Pages

28 Februari 2014

Mengolah Kemarahan Menjadi Kemampuan Mencintai




Pernahkah Anda mengolah kemarahan yang ada dalam diri Anda? Atau Anda biarkan saja kemarahan itu bertumbuh dalam diri Anda? Kalau hal terakhir ini Anda lakukan, Anda mesti menyadari diri Anda. Kemarahan Anda bisa menyebabkan orang lain sakit hati.

Seorang ayah bingung menghadapi anak laki-lakinya yang sering marah terhadap semua orang. Suatu kali, sang ayah menemukan cara menghadapi anaknya. Ia memanggil anaknya dan berkata, “Nak, kalau kamu sedang marah ambillah paku dan tancapkan paku itu di pagar belakang rumah kita. Lampiaskan marahmu di sana. Nanti kalau kamu merasa amarahmu terhadap orang itu telah hilang, cabutlah paku yang engkau tancapkan tadi.”

Anak itu melaksanakan apa yang diperintahkan ayahnya. Suatu kali anaknya memanggil ayahnya. Dengan bangga dia berkata, “Ayah, lihatlah ke pagar belakang.”

Ayahnya pun bergegas ke sana. Ia mendapati tidak ada sebatang paku pun yang tertancap di sana. Yang ada hanyalah bekas lubang paku yang dalam, yang memenuhi pagar tersebut.”

Segera ia memanggil anaknya dan berkata, “Nak... lihatlah, sekalipun engkau telah mencabut paku-paku tersebut, namun bekas lubangnya tetap ada. Itu artinya amarah yang engkau lampiaskan ke orang lain, akan tetap meninggalkan lubang yang dalam di hati. Sekalipun engkau telah meminta maaf bahkan melupakan amarahmu, namun bekasnya tetap ada di hati orang lain.”

Sahabat, tentu saja setiap orang pernah marah terhadap sesamanya. Berbagai alasan dapat diungkapkan dari seseorang yang sedang marah. Ada yang marah terhadap orang yang melakukan kesalahan terhadapnya, namun hanya sebentar saja. Tidak lama kemudian ia baik lagi dengan temannya itu.

Ada yang marah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terhadap orang yang dianggap melakukan kesalahan terhadapnya. Orang seperti ini tidak pernah lupa kesalahan orang lain. Orang seperti ini belum bisa mengolah emosinya. Semestinya hati yang panas itu diolah menjadi dingin dan sejuk. Dengan demikian, kemarahan itu tidak menjadi beban dalam hidup. Bahayanya adalah orang akan mengalami sakit hati. Luka batin akan menjadi bagian hidup orang seperti ini.

Karena itu, kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kita mesti mudah mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Marah boleh-boleh saja. Namun ketika tiba saatnya, kita mesti mengolah emosi kita menjadi sesuatu yang berguna bagi hidup kita. Emosi yang negatif dapat diolah menjadi kekuatan bagi diri kita untuk maju setapak demi setapak.

Untuk itu, orang mesti berusaha keras untuk mengolah emosi jiwanya yang negatif itu. Orang tidak boleh membiarkan emosi atau kemarahan itu menguasai dirinya. Orang mesti berusaha untuk mengatasinya.

Orang beriman mesti mendekatkan diri kepada Tuhan, ketika kemarahan mendatanginya. Artinya, orang beriman mesti berani meminta bantuan kepada Tuhan, agar Tuhan memberikan jalan baginya untuk mengolah emosi yang negatif menjadi kemampuan untuk mencintai semua orang. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1060

27 Februari 2014

Dengan Iman yang Teguh, Menghadapi Sakit dan Penyakit




Sakit merupakan bagian dari kehidupan manusia. Tentu saja setiap orang pernah mengalami sakit yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Namun tidak berarti orang menyerah kalah terhadap sakit dan penyakit yang menyerangnya. Berbagai contoh telah memberikan inspirasi bagi manusia untuk berani melawan sakit dan penyakitnya.

Melanie Subono, misalnya, meski berkali-kali menjalani operasi tumor, mengaku tak pernah bersedih. Menurutnya, hidup yang selama ini dia jalani masih jauh beruntung daripada banyak orang lain yang sekadar untuk makan pun susahnya minta ampun.

Perempuan berusia 37 tahun ini berkata, ”Aku masih beruntung meskipun berkali-kali perutku dioperasi. Aku masih bisa kerja, cari duit, dan menikmati hidup ini.”

Terakhir ia baru menjalani operasi pengangkatan tumor Januari 2010 lalu. Melanie bercerita, tumor yang bersarang di perutnya seberat lima kilogram dengan panjang sekitar 30 centimeter.

Tentang tumor satu ini, penyanyi rock ini berkata, ”Awalnya tumor itu hanya satu sentimeter. Anehnya, dalam waktu tiga hari sudah berkembang menjadi 30 sentimeter. Tumor itu kemudian diteliti para ahli.”

Ia berharap, pengalamannya melawan tumor menjadi inspirasi bagi orang lain, agar tidak menyerah ketika berhadapan dengan penyakit yang sulit disembuhkan.

Sahabat, perjuangan tanpa kenal lelah untuk melawan penyakit yang diderita mesti menjadi bagian dari hidup kita. Banyak orang mudah menyerah kalah terhadap penyakit. Mereka pasrah. Mereka membiarkan saja diri mereka digerogoti penyakit. Padahal berbagai cara dapat ditempuh untuk menyembuhkan penyakit tersebut.

Kisah Melanie Subono dapat menjadi inspirasi bagi kita untuk senantiasa berusaha menghadapi sakit dan penyakit yang menyerang kita. Untuk itu, kita mesti punya keyakinan bahwa setiap penyakit dapat dilawan. Kemampuan dan keyakinan ini mesti ditanam erat-erat dalam diri kita. Dengan demikian, kita tidak hanya pasrah ketika diserang oleh penyakit.

Orang beriman itu orang yang tidak begitu saja menyerah kalah pada penyakit. Orang beriman mesti berani berjuang untuk mengalahkan penyakit yang dideritanya. Tentu saja usaha-usaha itu mesti dilandasi oleh iman akan Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Tuhan senantiasa menyertai manusia. Tuhan telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk menggunakan berbagai cara dalam mengatasi penyakitnya.

Karena itu, mari kita berusaha terus-menerus untuk menghadapi sakit dan penyakit yang kita derita. Kita berjuang bersama Tuhan. Sambil berjuang, kita pasrahkan hidup kita kepada Tuhan. Dengan demikian, iman kita semakin diperteguh. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1061

26 Februari 2014

Melepaskan Belenggu dengan Kreativitas




Kreativitas akan mudah membantu orang untuk sukses dalam hidupnya. Dengan kreasi demi kreasi yang diciptakan itu, orang akan menemukan bahwa hidup ini memiliki makna yang mendalam.

Berkat kreativitas itu, Alicia Keys menawarkan sesuatu yang berbeda dalam album terbarunya. Beberapa tahun lalu, Alicia Keys meluncurkan album terbarunya berjudul The Element of Freedom dengan cita rasa kreatif. Kreativitas ia tekankan untuk mengatakan kepada dunia bahwa manusia yang hidup mesti kreatif. Tidak boleh manusia hanya terpaku pada hal-hal lama yang mudah ketinggalan.

Penyanyi kelahiran New York ini berkata, ”Ini album yang berbeda untukku. Aku tipe orang yang selalu ingin mencoba hal-hal baru dengan semua hal kreatif yang bisa kulakukan. Aku tak ingin merasa terbelenggu. Itulah mengapa albumku kuberi judul The Element of Freedom. Aku merasa mendapat pencerahan dari setiap lagu.”

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang semakin berkembang maju. Berbagai kemudahan ditawarkan kepada manusia. Hidup manusia dibuat lebih enak. Akibatnya, manusia tergoda untuk selalu dininabobokan. Manusia kurang ditantang untuk berkreasi lebih dalam lagi.

Padahal kerativitas sangat dibutuhkan dalam hidup ini. Orang yang kreatif akan dengan mudah menjalani hidup ini. Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa hanya dengan kreativitas itu orang dapat maju dalam hidupnya. Orang tidak terbelenggu oleh keterbatasan-keterbatasannya. Dengan kreasi yang dibuatnya, orang mampu melewati batas-batas yang membelenggunya.

Soalnya adalah apakah manusia sungguh-sungguh mau menciptakan sesuatu yang berguna bagi hidupnya dan bagi sesamanya? Apakah orang berani melangkah lebih jauh untuk kesejahteraan hidupnya? Sering orang hidup seperti katak di bawah tempurung. Dunianya sempit. Dunianya hanyalah sebatas tempurung itu. Akibatnya, ketika orang mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidupnya, orang mudah menyerah. Orang tidak berani melangkahkan kaki lebih jauh lagi.

Karena itu, orang beriman mesti berani keluar dari dirinya sendiri. Caranya adalah dengan berkreasi. Menciptakan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan sesamanya. Dengan demikian, hidup ini menjadi sesuatu yang lebih indah. Hidup ini menjadi lebih berguna bagi diri dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1059

25 Februari 2014

Menemukan Makna Hidup dalam Keseharian




Sebuah lagu memiliki peranan yang bermakna bagi hidup manusia. Syair-syair sebuah lagu dapat membantu manusia untuk berintrospeksi diri. Orang dapat melihat diri sendiri dari sebuah lagu tersebut. Orang dapat melihat kesalahan dirinya sendiri. Orang dapat menemukan kelebihan yang ada dalam dirinya sendiri.

Beberapa tahun lalu, Nafa Urbach menelurkan album ke-14 berjudul Cinta Abadi. Ia menyiapkan album terbarunya itu selama lima bulan. Ia dibantu oleh sang suami, Jack Lee, dalam memilih lagu-lagu untuk albumnya tersebut. Salah satu lagu yang menjadi unggulannya adalah Ku Tak Sempurna. Liriknya soal manusia yang tak sempurna, tentang menerima pasangan apa adanya.

Nafa mengatakan bahwa album Cinta Abadi berisi hal-hal positif bagi mereka yang sedang pacaran atau sudah menikah. Lagu berjudul ”Ulangi”, bahkan membuat dua teman Nafa tak jadi bercerai. Lagu Nafa yang lain, ”Pria Sejati”, bicara soal pengampunan dan sikap tidak menghakimi pasangan.

Tentang lagu berjudul Memori, Nafa berkata, ”Lewat lagu ini aku ingin bilang bahwa kita jangan terus terikat memori, kenangan masa lalu. Kita harus belajar untuk terus bergerak maju.”

Sahabat, ada berbagai peristiwa hidup yang mesti didalami oleh manusia. Peristiwa-peristiwa itu menjadi indah, ketika manusia sungguh-sungguh menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Kisah-kisah hidup yang diubah menjadi lirik-lirik lagu menjadi bagi kita suatu dukungan bagi hidup ini.

Karena itu, lewat album ke-14nya, Nafa Urbach mau mengajak kita untuk tetap berpacu dengan waktu. Kita mesti tetap berusaha menemukan kasih yang abadi yang hadir dalam keseharian hidup kita. Untuk itu, orang mesti tetap bertahan dalam situasi hidupnya. Apa pun yang terjadi terhadap hidupnya, orang mesti berusaha untuk tetap setia pada komitmen yang telah dipilihnya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk terus-menerus menemukan kehidupan yang lebih baik. Kita diajak untuk tetap menemukan hidup ini sebagai sesuatu yang bermakna dan berharga bagi perjalanan hidup kita. Usaha untuk menemukan makna hidup itu mesti selalu dalam naungan kasih Tuhan. Hanya dengan melibatkan Tuhan dalam hidup ini, orang akan memiliki hidup yang bermakna.

Mari kita tetap berusaha untuk setia pada komitmen yang telah kita pilih bersama Tuhan. Dengan demikian, kita dapat menjadi orang-orang yang berguna bagi Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1058

24 Februari 2014

Cara-cara yang Kreatif untuk Perdamaian

 

Berbagai usaha dilakukan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Suatu dunia yang damai yang didambakan oleh semua orang mesti menjadi andalan bagi manusia.

Clint Eastwood, sutradara dan aktor tua ini, membidani sebuah film berjudul Invictus. Film ini berdasarkan kisah nyata almarhum Nelson Mandela, pejuang anti apartheid Afrika Selatan.

Nelson Mandela berusaha menciptakan suatu dunia yang damai. Soalnya adalah ia menghadapi diskriminasi dari kaum kulit putih di negerinya. Usaha untuk menyatukan kedua belah pihak, yaitu kaum kulit putih dan kaum kulit hitam sering terganjal. Karena itu, Nelson Mandela yang kreatif itu mencoba menggunakan olahraga Rugby. Olahraga ini sangat populer di Afrika Selatan.

Nelson Mandela membangun sebuah relasi yang khusus dengan Francois Piennar, kapten tim rugby yang berkulit putih. Usaha ini cukup berhasil. Persahabatan keduanya menumbuhkan usaha-usaha untuk menyatukan kedua ras yang berbeda warna kulit itu. Kita tahu, Nelson Mandela kemudian berhasil membebaskan bangsa Afrika Selatan dari sistem apartheid.

Tentang cara pendekatan ini, Clint Eastwood berkata, “Pendekatan politik yang dipilih Mandela sungguh menarik. Ia memakai olahraga untuk menyampaikan misi rekonsiliasi (antarwarga berbeda warna kulit) di negerinya. Mandela itu salah seorang sosok populer dan kreatif di dunia ini.”

Sahabat, ketulusan hati almarhum Nelson Mandela untuk membangun jembatan perdamaian itu sungguh-sungguh membuahkan hasil. Rekonsiliasi yang dulu hanya dalam impian banyak warga kulit hitam Afrika Selatan itu kemudian menjadi kenyataan. Cita-cita untuk mempersatukan pandangan dan sikap yang sangat berbeda itu terwujud. Sistem apartheid runtuh. Yang muncul adalah suatu situasi hidup yang saling berdampingan. Mereka saling berbagi hidup. Mereka dapat bekerja sama untuk membangun suatu kehidupan yang lebih baik.

Kisah di atas mau mengatakan bahwa ada banyak cara untuk menciptakan damai dalam kehidupan bersama. Yang penting adalah orang mau membuka hatinya untuk berdialog dengan sesamanya. Yang penting adalah orang tidak merendahkan martabat manusia. Nilai-nilai kemanusiaan mesti dijunjung tinggi, agar dalam kehidupan ini tidak ada sesama yang diinjak hak-haknya.

Orang beriman adalah orang yang senantiasa memiliki kreatifitas dalam usaha untuk membangun perdamaian. Ketika terjadi perselisihan, orang beriman mesti segera berusaha mendamaikannya. Ketika terjadi kebekuan dalam kehidupan bersama, orang mesti berusaha untuk mencairkan situasi.

Dengan demikian, suasana yang damai senantiasa tercipta dalam hidup ini. Mari kita mencari cara-cara yang kreatif untuk membangun suatu dunia yang damai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1057

23 Februari 2014

Belajar untuk Memberi Diri



Memberi itu suatu pekerjaan yang mudah bagi banyak orang. Mengapa? Karena yang diberi tidak sekedar barang-barang. Tetapi lebih-lebih yang diberi adalah diri sendiri kepada orang lain.

Ada seorang anak yang sulit sekali memberi. Apa yang dia punya, ia pakai sendiri. Kalau ada adik atau kakaknya ingin memakainya, ia akan memarahi mereka habis-habisan. Tidak boleh ada yang menyentuh barang miliki kepunyaannya. Ia tidak ingin orang lain mengganggu miliknya itu. Ia ingin menggunakannya untuk dirinya sendiri saja. Akibatnya, saudara-saudaranya tidak berani mendekatinya. Mereka berusaha menjauhinya. Ia menjadi orang yang terkucil. Ia kesepian sendiri.

Menurut pandangannya, kalau ia memberi miliknya kepada orang lain, ia akan merasa kehilangan yang besar. Ia akan mengalami kekurangan dalam dirinya. Yang dia punyai itu menjadi tidak ada lagi. Karena itu, ia takut untuk memberi apa yang dimiliki kepada orang lain. Bahkan kepada saudara-saudaranya sendiri.

Ia tidak hanya takut memberi apa yang dimilikinya. Ia juga takut memberi dirinya kepada sesamanya. Ketika ada pekerjaan yang dapat dikerjakan bersama-sama, ia menyendiri. Ia tidak mau membantu sesamanya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Tangannya menjadi kaku. Ia tidak punya tangan yang ringan membantu sesama. Lagi-lagi, pandangannya tetap sama. Ia tidak mau kehilangan dirinya. Ia tidak mau ada yang berkurang dari dirinya.

Sahabat, apakah benar ketika orang memberikan sesuatu kepada orang lain ia akan kehilangan atau kekurangan? Apakah benar kalau orang memberi diri untuk kebaikan dan kebahagiaan sesama akan kehilangan dirinya?

Dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan ada banyak orang yang berani memberikan apa yang dimilikinya. Namun mereka tidak kehilangan atau kekurangan. Justru ketika mereka memberikan milik itu, mereka mendapatkan banyak hal baik dalam hidup mereka.

Karena itu, memberi tidak berhubungan dengan kekurangan atau kehilangan. Justru dengan kerelaan memberi itu orang diberi kemampuan untuk memenuhi hidupnya. Orang menjadi kreatif untuk memiliki tangan yang ringan bagi sesamanya.

Apalagi ketika orang memberikan dirinya untuk kebaikan orang lain. Orang yang berani memberi diri bagi kebaikan dan kebahagiaan sesama akan menemukan hidup itu begitu indah. Ternyata hidup ini memiliki makna yang begitu dalam. Hidup ini tidak hanya sekedar mengurusi diri sendiri. Hidup ini selalu bersentuhan dengan orang-orang lain di sekitarnya.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa orang yang tidak berani memberi diri itu orang yang kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Ia kehilangan relasi yang baik dengan sesama. Ia kehilangan begitu banyak perbuatan baik yang dapat diberikan oleh orang lain kepadanya. Sebenarnya yang mesti ia lakukan hanya sederhana saja, yaitu membuka diri bagi sesamanya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memberi hidup kita bagi sesama kita. Dengan memberi diri itu, kita mampu mengorbankan hidup kita bagi sesama. Dalam pemberian diri itu ada kasih yang memancar dari hati kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1055

Bersama-sama Membangun Hidup Persaudaraan


 
Hidup bersama yang penuh persaudaraan merupakan dambaan semua orang. Namun dalam kenyataan sehari-hari, hidup bersama penuh persaudaraan itu tidak mudah diraih.

Beberapa waktu lalu di sebuah kebun binatang di California, Amerika Serikat, seekor macan melahirkan dua ekor anaknya. Sayang, kedua anaknya itu tidak lama hidup. Mereka mati. Sang induk sangat sedih menyaksikan dua anaknya yang mati itu. Ia mengalami stress yang luar biasa. Akibatnya, petugas kebun binatang mesti merawatnya secara khusus di tempat yang khusus pula. Ia dipisahkan dari macan-macan lain.

Setelah sembuh dari stressnya, sang induk diberi tiga ekor anak babi yang di punggungnya diberi warna belang-belang seperti macan. Apa yang terjadi? Induk macan itu tertarik terhadap tiga ekor anak babi itu. Ia mendekati mereka. Ia merangkul mereka seperti anaknya sendiri. Yang mengejutkan para petugas kebun binatang itu adalah sang induk pun mulai menyusui tiga anak babi itu. Ia memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri. Sungguh, luar biasa. Ia tidak memangsa mereka.

Lama-kelamaan mereka hidup dengan penuh damai. Sang induk melatih tiga anak babi itu berlari. Ia melatih mereka untuk berburu mangsa. Ketiga anak babi itu pun melakukannya dengan penuh semangat. Mereka melakukannya dengan baik. Para pengunjung kebun binatang dibuat berdecak kagum menyaksikan peristiwa itu. Hidup rukun tercipta di antara jenis binatang yang berbeda itu. Sang macan yang ganas tidak serta merta memangsa ketiga babi itu. Sebaliknya, mereka membangun persahabatan yang baik.

Sahabat, tidak ada yang mustahil dalam hidup ini. Kehidupan yang harmonis dan damai dapat tercipta, kalau manusia ingin membangun persaudaraan. Kuncinya terletak pada niat baik setiap orang untuk membangun hidup ini menjadi lebih baik. Niat baik itu mesti selalu didasarkan pada kepedulian satu sama lain. Manusia tidak boleh saling menindas. Yang mesti terjadi adalah situasi saling menghargai. Suatu situasi yang memberi kesempatan orang lain untuk bertumbuh dan berkembang dalam hidupnya.

Tentu saja situasi seperti ini tidak mudah dicapai dalam hidup. Situasi yang harmonis dan damai itu tidak sekaligus jadi. Orang mesti memperjuangkannya. Orang mesti berani untuk mengorbankan kepentingan dirinya sendiri bagi kebahagiaan bersama. Orang yang berani mengorbankan diri bagi kehidupan bersama yang bahagia tentu memiliki suatu cinta yang besar.

Karena itu, orang yang mengandalkan kekuatan diri sendiri akan mengalami kesulitan dalam membangun persaudaraan yang sejati. Orang yang mau menang sendiri akan menemukan kehidupan bersama menjadi penghalang bagi tercapainya keinginan-keinginannya.

Untuk itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk membangun suatu hidup yang harmonis dan damai yang didasarkan pada cinta kasih yang mendalam. Kalau ini yang terjadi, kita akan menemukan hidup ini sungguh-sungguh bermakna. Kita dapat belajar dari induk macan dan tiga anak babi yang dapat hidup bersama dalam kisah di atas. Perasaan senasib sepenanggungan mesti selalu diolah dan dikembangkan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1054

22 Februari 2014

Melepaskan Diri dari Kekuatiran



Mengapa Anda cemas akan hidup Anda? Saya rasa ada berbagai alasan yang bisa dikemukakan.

Seorang gadis sangat kuatir akan hidupnya. Setiap kali menghadapi saat-saat penting dalam hidupnya, ia merasa kuatir. Ia cemas, apakah ia mampu melewati saat-saat penting itu atau tidak. Karena itu, ia sering tidak berani menghadapi saat-saat penting itu. Kadang-kadang ia menyembunyikan diri di kamar. Atau ia sengaja menghindari saat-saat penting itu.

Akibatnya, gadis itu tumbuh dalam suasana yang tidak kondusif. Tidak menyenangkan. Ia menjadi orang yang kurang berani tampil. Ia lebih memilih untuk berada di belakang layar. Padahal ia punya potensi yang besar. Ia punya bakat yang besar dalam olah vokal dan memainkan alat-alat musik.

Tentang keadaan dirinya itu, gadis itu berkata, ”Saya mesti menerima diri saya apa adanya. Saya tidak bisa mengubah apa yang ada dalam diri saya. Saya pasrah. Saya tidak punya kekuatan apa-apa.”

Kekuatiran itu terus-menerus menggerogoti hidup gadis itu. Orangtuanya sudah berusaha untuk menghilangkan rasa kuatir dalam dirinya. Namun tetap saja gadis itu tidak mampu menghilangkannya. Ia selalu dihantui oleh kekuatiran itu.

Sahabat, kekuatiran merupakan bagian dari hidup manusia. Namun suatu kekuatiran yang berlebihan bisa menjadi suatu penyakit yang menggerogoti hidup manusia itu sendiri. Kekuatiran bisa menjadi seperti penyakit kanker yang terus-menerus menyakiti tubuh. Kalau tidak diobati, ia makin menjadi-jadi. Kalau tidak diusahakan untuk diobati, kekuatiran itu dapat membunuh pertumbuhan hidup manusia.

Karena itu, orang mesti berani mencari tahu sebab musabab kekuatiran itu. Mengapa seseorang sampai pada kekuatiran yang kronis? Apakah ia punya masa lalu yang kurang menyenangkan? Apakah ia mengalami broken-home, sehingga ia selalu dihantui oleh kekuatiran itu?

Keberanian untuk bertanya pada diri sendiri tentang sesuatu yang negatif yang dialami akan sangat membantu orang untuk keluar dari hal tersebut. Keberanian untuk bertanya itu membuktikan bahwa orang ingin keluar dari kesulitan hidupnya. Orang mau mengobati yang sakit yang ada dalam dirinya. Dengan demikian, orang dapat memiliki hidup yang menyenangkan. Orang tidak perlu terbelenggu oleh ilusi-ilusi. Orang tidak perlu terjerumus ke dalam bayangan-bayangan semu.

Sebagai orang beriman, usaha kita mengatasi kekuatiran kita senantiasa bersama Tuhan. Ketika kita dikuasai oleh Tuhan, sebenarnya kita tidak perlu kuatir. Mengapa? Karena Tuhan senantiasa menjadi jaminan hidup kita. Tuhan senantiasa setia kepada kita. Tuhan selalu peduli terhadap kita.

Untuk itu, yang mesti kita lakukan adalah kita menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan. Kita biarkan Tuhan membimbing langkah-langkah kaki kita. Kita biarkan Tuhan menguatkan hati kita yang mudah loyo. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1056

18 Februari 2014

Melepaskan Diri dari Rasa Takut



Dalam hidup ini, manusia sering terbelenggu oleh rasa takut dan gengsi. Kita takut orang lain tahu kebiasaan-kebiasaan buruk yang kita miliki. Kita takut diketahui penyakit-penyakit yang kita derita. Akibatnya, justru hal-hal buruk menimpa diri kita.

AIDS adalah salah satu epidemik terbesar di dunia. Namun awalnya masyarakat dunia tidak memeranginya dengan cukup baik. Mengapa? Karena pada awalnya penyakit ini sering ditutup-tutupi dan dianggap memalukan. Pemerintah Cina, misalnya, baru mau mengakuinya tahun 2002 setelah angka statistik penderitanya yang sangat tinggi. India sempat ngotot, kalau penyakit ini hanya diderita pekerja seks komersial dan pelaku seks bebas. Presiden Mbeki dari Afrika Selatan mengatakan pada New York Times bahwa dia tidak pernah kenal seorang pun mengidap AIDS. Padahal lebih dari 30 juta penduduk Afrika Selatan terkena AIDS (HIV positif).

Menurut laporan UNAIDS, badan PBB yang menangani masalah AIDS dan HIV, penyakit ini telah membunuh lebih dari 25 juta orang. Secara global, pada tahun 2007, 46 juta orang hidup dengan HIV. Menurut UNFPA (United Nations Population Fund) pengidap HIV/AIDS bisa mencapai 290 juta orang pada tahun 2050.

Menurut Departemen Kesehatan Indonesia, lebih dari 2.000 orang meninggal karena AIDS pada tahun 2011 lalu. Wabah ini telah memperlambat pertumbuhan ekonomi dan membunuh sumber daya manusia termasuk anak-anak. Andaikan masalah ini diakui dan ditangani dari awal, bisa jadi akibatnya tidak separah sekarang ini.

Sahabat, tentu saja data-data di atas berasal dari ketakutan orang atau pemerintah suatu negara terhadap penyakit yang sangat membahayakan jiwa ini. Ada usaha untuk menutup-nutupinya, agar relasi dengan dunia luar tetap terjaga dengan baik. Apalagi obat para penderita AIDS atau HIV masih belum ditemukan. Orang takut kalau dikucilkan dalam pergaulan. Orang mau menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya bersih.

Tentu saja sikap menutup-nutupi suatu penyakit yang membahayakan ini kurang baik. Mengapa? Karena penyakit ini dapat menular kepada orang lain. Ketika semakin banyak orang terjangkit oleh penyakit ini, bahaya akan semakin besar. Terjadi suatu epidemik. Afrika Selatan mengalami ancaman yang serius dari penyakit ini. Bayangkan, 30 juta warganya sudah terjangkit oleh penyakit ini.

Karena itu, suatu keterbukaan terhadap orang lain akan sangat berguna dalam upaya-upaya menanggulangi penyakit ini. Memerangi penyakit yang mewabah begitu cepat ini tidak hanya diusahakan sendiri-sendiri. Dibutuhkan usaha bersama yang sejak dini dilakukan untuk menangkal penyebaran penyakit seperti ini. Yang dibutuhkan bukan gengsi. Tetapi yang dibutuhkan adalah aksi nyata dalam memerangi penyakit seperti ini.

Orang beriman tentu saja tidak hanya mengandalkan kemampuan manusiawinya saja. Ini belum cukup. Orang beriman mesti mengandalkan kekuatan dari Tuhan yang mahapengasih dan penyayang dalam usaha menanggulangi wabah penyakit ini.

Orang beriman mesti yakin bahwa Tuhan tetap menyayangi dirinya. Tuhan ingin menyelamatkan semua manusia, termasuk mereka yang hidup dengan HIV/AIDS. Mari kita terus-menerus membuka diri terhadap bantuan Tuhan. Dengan demikian, kita mampu menghadapi hidup ini dengan hati yang damai. Tuhan memberkati. **

 

Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1053

17 Februari 2014

Berproses Menuju Kedewasaan

 
Banyak orang merasa bahwa hidup mereka menjadi aman, ketika umur mereka bertambah semakin tua. Mereka merasa bahwa itulah puncak kedewasaan bagi mereka. Benarkah demikian?

Ada seorang bapak yang punya emosi yang meledak-ledak. Apa saja yang ditujukan kepadanya selalu ditanggapi dengan emosi. Ia sangat marah, apabila ada orang yang mengkritik dirinya. Ia akan membenci orang yang mengkritik dirinya. Banyak orang menilai bahwa bapak ini tidak pernah dewasa dalam hidupnya. Orang yang dewasa itu orang yang tidak mudah terbakar emosinya. Justru orang yang dewasa itu semakin sabar dalam hidupnya.

Namun bapak ini tetap ngotot. Ia tidak mau dikatakan tidak dewasa. Ia yakin bahwa dirinya orang yang sudah dewasa. Apalagi ia sudah punya anak dan istri. Usianya pun sudah kepala lima. Ia berkesimpulan bahwa emosi yang ada dalam dirinya itu wajar-wajar saja. Itulah gaya hidupnya. Itulah yang ingin dilakoni selama perjalanan hidupnya.

“Dewasa tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari emosi yang ada dalam dirinya. Orang bisa menjadi dewasa dengan tetap memiliki emosi,” katanya.

Sahabat, menjadi dewasa merupakan dambaan seseorang. Ia tidak ingin dianggap sebagai anak kecil lagi. Tetapi menuju kedewasaan bukan proses yang instan. Orang butuh proses untuk menjadi semakin dewasa dalam hidupnya. Untuk itu, dalam prosesnya orang perlu banyak melangkah.

Kisah di atas memberi kita inspirasi untuk terus-menerus berusaha untuk menjadi semakin dewasa. Memang, orang tidak bisa menanggalkan seluruh emosi dirinya. Orang tetap membawa emosi dirinya itu dalam kehidupannya sehari-hari.

Yang penting adalah orang mampu mengolah emosi itu menjadi sesuatu yang berguna bagi hidupnya. Emosi itu bisa dikembangkan menjadi suatu kekuatan dalam perjalanan hidupnya. Bapak dalam kisah di atas tetap mempertahankan emosinya. Ia tetap terbakar emosinya. Ia tidak mau dikritik, ketika melakukan kesalahan. Tentu saja hal ini bisa menjadi suatu kerugian bagi dirinya. Semestinya ia mengolah emosinya menjadi suatu kekuatan bagi hidupnya.

Untuk itu, proses menuju dewasa itu membutuhkan langkah-langkah. Salah satu langkah dalam proses menuju dewasa adalah menerima tanggung jawab sebagai siapa kita. Kepribadian kita tidak dibentuk sepenuhnya oleh apa yang terjadi pada kita, tetapi pada bagaimana kita menjawab hal-hal yang ada di sekitar kita. Ada begitu banyak hal yang ditujukan kepada kita yang perlu kita jawab. Di sini kita dituntut untuk menjawab hal-hal itu dengan bijaksana. Mengapa? Karena hal ini menjadi ukuran dewasa tidaknya kita.

Misalnya, ketika ada kebencian ditujukan kepada kita, bagaimana kita bereaksi? Kalau ada kata-kata yang tajam dan menyakitkan ditusukkan kepada kita, bagaimana kita bereaksi? Kalau ada perlakuan tidak adil terhadap kita, bagaimana kita bereaksi? Banyak bentuk emosi diperlihatkan sebagai pilihan reaksi. Beberapa di antaranya tampak benar dan wajar-wajar saja. Misalnya, marah, kecewa dan sakit hati adalah reaksi alami dan paling umum dari seorang manusia.

Untuk itu, kita perlu mengolah terus-menerus kedewasaan diri kita. Tidak ada kata ‘berhenti’ dalam mengolah kedewasaan kita. Tidak ada kata ‘akhir’ dalam berproses menuju kedewasaan itu. Mari kita terus-menerus berproses dalam kehidupan ini. Dengan demikian, hidup kita menjadi semakin dewasa. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1052

16 Februari 2014

Berserah Diri kepada Tuhan Apapun Situasinya

 
Seberapa besar penyerahan diri Anda kepada Tuhan? Saya rasa, Anda punya kekuatan iman yang begitu besar, sehingga Anda berani menyerahkan seluruh hidup kepada Tuhan.

Seorang anak lahir tanpa saluran empedu. Akibatnya, lever-nya tidak berfungsi dengan baik. Para dokter spesialis anak menawarkan untuk melakukan pembedahan untuk membentuk saluran empedu bagi anak perempuan itu. Meski merasa berat, tetapi kedua orangtuanya setuju terhadap tawaran dokter itu.

Saat berada di atas meja operasi, pembedahan tidak dapat diselesaikan. Menurut dokter, lever gadis itu sudah tidak bagus. Dokter berkata kepada orangtua gadis itu, “Percuma saja jika dilakukan pembedahan. Penyakitnya tidak dapat disembuhkan.”

Anak itu hanya diharapkan akan bertumbuh sendiri, tanpa saluran empedu dan fungsi lever yang tidak baik. Tentu saja hal ini sangat riskan bagi hidup anak itu. Apa yang akan terjadi ketika makanan yang ditelan anak itu terkontaminasi racun? Tentu saja tidak ada penangkal. Tidak ada proses pembersihan terhadap kontaminasi itu.

Namun ada alternatif lain, yakni anak itu dibawa ke luar negeri untuk menjalani transplantasi atau cangkok lever. Tentu saja operasi seperti ini akan menghabiskan biaya ratusan juta sampai milyaran rupiah. Keluarga itu pasrah. Apa pun yang akan terjadi, mereka akan terus memperjuangkan hidup sang putri tercinta.

Dalam situasi pergumulan seperti itu, pasangan suami istri itu tetap yakin bahwa Tuhan baik. Tuhan punya rencana indah bagi putri mereka. Saat ini mereka belum tahu. Namun mereka tetap mempercayakan diri kepada Tuhan. Mereka yakin, Tuhan akan memberi yang terbaik bagi hidup anak mereka.

Sahabat, kita senantiasa diajarkan untuk punya rencana hidup. Karena itu, kita merancang hidup kita sedemikian indah dan baik. Mengapa? Karena kita tidak ingin terlunta-lunta dalam hidup ini. Kita ingin bahagia. Kita ingin hidup ini menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tidak ada yang mengganggu hidup kita.

Kisah di atas memberi suatu inspirasi bagi kita bahwa dalam duka nestapa hidup ini, masih ada kekuatan lain. Bagi orang beriman, kekuatan itu ada pada Tuhan. Kebuntuan hidup ini memberi kita peluang untuk semakin menyerahkan hidup kepada Tuhan. Tentu saja sikap penyerahan diri itu tidak mudah. Mengapa? Karena kita manusia lemah. Manusia yang mudah tergoda oleh berbagai hal yang membuat hidup ini menyenangkan hanya untuk beberapa saat.

Sikap berserah diri itu mengandaikan adanya iman yang besar kepada Tuhan. Iman itu mendorong kita untuk setia kepada Tuhan yang telah kita imani. Kita membiarkan Tuhan memimpin hidup kita. Mengapa? Karena kita yakin bahwa ketika Tuhan menuntun hidup ini, kita akan mengalami damai dan sukacita dalam peziarahan hidup ini.

Mari kita terus-menerus berserah diri kepada Tuhan dalam setiap peristiwa hidup kita. Dengan demikian, kita mengalami sukacita dan damai. Tuhan memberkati.**



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1051

15 Februari 2014

Melepaskan Diri dari Mental Instan

 

Dalam hidup sehari-hari, kita dihadapkan pada mental instan. Apa-apa saja ingin dicapai dalam waktu yang serba singkat dan cepat. Memang, tidak ada salahnya. Namun dari pengalaman hidup, mental instan sering menjerumuskan orang ke dalam kegelapan hidup.

Tahun 1976, bersama rekannya Steve Wozniak, Steve Jobs yang baru berusia 21 tahun mulai mendirikan Apple Computer.Co di garasi milik keluarganya. Dengan susah payah mereka mengumpulkan modal yang diperoleh dengan menjual barang mereka yang paling berharga, usaha itu pun dimulai. Komputer pertama mereka, Apple 1 berhasil mereka jual sebanyak 50 unit kepada sebuah toko lokal.

Dalam beberapa tahun, usaha mereka cukup berkembang pesat sehingga tahun 1983, Jobs menggaet John Sculley dari Pepsi Cola untuk memimpin perusahaan itu. Sampai sejauh itu, Apple Computer menuai kesuksesan dan makin menancapkan pengaruhnya dalam industri komputer terlebih dengan diluncurkannya Macintosh.

Namun, pada tahun 1985, setelah konflik dengan Sculley, perusahaan memutuskan memberhentikan pendiri mereka, yaitu Steve Jobs sendiri. Setelah menjual sahamnya, Jobs, yang mengalami kesedihan luar biasa, banyak menghabiskan waktu dengan bersepeda dan bepergian ke Eropa.

Namun, tak lama setelah itu, pemecatan tersebut rupanya justru membawa semangat baru bagi dirinya. Ia pun memulai usaha baru, yaitu perusahaan komputer NeXT dan perusahaan animasi Pixar. NeXT yang sebenarnya sangat maju dalam hal teknologinya ternyata tidak membawa hasil yang baik secara komersil.

Tetapi Pixar adalah sebuah kisah sukses lain berkat tangan dinginnya. Melalui Pixar, Jobs membawa trend baru dalam dunia film animasi seiring dengan diluncurkannya film produksinya Toy Story dan selanjutnya Finding Nemo dan The Incredibles. Sepeninggal Jobs dan semakin kuatnya dominasi IBM dan Microsoft membuat Apple kalah bersaing dan nyaris terpuruk.

Akibatnya, tahun 1997, Jobs dipanggil kembali untuk mengisi posisi pimpinan sementara. Dengan mengaplikasi teknologi yang dirancang di NeXT, kali ini Apple kembali bangkit dengan berbagai produk berteknologi maju macam MacOS X, IMac dan salah satu yang fenomenal yaitu iPod.

Sahabat, banyak orang merasa bahwa kesuksesan itu bisa diraih dalam waktu yang singkat alias instan. Karena itu, sering kita dengar juga ada manipulasi-manipulasi terhadap usaha-usaha. Kisah yang pernah heboh adalah Koperasi Langit Biru di Jawa Barat yang mengelabui para investornya. Setelah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, pimpinannya lalu kabur. Hingga sekarang belum ditemukan keberadaannya. Ia membawa lari semua uang milik para investor itu.

Kisah sukses Steve Jobs mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada kesuksesan yang instan. Penolakan dan kegagalan seringkali mewarnai perjalanan hidup kita, tapi jangan biarkan semua itu membuat kita berhenti. Steve Jobs tidak berhenti setelah diberhentikan oleh perusahaan yang ia mulai sendiri. Justru ia belajar untuk menjadi lebih kreatif dalam upaya menemukan sesuatu yang lebih hebat lagi. Ia berhasil!

Memang, setiap manusia memiliki kelemahan-kelemahan. Manusia ingin cari yang gampang. Tidak mau susah-sasah dalam hidupnya. Ketika ada tantangan yang menghadang, orang seperti ini akan mudah menyerah. Tidak ada cara atau jalan lain yang ditemukannya. Padahal ada begitu banyak cara dan jalan yang bisa ditempuh untuk meraih kesuksesan dalam hidup ini.

Karena itu, orang beriman mesti gigih dalam hidupnya. Orang beriman mesti mencari dan menemukan alternatif-alternatif baru untuk kesejahteraan diri dan banyak orang lain. Untuk itu, dibutuhkan kerja keras. Orang mesti melepaskan diri dari mental instan. Orang tidak boleh mencari yang gampang-gampang saja. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih bermakna bagi diri dan orang lain. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1050

14 Februari 2014

Sukses Itu Bukan hanya Mimpi




Suatu hari seorang murid bertanya kepada Sang Guru, “Guru, ajarilah bagaimana caranya supaya saya bisa bermeditasi dengan baik.”

Sang Guru bertanya, “Sungguh-sungguhkah engkau dengan permintaanmu itu?”

Jawab murid itu, “Ya, Guru”

Jawab Guru, “Datanglah dan temuilah saya besok malam di sungai di belakang rumah.”

Besok malamnya, murid itu menemui Sang Guru yang telah menunggunya di pinggir sungai itu. Sang guru berkata, “Datanglah kemari dan masuklah ke dalam sungai.”

Murid itu melakukan apa yang diperintahkan gurunya. Tiba-tiba sang guru memegang kepala si murid dan menenggelamkannya ke dalam air. Ia menekan dan menahannya agak lama. Sang murid memberontak dan berusaha untuk keluar dari air. Beberapa detik kemudian, Sang Guru melepaskannya. Murid itu bisa bernafas kembali dengan lega.

Kemudian Sang Guru bertanya, ”Mengapa engkau tidak taat kepadaku dan memberontak saat berada di dalam air tadi?”

Murid itu menjawab, ”Maafkan saya guru, saya hampir mati kehabisan nafas. Saya ingin segera menghirup udara, agar tidak mati lemas.”

Sang Guru berkata, ”Kalau kerinduan dan usahamu untuk meditasi seperti perjuanganmu untuk bernafas tadi, maka engkau pasti bisa sukses sampai kepada doa dan meditasi yang sungguh fokus dan mendesak.”

Sahabat, banyak orang ingin sukses dalam hidupnya, namun ogah-ogahan untuk bekerja keras. Mereka hanya menunggu bintang jatuh dari langit. Padahal semestinya orang berusaha keras untuk meraih bintang itu. Orang tidak perlu menunggu sampai bintang itu jatuh. Orang mesti berinisiatif untuk menemukan sukses itu dalam hidupnya.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa usaha untuk mencapai kesempurnaan itu mesti dilakukan sungguh-sungguh. Orang mesti mengalami sungguh-sungguh perjuangan untuk meraih sukses itu. Orang tidak hanya menggantungkan cita-cita hidupnya setinggi bintang di langit. Namun orang mesti berani merealisasikan cita-cita itu dalam hidupnya. Dengan demikian, kesuksesan itu bukan hanya sebuah impian kosong.

Sebagai orang beriman, usaha-usaha kita meraih sukses dalam hidup ini mesti berada di bawah bimbingan kasih Tuhan. Kita melibatkan Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu dalam setiap usaha kita. Dengan demikian, kita dapat meraih sukses itu dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1049

13 Februari 2014

Menghargai Persepsi Orang Lain





Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda menemukan bahwa kehendak dan keinginan Anda tidak tercapai dalam hidup bersama? Anda marah? Atau Anda berusaha untuk menerima apa adanya?

Alkisah, seorang janda miskin memiliki seorang putri kecil berumur 7 tahun. Kemiskinan memaksanya untuk membuat sendiri kue-kue dan menjajakannya di pasar untuk biaya hidup berdua. Hidup penuh kekurangan membuat sang putri tidak pernah bermanja-manja pada ibunya, seperti anak kecil lain.

Suatu ketika di musim dingin, saat selesai membuat kue, sang janda melihat keranjang penjaja kuenya sudah rusak berat. Dia berpesan agar si putri menunggu di rumah, karena dia akan membeli keranjang kue yang baru. Pulang dari membeli keranjang kue, janda itu menemukan pintu rumah tidak terkunci. Putrinya pun tidak ada di rumah.

Sang ibu menjadi marah. Ia merasa putrinya benar-benar tidak tahu diri, sudah hidup susah masih juga pergi bermain dengan teman-temannya. Putrinya tidak menunggui rumah seperti pesannya.

Dalam suasana seperti itu, janda itu menyusun kue ke dalam keranjang dan kemudian pergi untuk menjajakannya. Dinginnya salju yang memenuhi jalan tidak menyurutkan niatnya untuk menjual kue. Mau apa lagi? Mereka harus dapat uang untuk makan. Sebagai hukuman bagi putrinya, pintu rumah dikuncinya dari luar, agar putrinya tidak bisa masuk. Putri kecil itu harus diberi pelajaran, karena ia sudah berani kurang ajar.

Tetapi sepulang menjajakan kue, janda itu terkejut luar biasa. Ia menemukan gadis kecil itu tergeletak di depan pintu. Ia berlari memeluk putrinya yang membeku dan sudah tidak bernyawa. Ia berteriak membelah kebekuan salju dan menangis meraung-raung, tapi putrinya tetap tidak bergerak. Ia segera membopong putrinya masuk ke dalam rumah.

Ia menggoncang-goncangkan tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan namanhya. Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan kecil dari tangan putrinya. Ia mengambil bungkusan kecil itu dan membukanya. Isinya sebungkus kecil biskuit yang dibungkus kertas usang. Ia mengenali tulisan pada kertas usang itu adalah tulisan putrinya yang masih berantakan namun tetap terbaca.

Tulisan itu berbunyi, “Hai, mama pasti lupa. Ini hari istimewa buat mama. Aku membelikan biskuit kecil ini untuk hadiah. Uangku tidak cukup untuk membeli biskuit ukuran besar. Hai, mama, selamat ulang tahun.”

Sahabat, kita sering menilai orang lain menurut persepsi kita. Kita merasa bahwa orang lain mesti berpikir seperti yang kita pikirkan dan bertindak seperti yang kita buat. Ini yang namanya kita mementingkan kemauan kita sendiri. Egoisme kita menjadi andalan dalam hidup bersama. Akibatnya, kita abaikan kehendak dan kepentingan orang lain.

Kisah di atas menjadi suatu inspirasi bagi kita untuk tidak memaksakan kehendak kita kepada orang lain. Ada situasi di mana kita mesti menghormati kehadiran orang lain di sekitar kita. Meski orang itu kita anggap remeh, kita mesti hormati. Mengapa? Karena setiap orang punya kemampuan yang berbeda-beda.

Ketika kita melihat orang lain tidak dari kacamata kita saja akan memberikan suatu wawasan yang lebih luas. Artinya, orang lain punya kekuatan dan kemampuan yang membantu kita dalam upaya meraih kehidupan yang lebih baik.

Untuk itu, yang dibutuhkan dari kita adalah memberi kesempatan kepada sesama kita untuk mengungkapkan isi hatinya. Kita mesti yakin bahwa sesama punya andil yang besar dalam keberhasilan kita. Mari kita berusaha untuk senantiasa mementingkan sesama kita. Dengan demikian, hidup bersama menjadi semakin bermakna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1048

12 Februari 2014

Tuhan Tahu Kekuatan Kita



Tuhan senantiasa menyayangi umat manusia. Paling tidak ini yang senantiasa menghiasi hidup orang beriman. Tetapi sering hal ini kita lupakan. Di saat kita mengalami derita, kita malahan berjuang sendiri. Lantas kita merasa bahwa Tuhan tidak peduli terhadap hidup kita lagi.

Awal tahun ajaran baru, seorang ibu dibuat pusing tujuh keliling. Pasalnya, ia mesti membayar uang pembangunan untuk tiga orang anaknya yang baru masuk sekolah. Suaminya tidak bisa membantunya lagi, karena sang suami telah meninggalkan ia sendirian. Ibu itu sangat panik. Dari mana ia mendapatkan uang untuk membiayai sekolah anak-anaknya?

Dalam kondisi seperti itu, ia berdoa, "Tuhan, awal tahun ajaran ini saya harus melunasi biaya sekolah anak-anak saya. Bantu saya, Tuhan."

Ia lalu duduk di kursi. Air matanya turun satu satu membasahi wajahnya. Ia juga menahan sakit kepala yang sudah dua minggu dia alami. Ibu ini begitu tertekan oleh situasi hidup keluarganya. Ia tidak ingin ketiga anaknya putus sekolah. Ia ingin mereka meraih sukses dalam hidup dengan memiliki pendidikan yang lebih baik.

Meski mengalami stress, ibu itu tidak putus asa. Ia mau bangkit. Ia mendatangi kakaknya yang seorang pengusaha sukses. Ia menceritakan semua kondisi hidup keluarganya. Sang kakak terharu oleh kisah-kisahnya. Serta merta ia membantu biaya sekolah ketiga keponakannya itu. Tidak hanya itu. Ia juga membantu adiknya dengan modal untuk berjualan di rumah.

“Adik, saya tahu kamu sangat menderita. Kamu mesti menghidupi keluargamu sendirian. Tetapi Tuhan tahu kekuatanmu. Serahkan hidupmu kepada Tuhan,” kata sang kakak.

Ibu itu merasa tenang. Ia tidak perlu panik lagi. Ia boleh mendapatkan bantuan dari Tuhan melalui sang kakak yang baik hati itu. Ia mensyukuri kebaikan Tuhan itu dengan memulai usaha berjualan di rumah. Tahun-tahun pun berlalu. Ibu itu berhasil dalam usahanya. Ketiga anaknya dapat ia sekolahkan dengan baik.

Sahabat, banyak orang begitu mudah kehilangan iman di saat mereka dilanda persoalan-persoalan hidup. Mereka merasa bahwa mereka tidak punya kemampuan untuk bangkit dari persoalan-persoalan hidup. Mereka mudah menyerah pada kenyataan hidup yang runyam. Atau mereka mencari hal-hal gaib lain dengan meninggalkan Tuhan yang mereka imani.

Kisah di atas memberi kita inspirasi bahwa Tuhan senantiasa bekerja dalam kehidupan kita. Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu tidak meninggalkan kita terpuruk dalam susah dan derita hidup kita. Justru melalui berbagai cara Tuhan ingin senantiasa membantu kita. Yang penting adalah kita tetap membuka hati kita bagi bantuan Tuhan atas diri kita.

Memang, tidak gampang kita berserah diri kepada Tuhan. Ada saja berbagai godaan yang membawa kita untuk mengambil jalan pintas dalam hidup ini. Tetapi kita mesti ingat bahwa Tuhan tetap menyayangi kita. Bukankah kita adalah ciptaan-Nya yang paling berharga? Bukankah Tuhan telah menempatkan kita di dunia ini sesuai dengan rencana-Nya sendiri?

Untuk itu, kita mesti yakin bahwa hanya Tuhan yang mampu memberi kita jalan yang terbaik untuk meraih kebahagiaan. Tuhan tahu kekuatan kita. Dia akan turun tangan, ketika kita terjebak dalam persoalan-persoalan hidup. Mari kita serahkan hidup kita kepada Tuhan yang selalu menyayangi kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk memuliakan nama Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1047

Bangkit Meraih Sukses

 

Ketika kegagalan menimpa Anda, apa yang Anda lakukan? Anda tetap terpuruk dalam kegagalan itu? Atau Anda berani bangkit untuk menatap hidup yang lebih membahagiakan?

Di dalam kehidupan ini, Tuhan telah menyediakan begitu banyak kesempatan yang dapat kita gunakan demi kesejahteraan hidup kita. Namun kita sering menyia-nyiakan kesempatan itu dengan melakukan hal-hal yang bodoh. Misalnya, ada orang yang punya kesempatan untuk melanjutkan studinya. Tetapi ia menolak. Ia merasa lebih baik bekerja dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.

Orang seperti ini inginnya menikmati kebahagiaan saat sekarang saja. Tidak mau meraih sesuatu yang lebih tinggi lagi. Ia tidak punya kegigihan dalam hidupnya. Ia mudah menyerah. Padahal ia memiliki otak yang cemerlang.

Winston Churchill, perdana menteri Inggris, misalnya pernah tinggal kelas pada saat kelas lima sekolah dasar. Tetapi ia tidak menyerah. Ia kemudian berhasil. Saat ditanya apa rahasia suksesnya, dia mengatakan bahwa karena dia diberi kesempatan untuk belajar dua kali saat tinggal kelas itu. Ia punya kegigihan untuk belajar dan menjadi orang sukses. Ia kemudian menjadi perdana menteri yang sukses saat Perang Dunia Kedua.

Atau Albert Einstein mendapatkan angka-angka yang jelek pada waktu bersekolah. Sampai-sampai gurunya meminta dia untuk berhenti sekolah, karena dinilai tidak akan berhasil. Tetapi dengan kegigihannya, Einstein kemudian bangkit. Ia menemukan metode untuk belajar. Dan kita semua tahu bahwa ia menjadi seorang ilmuwan besar. Ia menemukan bom atom.

Tokoh-tokoh besar itu mempunyai catatan yang mungkin lebih buruk daripada kita. Namun kegagalan itu membuat mereka bangkit dan berhasil. Kok bisa? Karena mereka memiliki karakter yang pantang menyerah. Tidak ada kata berhenti sebelum meraih sukses dalam hidup.

Sahabat, sering komitmen terhadap sukses yang ingin diraih diuji oleh tantangan kehidupan. Sikap pantang menyerah adalah salah satu yang jelas membedakan antara sang juara dan sang pecundang. Kegagalan sering kali menghantui, sehingga kita tidak mencapai tujuan yang kita inginkan. Tapi percayalah, apa pun hasilnya pasti lebih baik dibandingkan jika kita menyerah.

Kita hidup dalam dunia yang sangat terbuka oleh berbagai kemungkinan. Kita dituntut untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan yang membantu kita untuk sukses dalam hidup ini. Kesuksesan menjadi salah satu aspek yang membantu kita hidup bahagia bersama orang lain. Untuk itu, kita mesti terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan. Kita diajak untuk berani bekerja keras demi meraih kesuksesan dalam hidup kita.

Tentu saja tidak gampang kita meraih kesuksesan. Kita mesti berjuang keras untuk itu. Seorang juara meraih impiannya ketika ia mau bangkit dari setiap kegagalannya. Karena itu, ketika kita gagal, kita mesti bangkit untuk meraih kesuksesan yang kita impikan. Dengan demikian, hidup kita menjadi semakin bermakna. Hidup kita menjadi berkat bagi orang lain yang ada di sekeliling kita.

Seorang bijaksana berkata, “Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya. Mereka berlari dan tidak menjadi lesu. Mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”

Mari kita berjuang dalam dunia yang nyata untuk meraih kebahagiaan yang kita dambakan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT 

1046 

Belajar untuk Memberi Diri



Memberi itu suatu pekerjaan yang mudah bagi banyak orang. Mengapa? Karena yang diberi tidak sekedar barang-barang. Tetapi lebih-lebih yang diberi adalah diri sendiri kepada orang lain.

Ada seorang anak yang sulit sekali memberi. Apa yang dia punya, ia pakai sendiri. Kalau ada adik atau kakaknya ingin memakainya, ia akan memarahi mereka habis-habisan. Tidak boleh ada yang menyentuh barang miliki kepunyaannya. Ia tidak ingin orang lain mengganggu miliknya itu. Ia ingin menggunakannya untuk dirinya sendiri saja. Akibatnya, saudara-saudaranya tidak berani mendekatinya. Mereka berusaha menjauhinya. Ia menjadi orang yang terkucil. Ia kesepian sendiri.

Menurut pandangannya, kalau ia memberi miliknya kepada orang lain, ia akan merasa kehilangan yang besar. Ia akan mengalami kekurangan dalam dirinya. Yang dia punyai itu menjadi tidak ada lagi. Karena itu, ia takut untuk memberi apa yang dimiliki kepada orang lain. Bahkan kepada saudara-saudaranya sendiri.

Ia tidak hanya takut memberi apa yang dimilikinya. Ia juga takut memberi dirinya kepada sesamanya. Ketika ada pekerjaan yang dapat dikerjakan bersama-sama, ia menyendiri. Ia tidak mau membantu sesamanya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Tangannya menjadi kaku. Ia tidak punya tangan yang ringan membantu sesama. Lagi-lagi, pandangannya tetap sama. Ia tidak mau kehilangan dirinya. Ia tidak mau ada yang berkurang dari dirinya.

Sahabat, apakah benar ketika orang memberikan sesuatu kepada orang lain ia akan kehilangan atau kekurangan? Apakah benar kalau orang memberi diri untuk kebaikan dan kebahagiaan sesama akan kehilangan dirinya?

Dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan ada banyak orang yang berani memberikan apa yang dimilikinya. Namun mereka tidak kehilangan atau kekurangan. Justru ketika mereka memberikan milik itu, mereka mendapatkan banyak hal baik dalam hidup mereka.

Karena itu, memberi tidak berhubungan dengan kekurangan atau kehilangan. Justru dengan kerelaan memberi itu orang diberi kemampuan untuk memenuhi hidupnya. Orang menjadi kreatif untuk memiliki tangan yang ringan bagi sesamanya.

Apalagi ketika orang memberikan dirinya untuk kebaikan orang lain. Orang yang berani memberi diri bagi kebaikan dan kebahagiaan sesama akan menemukan hidup itu begitu indah. Ternyata hidup ini memiliki makna yang begitu dalam. Hidup ini tidak hanya sekedar mengurusi diri sendiri. Hidup ini selalu bersentuhan dengan orang-orang lain di sekitarnya.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa orang yang tidak berani memberi diri itu orang yang kehilangan banyak hal dalam hidupnya. Ia kehilangan relasi yang baik dengan sesama. Ia kehilangan begitu banyak perbuatan baik yang dapat diberikan oleh orang lain kepadanya. Sebenarnya yang mesti ia lakukan hanya sederhana saja, yaitu membuka diri bagi sesamanya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memberi hidup kita bagi sesama kita. Dengan memberi diri itu, kita mampu mengorbankan hidup kita bagi sesama. Dalam pemberian diri itu ada kasih yang memancar dari hati kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1055

Bersama-sama Membangun Hidup Persaudaraan




Hidup bersama yang penuh persaudaraan merupakan dambaan semua orang. Namun dalam kenyataan sehari-hari, hidup bersama penuh persaudaraan itu tidak mudah diraih.

Beberapa waktu lalu di sebuah kebun binatang di California, Amerika Serikat, seekor macan melahirkan dua ekor anaknya. Sayang, kedua anaknya itu tidak lama hidup. Mereka mati. Sang induk sangat sedih menyaksikan dua anaknya yang mati itu. Ia mengalami stress yang luar biasa. Akibatnya, petugas kebun binatang mesti merawatnya secara khusus di tempat yang khusus pula. Ia dipisahkan dari macan-macan lain.

Setelah sembuh dari stressnya, sang induk diberi tiga ekor anak babi yang di punggungnya diberi warna belang-belang seperti macan. Apa yang terjadi? Induk macan itu tertarik terhadap tiga ekor anak babi itu. Ia mendekati mereka. Ia merangkul mereka seperti anaknya sendiri. Yang mengejutkan para petugas kebun binatang itu adalah sang induk pun mulai menyusui tiga anak babi itu. Ia memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri. Sungguh, luar biasa. Ia tidak memangsa mereka.

Lama-kelamaan mereka hidup dengan penuh damai. Sang induk melatih tiga anak babi itu berlari. Ia melatih mereka untuk berburu mangsa. Ketiga anak babi itu pun melakukannya dengan penuh semangat. Mereka melakukannya dengan baik. Para pengunjung kebun binatang dibuat berdecak kagum menyaksikan peristiwa itu. Hidup rukun tercipta di antara jenis binatang yang berbeda itu. Sang macan yang ganas tidak serta merta memangsa ketiga babi itu. Sebaliknya, mereka membangun persahabatan yang baik.

Sahabat, tidak ada yang mustahil dalam hidup ini. Kehidupan yang harmonis dan damai dapat tercipta, kalau manusia ingin membangun persaudaraan. Kuncinya terletak pada niat baik setiap orang untuk membangun hidup ini menjadi lebih baik. Niat baik itu mesti selalu didasarkan pada kepedulian satu sama lain. Manusia tidak boleh saling menindas. Yang mesti terjadi adalah situasi saling menghargai. Suatu situasi yang memberi kesempatan orang lain untuk bertumbuh dan berkembang dalam hidupnya.

Tentu saja situasi seperti ini tidak mudah dicapai dalam hidup. Situasi yang harmonis dan damai itu tidak sekaligus jadi. Orang mesti memperjuangkannya. Orang mesti berani untuk mengorbankan kepentingan dirinya sendiri bagi kebahagiaan bersama. Orang yang berani mengorbankan diri bagi kehidupan bersama yang bahagia tentu memiliki suatu cinta yang besar.

Karena itu, orang yang mengandalkan kekuatan diri sendiri akan mengalami kesulitan dalam membangun persaudaraan yang sejati. Orang yang mau menang sendiri akan menemukan kehidupan bersama menjadi penghalang bagi tercapainya keinginan-keinginannya.

Untuk itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk membangun suatu hidup yang harmonis dan damai yang didasarkan pada cinta kasih yang mendalam. Kalau ini yang terjadi, kita akan menemukan hidup ini sungguh-sungguh bermakna. Kita dapat belajar dari induk macan dan tiga anak babi yang dapat hidup bersama dalam kisah di atas. Perasaan senasib sepenanggungan mesti selalu diolah dan dikembangkan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1054

10 Februari 2014

Menghadapi Persoalan Hidup Bersama Tuhan




Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda berhadapan dengan persoalan yang mengganggu hidup Anda? Anda lari dari persoalan-persoalan itu? Atau Anda berani menghadapi persoalan-persoalan itu dengan hati yang penuh iman?

Suatu hari seorang bapak berolahraga di tempat fitness menggunakan ‘sepeda diam di tempat’. Bapak itu mengayuh sepeda itu seakan-akan ia sedang berada di jalan yang menurun atau menanjak. Awalnya ia mengayuh pelan-pelan saja. Tetapi makin lama makin kuat. Keringat mengalir deras membasahi sekujur tubuhnya. Ia merasa segar tubuhnya. Ia merasa seolah-olah sedang berolahraga di jalan yang ramai bersama teman-temannya.

Untuk sejenak bapak itu melepaskan diri dari beban hidupnya. Ia merasa hal-hal yang selama ini merisaukan hatinya telah hilang. Ia meneruskan kayuhan sepedanya. Ia merasa seolah-olah sedang menaiki tanjakan yang tinggi, panjang dan berkelok-kelok. Meski terasa berat, tetapi batinnya terasa plong. Hilanglah beban deritanya untuk sesaat.

Beberapa hari belakangan ini bapak itu dilanda oleh masalah yang pelik. Ia dituduh melakukan korupsi di tempat kerjanya. Menurutnya, hal itu hanya tipuan belaka. Yang melakukan korupsi besar-besaran adalah bosnya. Tetapi dia yang dituduh. Karena itu, beberapa hari ini ia merasa stress. Ia butuh waktu untuk istirahat. Ia butuh waktu untuk menyegarkan diri. Ia merasa berolahraga adalah salah satu cara melepaskan diri dari masalah itu.

Sayang, setelah pulang ke rumah, masalah itu masih ada. Ia mesti menghadapi tetangga-tetangganya yang tidak respek lagi terhadap dirinya. Di kantor, ia dikucilkan oleh teman-teman sejawatnya. Serangan demi serangan terhadap dirinya ia rasakan semakin bertubi-tubi menyergapnya.

Sahabat, kita hidup dalam dunia bersama orang lain. Kita tidak hidup sendirian. Karena itu, apa yang terjadi dengan diri kita sering melibatkan orang lain. Kita berusaha menghindari persoalan-persoalan yang terjadi atas diri kita, tetapi persoalan-persoalan itu masih tetap ada dalam diri kita.

Kisah di atas memberi kita contoh bahwa menghindari masalah tidak berarti kita telah menyelesaikan masalah itu. Mengapa? Karena ternyata masalah itu masih ada. Masalah itu masih menjadi bagian dari hidup kita. Memang, terasa enak dan nikmat, ketika kita meninggalkan sejenak persoalan-persoalan hidup kita. Tetapi kita mesti ingat bahwa masalah-masalah itu masih menjadi bagian dari hidup kita.

Untuk itu, setiap masalah yang kita miliki mesti kita hadapi dengan hati yang lapang. Kita tidak boleh menghindar atau melarikan diri dari masalah-masalah itu. Mengapa? Karena saat kita melarikan diri dari masalah-masalah itu sebenarnya kita terus-menerus dikejar oleh masalah-masalah itu. Kita menjadi tidak tenang. Hidup kita dipenuhi oleh kekuatiran demi kekuatiran.

Orang beriman mesti senantiasa menghadapi setiap persoalan bersama Tuhan. Kita mesti yakin bahwa Tuhan senantiasa hadir untuk menemani perjalanan hidup kita. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita sendirian dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup ini.

Mari kita berusaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kita bersama Tuhan. Dengan demikian, kita dapat mengalami kasih Tuhan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1045

05 Februari 2014

Mengendalikan Keinginan Diri




Hasrat atau keinginan sering menguasai hidup manusia. Ada orang yang mampu mengendalikannya. Namun ada yang tidak bisa mengendalikan keinginan atau hasratnya itu. Akibatnya, terjadi ketimpangan demi ketimpangan dalam hidup bersama.

Aksi yang dilakukan pria paruh baya ini benar-benar sudah di luar batas akal sehat. Betapa tidak? Ia melakukan bunuh diri sesaat setelah menembak ibu mertuanya dan dua orang lainnya dengan senapan di sebuah bar di barat Jepang, Selasa, tanggal 12 Januari 2010 lalu.

Penembakan terjadi sekitar pukul 8:00 waktu setempat di Hibikino City, di luar Osaka. Seorang pejabat kota mengatakan, “Tersangka menembakkan senapan di dalam bar dan kemudian menembak dirinya sendiri di sebuah jalan di luar.”

Penembak itu kemudian diidentifikasi sebagai pegawai pemerintah kota Osaka, bernama Yasuhisa Sugiura.

Kantor Berita Kyodo melaporkan, ketiga korban tewas adalah ibu mertuanya bernama Yoshiko Tanaka dan karyawan bar bernama Tatsuya Fukui. Pemilik bar bernama Hiroto Uehara (49), dalam kondisi kritis karena terluka dalam serangan itu. Namun tidak berapa lama, ia kemudian meninggal.

Saat itu Sugiura dan ibu mertuanya berada di bar untuk berbicara tentang perceraiannya. Dia tampak gembira dan mendadak meninggalkan diskusi. Ia lalu kembali dengan membawa senapan. Kejahatan dengan senjata jarang terjadi di Jepang, karena mereka yang terbukti membawa senjata api ilegal akan diganjar hukuman 10 tahun penjara.

Sahabat, kesadisan sering kali terjadi dalam hidup manusia. Tidak hanya di Jepang seperti dalam kisah di atas. Persoalannya adalah mengapa terjadi kesadisan dalam hidup manusia? Hal ini terjadi karena manusia merasa diri yang paling hebat. Manusia tidak mau menerima kelemahan dirinya. Manusia berusaha menutup kelemahan-kelemahan dirinya dengan melakukan kesadisan demi kesadisan.

Dalam situasi kekerasan dan kesadisan yang terjadi adalah manusia dikuasai oleh egoismenya. Manusia hanya menuruti kehendak dirinya sendiri. Tidak memperhitungkan akibat dari yang dilakukan sesuai kehendak pribadi itu. Kisah di atas mau mengingatkan kita, agar kita mampu mengatasi setiap bentuk egoisme kita. Semestinya manusia mampu mengendalikan emosinya. Semestinya manusia memperhitungkan secara matang apa yang hendak dilakukannya. Tidak asal melakukannya secara membabibuta.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mendahulukan kepentingan umum yang lebih luas. Kepentingan pribadi mesti ditempatkan pada nomor ke sekian. Egosime mesti dibuang jauh-jauh, agar dunia ini menjadi suatu dunia yang lebih baik bagi semua orang.

Orang beriman mesti selalu memperhitungkan akibat-akibat dari apa yang dilakukannya. Orang beriman tidak bisa bertindak sewenang-wenang atas kehendak dirinya sendiri. Tidak membabibuta dalam melakukan sesuatu.

Mari kita berusaha menghidupi semangat peduli terhadap sesama di sekitar kita. Dengan demikian, kita dapat menemukan sukacita dan kedamaian dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1041

04 Februari 2014

Membangun Kebahagiaan dari Lubuk Hati

 
Sering orang mengalami kegalauan dalam hidup ini. Kegalauan itu membuat mereka tidak mengalami kebahagiaan dalam hidup ini. Karena itu, mereka berusaha untuk mencari dan menemukan kebahagiaan itu. Ada berbagai macam cara.

Ada seorang pemuda yang sedang mencari kebahagiaan. Ia berusaha untuk mendaki sebuah gunung. Menurutnya, kebahagiaan itu terletak di atas gunung. Ketika ia memandang keindahan dari atas gunung, saat itulah kebahagiaan itu meluputi dirinya. Karena itu, suatu hari pemuda itu mendaki sebuah gunung yang tinggi. Ia membawa bekal secukupnya untuk beberapa hari. Ia ingin tinggal di sana dan menikmati kebahagiaan itu.

Setelah semuanya siap, ia mendaki gunung itu sendirian. Ia merasakan semilir angin yang berhembus menambah nikmatnya pendakian. Gunung yang tinggi itu ia dapat daki dalam beberapa jam. Tidak ada tantangan yang berarti bagi dirinya. Ia hanya memantapkan hatinya untuk menemukan kebahagiaan yang terletak di puncak gunung itu. Karenanya, ia sungguh-sungguh menikmati pendakian itu.

Setelah tiba di atas puncak gunung itu, ia mulai memandang keindahan dari atas gunung itu. Namun tidak seperti apa yang dibayangkannya. Ternyata dari atas puncak gunung itu ia merasakan ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ia merasa bahwa kebahagiaan yang ingin ia temukan di gunung itu justru tidak ia temukan. Ia merasa tertipu. Ia merasa sedih. Ternyata ia tidak lebih bahagia daripada berada di bawah kaki gunung itu. Meski demikian, ia tetap berada di gunung itu seorang diri untuk beberapa saat. Ia tetap ingin berusaha menemukan kebahagiaan dirinya.

Dalam perjalanan turun dari gunung itu ia baru sadar bahwa sesungguhnya kebahagiaan itu ada di dalam batinnya. Kebahagiaan itu sebenarnya dapat ia temukan di dalam hatinya. Tidak perlu ia jauh-jauh mencari kebahagiaan itu di atas gunung yang sunyi senyap itu.

Sahabat, banyak orang merasa bahwa kebahagiaan itu mesti ditemukan di luar dirinya. Karena itu, orang berusaha untuk mencari dan menemukan kebahagiaan itu di luar dirinya. Orang kurang sadar bahwa sesungguhnya kebahagiaan itu ada di dalam lubuk hatinya yang terdalam. Yang semestinya dilakukan adalah orang berusaha untuk menemukan kebahagiaan itu di dalam dirinya. Orang mesti sadar bahwa di lubuk hatinyalah orang dapat membangun kebahagiaan bagi hidupnya.

Karena itu, orang mesti masuk ke dalam batinya sendiri. Orang mesti berusaha untuk mengenali hal-hal inti yang ada di dalam batinnya. Orang tidak perlu melarikan diri dari hatinya sendiri untuk menemukan kebahagiaan di luar dirinya. Untuk itu, dibutuhkan suatu refleksi yang mendalam. Suatu kesempatan mesti diciptakan, agar orang dapat menemukan bahwa di dalam dirinya itu ada kebahagiaan.

Ketika orang mencari kebahagiaan di luar dirinya sendiri biasanya orang sering mengalami kegalauan dalam hidupnya. Orang akan mencoba untuk menemukan sesuatu di luar dirinya yang menjadi jaminan kebahagiaan dirinya. Padahal ketika orang berusaha menemukan hal-hal di luar dirinya, biasanya hal-hal itu bersifat sementara. Uang yang banyak yang ditemukan di luar diri itu tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Harta yang berlimpah-limpah hanya menambah keresahan dalam diri orang.

Untuk itu, manusia mesti kembali ke kedalaman batinnya. Dengan demikian, kebahagiaan sejati mulai dirancang dari sana. Kebahagiaan sejati mulai ditemukan dan dikembangkan di sana. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1044

03 Februari 2014

Berani Mencintai, Berani Berkorban

 
Hidup itu penuh tantangan. Ketika seseorang mencintai kekasihnya, ada banyak tantangan yang mesti dihadapinya. Kalau ia kuat menghadapi tantangan-tantangan itu, ia mampu menjalani hidup ini dengan normal. Kalau tidak kuat, ia bisa stress dalam hidup ini.

Ada seorang ibu yang mengalami stress. Soalnya adalah suaminya menceraikannya secara sepihak. Suaminya hidup dengan perempuan lain. Ia ditinggalkan sendirian dengan bayi yang masih dalam kandungannya. Hal yang semakin memilukan hatinya adalah anak-anaknya diambil oleh suaminya. Ia dilarang untuk menjenguk anak-anaknya. Sementara janin yang masih berada di dalam kandungannya itu pun diancam untuk diambil begitu dilahirkan.

Ibu itu seolah-olah tidak punya siapa-siapa lagi. Namun ia tetap mencintai anak yang masih ada di dalam kandungannya. Ia berusaha untuk menyelamatkan anak itu. Tidak ada pikiran sama sekali untuk menggugurkan anak itu. Ia bertekad untuk mengandung dan melahirkannya dengan selamat.

Beberapa hari setelah melahirkan anaknya, sang mantan suami datang. Ia meminta agar anak itu ia bawa pulang ke rumahnya. Ia mau mengasuhnya bersama tiga anaknya yang lain. Ibu itu mati-matian tidak mau memberikannya. Ia menuntut suaminya untuk membiarkan anak yang masih kecil itu berada dalam pelukannya. Ia ingin merawatnya dengan baik. Namun sang mantan suami tidak mau menggubris. Ia tetap memaksa untuk membawa pergi bayi itu. Ibu itu tidak berdaya. Ia terpaksa kehilangan bayi yang sangat dicintainya itu.

Hidup sebatang kara ternyata membuat dirinya semakin stress. Ia rindu untuk melihat anak-anaknya. Ia rindu untuk menimang bayi yang dilahirkannya. Namun ia tidak mendapatkan izin dari sang mantan suami. Akhirnya yang terjadi adalah suatu peristiwa yang mengenaskan. Ia meninggal dalam kesepian dan kerinduannya. Cintanya yang begitu besar menyebabkan hidupnya berakhir secara tragis.

Sahabat, mungkinkah cinta yang begitu mendalam dapat membuat seseorang mati? Bisa saja terjadi! Orang yang punya cinta yang begitu besar berani mengorbankan hidupnya bagi sesamanya. Seorang ibu yang melahirkan anaknya mengorbankan hidupnya demi hidup anaknya. Ia tidak memikirkan keselamatan nyawanya sendiri. Yang ia pikirkan adalah keselamatan anak yang hendak dilahirkannya.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa cinta yang begitu besar dapat menyebabkan hidup seseorang berakhir dengan tragis. Ibu itu sangat mencintai anak-anaknya. Bahkan ia berani mengorbankan hidupnya demi anak-anaknya itu. Ia membiarkan dirinya layu dan lusuh hanya demi kehidupan dan keselamatan anak-anaknya. Ia mencintai anak-anaknya sampai membiarkan hidupnya berakhir. Cintanya sampai habis untuk anak-anaknya.

Bagaimana dengan orang beriman? Apakah orang beriman berani berkorban demi cinta yang besar bagi sesama? Tentu saja orang beriman mesti berani mencintai sesama sampai sehabis-habisnya.

Orang beriman mesti berusaha untuk terus-menerus mencintai, apa pun korban yang akan dihadapi. Mengapa? Karena tiada cinta yang dilakukan tanpa korban. Orang yang mencintai sesamanya itu pasti memiliki korban yang besar. Bukan lagi dirinya yang menjadi pusat perhatiannya, tetapi sesama yang dicintainya itu.

Mari kita berusaha untuk mencintai sesama dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, hidup kita berguna bagi Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1042

01 Februari 2014

Menciptakan Semangat Berjuang



Anda masih punya semangat juang hidup dalam dunia yang serba tidak menentu ini? Saya harap Anda masih punya optimisme yang tinggi untuk menjalani hidup ini.

Kehormatan sebagai pengeliling dunia pertama tunggal dianugerahkan kepada Francis Chichester. Ia hidup dari tahun 1902 hingga 1972. Di tahun 1966, Chichester yang berusia 64 tahun berlayar menggunakan Gipsy Moth IV dengan panjangnya 16 meter dari Inggris.

Sial baginya. Sistim kemudi Gipsy rusak saat berada 3700 kilometer dari Australia. Tapi ia berhasil mencapai Australia. Segera setelah meninggalkan Sydney, Gyspy terbalik. Namun ia berhasil memperbaiki keadaannya. Di sekitar Tanjung Tanduk, Chichester menghadapi gelombang setinggi 15 meter. Dia berhasil mengendalikan Gyspynya. Chichester bukan tipe orang yang cepat menyerah.

Tahun 1960 dia adalah pemenang lomba melintasi atlantik dengan hanya menggunakan satu tangan. Dia juga orang pertama yang melakukan penerbangan tunggal jarak jauh dengan menggunakan pesawat terbang air dari Inggris ke Australia. Pada tanggal 28 Mei 1967, setelah 226 hari berlayar di laut lepas, dia disambut oleh setengah juta orang di Plymouth, Inggris.

Sahabat, suatu kerja keras tanpa menyerah akan membuahkan hasil yang berlimpah bagi kehidupan. Namun suatu kerja keras tanpa konsistensi belum tentu menghasilkan buah yang baik. Konsistensi itu semangat yang memotivasi kerja keras manusia. Konsistensi itu bagai mesin penggerak yang menggerakkan kendaraan untuk dapat berlari.

Karena itu, orang tidak hanya sekedar bekerja keras. Orang mesti menemukan semangat hidup yang memberi konsistensi dalam kerja kerasnya itu. Orang beriman akan menemukan semangat itu di dalam Tuhan. Mengapa? Karena bagi orang beriman, Tuhanlah sumber inspirasi hidup. Tuhan memberi kekuatan kepada manusia untuk memiliki semangat dalam mengerjakan sesuatu.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa sang pengembara itu memiliki semangat hidup yang tinggi. Ia tidak menyerah begitu ada tantangan yang besar yang menghadang hidupnya. Ia terus-menerus berusaha. Ketika kapal yang dikendalikannya dihempas gelombang yang tinggi, ia tetap berusaha untuk mengatasinya. Ia tidak putus asa. Berkat kerja kerasnya itu, ia mengalami kegembiraan. Tentu saja Chichester memiliki konsistensi dalam perjuangannya mengarungi lautan luas.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk memiliki konsistensi dalam hidup beriman. Konsistensi itu bisa dalam bentuk kesetiaan atau kejujuran. Orang yang bertahan dalam kesetiaan akan menemukan semangat untuk tetap berjuang. Tidak ada keputusasaan dalam dirinya. Orang terus berusaha, karena memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya itu akan menghasilkan buah-buah kebaikan bagi hidup manusia.

Mari kita berusaha untuk memiliki semangat yang memberi kita kekuatan untuk tetap bertahan dalam iman kita. Kita juga mohon bantuan dari Tuhan, agar kita tetap setia pada iman kita masing-masing. Dengan demikian, hidup kita menjadi lebih berguna bagi diri kita dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1040