Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda menemukan bahwa kehendak dan keinginan Anda tidak tercapai dalam hidup bersama? Anda marah? Atau Anda berusaha untuk menerima apa adanya?
Alkisah, seorang janda miskin memiliki seorang putri kecil berumur 7 tahun. Kemiskinan memaksanya untuk membuat sendiri kue-kue dan menjajakannya di pasar untuk biaya hidup berdua. Hidup penuh kekurangan membuat sang putri tidak pernah bermanja-manja pada ibunya, seperti anak kecil lain.
Suatu ketika di musim dingin, saat selesai membuat kue, sang janda melihat keranjang penjaja kuenya sudah rusak berat. Dia berpesan agar si putri menunggu di rumah, karena dia akan membeli keranjang kue yang baru. Pulang dari membeli keranjang kue, janda itu menemukan pintu rumah tidak terkunci. Putrinya pun tidak ada di rumah.
Sang ibu menjadi marah. Ia merasa putrinya benar-benar tidak tahu diri, sudah hidup susah masih juga pergi bermain dengan teman-temannya. Putrinya tidak menunggui rumah seperti pesannya.
Dalam suasana seperti itu, janda itu menyusun kue ke dalam keranjang dan kemudian pergi untuk menjajakannya. Dinginnya salju yang memenuhi jalan tidak menyurutkan niatnya untuk menjual kue. Mau apa lagi? Mereka harus dapat uang untuk makan. Sebagai hukuman bagi putrinya, pintu rumah dikuncinya dari luar, agar putrinya tidak bisa masuk. Putri kecil itu harus diberi pelajaran, karena ia sudah berani kurang ajar.
Tetapi sepulang menjajakan kue, janda itu terkejut luar biasa. Ia menemukan gadis kecil itu tergeletak di depan pintu. Ia berlari memeluk putrinya yang membeku dan sudah tidak bernyawa. Ia berteriak membelah kebekuan salju dan menangis meraung-raung, tapi putrinya tetap tidak bergerak. Ia segera membopong putrinya masuk ke dalam rumah.
Ia menggoncang-goncangkan tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan namanhya. Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan kecil dari tangan putrinya. Ia mengambil bungkusan kecil itu dan membukanya. Isinya sebungkus kecil biskuit yang dibungkus kertas usang. Ia mengenali tulisan pada kertas usang itu adalah tulisan putrinya yang masih berantakan namun tetap terbaca.
Tulisan itu berbunyi, “Hai, mama pasti lupa. Ini hari istimewa buat mama. Aku membelikan biskuit kecil ini untuk hadiah. Uangku tidak cukup untuk membeli biskuit ukuran besar. Hai, mama, selamat ulang tahun.”
Sahabat, kita sering menilai orang lain menurut persepsi kita. Kita merasa bahwa orang lain mesti berpikir seperti yang kita pikirkan dan bertindak seperti yang kita buat. Ini yang namanya kita mementingkan kemauan kita sendiri. Egoisme kita menjadi andalan dalam hidup bersama. Akibatnya, kita abaikan kehendak dan kepentingan orang lain.
Kisah di atas menjadi suatu inspirasi bagi kita untuk tidak memaksakan kehendak kita kepada orang lain. Ada situasi di mana kita mesti menghormati kehadiran orang lain di sekitar kita. Meski orang itu kita anggap remeh, kita mesti hormati. Mengapa? Karena setiap orang punya kemampuan yang berbeda-beda.
Ketika kita melihat orang lain tidak dari kacamata kita saja akan memberikan suatu wawasan yang lebih luas. Artinya, orang lain punya kekuatan dan kemampuan yang membantu kita dalam upaya meraih kehidupan yang lebih baik.
Untuk itu, yang dibutuhkan dari kita adalah memberi kesempatan kepada sesama kita untuk mengungkapkan isi hatinya. Kita mesti yakin bahwa sesama punya andil yang besar dalam keberhasilan kita. Mari kita berusaha untuk senantiasa mementingkan sesama kita. Dengan demikian, hidup bersama menjadi semakin bermakna. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales SCJ
Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT
1048
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.