Banyak orang zaman kini sedang lapar. Mereka tampak beringas. Bisa-bisa sesama manusia diterkam sama mereka. Mengapa mereka begitu lapar? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Namun satu hal yang jelas adalah mereka sedang kehilangan kasih. Tidak ada orang yang rela membagikan kasih kepada mereka. Padahal semakin banyak kasih itu dibagikan, semakin berlimpah ruah pula kasih itu.
Sayang, egoisme telah mengerdilkan kasih. Cinta diri yang berlebihan telah membuat banyak orang merasa lapar. Ketiadaan kasih membuat banyak orang beringas dan berusaha untuk menguasai orang lain.
Sudah lama Isabela terlunta-lunta di jalanan kota. Pakaiannya compang-camping dan kumal. Rambutnya awut-awutan. Tubuhnya berbau tidak sedap. Padahal ia seorang gadis cantik. Mengapa terjadi begitu? Karena harta milik kedua orang tuanya telah dirampas oleh paman-pamannya. Sejak ia kehilangan kedua orang tuanya dalam suatu kecelakaan, Isabela tidak boleh tinggal di rumah warisan orang tuanya. Paman-pamannya telah menguasai rumah dan harta kekayaan lain peninggalan kedua orang tuanya.
Jadilah Isabela, anak semata wayang, seorang anak jalanan yang mengandalkan hidup dari usaha minta-minta. Ia mesti menengadahkan tangannya ke mobil-mobil yang berhenti di perempatan jalan di kala lampu merah menyala. Dengan cara begitu ia dapat mempertahankan hidupnya. Pekerjaan seperti itu ia lakukan beberapa tahun sampai suatu ketika sebuah keluarga menemukan Isabela tertidur lunglai di emperan sebuah toko.
Keluarga itu membawa Isabela ke rumah mereka. Isabela diberi makan dan minum. Lalu ia dimandikan. Itulah pertama kali ia mandi setelah diusir dari rumahnya. Ia diberi pakaian yang baru. Jadilah Isabela seorang gadis cantik yang disayangi keluarga yang sudah punya lima orang anak itu.
“Kalau saja Pak Andreas dan istrinya tidak menemukan saya, mungkin saya sudah mati. Waktu itu seharian saya tidak dapat apa-apa dari mengemis. Tubuh saya jadi lemas,” kata Isabela, sambil menitikkan air matanya, ketika membagikan pengalamannya dalam suatu pertemuan kring.
Bagi Isabela, keluarga yang menyelamatkannya adalah pahlawan. Ia kemudian mendapatkan kasih saying yang sama dengan kelima orang anak dari keluarga itu. Ia bisa kembali ke bangku sekolah. Isabela boleh menuntut ilmu seperti anak-anak yang lain.
“Pak Andreas dan istrinya begitu menyayangi saya. Saya belum pernah mendengar keluhan mereka terhadap saya. Apa yang saya butuhkan untuk sekolah saya selalu mereka penuhi,” tutur Isabela sambil berkali-kali mengucapkan terimakasih.
Padahal keluarga Andreas tidak pernah mengenal orang tua dari Isabela. Mereka juga tidak punya hubungan keluarga dengan Isabela. Tetapi kasih telah mempertemukan mereka. Kasih telah mengenyangkan yang lapar. Kasih telah mengumpulkan mereka dalam satu keluarga yang bahagia.
“Sebenarnya yang mendorong kami untuk mengambil Isabela waktu itu adalah Tuhan Yesus sendiri. Kami melihat dia seperti Tuhan Yesus yang sedang menderita di kayu salib,” tutur Pak Andreas mengenai aksinya mengambil Isabela.
“Yah, apa gunanya kalau setiap pagi kami menyembut Tubuh Tuhan dalam misa harian, kalau kami tidak memperhatikan mereka yang menderita? Roti kehidupan yang kami sambut itu telah menggugah hati kami,” Ibu Andreas menimpali.
Tindakan sepasang suami istri ini ternyata memiliki dasar iman yang kuat. Iman itu ingin mereka hidup dalam perjalanan hidup yang konkrit. Dengan demikian iman berbuahkan kasih bagi sesama yang menderita. Belajar dari Tuhan Yesus yang memberikan diriNya sebagai roti kehidupan bagi dunia, keluarga Andreas juga mengalirkan kehidupan kepada sesama yang membutuhkan.
“Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi,” kata Tuhan Yesus (Yoh. 6:35). Keluarga Andreas tidak pernah merasa lapar atau haus meski mereka mesti mengeluarkan anggaran tambahan untuk Isabela yang kini sudah menjadi seorang mahasiswi itu. Justru yang mereka dapatkan adalah berlimpah-limpahnya rahmat dari Tuhan Yesus. Isabela pun belajar untuk membagikan kasih kepada sesama.
“Kalau toh suatu saat Isabela pergi dari rumah ini, kami tidak akan merasa kehilangan. Dia sudah menjadi bagian dari rumah ini. Dia sudah menjadi anak kami yang pandai pula memperhatikan sesamanya yang menderita,” kata Ibu Andreas tentang Isabela.
Kasih itu semakin berlimpah ruah ketika dibagi-bagikan kepada sesama manusia. Roti kehidupan yang dipersembahkan oleh Tuhan Yesus menjadi semakin banyak, karena roti itu dibagi-bagikan kepada semakin banyak orang. “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah,” sabda Tuhan Yesus (Yoh. 12:24).
Tuhan Yesus adalah biji gandum yang jatuh ke dalam tanah yang menghasilkan banyak buah. Ia mempersembahkan diri-Nya agar manusia yang sudah mati oleh dosa Adam dapat memperoleh kehidupan. Melalui Ekaristi Kudus, Tuhan Yesus memberi diri-Nya dengan cinta yang sama yang Ia tunjukkan di atas kayu salib. Pemberian cinta Yesus menjadi contoh bagaimana umat manusia mesti memberi diri bagi sesama. Pemberian diri secara total seperti yang telah ditunjukkan Tuhan Yesus menjadi bagian dari perjalanan panjang peziarahan para pengikutNya.
Ketika merayakan Perjamuan Terakhir bersama murid-murid-Nya, Tuhan Yesus membagi-bagikan Tubuh-Nya sendiri, roti kehidupan, kepada murid-murid-Nya. Ia memberikan roti kehidupan itu agar manusia memiliki hidup. Yang menarik dari pemberian diri Yesus itu adalah pesan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya untuk melakukan hal yang sama. “Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk. 22:19).
Tuhan Yesus menghendaki agar para murid-Nya, dan juga para pengikut-Nya, membagikan roti kehidupan kepada sesama yang dijumpai dalam perjalanan hidup ini. Para pengikut Kristus itu mesti berani membagikan kasih yang dimiliki kepada setiap orang yang dijumpai. Hanya dengan membagikan kasih itu, sesama tidak akan mengalami kelaparan. Hanya dengan membagikan kasih kepada sesama, manusia akan memperoleh kasih dengan berlimpah-limpah. “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh. 6:51). **
Frans de Sales SCJ
Sayang, egoisme telah mengerdilkan kasih. Cinta diri yang berlebihan telah membuat banyak orang merasa lapar. Ketiadaan kasih membuat banyak orang beringas dan berusaha untuk menguasai orang lain.
Sudah lama Isabela terlunta-lunta di jalanan kota. Pakaiannya compang-camping dan kumal. Rambutnya awut-awutan. Tubuhnya berbau tidak sedap. Padahal ia seorang gadis cantik. Mengapa terjadi begitu? Karena harta milik kedua orang tuanya telah dirampas oleh paman-pamannya. Sejak ia kehilangan kedua orang tuanya dalam suatu kecelakaan, Isabela tidak boleh tinggal di rumah warisan orang tuanya. Paman-pamannya telah menguasai rumah dan harta kekayaan lain peninggalan kedua orang tuanya.
Jadilah Isabela, anak semata wayang, seorang anak jalanan yang mengandalkan hidup dari usaha minta-minta. Ia mesti menengadahkan tangannya ke mobil-mobil yang berhenti di perempatan jalan di kala lampu merah menyala. Dengan cara begitu ia dapat mempertahankan hidupnya. Pekerjaan seperti itu ia lakukan beberapa tahun sampai suatu ketika sebuah keluarga menemukan Isabela tertidur lunglai di emperan sebuah toko.
Keluarga itu membawa Isabela ke rumah mereka. Isabela diberi makan dan minum. Lalu ia dimandikan. Itulah pertama kali ia mandi setelah diusir dari rumahnya. Ia diberi pakaian yang baru. Jadilah Isabela seorang gadis cantik yang disayangi keluarga yang sudah punya lima orang anak itu.
“Kalau saja Pak Andreas dan istrinya tidak menemukan saya, mungkin saya sudah mati. Waktu itu seharian saya tidak dapat apa-apa dari mengemis. Tubuh saya jadi lemas,” kata Isabela, sambil menitikkan air matanya, ketika membagikan pengalamannya dalam suatu pertemuan kring.
Bagi Isabela, keluarga yang menyelamatkannya adalah pahlawan. Ia kemudian mendapatkan kasih saying yang sama dengan kelima orang anak dari keluarga itu. Ia bisa kembali ke bangku sekolah. Isabela boleh menuntut ilmu seperti anak-anak yang lain.
“Pak Andreas dan istrinya begitu menyayangi saya. Saya belum pernah mendengar keluhan mereka terhadap saya. Apa yang saya butuhkan untuk sekolah saya selalu mereka penuhi,” tutur Isabela sambil berkali-kali mengucapkan terimakasih.
Padahal keluarga Andreas tidak pernah mengenal orang tua dari Isabela. Mereka juga tidak punya hubungan keluarga dengan Isabela. Tetapi kasih telah mempertemukan mereka. Kasih telah mengenyangkan yang lapar. Kasih telah mengumpulkan mereka dalam satu keluarga yang bahagia.
“Sebenarnya yang mendorong kami untuk mengambil Isabela waktu itu adalah Tuhan Yesus sendiri. Kami melihat dia seperti Tuhan Yesus yang sedang menderita di kayu salib,” tutur Pak Andreas mengenai aksinya mengambil Isabela.
“Yah, apa gunanya kalau setiap pagi kami menyembut Tubuh Tuhan dalam misa harian, kalau kami tidak memperhatikan mereka yang menderita? Roti kehidupan yang kami sambut itu telah menggugah hati kami,” Ibu Andreas menimpali.
Tindakan sepasang suami istri ini ternyata memiliki dasar iman yang kuat. Iman itu ingin mereka hidup dalam perjalanan hidup yang konkrit. Dengan demikian iman berbuahkan kasih bagi sesama yang menderita. Belajar dari Tuhan Yesus yang memberikan diriNya sebagai roti kehidupan bagi dunia, keluarga Andreas juga mengalirkan kehidupan kepada sesama yang membutuhkan.
“Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi,” kata Tuhan Yesus (Yoh. 6:35). Keluarga Andreas tidak pernah merasa lapar atau haus meski mereka mesti mengeluarkan anggaran tambahan untuk Isabela yang kini sudah menjadi seorang mahasiswi itu. Justru yang mereka dapatkan adalah berlimpah-limpahnya rahmat dari Tuhan Yesus. Isabela pun belajar untuk membagikan kasih kepada sesama.
“Kalau toh suatu saat Isabela pergi dari rumah ini, kami tidak akan merasa kehilangan. Dia sudah menjadi bagian dari rumah ini. Dia sudah menjadi anak kami yang pandai pula memperhatikan sesamanya yang menderita,” kata Ibu Andreas tentang Isabela.
Kasih itu semakin berlimpah ruah ketika dibagi-bagikan kepada sesama manusia. Roti kehidupan yang dipersembahkan oleh Tuhan Yesus menjadi semakin banyak, karena roti itu dibagi-bagikan kepada semakin banyak orang. “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah,” sabda Tuhan Yesus (Yoh. 12:24).
Tuhan Yesus adalah biji gandum yang jatuh ke dalam tanah yang menghasilkan banyak buah. Ia mempersembahkan diri-Nya agar manusia yang sudah mati oleh dosa Adam dapat memperoleh kehidupan. Melalui Ekaristi Kudus, Tuhan Yesus memberi diri-Nya dengan cinta yang sama yang Ia tunjukkan di atas kayu salib. Pemberian cinta Yesus menjadi contoh bagaimana umat manusia mesti memberi diri bagi sesama. Pemberian diri secara total seperti yang telah ditunjukkan Tuhan Yesus menjadi bagian dari perjalanan panjang peziarahan para pengikutNya.
Ketika merayakan Perjamuan Terakhir bersama murid-murid-Nya, Tuhan Yesus membagi-bagikan Tubuh-Nya sendiri, roti kehidupan, kepada murid-murid-Nya. Ia memberikan roti kehidupan itu agar manusia memiliki hidup. Yang menarik dari pemberian diri Yesus itu adalah pesan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya untuk melakukan hal yang sama. “Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk. 22:19).
Tuhan Yesus menghendaki agar para murid-Nya, dan juga para pengikut-Nya, membagikan roti kehidupan kepada sesama yang dijumpai dalam perjalanan hidup ini. Para pengikut Kristus itu mesti berani membagikan kasih yang dimiliki kepada setiap orang yang dijumpai. Hanya dengan membagikan kasih itu, sesama tidak akan mengalami kelaparan. Hanya dengan membagikan kasih kepada sesama, manusia akan memperoleh kasih dengan berlimpah-limpah. “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh. 6:51). **
Frans de Sales SCJ
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.