap saja saya ini mewakili mereka yang banyak itu,” saya nyeletuk.

“Yah, tetapi kamu datang terlambat. Kamu tidak dapat apa-apa dari saya. Yang kamu dapatkan hanya keluhan demi keluhan,” katanya sambil memandangsaya dengan wajah yang sedih.

“Kata orang, teman sejati itu baru datang ketika sesamanya beradadalam penderitaan,” kata saya sambil melirik matanya yang sedih.
   
“Akh, itu hanya kata-kata hiburan saja. Tidak seharusnya begitu,” ia menandaskan.
    
Menurutnya, semestinya sahabat itu selalu hadir dalam untung dan malang. Memang, kini ia menghadapi kemalangan karena usaha-usahanya bangkrut. Tetapi semestinya sahabat-sahabatnya yang dulu dekat dengannya tidak serta merta meninggalkannya sendirian.
 
“Manusia itu kejam. Bahkan terhadap sesamanya yang pernah membantu mereka,” ia memecah keheningan.
  
Kini ia merasa dirinya seperti Tuhan Yesus yang tergantung di salib. Ia berteriak-teriak memohon pertolongan, namun orang-orang yang dahulu pernah ia bantu tidak muncul. Di mana mereka?
   
Bapa itu bagai sudah jatuh tertimpa tangga pula. Usaha-usahanyasudah bangkrut dan ia kehilangan teman-temannya yang tercerai-berai mencari selamat sendiri-sendiri. Kini ia tinggal bersama istrinya yang setiamenemaninya siang dan malam. Masih untung memang, istrinya tidak ikut meninggalkan dia.
   
Sebenarnya ia masih punya kekuatan dengan sejumlah uang tabungan dan beberapa hektar tanah. Tetapi ia tidak mau bangkit lagi begitu usaha utamanya dinyatakan bangkrut.
   
“Sekarang ini saya haus,” katanya. “Saya haus akan persahabatanyang tulus dengan sesama. Tampaknya saya sulit menemukan sahabat yang sejati.”
    
“Masih ada sahabat sejati. Hanya saja selama ini Anda belum menemukannya. Mungkin sahabat itu sudah ada,” saya berusaha memberikan semangathidup kepadanya.
   
Memang, dunia ini kurang menyediakan sahabat sejati bagi manusia. Dunia lebih menampilkan kisah-kisah pengkhianatan antar manusia. Karena itu,dunia tetap haus akan persahabatan sejati. Dunia tetap haus akan cinta kasih yang murni. Soalnya, siapa yang berani memberikan seteguk air segar bagi kerongkongan yang semakin mengering?
    
Yesus yang haus cuma mendapatkan anggur asam yang justru membantunya menyelesaikan tugas perutusan-Nya ke dalam dunia. Seteguk air segar juga akan sangat berguna bagi sesama yang haus secara rohani untuk melangkahkan kaki menuju Bapa. Soalnya, maukah orang kristiani menyediakan seteguk air bagi sesamanya yang haus? **

Frans de Sales SCJ

Yesus Ditinggikan di Salib

Tempat Yesus disalibkan disebut tempat Tengkorak. Dalam bahasa Ibrani tempat ini disebut Golgota. Letaknya di atas bukit dekat kota. Yohanes melukiskan bahwa banyak orang melihat Yesus yang tergantung di salib itu.
   
Karena itu, orang-orang berpengaruh dalam masyarakat Yahudi mengusulkan kepada Pilatus agar tulisan yang terpampang di atas kepala Yesus diubah. Banyak orang membaca tulisan itu, sehingga akan mempermalukan mereka. Mengapa? Karena mereka berani menyalibkan raja mereka sendiri. Semestinya seorang raja mendapatkan tempat terhormat dalam masyarakat Yahudi.
    
“Yesus, orang Nazaret, raja orang Yahudi.” Demikian bunyi tulisan yang dibuat dalam tiga bahasa itu. Pilatus memang menolak permintaan para pemuka Yahudi itu. Dia tidak ingin urusan dengan Yesus itu berlarut-larut. Cukuplah ia mengadili Yesus hingga menyerahkan-Nya kepada bangsa Yahudi untuk mengambil tindakan mereka sendiri. Bukankah ia sudah mencuci tangan sebagai tanda tak bersalah?
   
Di sisi lain mungkin Pilatus takut, karena seorang yang tak bersalah justru dihukum mati. Dia sendiri mempunyai andil dalam hal itu dengan menyerahkan Yesus ke dalam tangan bangsa Yahudi.
    
Namun mungkin alasan yang lebih besar bagi Pilatus untuk menorehkan tulisan itu adalah ia sungguh-sungguh sadar bahwa Yesus adalah seorang raja. Penerangan yang diberikan Yesus kepadanya dalam sidang pengadilan di istananya memberikan pemahaman baru baginya. Jam-jam setelah ia menyerahkan Yesus kepada orang Yahudi menjadi suatu kesempatan berefleksi mengenai tokoh kontroversial itu.
    
Baginya, Yesus lebih dari layak mendapat gelar raja. Seorang raja itu mesti mendapatkan tempat yang terhormat. Ia mesti ditinggikan. Menurut Yohanes, Sang Pengarang Injil, Yesus ditinggikan di atas kayu salib supaya semua orang yang memandang-Nya memperoleh keselamatan .Yesus menjadi Musa baru yang menarik semua orang kepada keselamatan melalui diri-Nya. Musa yang lama meninggikan ular tembaga di padang gurun, sehinggaorang-orang yang dipagut oleh ular tedung mendapatkan kesembuhan dengan memandang ular tembaga itu.
   
Dengan peninggian Yesus di kayu salib itu, Yohanes mau menegaskan bahwa Yesus itu raja yang tetap menjadiandalan bagi semua orang yang mendambakan keselamatan. Yesus menjadi jalan bagisemua manusia. “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” kata Yesus (Yoh. 14:6)
   
Di atas salib itu menjadi saat Yesus dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia. Mengapa? Karena Yesus mampu mengejawantahkan kasih Allah dengan kasih dan kesetiaan-Nya kepada Allah dan manusia, Yesus menyempurnakan tugas-Nya menebus manusia dengan mengorbankandiri, agar manusia mengalami keselamatan.
 
Tentu cara pemuliaan seperti inimerupakan sesuatu yang tragis bagi manusia yang cenderung mencapai kemuliaan melalui cara paling gampang alias tanpa korban. Namun inilah suatu pengajaran baru bagi manusia yang diberikan oleh Allah sendiri melalui peristiwa peninggian di salib itu. Peristiwa ini menjadi jalan rahmat bagi manusia. Kebahagiaan itu diraih melalui suatu perjuangan. Karena itu, kebahagiaan itusungguh bernilai dan bermakna bagi kehidupan manusia.

Menarik sekali bahwa ketikalambung Yesus ditikam justru mengalirkan darah dan air. Ini dua unsur yang menghidupkan. Peninggian di salib itu menjadi sarana pemberian diri Allah. Artinya, pemberian kehidupan bagi manusia. Manusia yang memandang kepada Diayang tertikam mendapatkan kehidupan baru.
    
Dengan menerima pemberian diri Allah melalui peristiwa peninggian di salib itu, manusia dibebaskan dari perhambaan dosa. Manusia yang dahulu menjadi budak dosa, kini menjadi makhluk tertebus. Semua mata yang memandang Dia yang dimuliakan di atas salib dengan darah dan air yang mengucur, menemukan Allah dalam Sang Sumber Kehidupan itu. “Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. Tetapi sekarang, sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kami dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya?” kata St. Paulus mengenai orang-orang yangsudah mengenal Allah karena peristiwa peninggian Anak Manusia itu (Gal. 4:8-9).

Dewasa Ini: Yesus masih Ditinggikan
   
Suatu pagi, Aji, seorang anak kecil yang sering datang ke kantor saya, membuat saya sangat terpesona oleh pernyataannya. Pagi itu dia datang ke kantor dan menghidupkan salah satu komputer yang biasa dia senangi. Komputer itu mempunyai screen server seseorang yang duduk di sofa sambil menggoyangkan kakinya. Berkali-kali sebelum pagi itu saya sudah menakut-nakuti dia bahwa orang yang ada di layar komputer itu adalah hantu. Sebelumnya memang dia agak takut dengan lari mendekati saya sambil melihat dari jauh. Namun pagi itu sungguh luar biasa.

“Awas hantu,” saya mengganggunya.

“Tidak takut ah,” jawab Aji, anak berusia tiga tahun ini singkat.

“Kenapa kamu tidak takut samahantu?” saya berusaha ingin tahu.
    
“Karena di rumah ada salib, romo,” kata Aji meyakinkan saya.
  
Saya sungguh terkejut mendengar pernyataan Aji, bocah ingusan itu. Anak sekecil itu sudah punya suatu pegangan hidup. Dari mana dia mendapatkan iman seperti itu? Yesus yang ditinggikan disalib rupanya begitu memukau hati Aji. Baginya, salib Yeus itu bukan sekadar dipampang di dinding rumah. Salib itu sungguh-sungguh meneguhkan hati Aji, sehingga ia tidak perlu takut terhadap bayang-bayang hantu. Sungguh luar biasa!
    
Dalam suatu perjalanan dari Jakarta menuju Yogyakarta, seorang ibu rumah tangga yang masih muda membuat tanda salib begitu bus yang kami tumpangi mulai bergerak dari stasiun. Baginya, tanda salib itu memberikan ketenteraman dan kenyamanan dalam perjalanan. Ia yakin keselamatan akan terjadi dengan perantaraan Kristus yang ditinggikan di kayu salib.
 
“Ibu katolik, ya?” tanya saya yangduduk di sampingnya.
“Ya, saya katolik,” jawabnya singkat, tanpa rasa takut.
 
Saya pun membuat tanda salib,tanda kemenangan Kristus. Lantas saya mengajak ibu itu  untuk bersama-sama berdoa.
   
Dewasa ini banyak orang mengenakan salib di leher sebagai sebuah asesori. Mereka mau mengatakan kepada dunia bahwa mereka adalah orang-orang kristiani yang mengimani Tuhan Yesus. Bagi sementara orang, salib di dada itu sungguh memberikan kekuatan, karena peninggian Yesus di salib itu membawa kemenangan. Karena itu, ada suatu kebanggaan tersendiri menjadi seorang kristiani.
   
Namun ada sementara orang yang mengenakan salib di dada sekadar hiasan belaka tak bedanya dengan kalung berlian atau emas. Bagi mereka, seseorang yang mengenakan salib belum tentu mengungkapkan iman akan Dia yang ditinggikan di salib. Karena itu, salib di dada itu tidak terlalu berpengaruh dalam hidupnya.
    
“Ah, saya pakai salib ini kan sebagai suatu hiasan saja. Saya bisa ganti dengan hiasan lain yang lebih menarik,” kata seorang pemuda yang saya temui di sebuah swalayan.
    
Oke. Setiap orang boleh punyasikap yang berbeda terhadap sebuah palang bernama salib. Namun bagi seorang kristiani, Tuhan Yesus yang ditinggikan di kayu salib itu membebaskan manusia dari kematian kekal. Mereka yang memandang Dia yang tertikam akan mendapatkan kehidupan kekal.
   
Mau memperoleh hidup abadi? Pandanglah Dia yang tertikam yang ditinggikan di atas kayu salib itu. **

Frans de Sales SCJ

Pilatus Membela Yesus

“Haruskah aku menyalibkan rajamu?” tanya Pilatus kepada orang-orang Yahudi (Yoh. 19:15).

Aneh. Pilatus tetap bertahan bahwa Yesus adalah raja orang Yahudi. Padahal semestinya dia menindak Yesus secara tegas. Dia semestinya menonjolkan kaisar Romawi sebagai satu-satunya penguasa jagat raya waktu itu. Bukankah dia sendiri adalah wakil kaisar yang mesti memerintah wilayah Palestina?
    
Rupanya Pilatus mulai sedikit demi sedikit sadar bahwa orang yang ada di hadapannya bukan sekadar manusia biasa. Dia memang datang untuk merajai dunia ini! Karena itu, Pilatus takut menjatuhkan hukuman atas diri Yesus. Dia taku ikut bersalah. Ia cemas kalau-kalau sesuatu yang dahsyat akan menimpa dirinya.
     
Karena itu, Pilatus menyerahkan kembali Yesus kepada orang-orang yang membawanya, “Inilah rajamu!” kata Pilatus.
   
Tetapi orang-orang Yahudi tetap tidak mau menerima kenyataan bahwa mereka memiliki seorang raja. Bahkan mereka menolak kehadiran Yesus. Di balik penolakan itu tersembunyi suatu rasa takut yang luar biasa. Imam-imam kepala dan orang-orang Farisi takut kalau-kalau Yesus menjadi batu sandungan bagi mereka. Apalagi ketika Yesus menunjukkan kuasanya melalui mukjizat-mukjizat yang menakjubkan.
   
“Apabila kita biarkan Dia, maka semua orang akan percaya kepadanya dan orang-orang Roma akan datang dan akan merampas tempat suci kita serta bangsa kita,” kata mereka (Yoh. 11:48).
   
Karena itu, dengan keras mereka menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai seorang raja pun. “Kami tidak mempunyai raja selain daripada Kaisar!” teriak orang-orang Yahudi yang sudah diracuni oleh pandangan kaum Farisi itu.
    
Dalam situasi seperti itu, Pilatus semakin bingung. Sudah berulang kali ia meyakinkan orang banyak itu bahwa Yesus tidak melakukan suatu kesalahan pun, namun orang-orang itu ngotot. Karena itu, ia memilih jalan tengah. Ia menyerahkan Yesus kembali kepada rakyat banyak. Mungkin dalam hatinya ia berpikir masih ada orang yang membela Yesus, karena Yesus toh sudah membantu begitu banyak orang.
     
Selain itu, Pilatus tampaknya masuk dalam perangkap orang-orang Farisi yang sudah lama memusuhi Yesus. Yesus pernah mengecam orang-orang Farisi itu secara keras sekali. Bahkan Yesus memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang munafik. Karena itu, kesempatan seperti ini menjadi suatu saat untuk menumpahkan segala rasa sakit hati, benci dan iri yang telah terpendam sekian lama.
    
Usaha untuk menangkap Yesus itu sebenarnya sudah lama berjalan. Cuma cara dan alasan yang tepat belum ditemukan. Barulah sekarang, ketika Yesus dalam keadaan tangan terborgol mereka memiliki kesempatan untuk menghabisi Yesus. Menarik sekali mencermati peristiwa sesudah Yesus membangkitkan Lazarus. Orang-orang Farisi marah mendengar berita itu. Mereka bersepakat untuk membunuh Yesus. Karena itu, Yesus menyingkir ke Efraim dan tinggal bersama murid-murid-Nya di sana. “Sementara itu imam-imarn kepala dan orang-orang Farisi telah memberitahukan perintah supaya setiap orang yang tahu di mana Dia berada memberitahukannya, agar mereka dapat menangkap Dia” (Yoh. 11:57).
   
Orang-orang Farisi juga takut kehilangan wibawa dengan hadirnya seorang raja yang berasal dari dusun Nazareth. Orang-orang Farisi itu pula telah menghalangi banyak orang untuk secara terus terang percaya kepada Yesus. “Namun banyak juga di antara para pemimpin yang percaya kepadanya, tetapi oleh karena orang-orang Farisi mereka tidak mengakuinya berterus terang, supaya mereka jangan dikucilkan. Sebab mereka lebih suka akan kehormatan manusia daripada kehormatan Allah” (Yoh. 12:42-43).
   
Akibatnya jelas! Yesus dihukum menurut adat istiadat Yahudi: Yesus disalibkan! Mereka membunuhnya secara keji, meski sebelumnya di hadapan Pilatus mereka sudah menegaskan, “Kami tidak boleh membunuh seseorang” (Yoh. 18:3 1). Pembelaan Pilatus, karena mendapati Yesus tidak bersalah, menjadi sia-sia. Yesus dibawa ke Tempat Tengkorak untuk dihabisi di sana.

Dewasa Ini: Masih Adakah yang Membela Yesus?
 
Suatu ketika seorang bekas narapidana menceritakan kepada saya mengenai pembelaan yang diberikan kepadanya oleh seorang pembela. Ia sangat bergembira bahwa di zaman ini masih ada yang membelanya secara gratis. Ia seorang yang selalu dililit kemiskinan dalam hidupnya. Karena itu, untuk menghidupi diri dan keluarganya, suatu ketika ia terpaksa mencuri seekor sapi di kampung tetangganya. Malang baginya. Ia ditangkap oleh warga kampung itu ketika sedang melakukan aksinya di malam hari.
 
“Sungguh, itulah pertama kali saya mencuri. Tetapi saya langsung ditangkap dan dibawa ke kantor polisi beramai-ramai,” katanya.
   
Lantas ia diajukan ke pengadilan. Seandainya tidak ada seorang pembela beragama Katolik yang berbaik hati, pasti ia akan mendekam di penjara selama beberapa tahun. Pembela itu berusaha habis-habisan untuk mendapatkan hukuman seminimal mungkin baginya.
   
“Waktu itu, jaksa menuntut saya empat tahun penjara. Saya kaget. Kok hanya seekor sapi, saya dipenjara begitu lama? Bagaimana dengan istri dan anak-anak saya?” cerita mantan napi itu.
   
Dalam pembelaannya, pembela yang murah hati itu (tidak mau minta bayaran karena yang dibela memang miskin) memberikan berbagai pertimbangan yang mampu meringankan hukumannya. Misalnya, ia seorang ayah dati tiga orang anak kecil-keci lyang masih sangat membutuhkan kehadiran seorang ayah. Ia seorang suami yang baik bagi istrinya dengan tidak pernah menipu atau main serong. Perbuatannya yang melanggar hukum itu baru pertama kali ia lakukan dengan sangat terpaksa.
   
Hasilnya? Mantan napi itu diputuskan oleh hakim untuk menjalani enam bulan penjara. Ia begitu bergembira. Ia langsung mencium kaki pembelanya itu begitu hakim mengetok palu vonis. Ia menangis terharu, karean ada seorang yang rela meluangkan waktu untuk peduli terhadap dirinya.
  
Bagi pembela itu, ia bukan hanya berhadapan dengan seorang pencuri sapi. “Saya seperti berhadapan dengan Tuhan Yesus sendiri yang membutuhkan bantuan. Saya melihat orang itu tidak pantas untuk mendapatkan hukuman selamaempat tahun. Jadi saya membela dia habis-habisan. Bukankah Tuhan Yesus pernah mengatakan bahwa kalau kamu menerima salah seorang yang paling hina ini kamu menerima Aku?” kata pembela itu.
   
Yah,ternyata masih ada pembela yang mau peduli terhadap mereka yang miskin. Masih ada orang yang mau menyelamatkan sesamanya dari ketidakpastian hukum di zaman ini. **

Frans deSales SCJ

Yesus Menggugat: Tanyailah Mereka

“Mengapa engkau menanyai Aku? Tanyailah mereka, yang telah mendengar apa yang Kukatakan kepada mereka; sungguh mereka tahu apa yang telah Kukatakan. Jikalau kataku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kataku itu,benar, mengapakah engkau menampar Aku?” (Yoh 18:21, 23).

Malam itu sunyi senyap. Nyanyian jangkrik terdengar sangat lirih. Udara sangat dingin. Para prajurit yang diberi kuasa oleh Yesus untuk menangkap-Nya, menggiring Yesus ke hadapan mantan Imam Besar Hanas. Sebagai mantan Imam Besar tentu saja kewibawaannya tidak sebanding dengan ketika ia masih menduduki jabatan Imam Besar.
      
Namun toh inilah kesempatan yang sangat baik bagi Hanas untuk berkenalan lebih jauh dengan Yesus. Sebenarnya pengadilan yang terjadi di hadapan Hanas itu pengadilan tidak resmi. Hanas bukan Imam Besar lagi. Imam Besar waktu itu dijabat oleh Kayafas. Karena itu, Yesus tidak bisa dijatuhi hukuman oleh Hanas. Akibatnya, pertanyaan-pertanyaan Hanas kepada Yesus sekedar basa-basi.
         
Namun tampaknya jawaban-jawaban Yesus berisikan gugatan terhadap Hanas. Yesus tidak ingin dipermainkan oleh Hanas dengan basa-basi itu. Yesus berbicara dengan tegas, “Aku berbicara terus terang kepada dunia: Aku selalu mengajar dirumah-rumah ibadat dan Bait Allah, tempat semua orang berkumpul.”
     
Rupanya Hanas bukanlah seseorang yang rajin mengikuti perkembangan situasi di Palestina. Atau barangkali dia seorang Yahudi yang kurang begitu taat beribadat, sehingga tidak tahu mengenai ajaran-ajaran Yesus yang dimaklumkan di rumah-rumah ibadat dan Bait Allah.
     
Dalam hal ini Hanas sungguh digugat oleh Yesus. Sebagai seorang terkemuka dalam masyarakat semestinya dia memberi teladan kepada masyarakat. Tetapi dia mengabaikan hal yang paling besar, yaitu ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Karena itu, kepada Hanas, Yesus tidak mau mengulangi lagi ajaran-ajarannya. Saat-saat Yesus sudah begitu dekat. Tidak ada kesempatan lagi bagi Hanas untuk mendengarkan pengajaran mengenai Kerajaan Allah.
    
“Mengapa engkau menanyai Aku? Tanyailah mereka, yang telah mendengar apa yang Kukatakan kepada mereka, sungguh mereka tahu apa yang telah Kukatakan,” tandas Yesus. Menyadari bahwa Hanas tidak memiliki wewenang untuk mengadilinya, Yesus menggugat Hanas. Ia tidak berhak mengadili Anak Manusia, sehingga ia pun tidak sepantasnya memperoleh jawaban dari Yesus.
     
Yesus tampil ke hadapan umum bukan pertama-tama sebagai pemimpin partai politik yang menghimpun massa untuk mengadakan kudeta. Yesus tampil sebagal tokoh pembaru religius. Yesus ingin mengembalikan bangsa Israel kepada sikap menyembah Allah yang benar. Karena itu, Hanas tidak punya kompetensi untuk mengadili Yesus sebagai tahanan politik. Hanas semestinya menyadari hal ini. Tindakan Hanas adalah suatu skandal besar dalam pengadilan. Ia mesti digugat karena kesalahannya menjadikan Yesus sebagai tahanan politis.
   
Jawaban Yesus sangat tepat. Yesus menyuruh Hanas menanyakan tentang diri-Nya kepada orang-orang yang telah mendengarkan pengajaran-Nya. Maksudnya agar Hanas semakin yakin bahwa Yesus bukanlah seorang pengacau keamanan yang menimbulkan kegoncangan stabilitas nasional. Yesus datang membawa kabar baik dan kegembiraan bagi manusia.
    
Untuk melampiaskan rasa penasarannya, Hanas menggunakan sisa-sisa kekuasaannya menyuruh penjaga menampar wajah Yesus. Sebuah tamparan terhadap wajah polos murni yang tidak bersalah. Sebuah tamparan yang bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri, karena gugatan Yesus semakin gencar. “Jikalau kataku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kataku itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?” tanya Yesus.
    
Hanas semakin penasaran, karena ia melakukan suatu kekeliruan besar. Suatu tindakan membabi buta yang menghancurkan nama baiknya, karena ia tidak dapat menemukan bukti kesalahan pada diri Yesus. Kewibawaan sebagai mantan Imam Besar musnah dihadapan orang yang benar. Kebenaran itu tidak dapat ditutupi oleh segudang tipu muslihat. Kebenaran itu tetap suatu kebenaran yang memaksa orang untuk menerimanya tanpa tedeng aling-aling. Dalam hal ini sebenarnya Yesuslah yang mengadili Hanas, tokoh masyarakat yang terpandang tetapi menyimpan berbagai tipu muslihat.

Dewasa Ini: Yesus masih Menggugat
   
Menarik sekali mengamati fenomena pengadilan di Indonesia. Sidang kasus-kasus korupsi ditangani oleh hakim-hakim dan jaksa-jaksa profesional. Dalam persidangan itu menjadi jelas bahwa ada oknum tertentu yang menjadi terdakwa dan ada pembela. Di sisi lain, ada jaksa yang menyampaikan tuduhan-tuduhan. Sementara hakim dan stafnya berupaya sejauh mungkin menemukan kebenaran tuduhan dan kesalahan terdakwa. Jadi di sini ada sekurang-kurangnya empat instansi yang berperan dalam persidangan, yaltu terdakwa, jaksa penuntut umum, pembela dan hakim. Sebenarnya masih ada instansi lain, yaitu saksi-saksi yang meringankan atau memberatkan terdakwa.
   
Sidang pengadilan kasus-kasus korupsi itu berjalan lancar-lancar saja. Tampaknya parahakim dan jaksa tidak mendapat tekanan dari atas. Tentu saja sistem persidangan seperti ini sungguh-sungguh berbeda dengan persidangan atas diri Yesus dihadapan Hanas. Hanas tidak mau tahu akan adanya saksi-saksi. Padahal Yesus sudah mengatakan terus terang, agar Hanas menanyai orang-orang yang mendengarkan ajaran-Nya.
  
Secara obyektif persidangan kasus-kasus korupsi lebih sportif ketimbang persidangan di hadapan Hanas. Namun ada juga persidangan dalam kasus-kasus tertentu, misalnya kasus Marsinah, yang jelas-jelas merupakan suatu permainan. Terdakwa Ny. Mutiara, misalnya, pada awalnya dituduh ikut terilbat dalam pembunuhan Marsinah. Bersama rekan-rekannya yang lain ia diculik dan dihadapkan ke meja hijau. Dalam persidangan selanjutnya jaksa berusaha meyakinkan majelis hakim bahwa Ny. Mutiara terlibat.
 
Dengan berbagai upaya menghadirkan para saksi, jaksa ngotot bahwa nyonya muda itu pantas mendapatkan hukuman yang setimpal. Tetapi pembela Mutiara justru membalikkan tuduhan jaksa. Dengan kesaksian-kesaksian yang lebih meyakinkan, akhirnya Ny. Mutiara dibebaskan meski ia sempat mendekam dalam sel penjara.
     
Pengadilan jenis ini mirip dengan pengadilan terhadap diri Yesus. Kebenaran akhirnya mengalahkan tipu muslihat. Kepalsuan akan tetap digugat oleh kesaksian otentik. Karena itu, sebenarnya dalam pengadilan, orang mesti ekstra hati-hati. Jangan-jangan yang mangadili justru akan duduk di kursi pengadilan. Sama seperti Hanas yang menggugat menjadi tergugat. Karena itu, harga diri akan jatuh lantaran kesewenang-wenangan dalam menggunakan kebenaran.
   
Dewasa ini Yesus akan tetap membela mereka yang benar, tetapi diajukan ke pengadilan atau mereka yang diperlakukan secara tidak adil. Betapa banyak orang yang mengalami nasib seperti Yesus. Begitu banyak orang yang hanya kesalahan sepele mendekam di penjara berbulan-bulan. Sementara para koruptor yang jelas-jelas menyengsarakan masyarakat dibiarkan bebas berkeliaran mencari mangsa baru. Dalam diri orang-orang yang diurapi, Yesus akan tetap berseru, “Jikalau kataku itu benar mengapa engkau menampar Aku?” **


Frans de Sales SCJ

Tinggal Sesaat Saja

"Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi dan tinggal sesaat saja pula kamu akan melihat Aku" (Yoh. 16:16).

Sangat sering Yesus berbicara mengenai SAAT. Ketika ibundanya Maria meminta anggur kepadanya waktu pesta perkawinan di Kana, dengan tegas Ia mengatakan bahwa saatnya belum tiba (bdk.Yoh-2:4; 8:20). Yesus juga berbicara mengenai akan tiba saatnya (Yoh.4:21). Yesus pun tidak segan-segan mengatakan bahwa saatnya sudah tiba (Yoh.12:23). Dan dalam ayat di atas Yesus menegaskan bahwa tinggal sesaat saja.
     
Gaya bahasa saat yang digunakan Yohanes dalam Injil-Nya menunjuk pada peristiwa penderitaan Yesus. Penderitaan yang tinggal sesaat saja itu merupakan suatu puncak pemuliaan oleh Allah. Allah yang berkenan kepada Yesus tidak membiarkan Yesus masuk dalam suatu penderitaan diluar kehendak-Nya. Yesus tetap berada dalam lingkup Bapa-Nya, sehingga peristiwapenderitaan itu menjadi karya penyelamatan Allah.
  
Pernyataan Yesus mengenai tinggal sesaat saja itu menimbulkan salah paham di antara para murid. Bagi mereka, Yesus akan tetap tinggal bersama mereka. Ia akan mendirikan suatu kerajaan seperti yang dicita-citakan oleh orang Israel. Suatu kerajaan yang bebas dari belenggu penindasan dari penjajah Romawi. Dalam Kerajaan itu mereka akan memperoleh jabatan di sekitar Yesus (bdk. Mat.4:21-22).
    
Yesus menjadi tumpuan hidup mereka. Ke mana saja Yesus pergi, mereka siap mengikuti. Mereka ingin tetap terlibat dalam karya pewartaan Yesus di dunia ini. Mereka siap memberikan nyawa bagi Yesus (bdk. Yoh. 13:37).
  
Karena itu, sangat aneh kalau Yesus mengatakan bahwa tinggal sesaat saja dan kamutidak melihat Aku lagi. Yesus mau ke mana? Apa maksudnya “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku?” (Yoh. 13:36). Bukankah selama ini Yesus selalu pergi bersama mereka?
   
Dalam pembicaraan tentang ‘tinggal sesaat saja’ Yesus mengarahkan para murid kepada suatu situasi yang mencekam. Suatu peristiwa yang membuat mereka merasa takut dan seorang diri. Persaudaraan yang selama ini mereka jalin seolah-olah tidak bernilai sama sekali. Benang-benang persahabatan akan berubah menjadi kusam dan kusut. Mereka bagai layang-layang putus yang tercerai-berai kehilangan arah. Mereka terombang-ambing dihempasangin dan gelombang badai yang menerjang terjang. Mengapa? Karena orang yang mengendalikan mereka telah tiada.
 
Dalam situasi seperti itu, mereka akan ditantang untuk benar-benar percayabahwa Yesus, Sang Guru, masih tetap berada bersama mereka. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20).Jadi sabda Yesus di atas seolah-olah suatu ancaman atas kemapanan kelompokYesus yang sudah begitu mantap bersama Yesus.
   
Namun Yesus juga mengingatkan bahwa ketidakpastian yang dialami para muriditu hanya bersifat sementara. Karena ternyata habis gelap terbitlah terang. Setelah saat yang mencekam itu muncul suatu saat yang membahagiakan. Mereka tidak perlu lama-lama tinggal dalam dukacita yang menakutkan. Ucapan belasungkawa segera diikuti dengan proficiat atas terang benderang yang datang.
     
Jadi dengan mengungkapkan sabda-sabda di atas, Yesus mengungkapkan dua segi yang saling berkaitan. Di satu sisi sebagai murid-murid Yesus, Yesus menghendaki agar mereka selalu siap untuk memberi kesaksian tentang Yesus dan Kerajaan Allah yang dibawa-Nya. Artinya, siap untuk memasuki saat yang mencekam seperti ditolak, dicemooh, ditindas oleh orang-orang yang menentang kehadiran Yesus. Tetapi di sisi lain, Yesus memberikan harapan akan datangnya saat yang membahagiakan bagi mereka yang tetap bertahan dalam nama-Nya. Jadi ada saat di mana orang masuk dalam solidaritas dengan penderitaan Yesus, tetapi ada saat orang ikut serta dalam kemuliaan kebangkitan-Nya.

Dewasa Ini: Saat Itu Masih Ada

Akhir-akhir ini dunia semakin panas dan ganas. Ribuan bahkan jutaan manusia bergelimang darah terbujur kaku dalam kematian yang mengerikan. Mereka tidak lebih berharga daripada seekor anjing. Mereka bagai nyamuk-nyamuk yang sekali tepuk langsung mati terkulai tak ada yang mempersoalkan. Harkat dan martabat mereka sungguh-sungguh dilucuti moncong-moncong senjata pembasmi kehidupan.
     
Tibalah saatnya bagi mereka memasuki suatu situasi kegelapan yang paling gelap. Kalau saja masih ada belaskasihan dari sesama, barangkali masih ada air mata yang mengucur deras meratapi kegelapan mereka. Mereka sungguh-sungguh sendirian melintasi jalan penuh gelap gulita. Tiada teman yang dapat melipur lara jiwa mereka yang haus akan uluran kasih. Mereka tertatih-tatih di jalan panjang takberujung. Sementara itu sorak-sorai, pekik tawa menambah luka-luka batin mereka. Banyak orang memalingkan wajah kepada mereka, tetapi hanya sekilas, karena kehadiran mereka hanyalah pengganggu keamanan dan ketenteraman yang sudah lama tercipta dari percikan darah-darah yang tertumpah di jalan-jalan.
   
Keadilan dan damai yang didambakan hanyalah sebuah ilusi yang sebentar saja menyejukkan hati yang dahaga. Saat yang datang menjemput mereka adalah saat yang sangat mencekam. Kalau begitu masih adakah harapan akan masa depan yang terang benderang bagi jiwa yang tetap menaruh harapan pada Kristus?
 
“Tinggal sesaat saja pula kamu akan melihat Aku,” kata Yesus. Yesus tidak membiarkan manusia yang menaruh harapan padaNya mati konyol dan musnah ditelan ketidakpastian. Bagi orang-orang yang demikian, penderitaan memiliki makna yang lebih dalam. Penderitaan bukanlah akhir dari segala-galanya. Justru bagi orang beriman, penderitaan merupakan awal dari kebahagiaan yang gilang-gemilang bersama Yesus. Manusia yang menderita itu ikut memanggul salib bersama Yesus menapaki jalan-jalan berbatu menuju puncak kemenangan.
   
Di dunia ini kecemasan masih saja menggayut di wajah-wajah manusia modern. Berbagai problem hidup yang dihadapi semakin menambah beban-beban kehidupan. Manusia takut akan masa depannya. Harta kekayaan dikumpulkan agar kenyamanan hidup di hari tua itusungguh-sungguh terjamin. Maka tidak perlu heran kalau terjadi banyak penyelewengan demi egois memelalui korupsi, manipulasi dan nepotisme. Hasilnya adalah penderitaan demi penderitaan baru bagi manusia lain.
   
Kecemasandan ketakutan itu justru membawa manusia ke dalam jurang kegelapan. Manusia terjebak dalam terowongan hitam pekat tak berujung yang dibuatnya sendiri.
    
Dalam situasi seperti ini, satu-satunya tindakan adalah pertobatan. Manusia mesti rela meninggalkan kegelapan yang memberikan kebahagiaan semu. Ia mesti berbalik ke jalan yang benar menjadi satu-satunya jawaban bagi suatu harapan untuk ikut serta dalam kemuliaan Kristus. Mengapa perlu bertobat? Karena hidup dalam kemuliaan Kristus menuntut hati yang murni.
   
Pertanyaan Refleksi: Apa yang Anda lakukan untuk menjalani ‘saat’ yang Anda hadapi sehari-hari? Menjelang Paskah ini, apa yang secara khusus Anda lakukan demi kebahagiaan hidup Anda? **

Frans de Sales SCJ

Di Taman, Yesus menyerahkan diri

Maka Ia bertanya pula, “Siapakah yang kamu cari?” Kata mereka, “Yesus dari Nazaret.” Jawab Yesus, “Telah kukatakan, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi” (Yoh.18:7-8).

Suasana malam yang syahdu berubah menjadi ajang pertikaian. Serombongan besar prajurit lengkap dengan senjata di bawah komando Yudas Iskhariot memperkeruh suasana. Mereka ingin menangkap Yesus atas perintah Imam-imam Kepala dan Orang-orang Farisi. Yesus divonis hukuman mati lantaran menyamakan diri dengan Allah.
    
Sementara itu, kaum oportunis politis menggunakan kesempatan itu untuk menjalin kolusi dengan pembesar-pembesar Romawi. Mereka bersekongkol untuk melenyapkan Yesus yang dari sudut pandang politis merupakan ancaman terbesar bagi kedudukan mereka, karena Yesus mampu menghimpun massa yang besar. Dengan tipu muslihat, mereka menyogok Yudas Iskhariot yang mata duitan, agar memperoleh kesempatan membunuh Yesus.
    
Namun kedatangan rombongan prajurit itu tidaklah membuat Yesus keder. Yesus tetaptegar menghadapi saat yang datang itu. Yesus mampu menguasai situasi, sehingga para prajurit tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka jatuhterjerembab ke tanah tak berdaya, ketika mendengar jawaban dari Yesus “Akulah Dia!” Antusiasme untuk menangkap Yesus berubah menjadi suasana yang mencekam. Kini komando diambil alih oleh Yesus. Yesus yang seorang sipil, anak tukang kayu dari dusun Nazaret, menyandang pangkat ‘Jenderal’.
 
Para prajurit berada di bawah kekuasaannya. Sebenarnya, inilah kesempatan bagi Yesus untuk memperlakukan mereka sekehendak hati-Nya. Ia dapat melucuti senjata mereka dan menyuruh merekapergi kepada Imam-imam Kepala dan Orang-orang Farisi sebagai suatu penghinaan terhadap mereka. Yesus dapatsaja menggunakan mereka untuk menyusun kekuatan menyerang musuh-musuh-Nya. Atau Yesus juga dapat menggunakan kekuasaan-Nya untuk membiarkan mereka tetap tergeletak di tanah menjilat debu-debu dan mati secara konyol.
     
Kesempatan yang terbuka lebar itu rupanya tidak digunakan oleh Yesus. Yesus lebih memilih alternatif yang lain, karena memang konsernnya lain. Ia datang ke dunia bukan untuk menyusun kekuasaan politis dan merebut kekuasaan yang sudah mapan. Yesus datang untuk menawarkan Kerajaan Allah yang tidak berlandaskan pada kekuatan politis. Kerajaan Allah yang diwartakan-Nya adalah Kerajaan Allah yang berlandaskan pada kasih setia Allah terhadap manusia. “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yangkekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh. 3:16-17).
   
Karena itu, tindakan Yesus adalah mengembalikan kekuasaan ke dalam tangan Yudas Iskhariot dan para prajurit. Yesus secara tegar menyerahkan diri kepada mereka, karenakomitmen kasih setia-Nya kepada Bapa. “Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya” (Yoh. 15:10).

Kesetiaan kepada Bapa itulah memampukan Yesus mengendalikan diri dan menyerahkan diri kepada kehendak Allah. “Telah Kukatakan, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi!” kata Yesus. Inilah sikap Yesus yang menampakkan bahwa Ia sungguh-sungguh menyerahkan diri kepada Bapa demi karya penyelamatan umat manusia. Yesus menyerahkan diri ke dalam tangan manusia untuk diperlakukan sewenang-wenang, agar terlaksanalah suatu dunia baru yang terang benderang. Suatu dunia di mana Kerajaan Allah menjadi titik sentral kehidupan manusia. Suatu situasi yang memungkinkan Allah tetap berkarya menyelamatkan manusia dalam Yesus Kristus Putra-Nya.

Dewasa ini: Masih adakah orang yang mau menyerahkan diri?

Arus globalisasi telah memaksa manusia untuk memalingkan diri kepada pemenuhan kebutuhan hidup bagi diri sendiri. Konsumerisme merasuki hidup manusia. Manusia menjadi makhluk yang mengkonsumsi sebanyak mungkin produk-produk super canggih. Hingga ada semacam prinsip hidup untuk carpe diem (nikmatilah hari inisepuas-puasnya). Akibatnya, gaya hedonistis menjadi alternatif lain bagi pemenuhan kebutuhan hidup.
    
Manusia lupa bahwa di sekitarnya masih ada begitu banyak sesama yang menderita kelaparan dan haus akan pemenuhan kebutuhan hidup yang paling pokok. Ada begitu banyak orang yang masih membutuhkan uluran kasih dari tangan-tangan yang ringan memberikan derma. Di perempatan jalan-jalan kota banyak tubuh tergeletak dengan tangan menengadah ke langit mengharapkan secuil belas kasih dari sesamanya. Di bawah kolong jembatan begitu banyak wajah-wajah sendu menantikan sesuap nasi untuk mempertahankan hidup barang sehari saja. Mereka terjebak dengan ketidakpastian hidup. Suara yang mengerang-erang menandakan betapa besar mereka mendambaka norang-orang yang mau menyerahkan diri secara total bagi sesama manusia.
    
Masih adakah orang yang mau menyerahkan diri bagi tegaknya Kerajaan Allah? Masih adakah manusia yang ingin memperjuangkan keadaan sesama yang tertindas oleh represi regim-regim totaliter? Yesus, sang guru, telah memberikan teladan bagaimana sikap menyerahkan diri secara total kepada kehendak Allah. Di dunia dewasa ini, yang lebih dikuasai oleh egoisme, komunisme, hedonisme dan individualisme, orang kristiani mesti berani membawa perubahan bagi dunia sekitarnya.
 
Menyerahkan diri dalam pelayanan kasih bagi sesama manusia yang sedang dilanda penderitaan merupakan suatu kesaksian yang sangat fundamental sebagai murid-murid Kristus. “Datanglah kepada-Ku kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu,” merupakan sabda Yesus yang tidak boleh hanya melekat di bibir saja. Sabda itu mesti mewujud dalam praksis hidup sebagaimana Sang Guru yang memberikan contoh dalam penyerahan diri-Nya di taman di malam gelap gulita.
   
Hal yang sangat menarik dari peristiwa di taman itu adalah Yesus mengambil inisiatif menyerahkan diri kepada Bapa melalui tangan Yudas ‘si pengkhianat’ Iskhariot dan para prajurit. Peristiwa itu terjadi dalam ketegaran hati Yesus yang tidaktakut menghadapi peristiwa kematian-Nya. Mengapa? Karena bagi Yesus kematian-Nya di kayu salib bukanlah akhir yang sia-sia dari perjuangannya menegakkan Kerajaan Allah di atas muka bumi ini. Bagi Yesus, kematian di salib adalah peristiwa pemuliaan atas kesetiaan-Nya kepada kehendak Bapa.
 
Kiranya menarik juga bagi setiap orang kristiani untuk tetap tegar menghadapi problema-problema hidup di dunia yang serba modern ini. Optimisme yang ditampakkan oleh Yesus hendaknya diinternalisasi oleh orang-orang kristiani, agar hidup yang seolah-olah tak berarti ini memiliki makna yang mendalam. “Karena aku hidup tetapi bukan lagi aku yang hidup di dalam diriku, melainkan Kristus-lah yang hidup di dalam diriku” (Gal. 2:20). Kristus hidup di dalam dirikita berarti seluruh semangat-Nya masuk dan bekerja dalam diri kita. Dan kalaudemikian berarti membuahkan kasih karunia yang berlimpah bagi sesama manusiayang berada dalam penderitaan.
    
Pertanyaan Refleksi: Apa gerakan yang Anda lakukan untuk sesama Anda yang menjadi korban penyalahgunaan NARKOBA? Mengapa hati Anda tergerak menyaksikan sesama Anda yang menderita? Sejauh mana penyerahan diri Anda kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang? Apakah Anda masih ragu-ragu terhadap belas kasih Tuhan? **

Frans de Sales SCJ

Akulah Roti Kehidupan

Tubuh Tuhan tak bernyawa masih tergantung di atas salib. Dukacita telah usai, karena kemenangan telah dicapai dalam kemuliaansalib. Paripurnalah sudah pergumulan hidup Yesus dalam menuntaskan tugas perutusan-Nya ke dalam dunia.
  
Ratap tangis para perempuan yang mengikuti jalan salib Tuhan telah berubah menjadi kegembiraan. Mengapa? Karena Tuhan Yesus telah menang atas dosa. Iblis telah dihancurleburkan melalui perjalanan salib yang mengerikan itu. “Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita,” sabda Yesus kepada para rasul yang dikasihi-Nya (Yoh 16:20).
 
Sukacita itu memiliki suatu dasar alasan yang kuat, yaitu karyapenebusan yang telah dituntaskan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Manusia kembali memiliki hidup berkat penyerahan diri Sang Guru kepada kehendak Bapa. “Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku,” kata Yesus.
   
Suatu penyerahan diri yang menjadikan manusia menemukan kembali hakekat hidupnya sendiri sebagai citra Allah dalam persatuan dengan Allah. Dalam Tuhan Yesus, manusia berjumpa kembali dengan Allah. 
 
Tubuh yang lunglai tak bernyawa itu kini menjadi roti kehidupanbagi manusia. “Inilah TubuhKu yang diserahkan bagi kamu,” sabda Yesus ketika merayakan Ekaristi bersama para murid-Nya dalam Perjamuan Malam Terakhir (Luk 22:19).
   
Tubuh Tuhan itu kini menjadi milik manusia. Ketika manusia menerimanya sebagai santapan bagi kehidupan, manusia menyatakan kasih dansetianya kepada Dia yang telah dimuliakan di puncak gunung Kalvari. Tubuh Tuhan itu menjadi bekal perjalanan hidup manusia dalam pengembaraannya di dunia ini.
   
Tuhan telah menyediakan bagi manusia yang tertebus suatu rezeki yang tidak pernah binasa. “Aku berkata kepadamu, bukan Musa yang memberikan kamu roti dari sorga, melainkan Bapa-Ku yang memberikan kamu roti yang benardari sorga. Karena roti yang dari Allah ialah roti yang turun dari sorga dan yang memberi hidup kepada dunia,” kata Yesus kepada orang-orang Yahudi yang masih berpandangan bahwa Musa-lah yang memberi mereka manna di padang gurun.
   
Yesus memberikan jaminan kepada manusia bahwa manusia yang datang kepada-Nya akan memperoleh hidup yang kekal. Apalagi kedatangan manusia itu untuk menerima tubuh Tuhan sendiri. Dunia mendapatkan hidup dari Tubuh Tuhan sendiri yang tanpa banyak kata memberikan seluruh hidup-Nya bagi manusia. 
  
“Akulah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Inilah roti yang turun dari sorga: Barangsiapa makan daripadanya, ia tidak akan mati. Akulah roti hidup yang turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah Daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh 6:48-51).
   
Yesus kembali menegaskan bahwa menyambut Tubuh-Nya dan memakan pemberian-Nya manusia tidak akan mengalami kebinasaan. Bahkan manusia akan memperoleh hidup untuk selama-lamanya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi, kalau manusia memiliki iman kepada Tuhan Yesus yangmemberikan diri-Nya untuk hidup manusia itu.
  
Berulang kali Yesus menandaskan kepada orang banyak yang mengikuti-Nya untuk percaya kepadaNya. Ia membuka mata hati mereka untuk menerima bahwa Ia diutus oleh Bapa untuk menebus dosa manusia. Namun manusia sering kali menolak Tuhan Yesus sebagai satu-satunya penyelamat umat manusia.
 
“.... hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah.... sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal,” kata Yesus kepada orang banyak yang masih mempersoalkan kehadiran-Nya (Yoh 6:29;47).
  
Karena itu, Tuhan Yesus menuntut sikap iman yang benar kepada-Nya. Keterbukaan hati manusia terhadap kehadiran Tuhan Yesus menjadi kunci utama untuk mempunyai hidup yang kekal.

Dewasa Ini: Roti Itu masih Ada

Sejak masih muda Yustinus, sebut saja begitu namanya, tidak pernah absen mengikuti Perayaan Ekaristi setiap pagi. Kalau dia tidak hadir dalam Ekaristi di gereja parokinya, itu karena ia menderita sakit berat atau bepergian jauh. Baginya, tiada hari ia lewatkan tanpa memulai dengan menyambut Tubuh Tuhan.
    
“Sudah sejak masih anak-anak saya melakukan ini. Waktu kecil saya sering menjadi misdinar setiap pagi. Mungkin pastor sampai bosan melihat saya mendampingi dia setiap pagi,” kata Yustinus yang kini berusia 80 tahun itu.
    
Meski sudah berusia 80 tahun, Yustinus masih tetap ke gereja setiap pagi. Bahkan kini ia didampingi sang istri tercinta yang juga sudah mulai mengikuti Ekaristi setiap pagi sejak 10 tahun lalu. Mereka tampak bahagia usai menyambut Tubuh Tuhan Yesus.
 
“Mungkin banyak orang masih mempertanyakan apa manfaatnya mengikuti Ekaristi setiap pagi. Saya tidak mempertanyakannya lagi, karena inilah sumber hidup saya,” tutur Yustinus yang pensiunan guru itu.
   
Bagi Yustinus, menerima Tubuh Tuhan berarti memperoleh bekal hidup bagi perjalanan hidupnya. Ia merasakan bahwa hidup tanpa Tuhan Yesus segalanya tiada berarti. Hidup bersama Tuhan Yesus memberikan makna yang mendalam bagi pergumulan hidupnya sehari-hari.
  
“Saya yakin saya selalu disertai oleh Tuhan Yesus. Tuhan Yesus tidak akan pernah meninggalkan saya,” tandas Yustinus sambil melempar seutassenyumnya.
  
Keyakinannya akan penyertaan Tuhan itu membuat Yustinus senantiasa setia mengikuti Perayaan Ekaristi. Ia mengaku bahwa tubuh Kristus sungguh-sungguh menguatkan perjalanan hidupnya sebagai seorang kristiani.
 
Ternyata Tubuh Kristus yang Ia sambut setiap pagi itu menguatkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat didesanya. Menurut masyarakat, Yustinus sangat rajin dalam kegiatan-kegiatan dikampungnya.
   
“Bapak Yustinus itu sangat rajin, kalau ada kegiatan di kampung ini. Walaupun sudah tua, dia tetap datang untuk memberikan dukungan sewaktu anggota masyarakat lain mengadakan kegiatan,” kata Ibu Ani yang tetangga Yustinus itu.
  
Kehadirannya yang aktif dalam masyarakat di kampungnya ia timba dari Tuhan Yesus sendiri. Ia yakin, sewaktu hidup di Palestina Tuhan Yesus juga aktif di dalam kehidupan masyarakat. “Buktinya, Tuhan Yesus juga datang kepesta perkawinan di Kana. Di sana Ia sangat peduli terhadap tuan rumah yang kehabisan anggur,” kata Yustinus mengenai alasan keterlibatannya dalam kehidupan bermasyarakat.
   
Tubuh Tuhan Yesus memang menguatkan Yustinus dalam perjalanan hidupnya. Ia pun merasa tidak pernah bosan menerima Tubuh Tuhan itu meski setiap pagi ia lakukan itu. Mengapa? Karena Yesus adalah roti kehidupan. “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi,” sabda Tuhan Yesus (Yoh 6:35).
   
Yustinus tetap meyakini bahwa Tuhan Yesus adalah roti hidup yang memberi dia kehidupan kekal. Roti hidup itu telah mengajaknya untuk melibatkan diri dalam kehidupan bersama sesama. Ia menjadi peduli terhadap sesama di sekitarnya yang membutuhkan bantuannya. Berani menerima atau menyambut Tubuh Tuhan berarti berani pula memberikan diri bagi sesama. Yustinus telah mempraktikkan ajaran Tuhan Yesus yang memberikan nyawa-Nya bagi hidup dunia. Roti itu masih ada sampai sekarang! **

Frans de Sales SCJ