Pages

31 Juli 2009

Menolong Sesama dengan Ikhlas



Adalah seorang anak yang kikir. Ketika ayahnya meninggal, dia segera meminta seorang ulama untuk membacakan doa untuk ayahnya. Namun, kuatir kalau harus memberi upah besar, ia selalu bertanya berapa rupiah harus memberi.

Ulama itu berkata kepada anak itu, “Biaya untuk membacakan doa ialah sepuluh ons perak.”

Anak itu terkejut dan berseru, “Sepuluh ons perak? Itu terlalu mahal. Bagaimana kalau diberi potongan dua ons, sehingga saya membayar delapan ons perak?”

Ulama itu setuju. Maka mulailah ia berdoa “Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang, kami mohon limpahkanlah semua jasa kebajikan-Mu kepada orang yang meninggal dunia ini sehingga ia bisa tiba di alam baka.”

Mendengar itu si anak memprotes, “Tuan, yang pernah saya dengar adalah orang-orang pergi ke surga setelah mati. Saya tidak pernah mendengar alam baka.”

Dengan enteng, ulama itu menjawab, “Diperlukan dua puluh ons perak untuk mengantar ayah Anda pergi ke surga.”

Ulama itu menjelaskan, “Jasa kebajikan yang didapatkan dari melakukan suatu perbuatan baik bergantung pada tekad pelakunya dan kebajikan dari penerimanya.”

Sering orang merasa bahwa mereka bisa membayar Tuhan dengan doa-doanya. Karena itu, mereka mau bayar apa saja untuk mendapatkan kesuksesan dalam hidup. Tentu saja hal ini menunjukkan suatu iman yang kurang mendalam kepada Tuhan. Orang hanya beriman di permukaan saja. Orang kurang menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup manusia itu gratis. Tuhan tidak pernah menuntut apa-apa dari manusia. Justru Tuhan senantiasa memberikan rahmatNya kepada manusia.

Karena itu, orang mesti mengubah gambaran pandangnya tentang Tuhan yang mahabaik dan mahapenyayang itu. Kasih setia Tuhan selalu hadir dalam hidup manusia. Kasih Tuhan itu tetap menyertai manusia sampai akhir hidupnya. Untuk itu, dibutuhkan suatu keterbukaan hati yang mendalam kepada Tuhan.

Keterbukaan hati itu menunjukkan bahwa orang tidak merasa rugi ketika melepaskan sesuatu untuk berbuat baik bagi sesamanya. Justru orang merasa beruntung dapat melakukan suatu perbuatan baik bagi sesamanya. Kita butuh semangat untuk memberi apa yang kita miliki dengan tidak banyak pertimbangan. Kita tidak menyesal berbuat baik bagi sesama.

Sebagai orang beriman, kita dipanggil untuk senantiasa memberi kepedulian terhadap sesama di sekitar kita. Itulah panggilan iman seorang yang beriman kepada Tuhan. Sama seperti Tuhan yang diimani, kita mau memberi sesama yang membutuhkan bantuan dengan tidak terlalu banyak pertimbangan. Kita mesti merasa bersyukur bahwa kita dapat memberi sesuatu kepada sesama. Mari kita pupuk dan tingkatkan semangat memberi sesama dengan tidak bersungut-sungut. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (108)

Menghayati Iman dalam Hidup Sehari-hari





Brad Pitt dan Angelina Jolie adalah artis-artis papan atas Amerika. Hidup mereka berkecukupan. Namun kepedulian terhadap sesama tetap mereka prioritaskan. Keduanya adalah pasangan suami istri yang harmonis.

Baru-baru ini keduanya mengungkapkan kepedulian itu dengan menyumbang dua juta dollar AS untuk pembangunan klinik bagi anak-anak di Etiopia. Klinik ini akan mengutamakan perawatan bagi anak-anak yang menderita tuberkulosis dan HIV/AIDS.

Pasangan dengan enam anak ini memilih Etiopia karena salah satu anak adopsi mereka, Zahara (3), berasal dari negeri ini. Sebelumnya, Jolie-Pitt mengadopsi dua anak lelaki, Maddox dan Pax. Sedangkan anak biologis mereka adalah Shiloh serta si bayi kembar Isla Marcheline dan Amelie Jane.

”Kami berharap ketika Zahara dewasa, dia mau mengambil alih tanggung jawab operasional klinik ini dan meneruskan misinya,” kata Jolie-Pitt dalam pernyataan bersama.

Sebelumnya, Jolie-Pitt melakukan hal yang sama di Kamboja, negeri asal Maddox (7). Mereka menyumbang pendirian klinik untuk melayani warga miskin yang sakit dan memerlukan perawatan. Kata Jolie dan Pitt, ”Kami ingin membawa sukses pelayanan kesehatan bagi warga miskin di Kamboja itu ke Etiopia.”

Menurut Jolie, banyak warga miskin dunia yang meninggal lantaran mereka tak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.

Kepedulian terhadap sesama mesti selalu ditampakkan dalam karya yang nyata. Jolie dan Pitt tentu punya pengalaman kasih yang begitu mendalam terhadap sesama. Pengalaman kasih itu telah mendorong mereka untuk menyumbangkan apa yang mereka miliki bagi sesama yang menderita. Ternyata penderitaan sesama itu menggerakkan hati mereka untuk memiliki kepedulian terhadap sesama.

Di sekitar kita terdapat begitu banyak sesama yang mengalami penderitaan. Mereka membutuhkan uluran tangan kita yang rela memberi sesuatu bagi kelangsungan hidup mereka. Pengalaman kasih dari Tuhan yang kita peroleh menjadi suatu dasar gerakan untuk berani melakukan hal-hal yang baik bagi sesama. Namun pengalaman kasih ini mesti sungguh-sungguh dihayati dalam hidup sehari-hari.

Orang yang memiliki kepedulain terhadap sesama itu mendasarkan pemberiannya pada kasih Tuhan atas dirinya. Kasih Tuhan itu mengalir bagi sesama. Dengan demikian, kasih yang ditampakkan bagi orang lain itu bukan sekedar kasih dari dirinya sendiri. Tetapi lebih-lebih hal itu merupakan kasih dari Tuhan sendiri.

Karena itu, sebagai orang beriman, panggilan kita adalah mengungkapkan dan menghayati kasih itu dalam hidup sehari-hari. Setiap perbuatan baik yang kita lakukan itu demi sesama yang membutuhkan. Tuhan sudah begitu banyak berbuat baik untuk kita. Untuk itu, kita juga ingin berbuat baik bagi sesama.

Orang beriman itu mendasarkan perbuatan baiknya pada pengalaman akan kasih Tuhan yang terjadi dalam dirinya. Mari kita berusaha untuk senantiasa menghayati iman kita dalam dunia yang nyata. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (107)

30 Juli 2009

Menumbuhkan Iman dalam Hidup





Kata banyak orang, tempat ibadat yang ada di tengah kampung itu karismatis. Masyarakat sekitar begitu yakin akan dikabulkan doanya bila dipanjatkan di dalam tempat ibadat itu.

Suatu hari, seorang peminta-minta datang ke tempat ibadat itu untuk memanjatkan doa permohonan. Ia punya keyakinan sebagaimana penduduk kampung itu. Setiap hari ia berdoa, sampai genap sembilan kali.

Pada malam kesembilan, sementara sedang khusyuk dalam doa, tampaklah di hadapannya suatu makhluk bersayap. Semuanya serba putih mempesona. Di tangan makhluk itu terdapat sepuluh batang emas murni yang berkilap.

Spontan saja tangan peminta-minta ini menengadah. Malaikat itu memberikan satu lempeng emas. Kata peminta-minta itu, “Terima kasih, terima kasih.”

Ia meletakkan lempengan itu di kantongnya. Kemudian tangannya segera menengadah lagi. Malaikat itu kembali memberikan satu lempeng emas. Demikian terus-menerus sampai lempeng yang kesembilan. Betapa girang hati si pengemis itu, setelah sembilan lempeng emas didapat. Namun, ketika dilihatnya masih ada satu lempeng emas di tangan malaikat, ia merengek, “Tuan, berikanlah lempeng terakhir itu kepadaku!”

Malaikat itu menggelengkan kepala sambil menebarkan senyum. Semakin keras pengemis itu berteriak, “Tuan, tinggalkan lempeng emas itu sebelum Tuan pergi meninggalkan aku!”

Seketika itu juga pengemis itu terjaga. Dia agak gugup mencari-cari lempeng emas dalam kantungnya. Tetapi tiada sesuatu pun didapat. Cepat-cepat ia menutup matanya kembali dan berteriak, “Okey, Tuan, tidak usahlah Tuan memberikan lempeng yang satu. Cukuplah Tuan mengembalikan yang sembilan itu kepadaku.”

Kepada kita masing-masing sudah diberi Tuhan kemampuan-kemampuan. Itulah rahmat yang dihadiahkan secara gratis kepada kita. Namun Tuhan masih mengharapkan kita untuk mengembangkannya sedapat mungkin. Dengan demikian, hadiah yang gratis itu dapat kita gunakan dengan baik.

Namun ada orang yang serakah dalam hidupnya. Sudah diberi kemampuan secara gratis oleh Tuhan, tetapi terus-menerus meminta lagi dan lagi. Akibatnya, orang lupa diri. Orang lupa bahwa mereka mesti mengembangkan rahmat itu untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka mesti berjuang sekuat tenaga untuk menumbuhsuburkan rahmat yang gratis itu.

Kisah pengemis di atas mau mengatakan kepada kita bahwa orang yang hanya menadahkan tangan meminta sesuatu itu mesti menyadari diri. Orang seperti ini sering melalaikan tugasnya dalam mengembangkan kemampuan-kemampuannya. Semestinya ia berusaha sekuat tenaga, agar kemampuan yang dimiliki itu berbuah banyak.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kita semakin hari semakin mengembangkan diri kita. Kita menumbuhsuburkan iman yang kita miliki itu dalam perbuatan-perbuatan nyata. Mari kita berusaha untuk semakin mengembangkan iman kita. Dengan demikian iman kita bertumbuh subur dalam hidup kita sehari-hari. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Menjadi semakin Bermutu dalam Beriman

Suatu hari, seorang pemuda datang ke sebuah tempat ibadat. Dalam suasana hening, ia berkeluh kesah, “Kami sedang ribut, Tuhan. Mereka menuduh kami kafir, anak setan. Kami marah. Maka kami bakar rumah ibadat mereka.”

Ia pun terdiam beberapa saat. Merasa tidak puas, ia berkata lagi, “Kami tersinggung, karena agama kami dilecehkan, dihina dan dinodai. Tidakkah Engkau juga marah? Kami marah. Kami membela kesucian-Mu.”

Tidak lama kemudian datang pula seorang pemuda lain menghadap Tuhan yang sama. Ia berdoa dengan lantang, “Tuhan, bantulah kami. Rumah kami dibakar, tempat suciMu diinjak-injak musuh. Kini kami telah siapkan sejumlah pedang untuk membela kebenaranMu. Beri aku berkat-Mu.” Tidak lama kemudian, ia ngeluyur keluar tempat ibadat itu.

Baru keluar dari halaman tempat ibadat itu, bertemulah dua pemuda yang saling berseteru itu. Tanpa tegur sapa, mereka saling pasang kuda-kuda dengan senjata masing-masing.

Untunglah seorang ulama penjaga tempat ibadat itu lewat. Begitu melihat kedua pemuda yang siap saling bunuh, ia melepas bajunya dan melemparkannya tepat di tengah antara kedua pemuda yang berseteru itu.

Kaget dengan ulah aneh ulama itu, kedua pemuda itu pun beralih perhatian menatap tajam ulama tua yang mendekat. Ulama itu dengan suara keras berkata sambil menunjuk dengan telunjuknya, “Agama hanyalah baju. Tuhan begitu mencintai kau dan kau.”

Sering orang kurang menyadari prinsip hidup yang dipegangnya. Kita juga menyaksikan orang bertikai atas nama Tuhan. Di jaman dulu hal seperti ini sering terjadi. Padahal Tuhan kita itu satu dan sama. Tuhan yang sama itu menciptakan manusia dengan kemampuan dan kelemahannya. Orang sering lupa bahwa dalam hidup ini orang mesti saling memperhatikan. Orang mesti selalu menyadari bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Di hadapan Tuhan, kita ini sama. Tuhan mengasihi kita semua tanpa memandang seseorang dari suku atau agama mana.

Bagi Tuhan, perbuatan baiklah yang menjadi tolok ukur seseorang yang sungguh-sungguh beriman kepadaNya. Orang yang mengatakan dirinya taat beragama, tetapi dalam hidup tidak menampilkan perbuatan-perbuatan baik, orang itu sama sekali kurang beriman.

Karena itu, kasih dan kesetiaan kepada Tuhan itu mesti ditunjukkan dengan kasih dan kesetiaan kepada sesama. Tuhan itu hadir dalam diri sesama yang kita jumpai sehari-hari. Dengan mengasihi mereka berarti kita mengasihi Tuhan yang telah menciptakan dan mengasihi mereka.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kasih dan kesetiaan Tuhan itu senantiasa berbuah dalam hidup yang nyata. Orang yang berbeda iman itu bukanlah musuh. Tetapi sesama yang di dalam dirinya juga hadir Tuhan. Mari kita meningkatkan kasih dan kesetiaan kita kepada Tuhan dan sesama. Dengan demikian, hidup beriman kita menjadi semakin bermutu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.(105)

29 Juli 2009

Temukan Kehendak Tuhan dalam Hidup



Di suatu negeri, diadakan lomba lempar batu antar desa. Siapa yang berhasil melempar paling jauh, dia yang akan memenangkan pertandingan. Setelah semuanya menampilkan keterampilan melempar, tampillah sang juara, seorang atlet yang memang sudah dikenal tangguh. Keberhasilannya itu membuat ia dianugerahi batu berlapis emas oleh Sri Baginda Raja.

Berita tentang kejuaraan dan juara lempar batu itu tersiar ke seluruh pelosok negeri. Semua orang maklum, kalau dia lagi yang juara. Sebab selama tiga kali kejuaraan, belum pernah ada orang lain yang bisa menandingi keterampilannya dalam melempar batu.

Mendengar berita itu, seseorang yang dikenal oleh orang sekampung sebagai tidak becus bermain lempar batu, berkata kepada kawannya, “Memang hebat dia. Tidak kaget kalau kejuaraan kali ini pun masih dia yang juara. Bahkan mungkin aku pun kalah, kalau diadu lempar batu dengan dia.”

Temannya memanas-manasi dengan berkata, “Ya, jelas saja. Engkau pasti kalah melawan dia.”

Orang itu berkata, “Jangan memastikan dulu. Kita kan belum bertanding. Kau mendahului kehendak Tuhan!”

Temannya itu jengkel mendengar pembelaan dirinya.

Ada orang-orang yang sering membuat ramalan-ramalan atas peristiwa hidup seseorang atau peristiwa suatu bangsa. Beberapa waktu lalu setelah gempa melanda Bengkulu, ada yang meramalkan akan ada gempa yang lebih dahsyat lagi menimpa Bengkulu. Orang yang ingin selamat harus pindah. Orang mesti menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghindari bencana tersebut. Namun yang terjadi kemudian adalah ramalan tersebut hanyalah isapan jempol belaka. Tidak terjadi gempa sama sekali pada tanggal yang sudah diramalkan itu.

Boleh-boleh saja orang membuat ramalan tentang orang lain atau tentang suatu peristiwa besar yang akan menimpa hidup manusia. Namun kita mesti ingat bahwa di atas segala-galanya masih ada Tuhan. Pepatah mengatakan bahwa di atas langit masih ada langit. Artinya, masih ada Tuhan yang punya kuasa atas hidup manusia dan alam semesta ini. Karena itu, manusia mesti selalu tunduk pada penyelenggaraan Tuhan.

Apa yang terjadi kalau manusia selalu mengandalkan penyelenggaraan Tuhan? Yang terjadi adalah manusia menemukan kebahagiaan hidupnya. Manusia mengalami betapa baik Tuhan bagi hidupnya. Tuhan selalu menghendaki yang terbaik terjadi atas diri manusia. Tuhan tidak menghendaki bencana mengancam nyawa manusia.

Karena itu, sebagai orang beriman kita mesti selalu mengarahkan hidup kita kepada kehendak Tuhan. Kita mesti mampu menangkap apa yang menjadi kehendak Tuhan bagi hidup kita. Memang ini tidak mudah. Namun kalau kita belajar terus-menerus menangkap kehendak Tuhan bagi hidup kita, kita akan menemukan bahagia dalam hidup ini.

Mengapa orang selalu resah dalam hidupnya? Karena ia tidak sungguh-sungguh menemukan kehendak Tuhan dalam hidupnya. Mari kita berusaha untuk menemukan kehendak Tuhan dalam hidup kita sehari-hari. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.(104)

Kebaikan Tuhan Tak Terbatas


Di suatu negeri terjadi krisis yang luar biasa di berbagai bidang kehidupan. Melihat kondisi itu, seorang calon pemimpin resah. Ia datang kepada Tuhan untuk berkeluh kesah. Ia berkata, “Negeri kami sedang mengalami krisis, Tuhan. Banyak partai berebut kekuasaan.”

Tuhan mendengarkan keluh kesahnya. Lalu Tuhan bertanya kepadanya, “Dan para pemimpin salitig menjual pengaruh?”

Calon pemimpin itu menjawab dengan mantap, "Ya. Bahkan untuk menarik massa, mereka saling menjatuhkan.”

Tuhan menjawab, “Itu biasa!”

Calon pemimpin itu berkata, “Tetapi tampaknya akan sangat berbahaya!”

Tuhan menjawab, “Manusia selalu saja berambisi membangun kekuasaan tertinggi! Bahkan mereka hampir tidak mengenal Aku, karena begitu yakin akan kemampuan mereka sendiri!”

Dengan nada kecewa, Tuhan mengakhiri dialog doa itu, "Mereka baru datang padaKu ketika menyadari posisi mereka sedang lemah.”

Membangun relasi dengan Tuhan bukan saja dilakukan di saat-saat kita mengalami kesulitan atau berada dalam situasi terjepit. Mengapa? Karena Tuhan selalu ingin dekat dengan kita. Tuhan selalu ingin membangun relasi yang lebih dekat dengan manusia. Tuhan ingin agar manusia mengalami suatu suasana yang membahagiakan dalam hidup ini.

Tuhan yang kita imani itu Tuhan yang ingin selalu terlibat dalam suka dan duka hidup manusia. Dalam sejarah pengalaman umat manusia, hal ini sungguh-sungguh terjadi. Nabi Musa, misalnya, mengalami penyertaan Tuhan dalam seluruh hidupnya. Ketika ia mengalami kesulitan dari Firaun, Tuhan membantunya. Dengan berbagai cara Tuhan melibatkan diri dalam pekerjaan Nabi Musa itu. Tuhan membantunya dengan menurunkan tulah-tulah yang mengganggu kehidupan Firaun dan rakyat Mesir.

Atau ketika umat Israel berada di padang guru, Tuhan juga membantu mereka dengan memberi mereka air dan roti dari surga. Tuhan begitu baik. Tuhan tidak melukai hati manusia, bahkan ketika manusia tidak setia kepadaNya.

Seringkali kita kurang menyadari kasih setia Tuhan ini. Kita baru menyadarinya ketika kita berada dalam kegelapan hidup ini. Padahal Tuhan ingin membahagiakan kita. Kisah di atas menjadi salah satu contoh bagaimana dalam suasana krisis baru manusia datang kepada Tuhan. Padahal Tuhan ingin agar kita senantiasa membangun relasi yang baik dengan Tuhan.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar setiap langkah hidup kita merupakan cerminan kedekatan kita dengan Tuhan. Kita mau membangun hidup yang lebih baik. Kita ingin membangun relasi yang lebih baik, kapanpun dan di mana pun dengan Tuhan.

Untuk itu, orang beriman mesti berani merendahkan diri di hadapan Tuhan. Orang beriman mesti berani mengosongkan dirinya, agar Tuhan dapat masuk dan tinggal di dalam dirinya. Kesombongan hanya membuat relasi manusia dengan Tuhan menjadi jauh. Mari kita sadari kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (103)

28 Juli 2009

Membuka Diri terhadap Peristiwa-peristiwa Hidup



Seorang murid tetap saja penasaran setelah berguru pada seorang guru bijak. Ia merasa belum mencapai pencerahan dalam hidupnya, meskipun sudah bertahun-tahun berguru. Karena itu, ia bertanya kepada gurunya, “Guru, kapan seseorang mencapai pencerahan?”

Dengan bijaksana, gurunya menjawab, “Ketika dunia sudah berubah bagimu!”

Namun jawaban guru ini bukan membawa pengertian yang mendalam. Justru murid itu semakin bingung. Jawaban itu tidak memuaskan baginya. Lantas ia bertanya, “Tanda-tandanya?”

Guru bijaksana itu lalu menarik tangan muridnya. Ia menggandengnya keluar dari pondok menuju halaman. Lalu ia berkata, “Matahari terbit di atas hutan dan gunung-gunung. Nanti ia akan terbenam di atas pantai kelapa di kejauhan. Ketika malam tiba, binatang-binatang di langit mengiringi bulan sabit yang mengambang bagai perahu di lautan biru. Kamu mengerti?”

Murid itu menggeleng. Ia sama sekali tidak menangkap isinya. Lantas guru itu meneruskannya, “Burung-burung berkicau, lebah berdengung, angin bertiup lembut di atas sawah. Sungai-sungai mengalir dengan air yang gemericik. Bunga-bunga mekar, harumnya memenuhi lingkungan sekitar.”

Murid itu protes, “Bukankah itu semua kabut maya?”

Guru bijak itu kecewa mendengar protes muridnya. Kemudian ia berkata, “Tampaknya kau masih butuh waktu untuk sampai ke sana.”

Tanya murid itu, “Mengapa?”

Guru itu menjawab, “Semua ini selalu ada, tetapi kamu tidak pernah hadir menyaksikannya.”

Banyak peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Peristiwa-peristiwa itu menyimpan begitu banyak pengajaran yang mencerahkan akal budi kita. Namun kita sering melewatkannya begitu saja. Kita membiarkan peristiwa-peristiwa itu berlalu begitu saja. Tanpa arti. Tanpa makna bagi hidup kita.

Kisah tadi mau mengajak kita untuk menyadari kehadiran peristiwa-peristiwa dalam hidup kita. Kita adalah pencipta sejarah kehidupan. Kita memberi makna bagi hidup ini. Karena itu, ketika kita membiarkan peristiwa-peristiwa hidup kita berlalu begitu saja, kita kehilangan makna hidup yang sangat dalam.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar pencerahan atas akal budi kita dapat berjalan dengan baik. Namun kita mesti terbuka untuk memaknai setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita. Untuk itu, kita mesti belajar untuk mengasah diri kita untuk mampu menangkap makna dari peristiwa-peristiwa hidup kita.

Soalnya adalah kita seringkali merasa sudah cukup dengan apa yang sudah kita miliki. Kita membatasi diri kita untuk hal-hal indah yang dapat membuat hidup kita lebih bermakna. Karena itu, mari kita berusaha untuk membuka hati dan pikiran kita. Kita ubah pikiran dan hati kita dengan mampu menerima peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih bermakna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (102)

27 Juli 2009

Merenungkan Kematian Manusia



Air mata itu masih meleleh di matanya. Sesekali ia mengusapnya dengan sapu tangan merah tuanya. Tatapan matanya kosong. Dalam kesenduan, perempuan tua itu mengenang kembali kisah-kisah kasih yang telah dijalin begitu lama dengan suaminya. Tiga puluh tahun mereka telah hidup bersama. Bentangan waktu yang begitu panjang. Ia mesti hidup sendiri. Ia mesti mulai berjuang sendiri.

Kematian telah merenggut nyawa suaminya. Komplikasi penyakit telah membuat suaminya begitu menderita. Bayangkan, paru-paru suaminya bekerja tidak normal. Ada beberapa lobang di paru-parunya. Mungkin karena suaminya banyak menghisap asap rokok. Ada pembulu darah di otak yang tersumbat, sehingga aliran darah menuju otak terganggu. Akibatnya, beberapa bulan sebelum meninggal ia mengalami stroke. Ginjalnya yang tinggal satu itu pun kurang berfungsi dengan baik. Penderitaannya begitu total.

Karena itu, perempuan tua itu pasrah. Ia menyerahkan seutuhnya nyawa suaminya ke dalam tangan Tuhan. “Tuhan, terimalah suami saya ke dalam pangkuanMu. Itu yang terbaik baginya,” doa perempuan tua yang masih tampak segar itu.

Namun air mata masih tetap meleleh. Itulah cinta yang masih hidup dalam jiwanya. Itulah cinta yang selalu menyemangati dirinya selama perjalanan panjang bersama almarhum suaminya. Dengan cinta itu pula ia akan melanjutkan jejak-jejak perjalanan hidupnya. Mungkin dalam diam. Dalam kesendirian. Lima orang anaknya sudah berkeluarga. Mereka punya tugas sendiri-sendiri untuk melanjutkan cinta dia dan suaminya.

Kematian itu kadang-kadang tampak kejam bagi mereka yang ditinggalkan. Kematian itu bak pencuri yang tiba-tiba menggerayangi rumah orang. Tiba-tiba kematian itu datang. Lantas ia pergi meninggalkan berkas-berkas kesedihan dalam diri mereka yang ditinggalkan. Cita-cita dan harapan yang sudah dibangun begitu lama seolah-olah sirna begitu saja. Tak berbekas.

Tetapi kematian itu saat-saat indah bagi mereka yang mengalaminya. Itulah titik kulminasi perjalanan hidup manusia. Kerinduan untuk berjumpa dengan Sang Pencipta dari muka ke muka terlaksana. Kepasrahan total mewujud dalam tidur panjang yang kaku. Setiap orang akan mengalaminya. Setiap orang akan memasuki lorong gelap kehidupannya. Setiap orang akan mengalami sukacita begitu berjumpa dengan Dia yang tersenyum menyambut kedatangannya.

Tetapi setiap orang beriman dituntut memiliki sikap penyerahan yang mendalam kepada Sang Khalik. Artinya, meski pengalaman kematian itu bagian tak terpisahkan dari hidup manusia, ia mesti memiliki disposisi yang baik kepada Tuhan yang memiliki kehidupan ini. Kalau ini yang terjadi, peristiwa kematian itu bukan hanya suatu peristiwa biasa. Ini suatu peristiwa iman. Ini suatu wujud ungkapan iman yang mendalam kepada Yang Esa. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (101)

26 Juli 2009

Menjadikan Cinta Berbuah




Aktris Hollywood Kate Hudson mengakui dirinya sangat benci dengan tipe orang yang membosankan. Boleh berbuat apa saja asal jangan bersikap membosankan di depannya.

Kata Hudson, ”Saya pernah langsung meninggalkan kencan saya bahkan sebelum kami memesan makanan gara-gara orang itu pasang wajah yang membosankan. Itu seperti menyuruh saya cepat pergi.”

Menurut aktris ini, jika seseorang ingin menjalin hubungan serius, buatlah kesan yang baik bagi orang lain dan jangan sampai terlihat bosan.

”Kalau saya, tipe orang yang sangat menghargai sesuatu yang lucu atau sesuatu yang berbeda,” kata aktris yang membintangi film komedi My Best Friend’s Girl ini.

Kata perempuan kelahiran 19 April 1979 di Los Angeles, California, AS, ini, “Jika ada kebosanan melanda, tempat memulihkannya justru dengan pulang ke rumah. Bertemu keluarga, anak dan teman-teman. Hal seperti itu membuat saya nyaman dan hidup saya terasa seimbang.”

Menghargai sesama merupakan tugas kita semua. Mengapa? Karena setiap orang memiliki keinginan yang sama, yaitu diterima dan dihargai. Kalau seseorang merasa diterima dan dihargai, ia akan merasa betah untuk tinggal. Ia tidak perlu melarikan diri ke tempat yang membahayakan dirinya.

Kalau dalam sebuah keluarga pasangan suami istri saling menerima dan menghargai, keluarga itu akan harmonis. Tidak ada yang merasa disingkirkan. Tidak ada yang merasa tidak berarti dalam hidup berkeluarga. Ada suasana sehati dan sejiwa.

Orang yang kurang peduli terhadap sesamanya itu sebenarnya orang yang kurang rendah hati. Orang yang selalu mendasarkan dirinya pada egoismenya. Orang yang egois itu orang yang mau menarik perhatian hanya untuk dirinya sendiri. Banyak tuntutan yang diberikan kepada orang lain. Tetapi terhadap dirinya sendiri ia tidak mau dituntut.

Orang yang egois itu biasanya orang yang kurang mau berkorban bagi hidup orang lain. Orang seperti ini biasanya kurang mencintai dan menyayangi sesamanya. Cinta itu hanya ia arahkan untuk dirinya sendiri. Cinta seperti ini biasanya cinta yang mandul. Cinta yang tidak berbuah banyak bagi kehidupan banyak orang.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita ingin memiliki sikap menerima dan menghargai sesama. Hanya dengan cara ini kita mampu mengungkapkan cinta dan kasih sayang kita kepada orang lain. Cinta kita akan berbuah berlimpah bagi kehidupan banyak orang.

Mari kita berusaha untuk selalu menciptakan suasana yang baik untuk bertumbuh dan berbuahnya cinta kasih dalam hidup kita. Dengan demikian kita dapat menjadi manusia yang berguna bagi sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (100)

25 Juli 2009

Semangat menerima sesama yang berdosa

Suatu hari seorang perempuan berdosa mendatangi rumah seorang cendekiawan yang mengundang Yesus ke rumahnya. Seperti orang yang tidak tahu diri, perempuan itu langsung masuk tanpa permisi.

Ia langsung menuju kaki Yesus. Ia merebahkan dirinya di kaki Yesus itu. Ia menangis. Air matanya membasahi kedua telapak kaki Yesus. Lalu ia membersihkannya dengan rambutnya yang panjang terurai. Tidak lama kemudian, ia meminyaki kaki Yesus dengan minyak wangi yang mahal harganya.

Cendekiawan kaya itu terkejut menyaksikan peristiwa itu. Ia protes. Kenapa perempuan berdosa itu melakukan sesuatu yang tidak pantas di hadapan undangannya yang begitu ia hormati itu? Tetapi Yesus tidak peduli terhadap protesnya. Bahkan Yesus mengingatkannya bahwa ia semestinya telah diberi air untuk membasuh kakinya.

Yesus berkata kepadanya, “Saudaraku, sejak aku datang ke sini, kamu tidak membasuh kakiku. Tetapi lihatlah perempuan ini. Tak henti-hentinya ia membasuh kaki saya dengan air matanya.”

Cendekiawan itu tidak bisa mengerti. Baginya, Yesus telah melakukan suatu kesalahan besar. Yesus telah melanggar adat istiadat bangsanya. Tetapi Yesus tersenyum memandangnya.

Lantas Yesus berkata, “Lihatlah, perempuan ini sudah menyesali dosa-dosanya yang banyak itu. Kita mesti bergembira atas pertobatannya.”

Sering kita menolak kehadiran sesama kita yang kita anggap telah melakukan dosa berat. Mereka yang baru keluar dari penjara, misalnya, tidak mudah kita terima dalam kehidupan kita yang normal. Mengapa bisa terjadi? Karena kita merasa bahwa diri kita bersih dari noda dosa. Padahal setiap manusia tidak lepas dari dosa. Kita semua memiliki dosa.

Karena itu, pantaslah kalau kita menerima semua orang yang datang kepada kita. Kita tidak boleh memilih-milih. Kita mesti menyadari bahwa suatu ketika kita juga akan jatuh ke dalam dosa. Dan di saat seperti itu kita butuh pengampunan dan penerimaan dari sesama yang ada di sekitar kita.

Dosa memang membuat kita merasa terasing dari sesama kita. Dosa menyebabkan kita jauh dari Tuhan dan sesama. Namun selalu ada kesempatan bagi kita untuk kembali ke jalan yang benar. Caranya adalah dengan menyadari dosa-dosa dan bertobat. Ini yang penting dalam hidup kita. Betapa pun besar dosa kita, tetapi kalau kita memiliki kemauan untuk bertobat, kita akan diterima oleh Tuhan.

Sebagai orang beriman, mari kita belajar untuk menerima sesama kita dalam hidup sehari-hari. Kita menciptakan suatu situasi yang baik dan indah, agar mereka yang melakukan kesalahan dan dosa dapat bertobat. Artinya, kita belajar untuk tidak menolak sesama yang jatuh ke dalam dosa dan kesalahan.

Tuhan akan sangat berbahagia melihat ada sesama kita yang berdosa yang bertobat dan kembali kepada-Nya. Kebahagiaan itu mesti juga menjadi kebahagiaan kita. Mari kita berusaha untuk membawa sesama kepada suasana pertobatan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (99)

24 Juli 2009

Bertobat Terus-menerus


Setelah lama mengusahakan kesucian diri dengan matiraga dan amal saleh, seorang pemuda datang kepada Tuhan. Ia berkata, “Ya Tuhanku, lindungilah aku dari perbuatan dosa terhadapMu.”

Dilihatnya dalam doa itu Tuhan tersenyum kepadanya. Ada suara yang menggetarkan kalbunya, “Ya, anak-Ku. Semua orang berdoa seperti itu. Jika Kukabulkan semua doa permohonan itu, kepada siapa nanti akan Kutunjukkan rasa belas kasihKu? Kepada siapa akan Kuberikan pengampunan-Ku?”

Pemuda itu merasa bingung dengan suara Tuhan itu. Lantas ia berkata, “Tetapi aku merasa begitu tidak pantas. Setiap kali aku ingin bangkit dari kedosaanku, pada saat itu pula aku bermandi lumpur dosa. Aku lemah, aku berdosa. Aku ingin lepas dari situasi ini.”

Tuhan tersenyum mendengar keluh kesah pemuda itu. Lalu Tuhan mendekatinya dan membelai rambut pemuda itu. Tuhan berkata, “Aku menerimamu apa adanya. Bukan karena engkau suci dan tidak berdosa, anakKu.”

Orang selalu beranggapan bahwa hidup dekat dengan Tuhan itu hanya orang-orang yang suci. Ternyata tidak. Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang itu menerima semua orang yang datang kepadaNya. Tuhan tidak pernah menolak ciptaanNya, apa pun situasi hidup mereka.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa dosa bukan menjadi halangan bagi Tuhan untuk menyelamatkan manusia. Justru Tuhan begitu berkenan kepada orang yang berdosa. Tuhan tidak memandang banyaknya dosa. Yang penting manusia mau menyesali dosa dan kembali kepada Tuhan. Karena itu, pertobatan menjadi hal yang mesti selalu diutamakan dalam hidup manusia.

Dalam pengajaranNya, Yesus selalu mengatakan bahwa Ia datang pertama-tama untuk manusia yang berdosa. Ia membawa mereka kembali kepada Tuhan. Ia selalu menghargai sesal dan tobat dari manusia. Karena itu, bagi Yesus, lebih berharga seorang berdosa yang bertobat daripada seratus orang yang suci yang tidak perlu bertobat.

Karena itu, pertobatan mesti selalu diutamakan dalam hidup ini. Pertobatan itu sumber keselamatan bagi manusia. Pertobatan itu membawa orang kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kita menyadari diri kita sebagai orang yang berdosa. Tidak ada orang yang tidak pernah melakukan dosa dalam hidupnya. Namun yang penting adalah kita mau menyesali dosa-dosa kita dan hidup sesuai dengan ajaran Tuhan.

Mari kita berusaha untuk terus-menerus bertobat dalam hidup kita sehari-hari. Dengan bertobat, kita akan memiliki hidup yang abadi. Tuhan berkenan kepada kita yang mau meninggalkan dosa-dosa dan hidup menurut ajaran Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (98)

23 Juli 2009

Meningkatkan Kepedulian terhadap Sesama yang Miskin

Semua headline surat kabar Indonesia pada 16 September 2008 lalu menampilkan peristiwa mengenaskan yang terjadi di Pasuruan, Jawa Timur, hari sebelumnya. Maksud hati berbuat baik. Tetapi yang terjadi justru menewaskan 21 jiwa. Warga Pasuruan berdukacita secara mendalam gara-gara berebut zakat sebesar Rp 30.000,-.

Sulit dibayangkan bahwa ribuan orang mesti berdesak-desakan untuk mendapatkan zakat itu. Sebenarnya bukan hal baru pembagian zakat yang dilakukan oleh seorang pengusaha ini. Sejak tahun 1980-an, pengusaha kulit yang sukses ini merelakan sebagian penghasilannya untuk mereka yang miskin.

Namun kali ini, pembagian zakat justru berakhir dengan maut. Dunia ini tampaknya begitu kejam. Maksud baik bisa berubah menjadi sesuatu yang mengerikan bagi kehidupan. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hal ini bisa terjadi?

Tentu saja maksud baik pengusaha kulit itu tidak bisa disalahkan begitu saja. Ia sudah berusaha untuk memperhatikan sesamanya yang membutuhkan. Ia ingin berbuat amal bagi sesamanya yang kekurangan. Namun usahanya yang mulia itu justru berubah menjadi peristiwa mengenaskan. Jiwa manusia melayang. Jiwa manusia tidak bisa diselamatkan.

Situasi kemiskinan begitu mendera kehidupan manusia Indonesia. Mereka terlilit oleh kebutuhan yang begitu mendesak. Berbagai cara mereka tempuh untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Peristiwa pembagian zakat di Pasuruan menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Kebutuhan pokok hidup manusia mesti dipenuhi. Kalau tidak, kemiskinan akan terus mendera kehidupan manusia.

Kita semua dihadapkan pada suatu realitas bahwa masih ada begitu banyak masyarakat di negeri ini yang miskin. Untuk memenuhi kebutuhan pokok saja belum bisa mereka penuhi. Lantas siapa yang mesti bertanggung jawab atas hal seperti ini? Menurut undang-undang dasar negara kita, fakir miskin dan anak-anak terlantar ditanggung oleh negara. Sampai sejauh mana negara kita memiliki kepedulian terhadap rakyat yang miskin dan terlantar?

Dari peristiwa ini kita bisa belajar sesuatu yang bernilai bagi hidup manusia. Kepedulian terhadap sesama yang miskin dan menderita memang penting. Hal ini mesti menjadi bagian dari hidup orang beriman. Namun persoalannya terletak pada bagaimana cara melaksanakan kepedulian kita itu. Orang beriman mesti memiliki banyak cara untuk mendahulukan keselamatan jiwa manusia.

Sebagai orang beriman, kita diingatkan untuk memiliki berbagai kreativitas dalam membantu sesama yang miskin dan menderita. Keselamatan hidup sesama kita juga menjadi tanggung jawab kita semua. Karena itu, mari kita meningkatkan kepedulian kita terhadap sesama yang miskin dan menderita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (97)

22 Juli 2009

Mengutamakan Kelemahlembutan


Seorang guru bijak selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk selalu menggunakan kelemahlembutan. Kekerasan sama sekali tidak boleh digunakan, bahkan terhadap musuh sekalipun. Menurut guru itu, setiap bentuk kekerasan hanya mendatangkan luka yang tak tersembuhkan.

Terhadap pengajarannya ini, salah seorang muridnya protes. Dia berkata, “Bahkan ketika orang itu mengancam hidup kita?”

Guru itu menjawab, “Benar. Berikanlah hidupmu tanpa kekerasan kalau orang meminta.”

Murid itu bertanya, “Juga kepada mereka yang jahat pada kita?”

Dengan singkat guru bijak itu menjawab, “Ya.”

Para muridnya menjadi bingung dan jengkel dengan ajaran guru bijak ini. Sementara mereka mendiskusikan pengajaran guru mereka, pondok mereka diserang dan dibakar oleh musuh. Mereka kalang kabut. Beberapa murid tewas tertikam pedang dan terpanggang.

Ketika penyerang takut dan lari terbirit-birit, karena yang diserang tidak melawan, guru bijak itu berkata kepada yang masih hidup, “Betapa jauh lebuh porak poranda dan makan banyak korban kalau kita angkat senjata.”

Bagi mereka yang mengandalkan balas dendam, pandangan guru bijak ini tentu sangat bodoh. Bagi orang seperti ini, lebih baik yang jahat dibalas dengan kejahatan. Namun yang ditunjukkan oleh guru bijak dalam kisah di atas justru suatu tindakan tanpa kekerasan ketika menghadapi kekerasan.

Dalam hidup kita sehari-hari terjadi banyak kekerasan. Ada kekerasan dalam rumah tangga di mana suami menganiaya istri. Atau ibu menganiaya anak-anak atau pembantu. Ada kekerasan yang dilakukan oleh para preman yang memaksa penduduk untuk menyerahkan milik kepunyaan mereka. Kekerasan itu sering terjadi ketika kebutuhan hidup manusia tidak terpenuhi. Orang mudah melakukan kekerasan terhadap sesamanya.

Sebagai orang beriman, apa yang mesti kita lakukan? Bagi kita, kita mesti mengandalkan kelemahlembutan dalam hidup ini. Kekerasan tidak akan menyelesaikan persoalan. Justru kekerasan akan menimbulkan persoalan-persoalan baru. Banyak korban akan berjatuhan, kalau kita membalas kekerasan dengan kekerasan.

Dalam pengajaran-Nya, Yesus mengajak murid-muridNya untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Tetapi ia menjauhkan hukum balas dendam. Tidak boleh lagi dilaksanakan hukum mata ganti mata, gigi ganti gigi. Orang beriman mesti mengandalkan kasih dalam hidupnya. Kasih mesti menjadi hal yang utama dalam hidup manusia.

Mari kita berusaha untuk selalu hidup dalam suasana kasih. Dengan demikian kita dijauhkan dari tindakan kekerasan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (96)

21 Juli 2009

Memperjuangkan Hidup Sesama


Suatu hari seorang murid menjual segala miliknya dan membagikannya kepada kaum miskin di kota. Setelah tidak ada lagi apa pun padanya, ia mengadakan perjalanan keliling kota, sampai akhirnya suatu ketika ia tidak mampu menahan rasa lapar yang menggerus perutnya. Lama ia mencoba bertahan, sampai akhirnya pasrah kalah terhadap kelaparan yang menimpanya.

Sementara mencari kemungkinan bagaimana mengganjal perutnya yang kosong, tatapannya tertuju kepada seekor kuda yang sedang dipekerjakan menggiling padi.

Ia bertanya kepada pemilik penggilingan, “Berapa kuda itu dibayar untuk kerja satu hari?”

Pemilik penggilingan itu menjawab, “Dua ribu rupiah!”

Ia berkata, “Bayar saya seribu rupiah untuk kerja satu hari.”

Permohonan itu dikabulkan. Ia bekerja selama satu hari demi lapar yang tidak tertahankan. Dalam hati ia berkata, “Banyak yang bahkan sanggup bekerja lebih hina daripada kuda sekedar mempertahankan hidup sehari.”

Banyak persoalan muncul bersumber dari perut. Dalam dunia ini kita menyaksikan begitu banyak orang mengalami lapar dan haus. Mereka ingin melakukan apa saja untuk mengenyangkan perut mereka dan melepas dahaga di tenggorokan mereka.

Di Afrika, misalnya, jutaan rakyat menderita kelaparan. Mereka menjerit. Bahkan dari antara mereka sudah begitu banyak yang meninggal dunia. Namun perang terus-menerus berkecamuk di benua tersebut. Upaya untuk membebaskan diri dari kemiskinan sepertinya tidak dilakukan sama sekali. Padahal begitu banyak program bantuan yang telah diberikan oleh berbagai bangsa.

Atau di sekitar kita juga terdapat begitu banyak orang yang mengalami penderitaan akibat kelaparan. Para politisi dan anggota DPR yang semestinya memperjuangkan hidup rakyat justru menyelewengkan dana untuk pengentasan orang miskin. Berapa banyak rakyat yang mesti menjadi korban akibat ulah korupsi, kolusi dan nepotisme? Sudah begitu banyak anak yang menderita busung lapar. Siapa yang harus bertanggungjawab atas semua ini?

Sebagai orang beriman, hati kita semestinya tersentuh oleh berbagai penderitaan ini. Tidak hanya itu. Tangan kita semestinya langsung bergerak memberi makan saudara-saudari kita yang kelaparan. Bagi kita, memberi sesuatu kepada sesama yang menderita lapar berarti kita menyelamatkannya dari kematian. Kita memberi sesama itu kehidupan. Inilah yang menjadi perjuangan setiap orang beriman dalam hidup sehari-hari. Memberi hidup kepada sesamanya, bukan kematian.

Kalau kita melakukan sesuatu untuk sesama yang berkekurangan berarti kita telah melakukan suatu keutamaan dalam hidup ini. Kita menanggapi ajakan Tuhan untuk memberi perhatian kepada sesama. Mari kita berusaha untuk memperjuangkan hidup sesama kita dalam hidup kita yang nyata. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (95)

20 Juli 2009

Peduli terhadap Sesama yang Miskin


Suatu hari diumumkan kepada penduduk seluruh negeri bahwa Raja Muda hilang dari istana. Kontan saja semua punggawa kerajaan dikerahkan untuk menemukan Baginda Muda. Berhari-hari, berminggu-minggu tidak ketemu, bertanyalah seorang petinggi kerajaan kepada seorang pertapa yang dikenal punya indra keenam.

“Raja sedang menyamar sebagai seorang miskin yang kelaparan,” kata sang pertapa.

Dikumpulkannya seluruh orang miskin dan pengemis di seluruh pelosok negeri di alun-alun kota. Tetapi ketika diteliti dan diinterogasi, tidak seorang pun mengaku sebagai Baginda Muda. Takut bahwa Baginda Muda telanjur kelaparan, kerajaan memutuskan untuk membagikan separuh kekayaan untuk orang-orang miskin.

Para penduduk kaya di kerajaan itu pun melakukan hal yang sama. Mereka kuatir jangan-jangan mereka telah berlaku tidak adil kepada Baginda Muda yang mungkin menyamar sebagai buruh, pembantu maupun pengemis. Dalam waktu tidak begitu lama, kerajaan ini masyur di seluruh kawasan, karena terjadi pemerataan kesejahteraan.

Keprihatinan yang mendalam di negeri ini adalah terjadinya jurang yang begitu dalam antara kaum kaya dan miskin. Orang miskin itu tidak punya apa-apa untuk menjadi penyambung hidup. Untuk dapat meneruskan hidup keesokan hari, mereka mesti bingung. Mereka tidak tenang dalam hidup ini. Tetapi begitu banyak orang kaya yang kurang peduli terhadap hidup mereka. Tambahan lagi ada begitu banyak pula pejabat yang melakukan tindakan korupsi. Akibatnya, dana yang semestinya digunakan untuk mengentaskan kemiskinan justru hilang lenyap. Lalu kapan kaum miskin dapat keluar dari belenggu kemiskinan mereka?

Beruntunglah bahwa beberapa tahun terakhir ini dilaksanakan Bantuan Langsung Tunai atau BLT bagi rakyat miskin. Bantuan ini didapat dari subsidi pemerintah. Namun disinyalir terjadi banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena ada egoisme yang terlalu kuat mengakar dalam diri. Orang tidak peduli akan penderitaan sesamanya. Orang kurang punya hati yang peka terhadap situasi kemiskinan sesama di sekitarnya.

Karena itu, dibutuhkan suatu pendidikan kepekaan hati terhadap sesama yang berkekurangan dan miskin. Kisah di atas mau mau mengatakan bahwa situasi kemiskinan itu menggugah hati Baginda Muda untuk peduli terhadap mereka yang miskin. Kepeduliannya itu telah membawa suatu perubahan yang sangat besar dalam hidup manusia. Dalam waktu yang singkat terjadi suatu pemerataan kesejahteraan hidup.

Dalam salah satu pengajaran-Nya, Yesus mengidentikan diri dengan orang-orang yang miskin dan menderita. Ia mau mengatakan kepada orang-orang yang mendengarkan pengajaran-Nya bahwa peduli terhadap mereka yang miskin juga berarti peduli terhadap diri-Nya. Tuhan hadir dalam diri setiap orang, termasuk mereka yang miskin dan menderita. Karena itu, kalau kita peduli terhadap sesama yang miskin dan menderita, kita peduli terhadap Tuhan yang hadir dalam hidup kita.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memiliki kepedulian terhadap sesama yang miskin dan menderita. Mereka selalu hadir dalam hidup kita. Mereka juga menjadi bagian dari hidup kita. Kita diajak untuk senantiasa memiliki kepedulian terhadap situasi kemiskinan mereka. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (94)

19 Juli 2009

Tuhan Itu Sumber Ketenangan



Ada sebuah film berjudul Bodyguard. Film tahun 80-an ini dibintangi oleh Kevin Costner dan Whitney Houston. Dikisahkan Houston yang seorang artis dikelilingi oleh para penggemar fanatk. Celakanya, mereka ingin mencelakai dirinya.

Untuk itu, Houston menggunakan jasa pengawal pribadi, seorang veteran angkatan perang. Selain itu, di seluruh rumah Houston digunakan peralatan-peralatan canggih untuk membuat artis itu dapat tidur nyenyak. Ke mana saja Houston pergi, ia selalu dijaga dengan ketat.

Sebagai artis, ia ingin hidup tenang. Ia tidak ingin diganggu oleh berbagai pihak yang ingin merusak hidupnya. Kadang-kadang hatinya cemas dan galau, karena para penggemar yang keterlaluan.

Setiap orang ingin hidup dalam suasana tenang dan damai. Orang tidak ingin diganggu oleh hal-hal yang merusak hidup. Karena itu, orang berusaha untuk menemukan ketenangan dalam hidupnya. Berbagai cara diupayakan untuk melindungi diri dari gangguan orang lain.

Orang mencari ketenangan dalam hidup ini. Misalnya, orang menggantungkan hidup pada bodyguard, senjata, uang atau jabatan. Orang begitu gampang lari kepada hal-hal yang dianggap mampu memberikan ketenangan dalam hidupnya. Kita sering dengar ada banyak orang yang mencari ketenangan dengan mendatangi dukun atau tempat-tempat yang dianggap gaib.

Sayang, orang sering lupa bahwa ketenangan sejati hanya ditemukan dalam Tuhan. Semestinya orang mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang semestinya mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Semakin dekat dengan Tuhan, orang akan mengalami damai dan ketenangan dalam hidup. Mengapa? Karena Tuhan itu selalu mengayomi manusia. Tuhan selalu menghendaki manusia menikmati damai dan kebahagiaan.

Karena itu, sebagai orang beriman kita mencari dan menemukan damai dan ketenangan dalam hidup ini di dalam Tuhan. Untuk itu, kita mesti membuka diri kepada Tuhan. Kita membiarkan Tuhan masuk dan bekerja di dalam diri kita. Dibutuhkan sikap rendah hati yang memungkinkan Tuhan datang dan tinggal di dalam diri kita.

Orang beriman itu orang yang selalu mengandalkan Tuhan dalam hidup. Orang yang selalu mendahulukan kehendak Tuhan dalam hidup ini. Mari kita berusaha untuk membuka diri kepada Tuhan. Biarlah Tuhan yang senantiasa menjadi pegangan hidup kita dalam usaha menemukan damai dan ketenangan. Tuhan itu sumber ketenangan dan damai kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (93)

18 Juli 2009

Arahkan Hati dan Hidup kepada Tuhan


Seorang dukun diperintahkan oleh hakim sebuah pengadilan untuk mengembalikan uang seorang perempuan kliennya. Soalnya, perempuan itu kecewa karena jampi-jampi yang ia berikan gagal membuat mantan pacar perempuan itu kembali ke pelukannya. Dukun itu harus mengembalikan 10 juta rupiah plus denda sebanyak dua juta rupiah.

Dukun itu kena batunya. Sebelumnya banyak orang yang kena tipu oleh jampi-jampinya. Namun mereka tidak menuntut dukun itu ke pengadilan. Baru kali ini ia dituntut oleh perempuan muda yang kehilangan pacar itu.

Keinginan untuk mendapatkan kembali pacarnya itu membuat perempuan muda itu berjuang mati-matian. Berbagai cara ia lakukan. Termasuk mendatangi dukun. Tetapi ia tertipu. Biaya besar yang ia keluarkan itu ternyata tidak mendatangkan hasil yang memadai. Ia kecewa dan menuntut dukun itu ke pengadilan.

Dalam dunia yang serba modern ini ternyata masih ada orang yang percaya kepada hal-hal yang tidak masuk akal. Kisah di atas menunjukkan bahwa janji manis sang dukun itu ternyata hanya isapan jempol belaka. Ia bukan Tuhan yang punya kuasa untuk mengembalikan sang kekasih yang sudah berpindah tangan.

Persoalannya adalah mengapa orang begitu mudah percaya kepada hal-hal yang tidak masuk akal? Jawabannya adalah karena orang kurang punya iman. Orang mudah mengambil jalan pintas. Orang tidak berpegang teguh pada imannya akan Tuhan. Karena itu, orang mudah goyah dalam hidupnya. Orang mudah terjerumus ke dalam kegelapan hidup.

Apa yang mesti dilakukan oleh orang beriman? Tetaplah bertahan dalam iman akan Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan itu tidak ingin menyakiti hati manusia. Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi hidup manusia. Tuhan senantiasa menyertai dan melindungi manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia ini.

Sebagai orang beriman, hati kita mesti selalu diarahkan kepada Tuhan. Banyak godaan yang akan mengganggu pikiran dan hidup manusia. Banyak tawaran kemudahan untuk dipegang oleh manusia. Namun kita mesti sadar bahwa godaan-godaan dan tawaran-tawaran itu sering membuat manusia menderita.

Orang yang mudah tergiur oleh janji untuk mendapatkan kekayaan secara mendadak biasanya akan mengalami penderitaan. Biasanya bukan untung yang diperoleh, tetapi justru kebuntungan yang dialami dalam hidup ini. Akibatnya, orang mengalami stress dalam hidupnya. Orang mengalami penderitaan demi penderitaan.

Karena itu, mari kita arahkan hidup hanya kepada Tuhan semata. Percayalah Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi hidup kita. Tuhan selalu mengarahkan hidup kita kepada kebahagiaan dan kebaikan. Tuhan membekati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB (92)

17 Juli 2009

Melakukan Hal-hal yang Biasa


Jacky Chan, bintang film laga Hongkong yang sudah mendunia mengunjungi Indonesia sesudah gempa dan tsunami di Aceh. Ia datang untuk mengungkapkan simpatinya kepada para korban bencana. Ia datang untuk memberikan hiburan bagi para korban. Ia ingin melihat dari dekat penderitaan sesamanya. Ia datang mewakili para selebriti Hongkong yang memberi sumbangan sebagai tanda empati atas penderitaan yang dialami rakyat Aceh.

Dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi swasta, seorang wartawan bertanya, “Hampir di setiap film Anda berperan sebagai pahlawan. Menurut Anda, apa kriteria pahlawan itu?”

Jacky Chan tersenyum mendengar pertanyaan itu. Lantas ia menjawab, “Pahlawan itu orang biasa yang melakukan sesuatu yang luar biasa.”

Ada begitu banyak hal yang kita buat dalam hidup ini. Banyak hal baik yang sudah kita lakukan untuk diri kita sendiri dan untuk sesama. Sering kita tidak sadar bahwa apa yang kita lakukan itu begitu mulia. Begitu indah setiap hal baik yang kita lakukan itu.

Seorang ibu, misalnya, melakukan begitu banyak hal baik dan indah untuk anak-anaknya. Sejak ia mengandung anak-anaknya, ia memelihara mereka dengan baik dan penuh kasih. Insting keibuannya kemudian berlanjut dengan memelihara dan membesarkan mereka.

Namun sering banyak orang tidak peduli. Mereka menganggap bahwa itulah tugas dan kewajiban seorang ibu. Semestinya kita mensyukuri hal-hal baik dan indah ini. Betapa besar jasa seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya, sehingga mereka bertumbuh menjadi orang-orang yang baik.

Kiranya di mata Jacky Chan, seorang ibu juga seorang pahlawan. Seorang ibu mengerjakan hal-hal yang spektakuler, meskipun ia seorang yang biasa. Untuk itu, kita mesti mensyukurinya. Artinya, kita ingin memberi dukungan kepada kaum ibu yang telah melakukan perbuatan-perbuatan besar dan ajaib. Seandainya mereka tidak mendidik anak-anaknya dengan baik, apa jadinya dunia ini? Dunia ini akan dipenuhi dengan orang-orang yang beringas, yang tidak peduli terhadap sesamanya.

Sebagai orang beriman, kita ingin melakukan hal-hal yang besar untuk hidup sesama di sekitar kita. Kita ingin membahagiakan sesama kita. Hanya dengan demikian, kita dapat membawa sesama untuk berjumpa dengan Tuhan yang mahapengasih dan penyayang dalam hidup sehari-hari. Tuhan senantiasa hadir dalam hidup kita. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita berjuang sendiri dalam dunia ini. Tuhan tetap peduli terhadap kita. Maka kita juga mesti peduli terhadap sesama kita. Mari kita berusaha untuk senantiasa setia kepada Tuhan, sehingga kita dapat melakukan hal-hal yang spektakuler. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
(91)

16 Juli 2009

Semangat menerima sesama yang berdosa

Suatu hari seorang perempuan berdosa mendatangi rumah seorang cendekiawan yang mengundang Yesus ke rumahnya. Seperti orang yang tidak tahu diri, perempuan itu langsung masuk tanpa permisi.

Ia langsung menuju kaki Yesus. Ia merebahkan dirinya di kaki Yesus itu. Ia menangis. Air matanya membasahi kedua telapak kaki Yesus. Lalu ia membersihkannya dengan rambutnya yang panjang terurai. Tidak lama kemudian, ia meminyaki kaki Yesus dengan minyak wangi yang mahal harganya.

Cendekiawan kaya itu terkejut menyaksikan peristiwa itu. Ia protes. Kenapa perempuan berdosa itu melakukan sesuatu yang tidak pantas di hadapan undangannya yang begitu ia hormati itu? Tetapi Yesus tidak peduli terhadap protesnya. Bahkan Yesus mengingatkannya bahwa ia semestinya telah diberi air untuk membasuh kakinya.

Yesus berkata kepadanya, “Saudaraku, sejak aku datang ke sini, kamu tidak membasuh kakiku. Tetapi lihatlah perempuan ini. Tak henti-hentinya ia membasuh kaki saya dengan air matanya.”

Cendekiawan itu tidak bisa mengerti. Baginya, Yesus telah melakukan suatu kesalahan besar. Yesus telah melanggar adat istiadat bangsanya. Tetapi Yesus tersenyum memandangnya.

Lantas Yesus berkata, “Lihatlah, perempuan ini sudah menyesali dosa-dosanya yang banyak itu. Kita mesti bergembira atas pertobatannya.”

Sering kita menolak kehadiran sesama kita yang kita anggap telah melakukan dosa berat. Mereka yang baru keluar dari penjara, misalnya, tidak mudah kita terima dalam kehidupan kita yang normal. Mengapa bisa terjadi? Karena kita merasa bahwa diri kita bersih dari noda dosa. Padahal setiap manusia tidak lepas dari dosa. Kita semua memiliki dosa.

Karena itu, pantaslah kalau kita menerima semua orang yang datang kepada kita. Kita tidak boleh memilih-milih. Kita mesti menyadari bahwa suatu ketika kita juga akan jatuh ke dalam dosa. Dan di saat seperti itu kita butuh pengampunan dan penerimaan dari sesama yang ada di sekitar kita.

Dosa memang membuat kita merasa terasing dari sesama kita. Dosa menyebabkan kita jauh dari Tuhan dan sesama. Namun selalu ada kesempatan bagi kita untuk kembali ke jalan yang benar. Caranya adalah dengan menyadari dosa-dosa dan bertobat. Ini yang penting dalam hidup kita. Betapa pun besar dosa kita, tetapi kalau kita memiliki kemauan untuk bertobat, kita akan diterima oleh Tuhan.

Sebagai orang beriman, mari kita belajar untuk menerima sesama kita dalam hidup sehari-hari. Kita menciptakan suatu situasi yang baik dan indah, agar mereka yang melakukan kesalahan dan dosa dapat bertobat. Artinya, kita belajar untuk tidak menolak sesama yang jatuh ke dalam dosa dan kesalahan.

Tuhan akan sangat berbahagia melihat ada sesama kita yang berdosa yang bertobat dan kembali kepada-Nya. Kebahagiaan itu mesti juga menjadi kebahagiaan kita. Mari kita berusaha untuk membawa sesama kepada suasana pertobatan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (99)

Semangat menerima sesama yang berdosa

Suatu hari seorang perempuan berdosa mendatangi rumah seorang cendekiawan yang mengundang Yesus ke rumahnya. Seperti orang yang tidak tahu diri, perempuan itu langsung masuk tanpa permisi.

Ia langsung menuju kaki Yesus. Ia merebahkan dirinya di kaki Yesus itu. Ia menangis. Air matanya membasahi kedua telapak kaki Yesus. Lalu ia membersihkannya dengan rambutnya yang panjang terurai. Tidak lama kemudian, ia meminyaki kaki Yesus dengan minyak wangi yang mahal harganya.

Cendekiawan kaya itu terkejut menyaksikan peristiwa itu. Ia protes. Kenapa perempuan berdosa itu melakukan sesuatu yang tidak pantas di hadapan undangannya yang begitu ia hormati itu? Tetapi Yesus tidak peduli terhadap protesnya. Bahkan Yesus mengingatkannya bahwa ia semestinya telah diberi air untuk membasuh kakinya.

Yesus berkata kepadanya, “Saudaraku, sejak aku datang ke sini, kamu tidak membasuh kakiku. Tetapi lihatlah perempuan ini. Tak henti-hentinya ia membasuh kaki saya dengan air matanya.”

Cendekiawan itu tidak bisa mengerti. Baginya, Yesus telah melakukan suatu kesalahan besar. Yesus telah melanggar adat istiadat bangsanya. Tetapi Yesus tersenyum memandangnya.

Lantas Yesus berkata, “Lihatlah, perempuan ini sudah menyesali dosa-dosanya yang banyak itu. Kita mesti bergembira atas pertobatannya.”

Sering kita menolak kehadiran sesama kita yang kita anggap telah melakukan dosa berat. Mereka yang baru keluar dari penjara, misalnya, tidak mudah kita terima dalam kehidupan kita yang normal. Mengapa bisa terjadi? Karena kita merasa bahwa diri kita bersih dari noda dosa. Padahal setiap manusia tidak lepas dari dosa. Kita semua memiliki dosa.

Karena itu, pantaslah kalau kita menerima semua orang yang datang kepada kita. Kita tidak boleh memilih-milih. Kita mesti menyadari bahwa suatu ketika kita juga akan jatuh ke dalam dosa. Dan di saat seperti itu kita butuh pengampunan dan penerimaan dari sesama yang ada di sekitar kita.

Dosa memang membuat kita merasa terasing dari sesama kita. Dosa menyebabkan kita jauh dari Tuhan dan sesama. Namun selalu ada kesempatan bagi kita untuk kembali ke jalan yang benar. Caranya adalah dengan menyadari dosa-dosa dan bertobat. Ini yang penting dalam hidup kita. Betapa pun besar dosa kita, tetapi kalau kita memiliki kemauan untuk bertobat, kita akan diterima oleh Tuhan.

Sebagai orang beriman, mari kita belajar untuk menerima sesama kita dalam hidup sehari-hari. Kita menciptakan suatu situasi yang baik dan indah, agar mereka yang melakukan kesalahan dan dosa dapat bertobat. Artinya, kita belajar untuk tidak menolak sesama yang jatuh ke dalam dosa dan kesalahan.

Tuhan akan sangat berbahagia melihat ada sesama kita yang berdosa yang bertobat dan kembali kepada-Nya. Kebahagiaan itu mesti juga menjadi kebahagiaan kita. Mari kita berusaha untuk membawa sesama kepada suasana pertobatan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Pentingnya Doa dalam Hidup

Suatu hari ada seorang pengembara melewati sebuah gereja kecil di satu desa di tepi gunung. Ia merasa heran melihat ada sekelompok roh jahat sedang asyik tertidur di atap gereja tersebut. Ketika ia melanjutkan perjalanannya, ia sampai di sebuah rumah di mana ada satu keluarga yang sedang tekun berdoa, memuji dan menyembah Tuhan. Lalu ia melihat di sekitar rumah itu banyak roh jahat yang berjaga-jaga dan berusaha menyerang orang-orang tu.

Melihat pemandangan itu, pengembara itu tidak dapat menahan rasa herannya. Ia menghampiri sekelompok roh jahat itu dan bertanya kepada pemimpinnya. Ia bertanya, “Mengapa tadi saya melihat ada roh-roh jahat yang tidur di atap gereja, sedangkan di sini hanya rumah biasa, bukan gereja. Tetapi roh-roh jahatnya kelihatan begitu aktif dan beringas?”

Pemimpin roh jahat itu tersenyum dan berkata, "Tidakkah kau lihat bahwa di gereja yang tadi engkau lihat itu umatnya semua tidak berdoa dengan sungguh-sungguh? Terhadap umat seperti itu, roh-roh jahat santai-santai saja. Tetapi di dalam rumah ini semua anggota keluarganya berdoa dengan tekun. Ini merupakan ancaman yang sangat serius bagi kerajaan setan. Roh-roh jahat harus aktif untuk melemahkan kerohanian keluarga tersebut. Sebab mereka mempunyai kuasa yang jauh lebih besar dari seluruh umat yang tidak berdoa."

Doa ternyata begitu penting dalam hidup ini. Doa itu menjadi kekuatan bagi orang beriman untuk terus menjalani hidup ini dalam dunia nyata. Orang yang rajin berdoa itu memiliki kekuatan yang lebih besar daripada orang yang malas berdoa. Orang yang berdoa itu dekat dengan Tuhan yang telah menciptakannya. Orang yang berdoa itu menjadi milik Tuhan. Karena itu, roh jahat tidak mudah mendekati orang yang tekun berdoa.

Kisah di atas menunjukkan bahwa kuasa kegelapan akan mudah menguasai manusia yang tenggelam dalam dirinya sendiri. Manusia yang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri biasanya mudah sekali dipengaruhi oleh kejahatan. Untuk itu, orang mesti mengarahkan hati dan pikirannya kepada Tuhan. Dalam pekerjaannya sehari-hari, orang mesti membiarkan Tuhan bekerja dalam dirinya. Hanya dengan cara seperti ini, manusia akan jauh dari kuasa kegelapan.

Soalnya adalah dalam hidup sehari-hari manusia sering buta akan kebaikan. Manusia lebih cenderung untuk menjauhkan diri dari Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Padahal, kedekatan dengan Tuhan itu merupakan suatu kekuatan yang membuat manusia tetap setia pada imannya akan Tuhan. Untuk itu, orang mesti tekun berdoa.

Mengapa manusia jaman modern mudah sekali dipengaruhi oleh gelimang uang dan kekuasaan? Jawabannya sangat mudah, yaitu manusia modern kurang tekun berdoa. Manusia modern menganggap remeh pentingnya doa dalam hidup ini. Karena itu, mata mereka mudah sekali tersilau oleh kekuasaan dan uang. Akibatnya, mereka justru dikuasai oleh kekuaasaan dan uang. Mereka kurang mau mendekatkan diri kepada Tuhan melalui doa-doa yang tekun. Sebagai orang beriman, kita mesti senantiasa dekat dengan Tuhan dalam hidup kita yang nyata. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

(87)

15 Juli 2009

Hidup Kita untuk Orang Lain Juga


Ada sebuah dongeng yang menceritakan mengapa kucing bermusuhan dengan anjing. Dikisahkan bahwa dulu kucing dan anjing berteman akrab. Namun suatu hari kucing menipu anjing dan membuat anjing sangat marah.

Kucing mengatakan kepada anjing bahwa ikan itu tidak enak dimakan. Anjing jadi marah besar setelah ia mencicipi enaknya ikan goreng. Anjing mengejar-ngejar kucing hendak menggigitnya. Untung, kucing bisa menghindar.

Sejak itu, anjing membenci kucing. Kucing pun menjadi takut kepada anjing. Untuk mencegah agr anjing tidak dapat mengendus jejak kucing dengan penciumannya yang tajam, sejak itu kucing selalu mengubur kotorannya.

Ada saja hal-hal yang bisa memicu hidup manusia. Hal-hal yang kecil bisa menjadi besar. Nyala api yang kecil bisa menjadi kobaran yang sangat besar. Akibatnya hidup manusia menjadi tidak nyaman. Relasi yang baik hilang. Orang kurang peduli terhadap sesamanya. Orang merasa hidup menyendiri itu lebih baik.

Kisah di atas menunjukkan bahwa hal yang kecil itu ternyata menjadi suatu kebencian yang begitu kuat. Mungkinkah hal seperti ini terjadi dalam hidup manusia? Tentu saja hal seperti ini dapat terjadi dalam hidup manusia, kalau manusia tidak cepat sadar akan kebaikan dan kenyamanan dalam hidup.

Untuk itu, manusia mesti menyadari tujuan hidupnya. Kita hidup bukan untuk diri kita sendiri saja. Kita hidup bersama dan untuk sesama di sekitar kita. Kita diciptakan untuk sesama. Kita tidak diciptakan hanya untuk diri sendiri.

Sebagai orang beriman, kita ingin mendahulukan hidup dalam suasana damai. Mengapa? Karena melalui kedamaian itu kita akan membangun hidup yang lebih baik. Mustahil kita membangun hidup yang damai, kalau selalu saja ada kerikil-kerikil tajam yang mengganjal hidup kita. Persoalan-persoalan mesti kita selesaikan dengan hati yang dingin. Kita juga ingin agar hidup bersama sesama juga tercipta keharmonisan dan damai.

Saya yakin, sebagai orang beriman, kita ingin membangun hidup yang lebih baik. Karena itu, saya mengajak kita semua untuk menciptakan damai dan ketenangan. Ada begitu banyak hal yang dapat membuat kita emosi, marah terhadap sesama kita. Tetapi sebagai orang beriman, mari kita mengandalkan damai di atas segala-galanya. Hanya dengan damai itu kita dapat memiliki hidup yang lebih layak.

Mari kita terus-menerus membangun damai dalam hidup kita. Dengan demikian, hidup kita menjadi lebih baik dan berkenan kepada Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Iman yang Berbuahkan Kebaikan

Suatu hari, Tamabana, seorang kepala suku Maori dari Selandia Baru, mendapat suatu kesempatan luar biasa, yaitu berdarmawisata ke Inggris. Sesampai di kota London, ia ditemani seorang pegawai kotapraja melihat-lihat keindahan kota London. Kepada Tamabana diperlihatkan istana-istana para bangsawan dan raja-raja Inggris. Bahkan istana Buckingham yang terkenal itu pun tidak dilewatinya.

Dengan penuh kebanggaan pegawai kotapraja itu berkata, "Hai Tamabana, bukankah istana-istana di Inggris ini sangat indah?"

Tamabana menjawab, "Ah... rumah Bapaku masih jauh lebih indah daripada istana ini."

Mendengar jawaban seperti ini, pegawai kotapraja itu menjadi heran sekali, ia berkata: "Masak rumah bapamu lebih bagus dari istana Buckingham ini?"

Dengan tenang Tamabana, seorang beriman yang saleh menjawab, "Ya, tentu saja rumah Bapaku di sorga lebih bagus daripada istana ini, sebab pondasinya saja dibuat dari 12 macam batu permata yang amat mahal harganya. Belum lagi pintu gerbangnya yang dibuat dari mutiara dan jalan-jalannya dibuat dari emas."

Mendengar jawaban semacam ini si pegawai kotapraja ini terdiam seribu bahasa, sebab ia mau tidak mau harus mengakui kebenaran kata-kata Tamabana ini.

Kesadaran akan hidup abadi sering kurang dirasakan selama orang masih hidup di dunia ini. Apalagi orang itu masih muda dan sedang aktif dalam berbagai kegiatan. Padahal hidup di dunia ini hanyalah sementara saja. Hidup ini seperti orang yang berkemah. Tidak lama. Orang akan beralih ke kehidupan yang lain.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa Tuhan sudah menyediakan bagi kita kediaman yang abadi. Suatu kediaman yang tidak akan binasa oleh serangan rayap. Kalau manusia berani memperjuangkan kehidupan abadi, ia akan meraihnya kelak. Namun sebenarnya hidup abadi itu sudah dimulai sejak orang masih hidup di dunia ini.

Dalam salah satu pengajaran-Nya, Yesus mengatakan bahwa kehidupan abadi itu diperoleh dengan berbuat baik kepada semakin banyak orang. Caranya adalah dengan memberi makan mereka yang lapar. Memberi minum kepada yang haus. Orang mesti peduli terhadap sesamanya yang sakit dengan mengunjunginya. Orang beriman mesti memberi perhatian kepada sesamanya yang sedang berada dalam kesusahan dan kesulitan hidup.

Karena itu, orang beriman yang benar adalah orang yang mau melaksanakan imannya dalam hidupnya sehari-hari. Iman tanpa perbuatan yang nyata itu pada hakekatnya adalah mati. Iman itu mesti diwujudnyatakan dengan perhatian kepada sesama yang membutuhkan pertolongan.

Mari kita berusaha mewujudkan iman kita dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian iman kita berbuahkan kebaikan, cinta kasih dan pengharapan bagi kita dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB


(89)

Bahaya Kenikmatan Semu

Ada seorang pria yang saat berusia 15 tahun mengalami kecelakaan yang membuat tulang punggungnya patah. Ia begitu menderita dan harus terbaring di tempat tidurnya selama bertahun-tahun dalam keadaan tidak berdaya. Dalam sehari tidak pernah sekalipun ia luput dari rasa sakit yang benar-benar menyiksanya.

Walau demikian, pria ini tidak pernah mengeluh dan selalu mendukung pelayanan doa-doa atas dirinya. Pada suatu hari, ada seorang pendoa terkenal mengunjungi tempat pria ini dirawat, yaitu di sebuah rumah sederhana. Ketika pendoa ini masuk ke dalam kamarnya, ia merasa bahwa tempat itu demikian dekat dengan sorga. Ada suatu sukacita mengalir dari dalamnya.

Pendoa itu bertanya kepada pria itu, "Apakah iblis pernah menggoda pikiranmu dengan mengatakan bahwa tidak ada gunanya berbakti kepada Tuhan?"

Pria tersebut menjawab, "Oh, tentu saja. Iblis datang berulang-ulang menggodaku dan berkata kalau benar Tuhan mengasihi engkau, tentu engkau tidak terbaring begini. Engka akan menikmati kesenangan seperti teman-temanmu yang lain, kaya-raya, segar bugar dan sehat walfiat. Kalau Tuhan itu baik, Dia tentunya bisa mencegah kecelakaan fatal itu terjadi."

Pendoa itu terdiam memandang pria itu. Ia merasa iba. Kenapa pria itu mesti dicobai iblis? Bukankah ia tak berdaya?

Pria itu melanjutkan, "Apabila iblis datang dengan cobaannya seperti itu, aku hanya tersenyum. Aku membawanya dalam doa. Aku merasa dikuatkan oleh Tuhan dalam doa.”

Dalam hati, pendoa itu mengagumi pria ini. Ia tidak memberi tempat bagi iblis di hatinya. Ia selalu memberi tempat untuk Tuhan dalam lubuk hatinya.

Godaan sering kita alami dalam hidup ini. Apalagi di kala kita mengalami susah dan derita. Di kala kita sendirian dan kesepian, iblis ingin ikut nimbrung. Iblis menawarkan berbagai keindahan dan kenikmatan dunia. Namun bayarannya adalah ketidaksetiaan kita kepada Tuhan. Padahal kasih Tuhan itu tak terbatas. Kasih Tuhan tidak menuntut dari kita.

Iblis yang jahat sering menuntut kita untuk meninggalkan hidup kita yang bahagia. Ia menawarkan kebahagiaan yang lain, yaitu suatu kebahagiaan sesaat. Kenikmatan sesaat itu berbahaya bagi hidup kita. Mata kita mudah tersilau oleh nafsu egoisme kita yang jahat.

Kisah tadi menunjukkan kepada kita bahwa iman dan penyerahan diri kepada Tuhan lebih indah dalam hidup ini. Iman yang dalam itu membawa kita untuk tetap setia kepada Tuhan. Kita dapat menolak usaha-usaha iblis yang mengganggu hidup kita dengan godaan-godaannya itu.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mementingkan nilai-nilai kehidupan yang lebih bermakna. Kenikmatan semu boleh berseliweran di sekitar kita. Tetapi yang kita utamakan dalah kasih dan kesetiaan kita kepada Tuhan dan sesama. Mari kita berusaha untuk senantiasa setia kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
(86)