Pages

16 Desember 2012

Mengelola Luka Batin

Pernahkah Anda merasa hati Anda sangat sakit oleh perbuatan sesama Anda? Saya yakin, setiap dari kita pernah mengalami hal ini. Soalnya adalah bagaimana kita mengelola rasa sakit itu?

Ada seorang ibu yang mengalami luka batin. Hatinya terasa sangat sakit. Mengapa? Karena suami yang sangat dicintai telah meninggalkan dirinya. Padahal mereka telah memiliki empat orang anak yang manis-manis. Ibu itu mesti membesarkan empat orang anak itu seorang diri.

Hati ibu itu semakin sakit ketika ia mendengar bahwa sang suami telah hidup dengan perempuan lain. Bahkan perempuan itu telah memiliki dua orang anak yang kini duduk di bangku SMP. Dua anak itu hasil hubungan dengan suaminya. Bukan dengan lelaki yang lain. Hari-hari ibu itu dipenuh dengan duka nestapa.

Ibu itu berkata dalam hatinya, “Mengapa dia mengatakan masih bujang ketika menikahi saya? Bukankah dia sudah punya dua orang anak? Begitu tega dia membohongi saya.”

Namun ibu itu kemudian sadar bahwa sesal kemudian tidak berguna. Ia kemudian menjalani hidup ini apa adanya. Ia berjuang untuk mencari nafkah bagi keempat anaknya. Ia juga melayani sesamanya. Ia berusaha untuk mengisi batinnya dengan hal-hal yang baik dan benar. Ia mendapatkan cinta yang begitu besar dari orang-orang yang ada di sekitarnya.

Suatu hari, ia menyadari bahwa luka batin itu telah hilang dari dalam batinnya. Ia berkata, “Seiring dengan pertumbuhan anak-anak saya, luka batin itu telah hilang. Sekrang hati saya dipenuhi oleh cinta yang begitu indah. Hati saya sekarang dipenuhi oleh cinta anak-anak saya, cinta Tuhan dan cinta dari orang-orang sekitar saya. Sungguh indah hidup ini.”

Setiap orang pernah mengalami luka batin. Setiap orang punya luka batin. Luka batin itu ditimbulkan oleh berbagai persoalan dalam hidup ini. Luka batin itu tersembunyi di bawah kesadaran manusia. Luka batin itu sangat menyakitkan. Kalau orang tidak bisa mengolahnya, orang akan merasa tertekan seumur hidupnya. Apalagi kalau orang tidak berani menghadapi luka batin itu. Luka batin akan semakin terpendam dan tidak pernah sembuh.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa hanya orang yang berani menghadapi luka batinnya akan menemukan sukacita dalam hidup. Hanya orang yang mau tersembuhkan dari luka batinnya, orang itu mengalami dalam hidupnya. Orang mengalami cinta yang lebih besar. Orang akan mengalami hidup yang lebih indah dalam hidupnya.

Menyalahkan orang lain yang membuat hati kita terluka tidak akan menyembuhkan luka batin kita. Luka batin berakar di dalam batin kita, bukan di luar kita. Karena itu, bila kita merasakan kesakitan yang dalam, kita mesti berhenti menyalahkan orang lain. Kita menghadapi suasana seperti itu dengan hati yang lapang.

Orang beriman tentu senantiasa menyertakan Tuhan dalam upaya menyembuhkan luka batinnya. Untuk itu, kita mesti membuka hati kita lebar-lebar bagi rahmat penyembuhan dari Tuhan bagi batin kita. Kita biarkan Tuhan memenuhi hati kita dengan kasihNya yang besar dan bermakna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

25 September 2012

Membangun Sikap yang Baik dalam Hidup

Pernahkah Anda meragukan kebaikan sesama Anda? Apa sikap Anda terhadap kebaikan sesama Anda?

Ada seorang bapak punya dua orang anak. Kedua anaknya itu sangat ia sayangi. Mereka menjadi andalan masa depannya. Mereka menjadi penerus generasinya di masa yang akan datang. Karena itu, ia mendidik mereka dengan disiplin yang tinggi. Ia ingin kedua anaknya itu mengikuti jejaknya dalam melakukan hal-hal yang baik dalam hidup.

Suatu hari, bapak itu meminta anaknya yang sulung untuk membawa uang ke bank. Uang itu akan ditabung untuk masa depan anak sulung itu. Bapak itu ingin agar uang itu menjadi modal bagi anak sulungnya kelak di kemudian hari. Sayang, anak itu menolak permintaan anak sulungnya. Bapak itu sangat kecewa. Ia melakukan sesuatu yang sangat baik bagi anaknya, namun ia punya sikap yang bertolak belakang.

Namun bapak itu tidak marah. Ia tidak tersinggung akan sikap anak sulungnya itu. Lantas ia mendatangi anak bungsunya. Ia meminta hal yang sama. Ia memberikan pengertian kepada anaknya itu bahwa ia lakukan hal itu demi anaknya sendiri. Bukan demi dirinya sendiri. Ia ingin sang anak memiliki masa depan yang cerah. Sayang, anak bungsu itu juga punya sikap yang sama dengan sang kakak. Ia tidak mau diganggu. Ia sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Meski ia mendapatkan sikap seperti itu, bapak itu tidak putus asa. Ia masih punya harapan bahwa ketika mereka tidak sibuk lagi dengan pekerjaan mereka, mereka akan melakukan apa yang dimintanya itu. Toh ia lakukan itu bukan demi dirinya sendiri. Ia lakukan itu untuk kebahagiaan kedua anaknya.

Selang beberapa jam kemudian, si bungsu datang kepada ayahnya. Ia menawarkan bantuannya. Ia membawa uang itu ke bank. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga milik sang kakak. Ia menyesal telah membuat hati sang ayah tertusuk oleh sikapnya.

Sahabat, dua orang punya dua sikap yang berbeda. Kiranya hal ini juga berlaku bagi diri kita sendiri. Dalam hidup ini kita mesti membuat keputusan-keputusan. Kita mesti berani mengambil langkah yang baik demi masa depan kita. Namun sering manusia melakukan hal-hal yang kurang bijaksana bagi hidup mereka.

Kisah di atas memberi inspirasi bagi kita bahwa sesuatu yang baik bagi hidup kita mesti senantiasa kita perjuangkan. Sang ayah tidak peduli terhadap sikap anak-anaknya. Ia masih punya pengharapan bahwa mereka akan berpikir baik-baik tentang masa depan mereka. Benar! Pengharapan bapak itu terpenuhi. Sang anak bungsu kemudian melakukan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri.

Yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah bukti kesetiaan. Orang tidak hanya berjanji atau bermimpi tentang membangun masa depan yang lebih baik. Yang lebih penting adalah bagaimana membuktikan janji atau mimpi itu. Sering banyak orang cemas akan masa depannya. Banyak orang tidak yakin akan memiliki masa depan yang lebih baik. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena mereka tidak berani menghadapi resiko-resiko bagi hidup mereka. Mereka lebih memilih aman saja.

Tentu saja ini bukan sikap orang beriman. Orang beriman berani menjalani hidup ini dengan berbagai resiko. Orang beriman mesti terus-menerus berjuang apa pun yang akan terjadi atas hidup mereka. Orang beriman berpegang teguh pada kasih setia Tuhan. Mereka yakin bahwa Tuhan senantiasa membimbing hidup mereka. Tuhan tidak pernah meninggalkan mereka berjuang sendirian di dunia ini. Tuhan senantiasa hadir dalam hidup mereka. Mari kita serahkan hidup ke dalam kuasa Tuhan. Dengan demikian, hidup ini menjadi kesempatan untuk mewujudnyatakan iman kita kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Majalah FIAT

21 September 2012

Memberi dengan Motivasi yang Tulus

Pernahkah Anda memberi sesuatu kepada sesama Anda? Saya kira, kita semua pernah memberi sesuatu kepada sesama kita. Pertanyaannya, bagaimana sikap kita dalam memberi? Apakah kita memberi dengan hati yang tulus atau kita memberi untuk mendapatkan pujian dari orang lain?

Ada dua orang yang terpikat oleh ajakan suatu kelompok beriman. Mereka diajak untuk peduli terhadap orang-orang miskin di sekitar mereka. Kedua orang ini termasuk orang-orang yang kaya. Apa yang mereka lakukan adalah mereka menyumbangkan hal-hal yang berharga yang mereka miliki. Caranya adalah mereka menjual barang-barang berharga itu lalu uang hasil penjualan mereka serahkan kepada kelompok itu.

Yang menjadi persoalan adalah dua orang itu kemudian menyombongkan diri mereka telah memberi perhatian kepada sesamanya yang miskin. Ke mana-mana mereka mencari pujian. Mereka tidak lakukan hal itu dengan hati yang tulus. Akibatnya, mereka ditegur oleh pemimpin kelompok itu. Mereka telah menyalahgunakan maksud kehadiran kelompok itu untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Namun kedua orang itu tidak peduli. Mereka terus-menerus mencari perhatian dari banyak orang untuk diri mereka sendiri. Mereka ingin dipuji karena telah melakukan hal-hal yang baik bagi sesama. Akhirnya, kelompok itu mengambil tindakan untuk menghentikan kedua orang itu. Caranya adalah dengan mengeluarkan mereka dari kelompok itu.

Pemimpin kelompok itu berkata, “Kami sudah beri kesempatan bagi mereka untuk menyadari kekeliruan mereka. Namun mereka tidak peduli. Kami harus ambil tindakan tegas. Kami tidak mau ada anggota kami yang memberi dengan tidak tulus hati. Orang yang mencari kebanggaan diri sendiri tidak punya tempat di kelompok kami.”

Sonora, memberi dengan hati yang tulus mesti menjadi andalan hidup orang beriman. Seorang bijaksana mengatakan bahwa orang memberi tangan kanan tidak boleh diketahui oleh tangan kirinya. Artinya, orang tidak boleh mencari keuntungan bagi dirinya sendiri ketika memberi sesuatu kepada sesamanya.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa kita mesti memberi dengan hati yang tulus. Ketidaktulusan membuat orang hidup hanya untuk kesenangan dirinya sendiri. Orang yang melakukan sesuatu untuk mencari pujian akan menemukan kesulitan dalam hidupnya. Ketika pujian tidak lagi tertuju kepada dirinya, orang seperti ini akan mengalami kelesuan dalam hidupnya. Ia tidak punya semangat lagi untuk hidup. Ia tidak punya gairah lagi untuk melanjutkan perjalanan hidupnya. Padahal hidup manusia mesti terus-menerus berlangsung. Hidup manusia tidak tergantung dari pujian orang lain terhadap diri kita.

Karena itu, kita mesti hati-hati terhadap pujian. Kita mesti tulus dalam memberi sesuatu kepada sesama yang membutuhkan. Janganlah kita gunakan sesama kita yang miskin untuk menaikkan popularitas diri kita. Kalau popularitas yang menjadi tujuan hidup kita, cepat atau lambat kita akan mengalami duka dan derita. Popularitas tidak akan bertahan lama dengan cara seperti ini.

Mari kita memberi dengan hati yang tulus. Dengan demikian, kita menjadi orang-orang yang memiliki hati yang mudah tergerak oleh belas kasihan bagi sesama kita yang menderita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

KOMSOS KAPal

19 September 2012

Pusatkan Perhatian pada Yang Baik

Apakah anda merasa ada yang kurang beres dalam diri anda? Apa yang menyebabakan hal-hal yang kurang beres itu? Anda merasa ditinggalkan oleh sesama Anda? Atau pikiran Anda yang negatif membuat Anda kurang fokus pada hal-hal yang baik dan benar?

Motivator terkenal asal Amerika Serikat, Zig Ziglar dalam bukunya ‘Breaking To The Next Level” mengatakan bahwa bila kita terus terfokus pada kegagalan-kegagalan di masa lalu, masalah-masalah yang kita hadapi pada hari ini dan kecemasan akan apa yang akan terjadi di esok hari, maka kita akan bersikap negatif. Menurutnya, pendekatan kehidupan seperti ini akan memperpendek umur kita dan membuat waktu terasa seakan lama berputar.

Zig Ziglar memberikan solusi, agar seseorang tidak bersikap negatif. Ia berkata, “Mulailah dengan fakta bahwa Anda masih hidup sekarang ini. Kemudian, konsentrasikan pikiran pada pengalaman-pengalaman Anda yang positif dan menyenangkan”.

Menurutnya, dengan pergantian fokus ini, kita akan mendapat manfaat yang sangat mengagumkan.

Sahabat, banyak orang sering kurang fokus pada apa yang sedang mereka lakukan. Akibatnya, mereka berpindah-pindah tugas. Atau mereka cepat bosan dengan apa yang sedang mereka lakukan. Mereka kurang punya ketekunan terhadap suatu pekerjaan.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena orang kurang fokus dalam hidup. Orang kurang tekun dalam mengolah hidupnya. Orang merasa bahwa apa yang mereka lakukan kurang bermakna dalam hidup ini. Akibatnya, mereka mudah meninggalkan apa yang sedang mereka lakukan.

Zig Ziglar menasihati setiap kita untuk memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang positif. Ketika kita fokuskan diri pada hal-hal positif, kita akan mengalami bahwa hidup ini menjadi sungguh indah. Hidup ini menjadi saat yang bermanfaat untuk mengungkapkan hidup kita kepada sesama.

Kita percaya bahwa Tuhan senantiasa memberikan kita hal-hal positif. Tuhan menganugerahi kita hal-hal yang baik untuk menumbuhkembangkan hidup ini. Tentu saja hal ini menjadi sulit ketika kita kurang menanggapinya dengan baik. Kita lebih suka memilih untuk memenuhi kehendak kita. Karena itu, kita sering mengalami kesulitan dalam hidup kita. Kita mudah meninggalkan apa yang kita kerjakan. Kita berusaha untuk mencari dan menemukan hal-hal yang lebih menyenangkan hati kita.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mengarahkan perhatian kita pada hal-hal positif. Dengan demikian, hidup kita menjadi suatu kesempatan untuk menumbuhkembangkan hal-hal baik yang ada dalam diri kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Majalah FIAT
920

17 September 2012

Waspadai Uang dan Harta dalam Hidup


Seorang bijak berkata, ”Akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari imannya.” Bagaimana sikap Anda terhadap uang yang Anda miliki?

Suatu hari seorang pemuda merasa gelisah hatinya. Ia sudah berusaha untuk hidup ugahari, namun uangnya cepat berkurang. Ia mengaku, ia sering berbelanja. Ia tidak bisa mengendalikan keinginan dirinya. Padahal ia sudah punya program untuk hidup ugahari. Ia ingin menjadi orang yang kaya harta.

Ia sibuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Ia tidak hanya punya satu usaha. Ia membangun berbagai usaha untuk segera meraih impiannya, yaitu menjadi orang kaya. Ia menabung banyak uang di sejumlah bank dari berbagai usaha yang ia punyai. Banyak kali ia mesti menyibukkan diri dalam mengurus berbagai usahanya itu. Ia merasa tidak punya banyak waktu untuk dirinya sendiri.

Karena itu, ia merasa resah ketika ia gagal dalam upayanya untuk hidup ugahari. Ia mudah tergoda untuk menggunakan kekayaannya demi hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Misalnya, ia selalu membeli sofa kesukaannya. Berbagai bentuk dan macam sofa ia beli. Sebenarnya, ia tidak pakai sofa-sofa itu. Ia hanya pakai satu untuk di ruang kerjanya. Sedangkan sofa-sofa yang lain hanya dipajang atau disimpan di gudang.

Akhirnya pemuda itu merefleksi diri. Ia tidak lagi memboroskan uangnya untuk memenuhi keinginan hatinya. Ia menggunakan uangnya untuk membantu orang-orang miskin. Menurutnya, dengan cara ini, ia dapat membantu banyak orang untuk hidup lebih baik. Ia tidak merasa kekurangan dalam hidupnya, meski ia melepaskan uangnya untuk orang lain.

Sahabat, banyak orang di zaman sekarang mencari dan mengejar kekayaan. Mereka mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Mereka merasa bahwa uang mampu memberi kebahagiaan dan ketenangan bagi mereka dalam hidup ini. Mereka mengorbankan begitu banyak waktu dan tenaga untuk mencari dan mengumpulkan uang. Tetapi apakah mereka semakin bahagia dalam hidup ini?

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa harta kekayaan bukan ukuran untuk meraih kebahagiaan dalam hidup. Harta kekayaan sering mengganggu hidup manusia. Manusia menjadi bingung dan resah oleh banyaknya harta kekayaan itu. Manusia merasa terganggu oleh harta kekayaan itu.

Faktanya, uang tidak pernah membuat manusia kaya. Mereka yang sudah kaya masih saja tetap merasa kurang. Mereka mencari dan mengejar uang yang lebih banyak lagi. Filsuf Lucius Annaeus Seneca berkata, “Uang belum pernah membuat orang menjadi kaya.” Sebaliknya uang justru membuat kita selalu merasa miskin, merasa kurang dan tamak, bahkan tidak peduli sebanyak apa pun uang yang telah kita miliki.

Karena itu, orang beriman mesti selalu waspada saat berhadapan dengan uang. Uang bisa membawa bahagia bagi hidup. Tetapi uang juga bisa membawa bencana bagi hidup. Orang mesti memiliki sikap batin yang baik berhadapan dengan uang dan harta kekayaan. Dengan demikian, orang menggunakan harta kekayaan bagi kesejahteraan hidupnya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO

919

15 September 2012

Gunakan Kekuatan Pikiran untuk Kesejahteraan


Seorang bijak berkata, “Semuanya itu jelas bagi yang cerdas, lurus bagi yang berpengetahuan.” Dalam konteks ini, kita diajak untuk merefleksikan potensi-potensi yang ada dalam diri kita.

“Ada cukup energi atom dalam pikiran manusia untuk meledakkan kota New York,” kata Dr Norman Vincent Peale.

Menurut penulis buku laris The Power of Positive Thinking ini, pikiran manusia memiliki kekuatan yang luar biasa. Kekuatan pikiran itu mampu membuat manusia menguasai dunia. Kalau kekuatan pikiran manusia ini sepenuhnya digunakan oleh manusia, hal-hal yang luar biasa akan terjadi. Sampai saat ini, setiap orang hanya mampu menggunakan kekuatan pikirannya sebanyak 10 persen. Lalu ke mana 90 persen kekuatan pikiran manusia yang lain?

Ternyata manusia belum menggunakan kekuatan pikirannya seratus persen. Ada berbagai sebab. Namun satu hal yang pasti adalah manusia tidak menggunakan pikirannya untuk berpikir secara positif. Banyak orang menggunakan pikirannya untuk hal-hal negatif. Akibatnya, pikirannya terkungkung oleh hal-hal negatif yang tidak menumbuhkan dirinya. Hal-hal negatif itu justru mengerdilkan dirinya.

Ada data yang menarik, yaitu si jenius teori relativitas, Albert Einstein menggunakan hanya 15 persen potensi pikirannya. Pikiran manusia memiliki kuasa yang super dahsyat, namun manusia menyia-nyiakan 90 persen dari daya ini. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Sahabat, manusia diciptakan Tuhan dengan potensi-potensi. Tuhan tidak menciptakan manusia dalam keadaan kosong. Tuhan tidak menciptakan manusia seperti kertas putih. Di dalam diri manusia yang masih lemah gemulai yang lahir dari seorang perempuan itu sudah tertera potensi-potensi dirinya. Hal ini termasuk potensi yang ada dalam pikirannya.

Sayang, potensi-potensi itu sering ditelantarkan oleh manusia. Manusia yang hidup dalam kungkungan budaya yang ketat akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan dirinya secara kreatif. Orang seperti ini cenderung merasa enggan untuk mengembangkan dirinya. Orang seperti ini lebih curiga terhadap kemajuan-kemajuan zaman. Orang seperti ini tidak percaya pada kreativitas dalam hidup. Prinsipnya adalah hidup biasa-biasa saja sudah cukup, kok mau bersusah-susah.

Sebaliknya, orang yang memiliki kesempatan untuk menumbuhkan potensi dirinya akan berusaha semaksimal mungkin menggunakan pikiran dan tenaganya untuk membangun hidup. Orang seperti ini akan kreatif dalam hidupnya. Ia terus-menerus melakukan invoasi-inovasi baru untuk meraih sukses dalam hidupnya. Orang seperti berusaha menggunakan pikirannya untuk hal-hal yang baik. Ia berusaha berpikir positif dalam hidupnya.

Bagi orang beriman, menggunakan kekuatan pikiran untuk kesejahteraan manusia menjadi suatu ungkapan syukur atas kebaikan Tuhan. Tuhan telah memberikan potensi diri itu dengan cuma-cuma. Karena itu, manusia mesti menggunakannya dengan baik untuk kebahagiaan manusia. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

KOMSOS KAPal

918

18 Agustus 2012

Dia Memberiku Roti Kehidupan

Banyak orang zaman kini sedang lapar. Mereka tampak beringas. Bisa-bisa sesama manusia diterkam sama mereka. Mengapa mereka begitu lapar? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Namun satu hal yang jelas adalah mereka sedang kehilangan kasih. Tidak ada orang yang rela membagikan kasih kepada mereka. Padahal semakin banyak kasih itu dibagikan, semakin berlimpah ruah pula kasih itu.

Sayang, egoisme telah mengerdilkan kasih. Cinta diri yang berlebihan telah membuat banyak orang merasa lapar. Ketiadaan kasih membuat banyak orang beringas dan berusaha untuk menguasai orang lain.

Sudah lama Isabela terlunta-lunta di jalanan kota. Pakaiannya compang-camping dan kumal. Rambutnya awut-awutan. Tubuhnya berbau tidak sedap. Padahal ia seorang gadis cantik. Mengapa terjadi begitu? Karena harta milik kedua orang tuanya telah dirampas oleh paman-pamannya. Sejak ia kehilangan kedua orang tuanya dalam suatu kecelakaan, Isabela tidak boleh tinggal di rumah warisan orang tuanya. Paman-pamannya telah menguasai rumah dan harta kekayaan lain peninggalan kedua orang tuanya.

Jadilah Isabela, anak semata wayang, seorang anak jalanan yang mengandalkan hidup dari usaha minta-minta. Ia mesti menengadahkan tangannya ke mobil-mobil yang berhenti di perempatan jalan di kala lampu merah menyala. Dengan cara begitu ia dapat mempertahankan hidupnya. Pekerjaan seperti itu ia lakukan beberapa tahun sampai suatu ketika sebuah keluarga menemukan Isabela tertidur lunglai di emperan sebuah toko.

Keluarga itu membawa Isabela ke rumah mereka. Isabela diberi makan dan minum. Lalu ia dimandikan. Itulah pertama kali ia mandi setelah diusir dari rumahnya. Ia diberi pakaian yang baru. Jadilah Isabela seorang gadis cantik yang disayangi keluarga yang sudah punya lima orang anak itu.

“Kalau saja Pak Andreas dan istrinya tidak menemukan saya, mungkin saya sudah mati. Waktu itu seharian saya tidak dapat apa-apa dari mengemis. Tubuh saya jadi lemas,” kata Isabela, sambil menitikkan air matanya, ketika membagikan pengalamannya dalam suatu pertemuan kring.

Bagi Isabela, keluarga yang menyelamatkannya adalah pahlawan. Ia kemudian mendapatkan kasih saying yang sama dengan kelima orang anak dari keluarga itu. Ia bisa kembali ke bangku sekolah. Isabela boleh menuntut ilmu seperti anak-anak yang lain.

“Pak Andreas dan istrinya begitu menyayangi saya. Saya belum pernah mendengar keluhan mereka terhadap saya. Apa yang saya butuhkan untuk sekolah saya selalu mereka penuhi,”
tutur Isabela sambil berkali-kali mengucapkan terimakasih.

Padahal keluarga Andreas tidak pernah mengenal orang tua dari Isabela. Mereka juga tidak punya hubungan keluarga dengan Isabela. Tetapi kasih telah mempertemukan mereka. Kasih telah mengenyangkan yang lapar. Kasih telah mengumpulkan mereka dalam satu keluarga yang bahagia.

“Sebenarnya yang mendorong kami untuk mengambil Isabela waktu itu adalah Tuhan Yesus sendiri. Kami melihat dia seperti Tuhan Yesus yang sedang menderita di kayu salib,”
tutur Pak Andreas mengenai aksinya mengambil Isabela.

“Yah, apa gunanya kalau setiap pagi kami menyembut Tubuh Tuhan dalam misa harian, kalau kami tidak memperhatikan mereka yang menderita? Roti kehidupan yang kami sambut itu telah menggugah hati kami,”
Ibu Andreas menimpali.

Tindakan sepasang suami istri ini ternyata memiliki dasar iman yang kuat. Iman itu ingin mereka hidup dalam perjalanan hidup yang konkrit. Dengan demikian iman berbuahkan kasih bagi sesama yang menderita. Belajar dari Tuhan Yesus yang memberikan diriNya sebagai roti kehidupan bagi dunia, keluarga Andreas juga mengalirkan kehidupan kepada sesama yang membutuhkan.

“Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi,”
kata Tuhan Yesus (Yoh. 6:35). Keluarga Andreas tidak pernah merasa lapar atau haus meski mereka mesti mengeluarkan anggaran tambahan untuk Isabela yang kini sudah menjadi seorang mahasiswi itu. Justru yang mereka dapatkan adalah berlimpah-limpahnya rahmat dari Tuhan Yesus. Isabela pun belajar untuk membagikan kasih kepada sesama.

“Kalau toh suatu saat Isabela pergi dari rumah ini, kami tidak akan merasa kehilangan. Dia sudah menjadi bagian dari rumah ini. Dia sudah menjadi anak kami yang pandai pula memperhatikan sesamanya yang menderita,” kata Ibu Andreas tentang Isabela.

Kasih itu semakin berlimpah ruah ketika dibagi-bagikan kepada sesama manusia. Roti kehidupan yang dipersembahkan oleh Tuhan Yesus menjadi semakin banyak, karena roti itu dibagi-bagikan kepada semakin banyak orang. “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah,” sabda Tuhan Yesus (Yoh. 12:24).

Tuhan Yesus adalah biji gandum yang jatuh ke dalam tanah yang menghasilkan banyak buah. Ia mempersembahkan diri-Nya agar manusia yang sudah mati oleh dosa Adam dapat memperoleh kehidupan. Melalui Ekaristi Kudus, Tuhan Yesus memberi diri-Nya dengan cinta yang sama yang Ia tunjukkan di atas kayu salib. Pemberian cinta Yesus menjadi contoh bagaimana umat manusia mesti memberi diri bagi sesama. Pemberian diri secara total seperti yang telah ditunjukkan Tuhan Yesus menjadi bagian dari perjalanan panjang peziarahan para pengikutNya.

Ketika merayakan Perjamuan Terakhir bersama murid-murid-Nya, Tuhan Yesus membagi-bagikan Tubuh-Nya sendiri, roti kehidupan, kepada murid-murid-Nya. Ia memberikan roti kehidupan itu agar manusia memiliki hidup. Yang menarik dari pemberian diri Yesus itu adalah pesan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya untuk melakukan hal yang sama. “Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (Luk. 22:19).

Tuhan Yesus menghendaki agar para murid-Nya, dan juga para pengikut-Nya, membagikan roti kehidupan kepada sesama yang dijumpai dalam perjalanan hidup ini. Para pengikut Kristus itu mesti berani membagikan kasih yang dimiliki kepada setiap orang yang dijumpai. Hanya dengan membagikan kasih itu, sesama tidak akan mengalami kelaparan. Hanya dengan membagikan kasih kepada sesama, manusia akan memperoleh kasih dengan berlimpah-limpah. “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh. 6:51). **



Frans de Sales SCJ

11 Juli 2012

Menjauhkan Diri dari Kesombongan

Apa yang terjadi kalau Anda menyepelekan sesama Anda? Tentu sesama Anda merasa kurang dihargai.

Suatu hari seorang teman mengatakan bahwa saya sombong. Saya bingung mengapa dia mengatakan saya sombong. Pasalnya, selama ini dia selalu saya sapa. Saya selalu peduli terhadap dirinya. Saya tidak melecehkan dirinya. Saya tetap setia dalam berteman dengan dirinya.

Saya penasaran terhadap pandangannya yang berubah tentang diri saya. Lantas dia menjelaskan, ”Sombong artinya tidak mau peduli lagi dengan penderitaan temannya. Padahal saya tahu, kalau kamu bisa dan punya waktu. Apalah artinya bisa dan punya waktu, kalau tidak punya hati seperti Tuhan?”

Saya pun mengerti apa yang dimaksudkannya. Ternyata teman saya itu butuh perhatian yang lebih. Tidak seperti biasanya. Dia sedang menderita. Tentu bukan penderitaan fisik, karena dia segar bugar. Rupanya batinya sedang bersedih. Karena itu, dia butuh perhatian dari sesamanya. Dia butuh hiburan yang meringankan beban batinnya. Dia butuh dukungan untuk dapat keluar dari derita batinnya itu.

Sahabat, ketika kita bertemu dengan orang yang kita kenal dan kita pura-pura tidak kenal, maka kita dianggapnya sombong. Ketika ada orang yang suka berbicara besar serta memamerkan keberhasilan-keberhasilan yang diraihnya, maka kita menyebut orang itu sombong. Orang kaya yang tidak mau bergaul dengan orang miskin juga biasanya disebut sebagai orang yang sombong.

Kesombongan-kesombongan seperti ini memang sangat mudah kita deteksi. Namun ada juga kesombongan yang bersembunyi jauh di dalam hati. Keseombongan seperti ini sulit kita deteksi. Soalnya adalah mengapa orang merasa diri sombong atau orang disebut sombong?

Orang yang sombong itu selalu merasa diri lebih baik dari orang lain. Hal ini ditampakkan melalui tindakan yang tidak bisa memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu. Kita beranggapan bahwa mereka tidak akan bisa melakukan sesempurna apa yang kita lakukan.

Tentu saja hal ini berbahaya bagi kehidupan. Mengapa? Karena orang merasa diri paling kuat. Padahal manusia itu makhluk yang lemah yang mudah jatuh ke dalam dosa. Manusia bukanlah supermen yang tidak punya cacat cela. Setiap orang punya kelemahan-kelemahan diri. Kalau orang merasa diri tidak punya cacat, orang itu akan merasa sangat sakit dan terpuruk, ketika mengalami kejatuhan.

Karena itu, orang beriman mesti menjauhkan diri dari kebiasaan sombong. Orang beriman mesti selalu mendahulukan sikap rendah hati. Dengan sikap rendah hati, orang mampu menerima kehadiran semua orang dalam hidupnya. “Kesombongan mendahului kehancuran dan tinggi hati mendahului kejatuhan” (Amsal 16:18). Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ


917

10 Juli 2012

Memberi dengan Sepenuh Hati

Apa yang akan Anda lakukan ketika sesama Anda mengalami kekurangan dalam hidupnya? Anda biarkan begitu saja, karena Anda merasa kalau Anda memberi Anda akan kehilangan? Atau Anda berani memberi, karena Anda yakin bahwa rahmat demi rahmat akan Anda peroleh dalam hidup ini?

Konon Elang dan Kalkun adalah burung yang menjadi teman yang baik. Di manapun mereka berada, kedua teman selalu pergi bersama-sama. Tidak aneh bagi manusia untuk melihat Elang dan Kalkun terbang bersebelahan melintasi udara bebas. Suatu hari ketika mereka terbang, Kalkun berkata kepada Elang, "Mari kita turun dan mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Perut saya sudah keroncongan nih!"

Elang menjawab, "Kedengarannya ide yang bagus".

Lantas keduanya turun ke bumi. Mereka melihat beberapa binatang lain sedang makan dan memutuskan bergabung dengan mereka. Mereka mendarat dekat dengan seekor Sapi. Sapi ini tengah sibuk makan jagung. Namun sewaktu memperhatikan bahwa ada Elang dan Kalkun sedang berdiri dekatnya, Sapi berkata, "Selamat datang, silakan cicipi jagung manis ini".

Ajakan ini membuat kedua burung ini terkejut. Mereka tidak biasa jika ada binatang lain berbagi soal makanan mereka dengan mudahnya. Elang bertanya, "Mengapa kamu bersedia membagikan jagung milikmu bagi kami?"

Sapi menjawab, "Oh, kami punya banyak makanan di sini. Tuan Petani memberi kami apapun yang kami inginkan."

Dengan undangan itu, Elang dan Kalkun menjadi terkejut dan menelan ludah. Sebelum selesai, Kalkun menanyakan lebih jauh tentang Tuan Petani. Sapi menjawab, "Yah, dia menumbuhkan sendiri semua makanan kami. Kami sama sekali tidak perlu bekerja untuk makanan."

Kalkun tambah bingung, "Maksud kamu, Tuan Petani itu memberikan padamu semua yang ingin kamu makan?"

Sapi menjawab, "Tepat sekali!. Tidak hanya itu, dia juga memberikan pada kami tempat untuk tinggal."

Elang dan Kalkun menjadi syok berat! Mereka belum pernah mendengar hal seperti ini. Mereka selalu harus mencari makanan dan bekerja untuk mencari naungan.

Ketika datang waktunya untuk meninggalkan tempat itu, Kalkun dan Elang mulai berdiskusi lagi tentang situasi ini.

Sahabat, kebaikan itu mesti dibagikan kepada sesama yang membutuhkan. Banyak orang hanya mau menikmati kebaikan itu untuk diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka menjadi egois. Mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri. Mereka tidak peduli terhadap sesamanya.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa ada begitu banyak rahmat yang Tuhan berikan kepada kita. Itulah rahmat kebaikan. Rahmat kebaikan itu bukan hanya untuk diri sendiri. Rahmat kebaikan itu mesti disalurkan bagi sesama yang membutuhkan. Tentu saja hal ini tidak segampang yang dipikirkan. Mengapa? Karena sering orang merasa bahwa kebaikan yang diberikan kepada sesamanya itu hilang begitu saja. Menjadi milik orang lain. Bukan lagi menjadi milik mereka.

Tentu saja pikiran seperti ini kurang pas, karena semakin orang memberi kepada sesamanya, semakin banyak rahmat yang diperolehnya. Apalagi kalau orang memberi dengan penuh kasih. Tuhan akan mendukung dengan rahmatNya orang yang rela memberikan apa yang dimilikinya bagi sesamanya.

Karena itu, orang beriman mesti berani memberi apa yang dimiliki bagi sesamanya yang membutuhkan. Yakinlah, apa yang kita berikan itu tidak hilang, tetapi akan membuahkan rahmat berlimpah bagi hidup kita. Mari kita berani memberi apa yang kita miliki bagi sesama kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih damai dan sukacita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ


916

28 Juni 2012

Hadapi Kesulitan Hidup dengan Iman

Apa yang akan Anda lakukan kalau Anda mengalami suatu situasi yang mencekam. Anda cemas dan takut? Anda menyerah kalah? Atau Anda hadapi situasi itu dengan penuh iman?

Suatu hari seekor anak katak merasa cemas. Pasalnya, langit tiba-tiba menjadi sangat gelap. Ia tidak bisa melihat dunia sekitarnya. Padahal ia masih membutuhkan perlindungan. Ia masih butuhkan suasana yang tenang bercengkrama dengan ibu dan saudara-saudaranya yag lain.

Dalam kecemasan itu, ia bertanya kepada ibunya, “Bu, apa kita akan binasa? Kenapa langit tiba-tiba gelap?”

Anak katak itu merangkul erat lengan induknya. Sang ibu menyambut rangkulan itu dengan belaian lembut. Ia berusaha meyakinkan anaknya bahwa langit yang tiba-tiba menjadi gelap tidak akan membinasakan mereka.

Sang ibu berkata, “Anakku, itu bukan pertanda kebinasaan kita. Justru itu tanda baik.”

Anak katak itu belum paham. Ia bingung, mengapa situasi yang gelap gulita itu menjadi pertanda baik? Anak katak itu semakin panik begitu tiba-tiba angin bertiup kencang. Daun dan tangkai kering yang berserakan mulai beterbangan. Pepohonan meliuk-liuk dipermainkan angin. Lagi-lagi, suatu pemandangan menakutkan buat si katak kecil.

Anak katak itu mengerang ketakutan. Ia bertanya, “Ibu, itu apa lagi? Apa itu yang kita tunggu-tunggu?”

Sang ibu berusaha menenangkan anaknya. Ia berkata, “Anakku, itu cuma angin. Itu juga pertanda, kalau yang kita tunggu pasti datang!”

Anak katak itu pun mulai tenang. Ia mulai menikmati tiupan angin kencang yang tampak menakutkan itu. Tiba-tiba suara petir menyambar-nyambar. Kilatan cahaya putih pun kian menjadikan suasana begitu menakutkan. Anak katak itu tidak bisa bilang apa-apa lagi. Ia gemetar. Sambil memejamkan matanya, ia berteriak, “Buuu, aku sangat takut. Takut sekali!”

Sambil membelai anaknya, sang induk berkata, “Sabar, anakku! Itu cuma petir. Itu tanda ketiga, kalau yang kita tunggu tak lama lagi datang! Keluarlah. Pandangi tanda-tanda yang tampak menakutkan itu. Bersyukurlah, karena hujan tak lama lagi datang.”

Sahabat, pernahkah Anda mengalami sesuatu yang mencekam sebelum meraih impian Anda? Apa sikap Anda? Anda takut menghadapi situasi mencekam itu? Anda cemas? Atau Anda tidak percaya pada kenyataan yang ada? Lantas apa yang Anda lakukan?

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa rahmat Tuhan kadang-kadang datang kepada kita melalui jalan yang berliku-liku. Orang mesti sabar menunggu. Orang mesti yakin bahwa Tuhan tetap akan memberikan rahmatNya. Tuhan tidak pernah mengingkari kasih setiaNya kepada manusia.

Karena itu, yang dibutuhkan dari manusia adalah kesabaran yang penuh iman. Artinya, orang mesti membangun keyakinan dalam dirinya bahwa apa yang sedang diperjuangkannya tidak akan sia-sia. Apa yang sedang diperjuangkannya akan ia raih dalam iman yang mendalam kepada Tuhan.

Kita mesti mengakui bahwa dalam hidup ini kita sering terombang-ambing oleh berbagai persoalan hidup. Kita ditantang untuk tetap berpegang teguh pada iman kita kepada Tuhan. Kita tidak boleh menyerah, apa pun situasi yang mengobrak-abrik hidup kita. Satu pegangan hidup yang mesti kita utamakan adalah Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Yakinlah, Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita berjuang sendirian.

Karena itu, kita tidak boleh takut melangkah. Kita tidak boleh bersembunyi di balik tantangan hidup ini. Kita mesti menghadapi situasi hidup itu dengan iman yang kokoh dan teguh. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

915

26 Juni 2012

Bersyukur dalam Situasi Apapun

Apa yang akan Anda lakukan kalau Anda tiba-tiba mengalami penderitaan dalam hidup ini? Anda putus asa? Atau Anda mau berusaha untuk mensyukuri kebaikan Tuhan?

Hesti divonis menderita kanker payudara yang ganas. Kalau ia tidak mengobatinya dengan baik, nyawanya akan melayang. Namun Hesti tidak peduli terhadap vonis itu. Ia yakin, penyakit yang dideritanya tidak ada hubungan langsung dengan kematian.

Menurutnya, banyak orang sehat yang juga tanpa disangka akhirnya meninggal terlebih dulu. Untuk itu, ketika masih ada waktu hidup yang diperolehnya, dirinya mengaku sangat bersyukur. Ia boleh hidup dengan enak. Ia menjalani hidupnya dengan biasa-biasa saja.

Rasa syukur diungkapkan Hesti dengan belajar menerima keadaan dan berbagi kepada penderita kanker lainnya. Bahkan, dengan suara indahnya, ia juga mengaku ingin terus berbagi kepada orang lain, baik para penderita kanker maupun yang tidak.

Ia berkata, “Kesulitan kita adalah menerima apa yang Tuhan ijinkan terjadi. Walaupun saya menderita sudah hampir tiga tahun, tapi tetap pelayanan saya jalan. Saya tetap mempromosikan ASI. Selain itu, saya kerja sama dengan dokter saya untuk ngobrol dan memberikan dorongan kepada penderita kanker yang ditangani dokter saya.”

Sahabat, sering orang panik menghadapi vonis dokter atas penyakit yang dideritanya. Orang merasa bahwa vonis itu sudah menjadi akhir dari segala-galanya. Tidak ada jalan lain. Tidak ada kesempatan lagi untuk keluar dari situasi seperti itu. Orang merasa hidupnya sudah berakhir.

Kisah di atas memberi kita wawasan baru bahwa orang mesti mensyukuri hidup ini. Meski terjadi situasi yang kurang menguntungkan, orang mesti berani bersyukur. Artinya, orang mau menerima hidupnya sebagai rahmat Tuhan. Orang mesti berani menerima keadaan dirinya tanpa banyak menggerutu. Orang mesti menjalani hidup ini dengan hati yang lapang.

Sering manusia tidak sabar dalam hidupnya. Manusia mau segala-galanya selesai dalam waktu yang singkat. Padahal untuk sembuh dari suatu penyakit yang ganas, orang mesti menjalani proses pengobatan. Proses itu kadang-kadang singkat, tetapi lebih banyak membutuhkan waktu yang panjang.

Karena itu, orang beriman mesti menaruh pengharapan pada Tuhan. Dialah kekuatan dalam menjalani hari-hari yang penat oleh berbagai penyakit. Tuhanlah yang mampu memenangkan seseorang dalam perjuangan melawan penyakit yang dideritanya.

Untuk itu, sikap syukur mesti menjadi bagian dari hidup orang beriman. Artinya, orang beriman mensyukuri kebaikan Tuhan. Orang beriman mesti menyadari bahwa Tuhanlah yang menyelenggarakan hidup ini. Mari kita berusaha untuk mensyukuri kebaikan Tuhan, meski penyakit sering mendera hidup kita. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales SCJ

914

22 Juni 2012

Hidup di Tangan Tuhan, Buat Apa Takut?


Apa yang akan Anda lakukan, ketika Anda dilanda oleh musibah berupa penyakit yang ganas? Anda berhenti berjuang untuk menyembuhkan penyakit Anda? Atau Anda tidak menyerah pada kenyataan, karena Anda percaya bahwa Tuhan menyertai hidup Anda?

“Hidup mati, kaya miskin, jodoh di tangan Tuhan. Kita enggak tahu kita mati kapan. Sejauh kita masih hidup, kita hidup sebaik-baiknya saja. Karena kita enggak tahu kapan kita akan dipanggil sama Tuhan. Orang sehat saja umurnya mungkin lebih pendek dari yang sakit,” kata Tulus.

Tulus yang berusia 25 tahun adalah salah seorang penderita kanker darah atau leukimia. Ia mengidap kanker darah sejak berusia dua tahun. Namun sejak 2008 lalu ia dinyatakan bersih dari penyakit itu. Sepanjang menjalani berbagai perawatan dan pengobatan hingga saat ini, Tulus meyakini bahwa waktu hidup yang masih diberikan harus dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Untuk itulah, meski pada umur 15-20 tahun dirinya harus istirahat total di rumah sakit, Tulus tetap sekolah dan kuliah. Semua itu dia lakukan di rumah sakit. Tulus pun sudah memasuki tahun terakhir statusnya sebagai mahasiswa jurusan teknologi informasi di salah satu universitas di Jakarta.

Tentang kondisinya, ia berkata, “Saya selalu berpikir yang positif saja. Suatu saat Tuhan pasti punya rencana yang lain buat saya. Mungkin dengan begini, Tuhan bisa pakai saya buat kasih support ke orang-orang yang lain. Memotivasi orang-orang bahwa meski kena leukimia ternyata umur seseorang bisa panjang. Selama ini orang berpikir, kalau sudah divonis leukimia pasti umurnya pendek. Ternyata tidak.”

Tulus mengaku, ia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Hidup ini ada di tangan Tuhan. Karena itu, ia tidak takut menghadapi penyakit yang membahayakan itu. Ia terus berjuang. Ia memiliki daya untuk hidup.

Sahabat, berapa banyak orang yang telah menghembuskan nafas terakhirnya, karena berbagai penyakit yang membahayakan dirinya? Tentu sudah sangat banyak. Mengapa mereka bisa mengalami situasi seperti itu? Karena mereka kurang yakin bahwa hidup ini ada di tangan Tuhan. Tuhan pasti menolong hidup manusia, kalau manusia mau menyerahkan hidup ke dalam kuasa Tuhan.

Kisah di atas menjadi penyemangat bagi kita semua. Banyak kali kita dihadapkan suasana takut dan cemas. Kita takut kalau-kalau hidup kita akan diganggu oleh berbagai penyakit. Kalau nanti suatu ketika terjadi bahwa penyakit itu menyerang kita, kita tidak mau berjuang lagi. Pemuda tadi berjuang mati-matian untuk hidup. Ia yakin, Tuhan pasti membantu dirinya. Tuhan pasti dapat membebaskan dirinya dari penyakit itu. Dan benar. Ia dapat disembuhkan dari penyakit itu. Berkat penyerahan dirinya kepada Tuhan dan ketekunannya berobat, ia boleh mengalami sukacita.

Orang beriman adalah orang setia menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Orang beriman itu dari waktu ke waktu membuka hatinya lebar-lebar bagi hadirnya Tuhan dalam hidupnya. Karena itu, orang beriman mengandalkan Tuhan. Orang beriman tidak berpaling dari Tuhan.

Untuk itu, kita butuh sikap rendah hati. Kita butuh sikap iman yang benar kepada Tuhan. Kita terbuka terhadap penyelenggaraan Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Menjadi Terang bagi Hidup Bersama

Apa yang akan terjadi kalau dunia sekeliling Anda gelap gulita? Apa yang akan Anda lakukan? Tentu saja Anda akan menghidupkan lampu yang ada di dekat Anda. Dengan demikian, tidak terjadi lagi kegelapan di sekitar Anda.

Pelita atau lampu bukan sesuatu yang asing dalam hidup kita sehari-hari. Pelita adalah salah satu alat yang penting untuk penerangan pada zaman dulu. Pelita mampu memberi cahaya, jika didukung oleh minyak dan sumbu yang dibakar oleh api. Dalam perkembanganya, alat penerang itu menjadi semakin canggih dengan ditemukannya listrik dan bola lampu. Namun fungsinya tetap sama, yakni memberi terang, menghalau kegelapan.

Pelita sangat akrab dalam kehidupan ini. Pelita berada di gantang atau tempat untuk meletakkan pelita. Apa yang dapat kita pelajari dari pelita bagi hidup ini? Ternyata begitu dekatnya hidup kita dengan pelita. Kedekataan itu membantu kita untuk memahami fungsinya. Yang terpenting adalah kita dapat belajar dari fungsi pelita itu bagi hidup ini.

Mari kita juga belajar dari pelita. Kita selalu membutuhkan pelita yang memberi terang dalam hidup ini. Jika kita melakukan perjalanan pada malam hari, kita membutuhkan pelita sebagai penerang supaya tidak tersesat. Tentu kita juga dapat belajar dari pelita yang menerangi semua orang. Kehadiran kita memberi seberkas cahaya harapan bagi yang dirundung kegelapan masalah hidup ini. Akhirnya masyarakat mampu hidup secara harmonis.

Sahabat, dalam salah satu kotbahnya, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagi pula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian, sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik, dan memuliakan Bapamu yang di Surga.”

Dari kotbah Yesus itu tampak begitu pentingnya peranan hidup manusia dalam hidup bersama. Kita diajak oleh Yesus untuk menjadi cahaya bagi orang lain. Artinya, kita memberi terang bagi sesama yang masih hidup dalam kegelapan dosa. Kita mengajak mereka untuk kembali kepada Tuhan. Mengapa? Karena hanya Tuhanlah yang menjadi terang sejati bagi hidup kita.

Tentu saja menjadi terang bagi sesama itu tidak gampang. Diri kita sendiri harus dapat menjadi contoh bagi hidup orang lain. Kita mesti berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi nilai-nilai kebaikan dalam hidup sehari-hari. Lantas nilai-nilai itu kita tebarkan bagi hidup sesama kita. Kita dapat menjadi contoh atau teladan dalam hidup bersama.

Kita dipanggil untuk berani menjadi terang bagi masyarakat. Kehadiran orang beriman memberi pencerahan atas situasi kegelapan masyarakat, karena nilai-nilai kemanusiaan yang diabaikan. Kita mempunyai tugas untuk memberi terang bagi yang gelap. Terang itu kita tunjukkan dengan teladan hidup, nasihat, dan peneguhan bagi yang bimbang.

Mari kita memberi terang melalui kata dan perbuatan kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih bermakna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

912

21 Juni 2012

Memupuk Cinta yang Tak Bersyarat


Apa yang akan terjadi kalau Anda punya cinta yang bersyarat? Tentu saja cinta Anda tidak berbuah kebaikan bagi hidup bersama. Cinta Anda dalam arti tertentu mati. Tidak berguna.

Pagi itu klinik sangat sibuk. Sekitar jam 9:30 seorang pria berusia 70-an datang untuk membuka jahitan pada luka di ibu-jarinya. Seorang perawat menyiapkan berkasnya dan memintanya menunggu. Semua dokter masih sibuk. Mungkin dia baru dapat ditangani setidaknya 1 jam lagi.

Sewaktu menunggu, pria tua itu nampak gelisah. Sebentar-sebentar ia melirik ke jam tangannya. Perawat itu merasa kasihan. Jadi ketika sedang ada waktu luang, perawat itu sempatkan diri untuk memeriksa lukanya. Tampaknya cukup baik dan kering. Tinggal membuka jahitan dan memasang perban baru. Pekerjaan yang tidak terlalu sulit. Atas persetujuan dokter, perawat itu putuskan untuk melakukannya sendiri.

Sambil menangani lukanya, perawat itu bertanya apakah dia punya janji lain hingga tampak terburu-buru. Lelaki tua itu mengatakan bahwa dia hendak ke rumah jompo untuk makan siang bersama istrinya. Hal itu biasa ia lakukan setiap hari. Dia menceritakan bahwa istrinya sudah dirawat di sana sejak beberapa waktu. Istrinya mengidap penyakit Alzheimer.

Perawat itu menanyakan, apakah istrinya akan marah kalau dia datang terlambat. Dia menjawab bahwa istrinya sudah tidak lagi dapat mengenalinya sejak 5 tahun terakhir. Perawat itu sangat terkejut. Ia bertanya, “Bapak masih pergi ke sana setiap hari walaupun istri bapak tidak kenal lagi?”

Sambil menepuk tangan perawat itu, ia berkata, “Dia memang tidak mengenali saya, tapi saya masih mengenali dia.”

Sahabat, ketika orang hidup dalam kasih yang mendalam, orang tidak butuh lagi pengenalan fisik. Yang terjadi adalah orang saling mengerti. Orang saling menghargai dengan penuh persaudaraan. Orang tidak lagi melihat kekurangan dan kelemahan yang ada dalam diri sesamanya. Yang senantiasa ada dalam diri orang adalah sikap siap sedia untuk hidup bersama orang yang dicintai itu.

Kisah di atas memberi kita gambaran tentang kuatnya cinta itu. Ia tidak peduli apakah istrinya bisa mengenal dirinya atau tidak. Baginya, yang lebih penting adalah dia terus-menerus menambatkan cintanya pada kekasihnya. Ia tetap peduli meski sang kekasih tidak lagi menyapanya seperti sewaktu masih sehat.

Tentu saja kita semua ingin memiliki cinta seperti itu. Kita ingin dicintai dengan setulus hati. Kita juga ingin mencintai tanpa syarat. Namun sering kita mengalami kegagalan. Mengapa? Karena hidup kita masih dibalut oleh egoisme. Kita masih mengandalkan kepentingan diri kita sendiri. Kita enggan untuk memiliki cinta yang tulus. Kita mencintai sesama dengan syarat-syarat tertentu yang telah kita pasang. Akibatnya, kita hanya mengarahkan cinta itu untuk diri kita sendiri. Kita hanya ingin bahagia untuk diri kita sendiri.

Sebagai orang beriman, tentu kita ingin memiliki cinta yang tulus. Untuk itu, kita mesti mencintai dengan tulus pula. Kita tidak perlu membuat syarat-syarat yang hanya menghambat kita dalam mencintai. Mari kita mencintai tanpa syarat. Tuhan membekati. **



Frans de Sales, SCJ


911

20 Juni 2012

Mengembangkan Cinta yang Membebaskan

Dalam hidup ini, cinta menjadi bagian yang tak terpisahkan. Apa yang akan Anda lakukan, kalau orang yang sangat Anda kasihi sangat membutuhkan kehadiran Anda?

Ada seorang pria yang memiliki kekasih yang sangat dicintainya. Perempuan itu sangat cantik di mata pria itu. Karena itu, pria itu berusaha sungguh-sungguh untuk menunjukkan rasa sayangnya kepada permata hatinya itu. Suatu hari ia berkata kepada kekasihnya, “Kekasihku, aku akan memberikan apapun yang kamu minta, asalkan aku menilai hal itu baik buatmu. Aku tidak ingin melihat engkau kecewa karena salah memilih.”

Hari demi hari berlalu mengiringi perjalanan cinta mereka. Pria ini tak pernah memalingkan hatinya atau melupakan kekasihnya. Hati sang kekasih berbunga-bunga. Ia boleh memiliki hati pria itu. Suatu hari, wanita ini meminta sesuatu dari kekasihnya. Dia menginginkan sebuah kalung dengan berlian pada liontinnya.

Ketika pia itu mendengar permintaan kekasihnya, dia menolak. “Kekasihku, bukannya aku tidak mau atau tidak bisa membelikanmu kalung itu. Tapi sangat berbahaya bila engkau memakai kalung itu. Bila ada orang yang gelap mata, dia akan merampas kalung itu. Kalau itu terjadi, bukan hanya kamu yang celaka, aku juga akan sangat menderita melihatmu seperti itu. Aku hanya tidak mau kamu mendapat celaka,” kata pria itu.

Tapi kekasihnya terus meminta kalung itu. Ia tidak mau mendengar nasehat kekasihnya. Akhirnya, kalung itu pun dibeli dan dipakai oleh sang permata hati. Selang beberapa hari, apa yang ditakutkan oleh pria ini benar-benar terjadi. Ada 2 orang penjahat yang merampas kalung itu saat kekasihnya sedang mengendarai motor. Kalung itu pun terampas dan wanita ini terjatuh dari motornya.

Mendengar berita itu, pria itu langsung menemui kekasihnya. Ia membawanya pulang dan mengobati luka-lukanya. “Mengapa engkau tidak mau menuruti kata-kataku? Engkau mendapat celaka seperti ini, aku merasa sepuluh kali lebih sakit daripadamu,” kata pria itu.

Wanita ini menangis. Dia menyesal. “Maafkan aku. Aku bersalah padamu karena tidak mendengar perkataanmu. Aku hanya menuruti keinginanku sendiri. Maukah engkau memaafkan aku?” kata wanita itu.

Dengan penuh cinta kasih pria ini memeluk kekasihnya. Ia berkata, “Aku memaafkanmu sejak tadi. Aku bahagia karena aku bisa memelukmu dalam keadaan engkau masih hidup. Mulai sekarang, turutilah perkataanku, karena aku tidak pernah akan membuatmu celaka.”

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang menuntut kita untuk senantiasa bertumbuh dalam cinta. Memang ada juga orang yang kurang mau hidup dalam suasana cinta. Karena itu, mereka hidup sekehendak hatinya. Mereka tidak peduli terhadap sesamanya. Mereka memaksakan kehendak dirinya sendiri untuk orang lain.

Kisah di atas memberi kita secercah harapan. Kasih sang pria begitu besar. Cinta itu ia tumbuhkan dengan memberikan perhatian yang begitu mendalam terhadap sang kekasih. Ia tidak hanya mencintai sang kekasih itu secara umum. Ia mencintainya secara spesial. Cinta seperti itu menumbuhkan cinta dalam diri kekasihnya pula. Karenanya di saat ia harus memberikan pengampunan, ia langsung mengampuni kekasihnya. Ia tidak menunggu lama-lama lagi. Yang ia inginkan adalah bahagia dalam diri sang kekasih.

Pertanyaan bagi kita yang hidup di zaman sekarang adalah mampukah kita mengasihi secara spesial? Atau kita hanya mencintai sesama pada hal-hal yang tampak? Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa menumbuhkan cinta dalam hati kita. Dengan cinta itu, kita memberikan dukungan bagi hidup sesama kita. Kita berusaha untuk membahagiakan sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

910

19 Juni 2012

Menumbuhkan Cinta yang Tulus

Apa yang akan Anda lakukan kalau orang yang sangat Anda cintai mengalami duka dan derita dalam hidupnya? Anda meninggalkannya sendirian, atau anda mengorbankan hidup Anda bagi dia?

Robertson MCQuilkin mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai Rektor di Universitas Internasional Columbia dengan alasan ingin merawat istrinya, Muriel. Sang istri menderita sakit Alzheimer, yaitu gangguan fungsi otak. Muriel seperti bayi, tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk makan, mandi dan buang air pun ia harus dibantu.

Robertson memutuskan untuk merawat istrinya dengan tangannya sendiri, karena Muriel adalah wanita yang sangat istimewa baginya. Suatu kali Robertson membersihkan lantai bekas ompol Muriel. Di luar kesadarannya, Muriel malah menyerahkan air seninya sendiri kepada suaminya. Robertson tiba-tiba kehilangan kendali emosinya. Ia menepis tangan Muriel dan memukul betisnya untuk menghentikannya.

Setelah itu, Robertson menyesal. "Apa gunanya saya memukulnya? Walaupun tidak keras, tetapi itu cukup mengejutkannya. Selama 44 tahun kami menikah, saya belum pernah memukulnya karena marah. Namun kini di saat ia sangat membutuhkan saya, saya memperlakukannya demikian. Ampuni saya, Tuhan," ia berkata dalam hatinya.

Lalu tanpa peduli apakah Muriel mengerti atau tidak, Robertson meminta maaf atas hal yang telah dilakukannya. Robertson dan Muriel menikah pada 14 Februari 1948. Pada hari istimewa itu Robertson memandikan Muriel. Lantas ia menyiapkan makan malam dengan menu kesukaan Muriel. Pada malam harinya menjelang tidur, ia mencium dan menggenggam tangan Muriel.

Pada 14 Februari 1995, Robertson memandangi istrinya yang tak berdaya. Ia berdoa, "Tuhan yang baik, Engkau mengasihi Muriel lebih dari aku mengasihinya. Jagalah kekasih hatiku ini sepanjang malam. Biarlah ia mendengar nyanyian malaikat-Mu. Amin!"

Pagi harinya, ketika Robetson berolahraga dengan menggunakan sepeda statisnya, Muriel terbangun dari tidurnya. Ia berusaha untuk mengambil posisi yang nyaman, kemudian melempar senyum manis kepada Robertson. Untuk pertama kalinya setelah selama berbulan-bulan Muriel yang tidak pernah berbicara memanggil Robertson dengan suara yang lembut dan bening, "Sayangku.... sayangku...". Robertson melompat dari sepedanya dan segera memeluk wanita yang sangat dikasihinya itu.

Sahabat, cinta yang tulus tetap tumbuh dalam hidup sehari-hari. Tidak peduli terhadap berbagai tantangan yang ada. Sakit dan derita bukan menjadi halangan bagi tumbuhnya cinta yang tulus. Justru pada saat-saat sakit dan derita semestinya cinta itu semakin hidup dalam diri setiap orang. Mesti ada solidaritas yang terus tumbuh di saat-saat sakit dan derita menerpa hidup seseorang.

Kisah di atas menunjukkan kepada kita bahwa pada saat-saat sakit dan derita justru orang membutuhkan cinta yang lebih tulus dan mendalam. Perhatian menjadi suatu bukti tetap hidupnya cinta yang tulus itu. Robertson rela mengorbankan kedudukannya yang tinggi demi cintanya kepada sang istri yang tak berdaya di atas tempat tidur. Namun pengorbanan itu tanpa sia-sia. Ia mendapatkan balasannya dengan sapaan mesra dari sang istri yang bertahun-tahun lamanya tak terdengar. Itulah sukacita. Itulah damai yang menggayut di hati, meski kata-kata itu sangat minim.

Sebagai orang beriman, kita juga dipanggil untuk senantiasa menumbuhkan cinta yang tulus dalam hati dan hidup kita. Cinta yang tulus itu mesti berbuah. Buahnya adalah kepedulian dan perhatian bagi yang lemah dan tak berdaya. Di saat-saat susah menyelimuti hidup kita, kita butuh cinta yang tulus dari sesama.

Mari kita tumbuhkan cinta yang tulus dalam hidup kita, agar damai menjadi bagian dari hidup kita. Untuk itu, kita butuh memiliki hati yang peka terhadap setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Cinta yang tulus dapat tumbuh saat orang membuka hatinya lebar-lebar bagi hidup sesamanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

909

18 Juni 2012

Berserah Diri kepada Tuhan yang Mahabaik

Apa yang akan Anda lakukan di saat Anda mengalami kesulitan dalam hidup? Anda berhenti berjuang? Atau Anda memohon bantuan Tuhan?

Ada seorang yang mengaku atheis. Ia tidak percaya sama sekali hadirnya Tuhan dalam hidupnya. Banyak orang meyakinkan dirinya bahwa Tuhan sungguh-sungguh hadir dalam hidup manusia. Namun orang itu sama sekali tidak mau percaya. Orang itu tetap pada pendiriannya bahwa Tuhan tidak ada. Suatu hari orang itu sedang berjalan di tengah hutan.

Sambil menikmati pemadangan di sekelilingnya, ia berkata, “Wah! Sungguh indah pohon-pohon, sungai dan binatang-binatang di sini!”

Saat sedang berjalan di pinggiran sungai, tiba-tiba ia mendengar suara dari balik semak. Seekor beruang besar setinggi dua meter muncul menyerangnya! Dia berusaha lari, tapi malah tersandung dan tersungkur ke tanah. Pada waktu ia berusaha untuk bangun, ia melihat beruang itu sudah tepat di atasnya. Cakarnya sudah siap untuk merobek-robeknya.

Orang atheis itu kontan saja menjerit, “Oh Tuhaaannn!”

Mendadak waktu berhenti. Beruang itu menjadi diam, aliran sungai terhenti dan seisi hutan menjadi sepi. Seberkas sinar muncul menerpa. Suara dari langit terdengar, “Selama ini kamu menentang-Ku. Kamu menghasut semua orang bahwa Aku ini tidak ada. Kamu menyangkal semua ciptaan-Ku. Berani-beraninya kamu menyebut nama-Ku untuk minta tolong! Haruskah Aku menolong kamu?"

Sahabat, banyak orang mencari Tuhan, ketika mengalami kesulitan dalam hidup. Di saat mereka mengalami sukacita dan bahagia, Tuhan seolah-olah tidak ada. Tuhan tampak begitu jauh. Tuhan tidak mereka anggap hadir dalam hidup mereka. Karena itu, Tuhan mereka letakkan pada nomor terakhir dalam hidup mereka.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa tidak mengakui hadirnya Tuhan hanya membuat hidup ini tidak bahagia. Jauh dari Tuhan hanya membuat orang mengalami hidup yang tidak bermakna. Orang tidak berdaya dalam hidupnya. Kesulitan yang dihadapi itu menjadi semakin berat. Orang mengalami jalan buntu dalam hidup ini.

Orang beriman mesti yakin bahwa Tuhan senantiasa hadir dalam hidup manusia. Tuhan selalu bekerja tanpa kelihatan. Dalam keheningan, Tuhan terus-menerus menyelamatkan ciptaan-Nya. Tuhan selalu mengulurkan bantuan dan belaskasihan-Nya bagi semua orang. Bahkan ketika manusia tidak memohon bantuan dari padaNya.

Karena itu, yang mesti dilakukan oleh orang beriman adalah senantiasa menyerahkan seluruh hidup ke dalam peenyelenggaraan Tuhan. Kita mesti yakin bahwa hanya Tuhan yang mampu memberikan kebahagiaan kepada kita. Hanya Tuhan yang menjadi sumber kehidupan kita. Di saat kesulitan dan tantangan menghadang perjalanan hidup kita, kita mesti berseru kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ


908

17 Juni 2012

Berdoa bagi Kebaikan Semua Orang

Buah dari doa adalah kedalaman iman. Buah dari iman adalah cinta. Buah dari cinta adalah pelayanan, namun agar dapat berdoa kita membutuhkan keheningan hati. Sedangkan jiwa memerlukan waktu untuk beranjak dan berdoa untuk menggunakan mulut, untuk menggunakan mata, serta menggunakan seluruh tubuh. Kalau kita tidak memiliki keheningan itu, kita tidak tahu bagaimana harus berdoa.

Kali ini kita mau menggunakan kelima jari kita untuk membantu kita menghayati doa-doa kita.

Pertama, Jari Jempol. Jari ini adalah jari yang paling dekat dengan diri kita. Ketika kita sedang melipat tangan dan berdoa bagi orang-orang yang sangat akrab dengan kita. Sebutkan nama-nama mereka yang kita kenal dengan baik. Mendoakan orang-orang yang kita kasihi adalah suatu pekerjaan yang manis.

Kedua, Jari Telunjuk. Jari ini biasa kita gunakan untuk menunjuk. Namun dalam doa kita tidak meminta Tuhan untuk mencelakakan orang yang kita tunjuk. Tetapi dengan menggunakan jari telunjuk, kita mendoakan mereka yang mengajar. Kita mendoakan guru-guru kita. Kita mendoakan orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan. Tujuannya agar mereka mampu menghasilkan lulusan-lulusan yang bermutu. Dengan demikian, anak-anak bangsa ini sungguh-sungguh menjadi orang-orang yang baik. Kita mendoakan para pendidik itu agar mereka dapat menunjukkan arah yang tepat bagi para peserta didik.

Ketiga, Jari Tengah. Ini jari yang paling tinggi, berarti kita harus ingat pada para pemimpin bangsa. Kita mendoakan presiden hingga para pejabat di bawahnya. Kita mendoakan para pemimpin organisasi sosial maupun bisnis. Mereka sering mempengaruhi bangsa kita dan membimbing opini publik. Mereka sangat butuh bantuan dari-Nya. Kita berdoa agar mereka memimpin bangsa ini dengan jujur dan setulus hati.

Keempat, Jari Manis. Jari keempat ini jari yang paling lemah. Guru piano pun biasanya cukup kebingungan ketika berhadapan dengan si jari yang lemah ini. Karena itu, mari kita doakan saudara-saudari kita yang lemah, yang sedang terkena musibah. Kita doakan bagi mereka yang dianggap sebagai sampah masyarakat. Kita doakan mereka sangat membutuhkan bantuan dan doa dari kita.

Kelima, Jari Kelingking. Jari terakhir ini paling kecil di antara jari-jari manusia. Inilah yang menggambarkan sikap kita yang seharusnya rendah hati saat berhubungan dengan Tuhan dan sesama. Kita berdoa bagi diri kita sendiri, agar kita diberi kebijaksanaan dalam hidup. Dengan demikian, hidup ini menjadi indah bagi kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

907

16 Juni 2012

Membangun Kesetiaan Sejati dalam hidup Nyata

Apa yang akan Anda lakukan untuk mempertahankan kesetiaan Anda? Tentu ada banyak cara.

Ada seekor anjing yang setia menemani seeorang anak berusia 4 tahun di sebuah stasiun di kawasan penghasil anggur. Suatu ketika anak kecil itu tersesat saat ia berjalan bersama anjingnya. Anak itu sangat ketakutan, apalagi malam yang dingin begitu gelap.

Apa yang ia lakukan? Anak kecil itu berlindung di balik semak-semak. Ia juga memeluk anjingnya itu erat-erat, agar terhindar dari dinginnya malam itu. Keesokan harinya terjadi heboh atas diri anak itu. Orangtuanya mesti mencarinya ke mana-mana. Pihak polisi mengerahkan helikopter untuk mencari dirinya. Sementara anak itu hanya bisa mendengar suara helikopter. Dengan anjingnya, ia berjalan mencari rumah terdekat.

Setelah lama mencari, anak itu ditemukan bersama anjingnya. Anjing itu sangat setia kepada anak kecil itu. Ia tidak meninggalkan anak itu berjuang sendirian. Bahkan saat mendekati sebuah rumah, anjing itu menggonggong keras-keras. Dengan demikian, tuan rumah itu keluar dan menemukan anak yang dicari keluarganya bersama anjing itu.

Anak itu mensyukuri kesetiaan anjing itu. Ia kemudian memberi hadiah makanan yang paling enak bagi anjing itu. “Anjing ini sudah menyelamatkan saya dari bahaya di malam yang gelap. Saya terbebas dari rasa dingin di malam hari. Sungguh baik dan setia anjing ini,” kata anak itu.

Sahabat, kesetiaan sepertinya mulai memudar dalam hidup manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hidup ini terjadi ketidaksetiaan. Dalam hidup berkeluarga, misalnya, ada suami yang mengingkari kesetiaannya. Padahal saat menikah, ia berjanji setia sehidup semati dengan istrinya. Atau ada juga istri yang selingkuh dengan pria idaman lain. Akibatnya, kehidupan rumah tangga menjadi berantakan. Korbannya adalah anak-anak yang tidak mendapatkan cinta yang sejati dari orangtuanya.

Kisah di atas mau memberikan kepada kita suatu motivasi untuk tetap saling setia dalam hidup ini. Kesetiaan memberikan kedamaian dalam hidup. Kesetiaan mampu menyelamatkan kehidupan bersama. Anjing yang setia itu mampu menyelamatkan anak itu dari rasa dingin di malam hari. Anak itu boleh merasakan kehangatan. Anak itu boleh menemukan rasa damai dan tenteram di malam yang gelap gulita.

Membangun kesetiaan yang sejati tidak gampang. Ada banyak godaan terhadap seseorang untuk mengingkari kesetiaan yang telah diikrarkan. Namun orang mesti tetap disadarkan bahwa kesetiaan itu suatu keutamaan yang mesti dipertahankan dalam hidup ini. Hanya melalui kesetiaan yang sejati orang mampu membangun hidup yang lebih baik. Hanya melalui kesetiaan itu orang mampu membangun relasi yang saling menguntungkan dan membahagiakan.

Orang beriman mesti berusaha terus-menerus untuk mempertahankan kesetiaan sejati dalam hidup ini. Untuk itu, kesetiaan sejati mesti mampu bertahan sekalipun ada banyak mengalami rintangan dan tantangan. Kita mesti tetap berjuang, karena kesetiaan merupakan keutamaan yang membawa kebahagiaan dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

906

14 Juni 2012

Berusaha Bersama Tuhan Menuju Sukses


Apa yang akan Anda lakukan kalau Anda mengalami hidup yang kurang menyenangkan? Anda menyerah begitu saja? Atau Anda berusaha untuk mengatasinya?

Ada seorang bayi wanita lahir normal pada tanggal 27 Juni 1880 di Tuscumbia, Alabama, Amerika serikat. Tetapi ketika bayi tersebut berusia 19 bulan, dia terserang penyakit misterius yang menyebabkan dia buta dan tuli. Orangtuanya panik dan bingung dengan cacat fisik yang dialami oleh anak mereka. Ketika berusia tujuh tahun, anak tersebut cenderung bertingkah laku liar.

Tetapi sejarah mencacat, anak tersebut kelak menjadi seorang yang terkenal. Dia berhasil memperoleh penghargaan dari beberapa lembaga seperti Honorary University Degrees Women's Hall of Fame, The Presidential Medal of Freedom, The Lions Humanitarian Award.

Anak tersebut bernama Helen Adams Keller. Perubahan hidup yang sangat penting dalam diri Helen Keller dapat terjadi karena sikap pengasuhnya bernama: Johanna (Anne) Mansfeld Sullivan Macy. Pengasuh ini begitu setia dan penuh kasih dalam mendidik Helen Keller.

Melalui Anne, pengasuhnya itu, Helen Keller dapat mengenal dunia dan makna kehidupan ini. Akhirnya Helen Keller dapat belajar dan menguasai 4 bahasa, yaitu Perancis, Jerman, Yunani dan Latin lewat huruf Braille. Juga Helen Keller akhirnya berhasil lulus dari Radsliffe College yang merupakan cabang Universitas Harvard untuk kaum wanita dengan predikat “magna cum laude”. Dengan kecakapannya tersebut, Helen Keller dapat mengkomunikasikan berbagai pikiran, dedikasi dan kehidupannya kepada dunia. Kisah hidupnya yang difilmkan berhasil meraih dua piala Oscar.

Sejarah mencatat bahwa seorang wanita bernama Helen Keller dapat berhasil memperoleh berbagai penghargaan yang luar biasa, walaupun dia buta dan tuli.

Sahabat, suatu keberhasilan selalu dilalui dengan usaha keras. Orang tidak bisa mencapai keberhasilan dengan santai-santai saja. Orang mesti merencanakan dengan baik, sehingga orang mampu meraih keberhasilan dalam hidupnya. Untuk itu, dibutuhkan juga ketekunan dalam usaha-usaha itu.

Kisah sukses Helen Keller menjadi suatu contoh betapa usaha yang keras mampu membawa seseorang meraih impiannya. Tentu saja Helen Keller berkali-kali mengalami kegagalan dalam usaha-usahanya. Namun berkat ketekunan itu, ia mampu belajar dengan baik. Ia berhasil menguasai empat bahasa. Ia mampu melewati cacat fisiknya berkat pendampingan yang sangat baik dari pengasuhnya.

Orang beriman adalah orang yang senantiasa bertahan dalam usaha-usahanya untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Untuk itu, orang beriman mesti berjuang bersama Tuhan. Kadang orang beriman lupa akan Tuhan. Orang beriman mau bekerja sendiri tanpa bantuan Tuhan. Tentu saja hal ini akan membuat manusia mengalami kegalauan dalam hidupnya. Manusia akan berjalan tanpa arah.

Karena itu, penyerahan diri kepada Tuhan menjadi hal yang sangat penting dalam hidup manusia. Menyerahkan diri kepada Tuhan berarti manusia mau berusaha bersama Tuhan. Manusia beriman mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Mari kita terus-menerus mengandalkan Tuhan, agar hidup kita menjadi lebih bermakna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

905

11 Juni 2012

Membangun Disiplin dalam Diri

Apa yang akan Anda lakukan, kalau egoisme diri terus-menerus menguasai diri Anda? Anda diam saja atau Anda berusaha memeranginya?

Dua hari sebelum pertandingan, seorang pelatih sepakbola yang terkenal dengan kedisiplinannya, memberikan porsi latihan yang lebih berat dari biasanya kepada para pemainnya. Hal ini membuat anak-anak yang dilatihnya itu menggerutu. Namun begitu, mereka tetap menjalani setiap instruksi yang diberikan sang pelatih.

Kelelahan begitu terlihat dari wajah para pemain. Mereka seperti ingin berkata tidak sanggup, tetapi mereka tahu ada maksud baik pelatih memberikan latihan seperti itu. Menjelang malam, akhirnya sang pelatih menyelesaikan latihan pada hari itu.

Seperti biasanya, sebelum membersihkan diri dan bergegas pulang, sang pelatih dan para pemain berkumpul. Sang pelatih menjelaskan mengapa ia melakukan semua itu. “Saya tahu kalian marah kepada saya atau jengkel karena latihan yang berat ini. Namun, tahukah kalian bahwa kita akan menghadapi tim sepakbola yang berat. Bila kita latihan dengan porsi yang sama, maka hasilnya kita akan kalah. Saya yakin kalian semua paham apa yang baru saja kita lakukan,” kata pelatih itu.

Saat pertandingan tiba, kedua tim mengeluarkan kemampuannya di lapangan hijau. Namun, secara tidak terduga tim yang dilatih pelatih super disiplin itu memenangkan pertandingan. Ekspresi gembira terpancar di wajah para pemain. Mereka pun memeluk pelatihnya itu sambil bersorak-sorai.

Sahabat, disiplin diri menjadi salah satu hal yang mengarahkan hidup kita untuk hidup lebih baik dan benar. Orang yang tidak disiplin dalam hidupnya akan mengalami hidup yang tidak teratur. Ia tampak tidak punya arah atau tujuan yang jelas. Ia mudah berbelok ke arah yang tidak seharusnya.

Kisah pelatih yang super disiplin di atas membantu kita untuk mengarahkan hidup kita kepada kebaikan. Tim sepakbola itu berhasil, karena mereka berani mengorbankan diri mereka dengan membangun disiplin yang tinggi. Andaikan mereka mogok saat latihan, tentu mereka akan kalah saat pertandingan sesungguhnya berjalan. Mereka telah menang terhadap egoisme diri.

Tentu saja bagi orang beriman, setiap hari kita bergumul dengan perjalanan hidup kita. Kita berhadapan dengan egoisme diri yang sering mengekang kita untuk maju dalam berbagai bidang kehidupan. Egoisme sering membuat kita enggan untuk melangkah maju dalam hidup ini. Nah, apa yang mesti kita buat dalam situasi seperti ini?

Untuk itu, yang mesti kita lakukan adalah membangun disiplin diri yang mampu menghalau kuatnya egoisme dalam diri kita. Kita mesti berani menerobos tembok egoisme yang cenderung memanjakan diri kita. Dengan cara ini, kita mampu membangun hidup yang lebih baik. Kita tidak perlu terjebak oleh berbagai alasan yang memanjakan diri kita.

Kita butuh rahmat Tuhan untuk membantu kita dalam membangun hidup kita. Karena itu, mari kita membuka diri pada rahmat Tuhan. Dengan demikian, hidup kita menjadi suatu kesempatan untuk mengalami kasih Tuhan yang lebih besar dan besar lagi. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

904

09 Juni 2012

Bertumbuh dalam Iman Saat Penderitaan


Apa yang biasa Anda lakukan ketika penderitaan melanda hidup Anda? Tentu saja Anda akan berusaha untuk keluar dari penderitaan itu. Orang beriman memandang penderitaan sebagai suatu kesempatan untuk bertumbuh dalam iman akan Tuhan.

Ada seorang perempuan yang menderita sakit yang mesti tinggal di kamar. Selama 40 tahun ia tinggal di dalam kamar itu. Kedua tangan dan kakinya telah diamputasi untuk menahan penyebaran penyakitnya ke seluruh tubuhnya. Namun perempuan itu hidup penuh damai dan sukacita. Mengapa bisa terjadi demikian? Karena ia tidak mau menyerah begitu saja pada penyakit yang sedang menggerogoti tubuhnya.

Satu hal yang ia lakukan adalah ia menamai tempat tinggalnya Pondok Harapan Sukacita. Meski hanya di atas tempat tidur, ia berusaha untuk hidup secara kreatif. Di pondok ini ia menyerahkan dirinya dalam doa kepada Tuhan dan aktif dalam pelayanan rohani. Bagaimana ia bisa melakukan pelayanan rohani dalam keterbatasan tubuh seperti itu? Perempuan ini punya cara sendiri.

Dengan pena yang diikatkan pada ujung lengannya yang buntung, ia berkirim surat ke seluruh dunia selama bertahun-tahun. Ia mampu membimbing ratusan orang kepada Tuhan.

Penderitaan yang dialami perempuan itu tidaklah membuatnya patah semangat dan menjadikan dirinya sebagai orang yang tidak berguna. Justru sebaliknya, penderitaannya mendorongnya untuk menjadi lebih kreatif di dalam hidup dan pelayanannya. Sungguh luar biasa.

Sahabat, penderitaan memang menggangu hidup manusia. Penderitaan membuat orang terbatas dalam hidupnya. Penderitaan membuat orang bersedih hati. Namun penderitaan tidak selamanya membuat orang berdukacita. Penderitaan juga membuat orang bangkit untuk menghadapi penderitaan itu dengan sukacita.

Kisah perempuan tadi memberikan suatu perspektif yang berbeda dalam hidup manusia. Ia mesti menghadapi kenyataan penderitaannya. Namun ia tidak menyerah begitu saja. Ia mau hidupnya sungguh-sungguh bermakna. Karena itu, dalam keterbatasannya, ia menulis surat mengenai kabar sukacita. Kabar sukacita itu kemudian menggugah hati begitu banyak orang. Mereka mengikuti panggilan Tuhan untuk menjadi orang beriman.

Tentu saja orang yang beriman secara berbeda memandang penderitaan dibandingkan dengan orang yang tidak beriman. Orang beriman memandang penderitaan sebagai bagian dalam hidup manusia. Penderitaan menjadi kesempatan untuk semakin menyerahkan seluruh hidup kepada Tuhan. Dalam situasi penderitaan itu orang beriman berdoa dengan penuh harapan.

Karena itu, penderitaan mesti menumbuhkan iman. Penderitaan mesti berbuahkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Tentu saja hal ini tidak mudah, karena dalam saat-saat penderitaan itu orang mudah meninggalkan Tuhan yang diimaninya. Sebagai orang beriman, kita diajak untuk terus-menerus bertumbuh dalam iman. Dengan demikian, hidup kita menjadi suatu kesempatan berharga dalam membangun kasih bagi sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Majalah MOGI (Cerdas dalam Kasih)

903

08 Juni 2012

Berdoa dengan Penuh Penyerahan Diri

Saya percaya bahwa setiap hari Anda berdoa kepada Tuhan. Doa-doa itu menjadi kekuatan iman bagi perjalanan hidup Anda. Persoalannya adalah bagaimana sikap Anda dalam berdoa? Apakah Anda berdoa hanya untuk meminta Tuhan memenuhi keinginan-keinginan diri Anda? Atau Anda mau menyerahkan seluruh hidup kepada Tuhan?

Suatu hari seorang anak datang ke rumah ibadat. Ia duduk di sana berjam-jam. Ia berdoa kepada Tuhan untuk ayahnya yang sedang sakit di rumahnya yang kecil. Ia mohon agar Tuhan yang baik memberikan kesembuhan bagi ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga. Ia merasa yakin bahwa Tuhan akan mengabulkan doa-doanya.

Dalam keheningan itu, ia berdoa, “Tuhan, saya tahu Engkau mahabaik. Engkau akan memberikan yang terbaik bagi ayah saya yang sedang sakit di rumah. Saya harap, Tuhan tidak akan cepat-cepat memanggil ayah saya. Namun seandainya Tuhan ingin mengambil ayah saya sekarang ini juga, saya rela. Yang penting yang terbaiklah yang Tuhan berikan kepada ayah saya.”

Selesai berdoa, anak itu pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan, seorang adiknya menjumpainya. Sambil menangis, sang adik melaporkan kepadanya bahwa sang ayah telah tiada. Ayahnya telah menutup matanya untuk selama-lamanya saat ia berdoa di rumah ibadat.

Sambil menatap mata adiknya, ia berkata, “Jangan bersedih. Tuhan telah memberikan yang terbaik bagi ayah kita. Penderitaannya yang panjang di dunia ini telah berakhir. Tuhan telah melapaskan ayah kita dari penderitaan di dunia ini.”

Mata sang adik berbinar-binar. Ia tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Ia menjadi kuat oleh kata-kata kakaknya.

Sahabat, iman yang mendalam kepada Tuhan ditunjukkan dengan penyerahan diri kepada Tuhan. Bahkan menyerahkan orang yang kita kasihi kepada Tuhan yang ingin mengambil milik kepunyaanNya. Semangat doa orang beriman mesti berubah. Bukan lagi hanya meminta dan meminta. Tetapi sikap doa orang beriman menjadi sikap penyerahan diri yang total kepada Tuhan.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa doa menjadi nafas hidup orang beriman. Anak itu berdoa bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia tidak egois. Ia tidak menuntut agar Tuhan memberikan yang terbaik bagi ayahnya. Namun ia menyerahkan sang ayah ke dalam kuasa dan kehendak Tuhan.

Setiap hari Anda berdoa. Pertanyaannya adalah bagaimana cara Anda berdoa? Apakah Anda berdoa hanya karena terpaksa? Atau Anda berdoa dengan penuh penyerahan diri kepada Tuhan?

Bagi orang beriman, doa bukan hanya suatu tuntutan untuk dilakukan setiap hari. Namun doa merupakan suatu sikap iman kepada Tuhan. Artinya, orang berdoa karena orang ingin menyerahkan seluruh suka duka hidup kepada Tuhan. Orang beriman percaya bahwa Tuhan adalah pemilik hidup ini. Tuhan memberikan yang terbaik bagi hidup manusia.

Karenanya, orang beriman mesti berani menyerahkan seluruh hidup ke dalam kuasa Tuhan. Mari kita terus-menerus menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan melalui sikap iman yang benar kepadaNya. Dengan demikian, kita mampu hidup sebagai orang yang baik dan benar di hadapan Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO

902

07 Juni 2012

Sikap Syukur Tumbuhkan Semangat Hidup

Seorang bapak bersyukur atas kebaikan istrinya. Betapa tidak? Setelah ia jatuh sakit, sang istri mengambil alih semua tanggung jawab dalam rumah tangga. Tak kenal lelah sang istri menghidupi keluarga itu. Bapak itu sangat mengagumi kehebatan istrinya. Padahal sebelum ia sakit, istrinya tinggal di rumah mengurus anak-anaknya. Bahkan ia sempat menyepelekan kemampuan istrinya.

“Saya sangat kagum terhadap istri saya. Saya tidak menyangka, kalau dia bisa melakukan hal-hal yang luar biasa untuk kelangsungan hidup keluarga kami. Saya bersyukur atas kebaikan Tuhan yang telah diberikan kepada saya melalui istri saya,” kata bapak itu.

Sejak suaminya sakit, sang istri membuka usaha dengan berjualan makanan di rumah. Ia belajar sendiri memasak ala restoran. Ia juga menawarkan masakannya untuk pesta-pesta. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia berhasil meyakinkan para konsumennya bahwa masakannya pantas diandalkan untuk pesta-pesta.

Ternyata istri yang baik itu punya rahasia yang tidak diketahui oleh suaminya. Rahasianya adalah ia senantiasa mensyukuri setiap peristiwa hidup. Menurutnya, dengan mensyukuri peristiwa-peristiwa hidupnya, ia mampu bangkit untuk menatap hidup yang lebih baik. Sikap syukur itu ia tunjukkan dengan tidak menggerutu atas kenyataan hidupnya. Ia berusaha menyerahkan seluruh hidupnya ke dalam kuasa Tuhan.

Sahabat, sikap syukur merupakan bagian dari hidup manusia. Orang yang tidak bisa bersyukur atas kebaikan Tuhan bagi hidupnya biasanya orang yang mudah mengeluh. Orang seperti ini mudah putus asa di saat menghadapi berbagai rintangan dalam hidup. Tidak banyak jalan terbuka bagi dirinya untuk melepaskan diri dari rintangan-rintangan hidup.

Kisah di atas mengatakan kepada kita bahwa orang yang mensyukuri kebaikan Tuhan atas hidupnya menemukan banyak cara untuk hidup yang lebih baik. Sang istri tidak putus asa meski ia harus menghadapi ketidakberdayaan suaminya. Justru dalam situasi seperti itu ia bangkit. Ia menemukan cara-cara terbaik untuk kelangsungan hidup keluarganya.

Suatu hasil penelitian mengatakan bahwa bersyukur dapat meningkatkan kesehatan fisik dan emosional. Memiliki gaya hidup penuh rasa syukur dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan suplai darah ke hati kita. Jika kita melakukan hal ini dengan rutin, maka dapat meningkatkan kewaspadaan kita, antusiasme, energi dan juga meningkatkan kualitas tidur kita. Mereka yang menggambarkan dirinya sebagai orang yang penuh rasa syukur cenderung jarang stres dan depresi.

Sebagai orang beriman, kita bersyukur karena Tuhan baik kepada kita. Tuhan senantiasa hadir dalam perjalanan hidup kita. Tuhan selalu peduli terhadap hidup kita. Karena itu, sikap bersyukur berarti kita menyerahkan hidup kepada penyelenggaraan Tuhan yang mahapengasih dan penyayang.

Pemazmur berdoa, “Aku hendak bersyukur kepada-Mu, ya Tuhan, Allahku, dengan segenap hatiku, dan memuliakan nama-Mu untuk selama-lamanya; sebab kasih setia-Mu besar atas aku, dan Engkau telah melepaskan nyawaku dari dunia orang mati yang paling bawah” (Mzm 86:12-13). Mari kita berusaha memiliki hati yang penuh syukur kepada Tuhan. Dengan demikian, hidup kita menjadi pujian bagi Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Majalah FIAT

901

31 Mei 2012

Jangan Berontak terhadap Tuhan


Pernahkah Anda merasa bahwa Tuhan tidak adil terhadap hidup Anda? Apa yang Anda lakukan. Anda mencari kehendak Tuhan atau Anda melakukan pemberontakan terhadap Tuhan?

Suatu hari seorang suami mesti menghadapi saat-saat terakhir hidup istrinya. Ia merasa sangat sedih. Ia memberontak. Ia merasa masa hidupnya bersama sang istri tercinta hanya sebentar saja. Padahal duapuluh empat tahun telah mereka jalani hidup ini bersama. Mereka telah berbagi suka dan duka.

Suami itu merasa bahwa waktu 24 tahun itu masih sangat kurang. Ia ingin membahagiakan istrinya. Ia ingin agar sang istri yang sakit kanker dapat sembuh kembali. Namun mengapa Tuhan begitu cepat mengambil hidup sang istri? Ia sangat bersedih hati oleh kepergian sang istri tercinta itu.

Suami itu berkata, “Tuhan, mengapa Engkau tega mengambil istri saya? Saya masih ingin membahagiakan dirinya. Saya masih ingin dia sembuh dari sakit kankernya. Tetapi mengapa Engkau mengambilnya begitu cepat?”

Orang boleh berseru-seru kepada Tuhan. Ternyata Tuhan punya kehendak lain. Kehendak Tuhan bukan kehendak manusia. Karena itu, yang mesti dilakukan oleh sang suami itu adalah menyerahkan sang istri ke dalam kehendak Tuhan.

Sahabat, banyak orang lebih suka kehendak dirinya terjadi dalam hidupnya. Mereka memaksakan kehendak diri itu meskipun tidak akan tercapai. Akibatnya, banyak manusia mengalami frustrasi dalam hidup ini. Manusia tidak mengalami bahagia dan damai dalam hidup ini.

Kisah tadi mengatakan kepada kita bahwa kehendak pribadi mesti kalah oleh kehendak Tuhan. Kehendak pribadi yang sering menguasai hidup manusia menjadi penghalang bagi terjadi kehendak Tuhan dalam hidup ini. Padahal hidup ini adalah milik kepunyaan Tuhan. Manusia tidak punya hak atas hidup ini. Tuhan yang punya hak penuh atas kehidupan manusia.

Manusia yang menyerahkan hidup kepada kehendak Tuhan akan menemukan bahwa hidup ini sungguh-sungguh memiliki makna. Manusia tidak perlu berontak, ketika hidupnya diambil yang empunya. Manusia tidak perlu menolak, ketika hidup yang fana ini diambil oleh Tuhan untuk hidup dalam keabadian.

Justru dengan diambil oleh yang empunya hidup ini, orang mengalami paripurnanya kehidupan. Perjalanan dalam dunia yang penuh dengan dukacita diganti dengan kebahagiaan yang terus-menerus dalam keabadian. Manusia tidak perlu menderita lagi. Kekekalan menjadi bagian yang sempurna dari jiwa manusia.

Karena itu, orang beriman mesti senantiasa berpasrah diri kepada Tuhan. Orang beriman tidak boleh memberontak terhadap Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan selalu menginginkan yang terbaik bagi hidup manusia. Tuhan selalu membimbing langkah hidup manusia. Tuhan selalu menyediakan kebutuhan hidup bagi manusia.

Mari kita mendekatkan hidup kita kepada Tuhan. Kita biarkan kehendak Tuhan terjadi atas diri kita. Dengan demikian, hidup kita menjadi semakin bermakna di hadapan Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

899

29 Mei 2012

Membangun Persahabatan Sejati untuk Hidup Lebih Baik


Anda punya sahabat yang baik dalam hidup ini? Tentu saja Anda punya banyak sahabat yang baik. Namun mempunyai sahabat yang sejati tidak begitu banyak. Artinya, sahabat yang sejati itu sahabat yang mampu merasakan penderitaan sesamanya. Sahabat sejati mampu berbagai suka dan duka dengan sesamanya.

Di jaman dahulu kala, mendapat sebuah kehormatan dengan disebut sebagai sahabat Tuhan. Mengapa? Karena ia menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan. Ia menjalin persahabatan yang sungguh-sungguh menakjubkan dengan Tuhan. Tuhan senantiasa berkenan kepada Abraham.

Karena itu, ketika ia berada dalam kesulitan, Tuhan membantu dirinya. Tuhan memberikan pertolongan kepadanya, sehingga ia boleh mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya. Jalinan persahabatan yang baik itu sungguh-sungguh dijaga oleh Abraham. Ketika Tuhan menghendaki ia mengorbankan anaknya, ia lakukan. Ia tidak kuatir bahwa ia akan kehilangan anak yang dikasihinya itu.

Namun Tuhan tidak tega atas diri Abraham yang begitu setia pada jalinan persahabatannya. Tuhan sendiri yang membatalkan korban Abraham dalam wujud anaknya itu. Sebagai gantinya, Tuhan menyediakan seekor domba yang digunakan Abraham untuk korban persembahan kepada Tuhan.

Sahabat, persahabatan yang sejati terjadi ketika orang sungguh-sungguh membangun relasi dengan ketulusan hati. Orang tidak banyak menuntut dari sahabatnya. Dalam situasi seperti itu, orang saling memberi dan menerima sebagai sahabat. Orang masuk dalam kebutuhan sesamanya tanpa harus tahu kebutuhan seperti apa yang ada dalam diri sesamanya itu.

Kisah Abraham mau mengatakan kepada kita bahwa jalinan persahabatan yang sejati mampu membawa manusia untuk hidup baik. Abraham mengalami hidup yang bahagia di hadapan Tuhan, karena ia setia kepada Tuhan yang telah memberi semua kebutuhan hidup kepadanya.

Dalam hidup sehari-hari, banyak persahabatan yang tidak mencapai relasi yang sejati. Mengapa terjadi begitu? Karena mereka tidak bisa menjadi seorang sahabat satu terhadap yang lain. Ada banyak orang yang terlalu banyak menuntut dari jalinan persahabatan itu. Tujuannya demi kepentingan diri sendiri. Bukan kepentingan sesamanya. Akibatnya, persahabatan mereka hanya sampai di permukaan saja. Persahabatan itu tidak sampai lebih mendalam.

Karena itu, yang dibutuhkan dalam jalinan persahabatan adalah membuka diri bagi sesama. Dengan membuka diri, orang saling mengenal. Orang semakin mendalami pribadi seseorang dalam hidup ini. Dengan demikian, orang saling menegerti kebutuhan masing-masing.

Mari kita membangun persahabatan sejati dengan saling mengerti kebutuhan kita masing-masing. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

KOMSOS Keuskupan Agung Palembang

898

28 Mei 2012

Memulihkan Hidup dari Kesedihan

Saya yakin, dalam hidup ini Anda pernah merasakan kesedihan yang mendalam. Ada banyak alasan yang membuat Anda bersedih hati. Namun Anda mesti bangkit, agar kesedihan Anda tidak menjadi bumerang bagi hidup Anda.

Suatu ketika Raja Daud mengalami pengkhianatan yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Absalom, anaknya sendiri, merebut tahtanya. Saat tentara Raja Daud berperang melawan tentara Absalom, Absalom mati di tangan Yoab, panglima dari Raja Daud. Raja Daud sangat sedih mendengar kematian anaknya. Lalu Yoab mencoba untuk mendekati dan menenangkan Daud.

Kendati Raja Daud meratapi kesedihannya, ia perlu mendengarkan nasihat Yoab. Paling tidak ada tiga hal yang disampaikan Yoab kepada Raja Daud. Pertama, Raja Daud harus menghadapi kenyataan. Yoab berkata, “Jangan biarkan kesedihan atas kematian itu menutupi kebenaran, tuanku Raja. Bagi Yoab, kenyataan kadang sangat menyedihkan dan mengecewakan, tetapi orang tidak bisa membiarkan kenyataan itu mengendalikan seluruh hidup dan masa depannya.

Kedua, Yoab menasihati Raja Daud agar tidak mengasihani diri sendiri. Ia berkata, “Semua pikiran tertuju pada dirimu sendiri, kehilangan anakmu. Rasa kasihan pada diri sendiri yang disebabkan oleh rasa bersalah tidak bisa menghapuskan kenyataan bahwa engkau tidak pernah memiliki hubungan yang baik dengan anakmu.” Bagi Yoab, sikap mengasihani diri sendiri sering kali membuat seseorang tidak menghargai dirinya sebagai ciptaan Tuhan yang berharga. Jika orang terus mengasihani diri sendiri, maka ia tidak punya waktu untuk mengasihani orang lain.

Ketiga, Yoab menasihati raja Daud agar ia meneguhkan mereka yang dekat dengannya. Yoab berkata, “Para pejuang yang berperang melawan musuh lebih dekat denganmu daripada anakmu sendiri. Kesedihanmu atas kehilangan anakmu tidak adil bagi keluarga mereka yang sedang bersedih. Beberapa di antaranya bahkan mati membela engkau.”

Sahabat, pernahkah Anda merasa dikhianati oleh orang yang terdekat dengan Anda? Apa reaksi Anda? Tentu hati Anda terasa sakit. Namun yang pasti Anda masih bisa melanjutkan perjalanan hidup Anda dengan damai dan sukacita. Anda tentu tidak ingin tenggelam dalam kesedihan yang terus-menerus.

Kisah tadi memberikan kita semangat untuk bangkit dari keterpurukan dan kesedihan kita. Raja Daud begitu sedih atas kematian sang pengkhianat yang adalah anaknya sendiri. Ia merasa kehilangan yang sangat besar. Tetapi ia tidak boleh terpuruk dalam kesedihan yang mendalam. Ia mesti bangkit untuk memimpin bangsanya. Ia mesti membangkitkan semangat orang-orang yang setia kepadanya.

Mengapa Raja Daud harus bangkit? Karena kesedihan bisa menular dan menurunkan semangat orang lain, apalagi jika yang sedih itu adalah pemimpin. Respons terhadap kesedihan mempengaruhi orang lain, apakah itu akan melemahkan atau membangkitkan semangat orang lain.

Sebagai orang beriman, kita bisa saja terpuruk dalam kesedihan. Namun yang diharapkan dari orang beriman adalah ia cepat pulih dari kesedihan itu. Dengan demikian, ia menumbuhkan semangat untuk melanjutkan perjalanan hidup ini dengan sukacita. Mari kita berusaha untuk melepaskan kesedihan dalam diri kita untuk hidup yang lebih baik. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ
Majalah MOGI

897

27 Mei 2012

Percayakan Hidup pada Penyelenggaraan Tuhan


Anda masih sabar dalam menghadapi proses hidup Anda? Apa yang membuat Anda sabar? Ada banyak alasan untuk orang sabar menjalani proses hidupnya.

Konon pada masa Dinasti Song di China ada seorang petani yang tidak pernah sabar. Ia merasa padi di sawahnya tumbuh sangat lambat. Ia menginginkan padi-padi itu berbuah dengan lebih cepat. Karena itu, yang dibutuhkan adalah padi itu mesti tumbuh lebih cepat.

Suatu hari ia berkata dalam hatinya, “Jika saya menarik-narik padi itu ke atas, bukankah saya membantunya bertumbuh lebih cepat?”

Lalu ia menarik-narik semua padinya. Sampai di rumah, dengan bangga ia bercerita kepada istrinya bahwa ia baru saja membantu padinya bertumbuh lebih cepat. Istrinya bingung mendengar cerita sang suami. Ia tidak yakin padi yang baru ditanam tiga minggu yang lalu itu kini hampir menghasilkan.

Istrinya mempertanyakan cara ia membantu padi-padi itu bertumbuh lebih cepat. Dengan enteng, ia mengatakan bahwa ia menarik padi itu ke atas satu per satu. Istrinya terkejut mendengar cerita sang suami. Ia menyalahkan suaminya telah suatu kebodohan. Namun sang suami merasa yakin bahwa itulah cara yang paling baik untuk mendapatkan hasil secara cepat.

Keesokkan harinya petani itu pergi ke sawah dengan bersemangat. Namun betapa kecewanya ia ketika melihat bahwa semua padi yang kemarin ditariknya ke atas sudah mati. Karena tidak sabar, ‘usahanya untuk membantu’ malah membuatnya rugi besar.

Sahabat, Anda masih punya kesabaran dalam hidup ini? Anda masih ingin menyaksikan diri Anda bertumbuh dalam iman secara bertahap? Saya yakin, banyak dari Anda tidak ingin cepat-cepat memiliki iman yang kuat. Iman itu ditumbuhkan dalam proses perjalanan hidup sehari-hari. Kadang-kadang proses itu membuat Anda cemas terhadap diri Anda sendiri. Kadang-kadang proses itu membuat Anda tidak sabar dan frustrasi. Namun ketika Anda terus berjuang dalam jatuh dan bangun, Anda tentu akan menemukan hidup iman yang lebih baik.

Kisah tadi menunjukkan kepada kita bahwa ketidaksabaran dalam hidup membuat orang mengalami kesulitan. Orang ingin cepat-cepat meninggalkan proses yang normal. Orang tidak ingin terlalu lama menunggu hasil dari pekerjaannya. Orang ingin meraih sukses dalam waktu yang singkat.

Mengapa terjadi ketidaksabaran dalam hidup? Jawabannya adalah karena orang tidak percaya pada penyelenggaraan Tuhan. Orang hanya percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Orang kurang berani percaya bahwa kalau orang mengikuti proses perjalanan hidup ini, orang akan meraih sukses yang gilang gemilang. Seorang bijak berkata, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan” (Amsal 16:32).

Orang beriman mesti membangun keyakinan bahwa ketika berjalan dalam proses kehidupan bersama Tuhan, orang akan menemukan kesuksesan dalam hidupnya. Orang akan menemukan ketenangan dan kedamaian dalam hidup ini. Orang mesti yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan dirinya berjuang sendirian dalam hidup ini.

Mari kita mempercayakan hidup kita dalam proses penyelenggaraan Tuhan. Dengan demikian, kita menemukan damai dan sukacita dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Majalah FIAT

896

26 Mei 2012

Tumbuhkan Kesadaran untuk Lestarikan Hidup


Sadar atau tidak, lingkungan di mana kita hidup sudah lama tercemar. Akibatnya, air bersih menjadi hal yang mesti diperjuangkan terus-menerus. Apa yang akan Anda lakukann untuk menyediakan air bersih bagi kehidupan kita bersama?

Artis peran yang juga model Atiqah Hasiholan, enggan menutup mata terhadap buruknya kualitas air bersih di Indonesia. Putri perempuan aktivis Ratna Sarumpaet itu pun mulai giat mengampanyekan air sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).

Atiqah berkata, ”Kesejahteraan terhadap lingkungan harus diperhatikan, seperti saat ini Indonesia sangat kekurangan air bersih.”

Untuk itu, ia mau terlibat dalam kegiatan untuk penyediaan air bersih. Ia tergerak untuk terlibat dalam kegiatan itu lantaran tergerak, ketika mengetahui kenyataan bahwa sebanyak 130 jiwa melayang karena kekurangan air bersih.

Ia berkata, ”Ini kenyataan yang sangat tragis. Banyak anak meninggal karena kekurangan air bersih.”

Menurut Atiqah, pentingnya air bersih harus disadari bersama. Air bersih menjadi dambaan semua orang. Karena itu, kesadaran semua orang terhadap hal ini menjadi sangat penting. Ia berkata, ”Penyelesaiannya sebenarnya logis sekali, melakukan kampanye air dari sekarang itu membuat kesadaran saya pribadi. Paling tidak saya tahu kalau air memang sangat penting untuk masyarakat.”

Sahabat, tak ada mahkluk hidup yang bisa bertahan hidup tanpa air bersih. Air yang bersih membantu manusia untuk melanggengkan hidupnya. Bayangkan kalau setiap hari Anda mendapatkan suplai air yang kurang bersih. Tentu saja tubuh Anda akan memberontak. Bentuknya adalah berbagai macam penyakit dapat bersarang di tubuh Anda. Mengapa? Karena tubuh manusia butuh air bersih untuk kelangsungan hidupnya

Untuk itu, apa yang dilakukan oleh Atiqah Hasiholan dengan mengampanyekan penyediaan air bersih menjadi sangat penting. Ia tidak hanya prihatin mendengar 130 orang meninggal karena kekurangan air bersih. Tetapi ia menggerakkan hati dan pikirannya, agar air bersih sungguh ada bagi kebutuhan manusia.

Setiap kita membutuhkan air bersih. Namun air bersih hilang dari kehidupan karena berbagai alasan. Misalnya, penggundulan hutan di hulu sungai. Akibatnya, banjir bandang menghanyutkan tanah dengan begitu mudah. Hal lain adalah pencemaran lingkungan oleh berbagai bahan kimia yang digunakan oleh manusia. Atau juga sampah-sampah yang dibuang ke dalam sungai yang menjadi sumber air bagi kehidupan

Karena itu, yang dibutuhkan dari manusia adalah kesadaran untuk memperjuangkan adanya air bersih bagi kehidupan manusia. Manusia mesti berhenti mengotori dirinya sendiri dengan mengonsumsi air yang tidak bersih. Untuk itu, manusia tidak perlu mencemari lingkungan hidupnya dengan penggunaan bahan-bahan kimia yang berlebihan. Manusia juga mesti sadar bahwa membuang sampah di sungai akan berakaibat buruk bagi kesehatan dirinya sendiri.

Sebagai orang beriman, kita mesti memiliki kesadaran yang terus-menerus untuk ikut menciptakan lingkungan hidup yang bersih dan bebas dari pencemaran. Dengan cara demikian, kita dapat menyelamatkan kehidupan kita sendiri. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

895