Pages

31 Januari 2011

Berusaha Berbicara yang Baik

Suatu hari seorang ibu datang ke seorang guru bijak. Ia berkata, ”Guru, saya punya banyak dosa. Saya telah memfitnah, membohongi dan menggosipkan orang lain dengan hal buruk. Kini saya menyesal dan memohon maaf lahir dan batin. Bagaimana caranya, agar Tuhan mengampuni semua kesalahan saya?”

Guru bijak itu berkata, ”Ambillah bantal di tempat tidurku. Bawalah ke alun-alun kota. Di sana, bukalah bantal itu sampai bulu-bulu ayam dan kapas di dalamnya keluar tertiup angin. Itulah bentuk hukuman atas kata-kata jahat yang telah keluar dari mulutmu.”

Meski kebingungan, akhirnya ia menjalani ’hukuman’ yang diperintahkan kepadanya. Di alun-alun ia membuka bantal dan dalam sekejap bulu ayam dan kapas beterbangan tertiup angin.

Setelah selesai, ia kembali menghadap guru bijak itu. Ia berkata, “Guru, saya telah melakukan apa yang guru perintahkan. Apakah sekarang saya sudah diampuni?”

Dengan wajah sedih, guru bijak itu berkata, “Kamu belum dapat pengampunan. Kamu baru menjalankan separuh tugasmu. Kini kembalilah ke alun-alun dan pungutlah kembali bulu-bulu ayam dan kapas yang tadi beterbangan tertiup angin.”

Sahabat, kata-kata yang keluar dari mulut kita akan menggema terus-menerus. Orang yang mendengarkan kata-kata kita akan tetap mengingatnya, meskipun kita sudah melupakan apa yang telah kita ucapkan. Kalau kata-kata yang kita ucapkan itu baik, kenangan akan kita pun akan baik. Namun kalau kata-kata kita itu jelek dan tidak menyenangkan orang lain, kita akan dikenang sebagai orang yang tidak baik. Mengapa? Karena orang akan menilai kita dari tutur kata yang lahir dari hati kita. Apa yang kita katakan dapat menjadi patokan penilaian terhadap diri kita.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kita mesti hati-hati dalam berkata-kata. Kita mesti memilih kata-kata yang tepat yang tidak melukai hati orang lain. Gosip mesti kita singkirkan, karena gosip itu akan segera menyebar. Padahal gosip yang kita buat itu belum tentu sesuai dengan kebenaran. Hal seperti ini akan menyakitkan hati orang lain. Orang yang belum tentu melakukan suatu kejahatan telah divonis oleh orang banyak, karena gosip yang datang dari mulut satu orang.

Karena itu, kebenaran mesti tetap dipegang teguh dalam hidup ini. Orang mesti berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Orang tidak boleh merekayasa sesuatu yang tidak benar melalui gosip itu. Dengan demikian, orang tidak menjerumuskan sesamanya ke dalam kebinasaan.

Orang mesti menyadari bahwa memulihkan nama baik seseorang yang sudah rusak itu tidak segampang membalikkan telapak tangan. Apalagi gosip yang dilakukan itu begitu gampang menyebar ke penjuru dunia. Karena itu, orang mesti berusaha untuk senantiasa menjaga mulutnya. Caranya adalah dengan mengatakan yang baik dan benar tentang seseorang. Artinya, orang mesti melakukan ferifikasi terlebih dahulu sebelum mengatakan yang bukan-bukan tentang sesamanya. Mari kita berusaha untuk berpikir positif tentang sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


603

30 Januari 2011

Perhatian dan Hiburan Itu Menguatkan



Suatu hari seorang anak pulang dari sekolah. Ia menjumpai ibunya yang terbaring sakit, karena beberapa bulan lalu mengalami stroke. Anak itu begitu ceria hari itu. Ia tersenyum dan tertawa. Soalnya adalah hari itu adalah ulang tahun mamanya. Tahun lalu ia memberi mama sebuah kado ulang tahun yang elok. Ia menghadiahi mamanya sebuah surat cinta.

Ia menulis, ”Mama begitu baik kepadaku. Mama telah mengorbankan hidup untukku. Aku sayang mama.... Mama pasti senang menyaksikan saya bertumbuh menjadi anak yang baik. Terima kasih atas semua pengorbanan mama....”

Ulang tahun kali ini mamanya hanya bisa duduk di atas kursi roda. Ia tidak bisa menggerakkan kedua kakinya. Namun bagi anak itu, cintanya kepada mamanya tak pernah berhenti. Kali ini ia memberi hadiah mamanya setangkai mawar merah muda. Setelah memberinya, ia mencium kedua pipi mamanya. Sang mama pun tersenyum.

Dengan suara terbata-bata, sang mama berkata, ”Cintamu kepada mama tidak pernah luntur. Terima kasih, sayang....” Air mata mamanya turun satu-satu membasahi pipinya.

Anak itu mendorong kursi roda sang mama keluar rumah. Ia ingin memberikan sesuatu yang indah bagi mamanya pada hari itu. Ia berkata, ”Mama, hari ini indah sekali. Matahari bersinar cerah. Mama tentu rindu untuk jalan-jalan. Mama ingin melangkahkan kaki dan berjalan seperti beberapa bulan yang lalu.”

Air mata mamanya terus mengalir. Ia terharu mendengar kata-kata buah hatinya itu. Ia ingin berjalan. Ia ingin melakukannya seperti beberapa bulan yang lalu itu. Namun kekuatannya seolah-olah sudah habis. Tidak ada lagi daya yang dapat menyanggah kakinya. Tetapi dalam hati ia merasakan damai. Ia bahagia ada seorang anaknya yang mau menghibur dirinya.

Sahabat, perhatian terhadap sesama memberi sukacita dan damai. Orang yang mampu memberi perhatian kepada sesamanya akan menemukan hidup ini sungguh-sungguh bermakna. Hidup ini tidak sekedar seperti air yang mengalir. Tetapi hidup ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Sesama yang mengalami penderitaan akan menemukan hidup ini tidak berakhir dengan penderitaan.

Ketika ada hiburan yang menguatkan, orang yang sedang menderita mengalami damai dan sukacita. Ternyata ia tidak ditinggalkan berjuang sendirian. Masih ada sesama yang begitu peduli. Masih ada yang membangkitkan semangatnya untuk tetap melanjutkan hidup ini.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kata-kata hiburan itu sungguh-sungguh berarti bagi mereka yang sedang mengalami penderitaan. Ternyata hidup ini tidak berakhir dengan penderitaan. Hidup ini mesti terus diperjuangkan, agar berbuah bagi sesama.

Untuk itu, dibutuhkan perhatian dari sesama bagi mereka yang sedang menderita. Kehadiran seseorang itu memberi kekuatan. Kehadiran itu memberi hiburan dan kasih bagi mereka yang sedang mengalami penderitaan.

Sebagai orang beriman, kita diundang untuk memiliki kepedulian terhadap sesama yang sedang menderita. Dengan demikian, hidup ini semakin indah. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


602

29 Januari 2011

Tidak Perlu Salahkan Tuhan




Arthur Ashe adalah petenis kulit hitam dari Amerika yang memenangkan tiga gelar juara Grand Slam, yaitu Amerika Open (1968), Australia Open (1970), dan Wimbledon (1975). Pada tahun 1979 ia terkena serangan jantung yg mengharuskannya menjalani operasi bypass. Setelah dua kali operasi, bukannya sembuh. Ia malah harus menghadapi kenyataan pahit, terinfeksi HIV melalui transfusi darah yang ia terima.

Seorang penggemar menulis surat padanya, "Mengapa Tuhan memilihmu untuk menderita penyakit itu?"

Ashe menjawab, "Di dunia ini ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis, di antaranya 5 juta orang yang bisa belajar bermain tenis, 500 ribu belajar menjadi pemain tenis profesional, 50 ribu datang ke arena untuk bertanding, 5.000 mencapai turnamen grand slam, 50 orang berhasil sampai ke Wimbledon, empat orang di semi final, dua orang berlaga di final. Dan ketika saya mengangkat trofi Wimbledon, saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan, 'Mengapa saya?' Jadi ketika sekarang saya dalam kesakitan, tidak seharusnya juga saya bertanya kepada Tuhan, 'Mengapa saya?'"

Sahabat, banyak orang tidak mau menerima kenyataan pahit hidup mereka. Dengan mudah mereka menyalahkan orang lain. Atau dengan gusar mereka melimpahkan kemarahan mereka itu kepada Tuhan. Seolah-olah orang lain atau Tuhan yang mesti bertanggung jawab atas penderitaan dan kemalangan hidup mereka. Padahal sering yang terjadi adalah manusia dengan kehendak bebas melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Karena manusia tidak mau bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Manusia lari dari tanggung jawab. Manusia tidak mau menderita akibat dari perbuatannya yang jahat.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa dalam situasi menderita orang tidak perlu menyalahkan orang lain. Orang tidak perlu menyalahkan Tuhan. Mengapa? Karena orang secara bebas melakukan hal-hal yang baik dan benar dalam hidupnya. Orang tidak dipaksa untuk melakukannya. Karena itu, orang mesti berani menghadapi apa pun resiko yang akan ditanggungnya.

Sebagai orang beriman, kita mesti berani bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan. Setiap saat kita menerima kebaikan demi kebaikan dari Tuhan. Mengapa ketika kita mengalami hidup yang kurang menyenangkan, kita menyalahkan orang lain? mengapa kita mesti menyalahkan Tuhan yang telah memberi kita kebebasan untuk melakukan apa saja bagi hidup kita?

Mari kita berusaha untuk menyerahkan hidup kita kepada penyelenggaraan Tuhan. Dalam suka dan duka hidup ini, kita mesti tetap berpegang teguh pada kekuatan iman kita. Kita mesti berani memiliki komitmen untuk tetap patuh setia kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ

600

28 Januari 2011

Rela Berkorban bagi Sesama




Umurnya baru sepuluh tahun. Namun anak lelaki ini tampak sangat licah siang itu. Dengan sigap ia menyalib di sela-sela kepadatan kendaraan di perempatan lampu merah simpang Charitas, Palembang. Dengan tangan yang menengadah, ia mengulur kepada setiap pengendara kendaraan siang itu. Ia menghampiri para pengendara itu satu demi satu. Ada yang memberinya sejumlah uang. Ada yang menoleh saja tidak. Namun anak itu tetap melakukan pekerjaannya. Ia tidak putus asa.

Suatu saat seorang pengendara bertanya kepadanya, “Untuk apa kamu lakukan semua itu?”

Tanpa malu anak itu menjawab, ”Saya lakukan semua ini untuk ibu saya yang terbaring sakit. Ayah saya sudah lama meninggalkan ibu dan kami. Kami tidak tahu dia ada di mana. Jadi saya harus mencari uang untuk menghidupi keluarga.”

Pengendara itu tertegun mendengar kisah anak itu. Lantas ia bertanya lagi, ”Jadi kamu tidak sekolah?”

Anak itu berkata, ”Tentu saja tidak! Kalau saya pergi ke sekolah, siapa yang akan mencari uang?”

Pengendara itu pun jatuh kasihan kepadanya. Ia memberinya sejumlah uang untuk anak itu. Hari itu, anak itu boleh bersukacita. Ia boleh pulang ke rumahnya dan membelikan obat untuk sang mama yang sedang sakit itu.

Sahabat, pengorbanan adalah salah satu keutamaan hidup orang beriman. Pengorbanan itu membuahkan kasih bagi orang lain. Orang yang rela berkorban itu orang yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Orang yang mempunyai hati bagi sesamanya.

Karena itu, pengorbanan mesti selalu ada dalam diri setiap orang beriman. Orang yang berani berkorban akan menemukan sukacita dan damai dalam hidupnya. Orang yang mampu mendekatkan dirinya dengan Sang Khalik.

Kisah heroik anak kecil di atas sungguh menyentuh hati. Ia rela mengorbankan hidupnya untuk sesamanya yang paling dekat yang sedang sakit. Ia tidak peduli akan panas di siang hari yang menyengat tubuhnya. Ia rela kehilangan pendidikan yang sangat berharga bagi masa depannya. Hal itu ia lakukan demi kelangsungan hidup keluarganya.

Pertanyaan bagi kita yang hidup di zaman modern ini adalah masihkah kita rela berkorban bagi sesama kita? Bukankah pengorbanan itu mengambil begitu banyak hal dari diri kita?

Sebagai orang beriman, pengorbanan yang kita lakukan mesti didasarkan pada semangat kasih Tuhan yang begitu besar kepada kita. Kita telah diberi begitu banyak rahmat oleh Tuhan bagi hidup kita. Karena itu, kita mesti berani mengorbankan hidup kita bagi rahmat Tuhan itu. Dengan demikian, semangat kasih Tuhan juga dialami oleh semua orang yang kita jumpai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

601

24 Januari 2011

Jangan Anggap Remeh






Apa yang sesungguhnya terjadi sebelum kecelakaan tragis yang menimpa kapal Titanic? Menurut harian Wahington Post, apa yang ada di balik terjadinya insiden tragis itu adalah ketidakpedulian. Dan dari hasil penyelidikan, diperoleh suatu fakta, petugas yang berada di ruang kendali telah diperingatkan oleh petugas pengawas melalui telepon yang berdering. Tetapi oleh karena petugas itu terlalu sibuk dengan tugasnya, telepon yang berdering itupun tidak begitu dipedulikan.

Satu menit berlalu. Pada menit kedua, si petugas tetap tidak mau diganggu oleh karena terlalu sibuk. Menit ketigapun berlalu dengan begitu cepat. Setelah si petugas tersebut menyelesaikan tugasnya, barulah ia mengangkat telepon itu. Ia memperoleh sebuah pesan yang berbunyi, “Ini tempat pengintai pada haluan. Gunug es persis di depan! Putar Haluan!”

Dengan sigap si petugas berlari ke ruang kendali, tapi sudah terlambat! Dan kapal kebanggaan itupun menabrak gunung es hingga menewaskan 1600 Jiwa. Kalau saja petugas menanggapi telepon itu, mungkin kapal Titanic tidak akan menabrak gunung es. Tiga kesempatan dilewatkan begitu saja dan ketika hendak menanggapi telepon itu, ia sudah terlambat!

Sahabat, kalau kita merefleksikan perjalanan hidup kita, kita akan menemukan begitu banyak kesempatan baik yang berlalu begitu saja. Ada begitu banyak hal baik yang semestinya kita tangkap untuk kehidupan kita. Namun semuanya itu berlalu begitu saja karena ketidakpedulian kita.

Ketidakpedulian itu dapat mengakibatkan tragedi dalam hidup kita. Ketidakpedulian sering menunjukkan kedegilan hati manusia terhadap hidup dirinya dan sesamanya. Situasi seperti ini sering menjadi awal suatu kehidupan yang runyam. Suatu kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan bagi hidup ini.

Setiap hari sebenarnya kita mendapatkan peringatan dari Tuhan melalui situasi hidup di sekeliling kita. Tujuannya demi keselamatan dan kebahagiaan hidup kita. Tuhan tidak pernah ingin menyakiti hidup kita. Dia tidak mau hidup kita ini celaka. Yang dikehendaki Tuhan adalah suatu kehidupan yang damai dalam sukacita. Karena itu, orang mesti mendengarkan peringatan-peringatan itu.

Kisah tadi mesti menjadi inspirasi bagi kita untuk rela mendengarkan peringatan-peringatan dari Tuhan melalui sesama. Ketika kita salah jalan, Tuhan mengingatkan kita untuk kembali ke jalan yang benar. Ketika kita melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat hidup orang beriman, Tuhan mengingatkan kita untuk kembali ke semangat iman kita.

Karena itu, kita mesti memasang telinga terhadap peringatan-peringatan itu, agar kita tidak terpeleset. Dengan demikian, tragedi kehidupan tidak menimpa diri kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

23 Januari 2011

Sikap Siap Sedia dalam Membangun Hidup


Suatu hari saya bepergian jauh dengan mengendarai motor. Waktu itu musim hujan. Semua perlengkapan saya bawa, kecuali mantol hujan. Saya lupa di mana saya meletakkan mantol itu. Di tengah perjalanan baru saya ingat bahwa saya tidak bawa mantol hujan. Namun saya jalan terus. Saya tidak mau kembali, karena saya sudah menempuh perjalanan sejauh lima puluh kilometer. Saya tidak mau membuang-buang waktu. Saya meneruskan perjalanan. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah.

Benar. Tidak berapa lama kemudian hujan rintik-rintik mulai turun membasahi dedaunan. Beberapa saat kemudian hujan deras pun menerpa bumi. Saya belum mau minggir untuk berteduh. Saya masih mau mencoba untuk berjalan terus. Akhirnya, saya pun basah kuyup. Lantas saya pun minggir untuk berteduh di sebuah rumah makan sederhana di pinggir jalan.

Melihat keadaan saya yang basah kuyup, pemilik rumah makan itu mempersilakan saya untuk masuk ke ruang yang lebih hangat. Kebetulan saya bawa pakaian ganti. Jadi saya bisa mengganti celana dan baju yang basah kuyup itu. Pemilik rumah itu heran memandang saya. Ia berkata, ”Lain kali harus bawa mantol hujan. Sekarang ini sedang musim hujan. Sering terjadi hujan.”

Saya tersenyum mendengar nasihatnya. Saya tahu bahwa di musim hujan, mantol hujan semestinya tidak jauh-jauh dari motor saya. Tetapi karena kelalaian, saya mesti mengalami basah kuyup.

Sahabat, pepatah mengatakan bahwa kita mesti sedia payung sebelum hujan. Artinya, orang mesti selalu sedia untuk melengkapi dirinya dengan hal-hal dasar. Hal-hal yang sungguh-sungguh dibutuhkan dalam hidup ini. Dengan demikian, orang tidak perlu mengalami penderitaan dalam hidup ini.

Orang yang selalu menyiapkan apa yang dibutuhkan adalah orang yang peduli terhadap hidupnya. Orang yang ingin agar hidupnya tenteram dan nyaman. Orang yang tidak ingin kekuatiran menaungi dirinya. Mengapa? Karena kekuatiran hanya membuat orang mengalami kegundahan dalam hidupnya.

Sikap siap sedia sebenarnya tidak hanya berlaku pada hal-hal yang kita butuhkan. Tetapi sikap siap sedia juga mesti diberlakukan dalam membangun relasi dengan Tuhan dan sesama. Dalam relasi dengan Tuhan, orang mesti memiliki hati yang siap sedia untuk menerima setiap ajaran yang diberikan Tuhan. Artinya, orang mau menyediakan hatinya menjadi tempat tinggal bagi Tuhan.

Dalam relasi dengan sesama, orang mesti berani menerima sesamanya dalam hidupnya. Orang beriman itu orang yang tidak menolak kehadiran sesamanya. Orang yang senantiasa membuka hatinya lebar-lebar bagi kehadiran sesamanya. Orang beriman itu orang yang senantiasa mau membahagiakan sesamanya. Mari kita menyiapkan hati kita bagi Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


598

22 Januari 2011

Hati-hati terhadap Pujian

Sepasang angsa bersiap meninggalkan danau yang airnya mulai mengering. Seekor kodok memohon untuk bisa ikut dengan mereka pindah ke danau lain. Namun, angsa bingung bagaimana cara membawa si kodok.

Si kodok punya ide brilian, ”Kalian gigit kedua ujung akar rumput ini, saya akan menggigit bagian tengahnya. Kemudian bawalah saya terbang. Saya akan bersama kalian ke mana pun kalian pergi.”

Kedua angsa itu setuju. Mereka pun terbang tinggi ke angkasa untuk mencari danau yang berair. Tiba-tiba mereka berpapasan dengan sekelompok burung yang juga terbang untuk mencari sumber air. Sekelompok burung memuji kecerdikan mereka dan bertanya, ”Kalian sungguh cerdik, siapa yang punya ide secemerlang ini?”

Mendengar pujian itu, si kodok tersinggung. Lantas ia menjawab dengan bangga, ”Ini ide saya!” Saat itu juga terlepaslah gigitannya. Ia pun jatuh ke bawah dan mati. Tidak ada ampun baginya. Hidupnya berakhir secara tragis.

Sahabat, kesombongan sering berbuahkan tragedi kehidupan. Hal ini terjadi karena orang merasa diri hebat. Pujian yang dialamatkan kepadanya ditelan mentah-mentah. Orang tidak belajar dari padi yang semakin berisi semakin merunduk. Orang lupa bahwa pujian yang diberikan kepadanya itu sebagai motivasi yang mesti memacu dirinya untuk semakin maju.

Begitu banyak orang yang mencari pujian dalam hidup mereka. Mereka lakukan apa saja, yang penting mereka mendapatkan pujian. Akibatnya, mereka jatuh karena pujian. Setelah pujian tidak diberikan lagi kepada mereka, mereka menjadi loyo. Hidup ini seolah-olah tidak berarti apa-apa. Tidak ada gunanya lagi hidup ini tanpa pujian.

Tentu saja sikap seperti ini keliru. Semestinya pujian yang diperoleh itu membantu orang semakin produktif dalam hidupnya. Pujian semestinya mendorong orang untuk meningkatkan perbuatan baiknya bagi sesama. Karena itu, orang mesti mampu menguasai dirinya. Orang tidak perlu terlalu lama terbuai oleh pujian-pujian itu.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk tetap rendah hati di kala berbagai pujian dialamatkan kepada kita. Kita mesti menghentikan upaya-upaya untuk mencari pujian. Mengapa? Karena pujian dapat menghancurkan hidup kita. Pujian dapat membawa kita untuk mengerjakan hal-hal yang baik hanya sebagai pamer kebaikan.

Orang beriman itu orang yang melakukan suatu perbuatan baik dengan tulus dan ikhlas. Orang beriman tidak mudah terjerumus ke dalam pujian yang menghancurkan hidupnya. Mari kita berusaha untuk menguasai diri kita dalam menerima setiap pujian yang diberikan kepada kita. Mabuk pujian adalah awal dari kehancuran. Untuk itu, kita mohon kekuatan dari Tuhan untuk membantu kita, agar kita mampu bertahan dalam pujian-pujian. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


597

21 Januari 2011

Bertahan dalam Kebaikan



Sebagai seorang mantan Hakim Agung, Bismar Siregar masih memperhatikan isu-isu hukum terkini. Menurut pria yang baru menginjak usia 81 tahun ini, potret mafia hukum saat ini begitu memprihatinkan. Ia berkata, ”Mafia itu seperti setan dan setan itu harus diganyang.”

Menurut kakek 11 cucu ini, mafia hukum tidak ubahnya musuh manusia yang harus diberantas. Mafia adalah setan yang mewujud pada diri manusia itu sendiri. Ia berkata, ”Karenanya tak ada kompromi dengan mafia.”

Bismar menjelaskan, tak ada upaya yang lebih baik dari setiap orang untuk menghindari praktek mafia hukum selain berpegang pada nurani dan agama. Selama ini, maraknya kasus mafia hukum membuktikan manusia Indonesia masih jauh dari ajaran agama.

Tentang hal ini, ia berkata, ”Agama mengajarkan agar kita selalu menjaga diri dari setan, balas kejahatan dengan kebaikan. Kalau saya mulai dari diri sendiri. Selama kita jauh dari agama dan nurani, maka setan akan tetap menguasai.”

Bismar sendiri mengikuti perkembangan kasus yang menimpa dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Bagi Bismar, Bibit-Chandra hanyalah korban dari adanya praktek mafia hukum. Ia berkeyakinan kasus yang menimpa Bibit dan Chandra membuka tabir hukum yang masih bobrok. Namun, Bismar percaya dengan adanya kasus ini, hukum Indonesia akan terus memperbaiki diri. Ia berkata, ”Saya yakin setiap peristiwa mengandung makna. Negara kita akan lebih baik lagi.”

Sahabat, mencermati situasi yang ada di negeri kita, ada banyak hal yang memang menjadi keprihatinan kita. Semua itu mesti menjadi suatu peringatan bagi kita untuk tetap berpegang teguh pada ajaran iman kita. Kesetiaan pada iman akan membawa manusia untuk tetap setia kepada Tuhan. Tuhan telah mengajarkan kebaikan kepada manusia. Tuhan ingin agar kebaikan itu menjadi andalan hidup manusia.

Soalnya adalah manusia sering kurang tahan terhadap gelimang harta kekayaan. Manusia gampangg terbuai oleh kenikmatan-kenikmatan. Akibatnya, begitu ada godaan manusia lupa akan ajaran agama dan imannya. Mata manusia menjadi takabur. Manusia tidak mampu menahan godaan-godaan itu.

Apa yang dikatakan oleh Bismar Siregar patut menjadi perhatian kita. Ketamakan mesti dijauhkan dari hidup manusia, kalau manusia ingin membahagiakan diri sendiri dan sesamanya.

Manusia mesti mulai sadar bahwa kebaikan yang dianugerahkan Tuhan menjadi bekal untuk mengalami kasih Tuhan. Hal ini bisa terjadi kalau manusia tetap setia pada Tuhan. Kalau manusia ingin tetap bertahan pada komitmennya pada kebaikan, manusia akan menemukan bahagia dan damai dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk tetap setia kepada Tuhan. Artinya, kita berusaha untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Dengan demikian, kita menjadi orang yang selalu peduli terhadap sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


596

19 Januari 2011

Berusaha Melakukan yang Baik dan Benar



Ada seorang anak yang selalu mengadu kepada ibunya tentang apa saja. Ibunya berusaha mendengarkan pengaduannya. Namun lebih banyak ia hanya mendengarkan. Ia tidak mau ambil pusing dengan pengaduan-pengaduan anaknya. Menurutnya, ada hal-hal yang lebih penting yang mesti ia pikirkan daripada hanya mendengarkan pengaduan-pengaduan anaknya.

Namun suatu ketika ia merasa tertarik terhadap perubahan tingkah laku anaknya. Anaknya itu mulai suka berkata-kata kotor. Sepulang sekolah, anaknya mulai berkata-kata kotor. Apa saja yang tidak ia sukai akan ia tanggapi dengan kata-kata kotor. Semakin dibiarkan, ia semakin menjadi-jadi. Akibatnya, sang ibu menjadi resah. Tidak boleh hal seperti itu terjadi terhadap anaknya.

Ia pun memanggil anaknya dan menanyakan tentang perubahan tingkah lakunya itu. Namun anaknya tidak terus terang. Ia membela diri. Ia mengatakan bahwa ia melakukan hal itu dari dirinya sendiri. Tidak ada yang mengajarinya. Ia tidak mudah terpengaruh oleh tingkah laku teman-temannya di sekolah. Ia berusaha meyakinkan ibunya.

Namun ibunya tidak begitu saja percaya kepadanya. Ibunya terus menyelidiki. Suatu hari, ibunya memergokinya bersama seorang temannya sedang mengata-ngatai seorang teman lain dengan kasar. Kata-kata yang mereka gunakan sangat kotor. Ibunya langsung menghampirinya dan membawanya pulang. Anak itu pun mengaku bahwa kata-kata kotor yang sering diucapkan itu ia pelajari dari temannya itu.

Sahabat, belajar tentang sesuatu yang kotor dan jorok itu tidak terlalu sulit. Orang tidak perlu menggunakan usaha-usaha keras untuk menjadi ahli dalam hal ini. Namun belajar tentang sesuatu yang baik dan kudus sering merupakan suatu usaha yang tidak gampang. Berkali-kali orang mencoba, tetapi begitu sulit untuk dapat menggapai keinginannya.

Karena itu, orang mesti membutuhkan waktu dan usaha keras untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar. Ada berbagai tantangan dan godaan yang mesti dihadapi. Ada berbagai rintangi yang mesti dilewati. Kadang orang jatuh terpuruk ketika hendak menggapai keinginannya untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar. Ada lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi seseorang untuk tidak berhasil dalam usahanya.

Untuk itu, orang mesti sabar. Orang mesti menitinya satu per satu. Seperti orang sedang meniti papan yang menghubungkan dua tebing. Orang mesti berjalan dengan sangat hati-hati, agar tidak terpeleset dan jatuh ke dalam jurang yang dalam. Orang mesti memusatkan pikiran dan seluruh dirinya untuk sampai ke seberang.

Berusaha melakukan yang baik dan benar itu mesti dengan segenap tenaga, pikiran dan hati. Orang tidak bisa setengah-setengah saja. Orang mesti berani melintasi rintangan-rintangan itu. Hanya orang beriman yang dapat melakukan hal ini. Artinya, orang yang sungguh-sungguh memiliki keyakinan bahwa usaha untuk melakukan yang baik dan benar itu dapat diwujudkan.

Untuk itu, orang butuh bantuan Tuhan. Berusaha sendiri menghadapi berbagai rintangan dan godaan akan sia-sia. Orang membutuhkan bantuan melalui rahmat Tuhan. Dengan demikian, orang dapat menemukan jalan untuk melakukan hal yang baik dan benar. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Jangan Putus Asa, Masih Ada Jalan


Pada usia 25 tahun, ia dipecat dari dinas ketentaraan. Selain itu, ia telah dipermalukan, patah semangat, tanpa harapan dan tanpa uang. Di ujung semua itu, ia berniat bunuh diri dengan meloncat dari sebuah jembatan yang tinggi. Mengapa ia lakukan itu? Karena hidup ini tidak punya arti apa-apa lagi. Ia sudah kehilangan segala-galanya. Tidak perlu lagi ada yang mesti diperjuangkan.

Namun sebelum niat untuk loncat dari jembatan itu terlakasan, seorang teman dekatnya datang menghampirinya. Teman itu membujuknya untuk membatalkan niat tersebut. Sang pemuda itu pun sadar bahwa masih ada jalan lain untuk sukses. Ia membatalkan aksi bunuh dirinya. Ia memulai hidup baru.

Hanya dalam waktu setahun setelah rencana bunuh diri itu, ia berhasil meniti kembali karir militernya yang telah hancur. Ia berjuang dengan tekun. Segala rintangan ia hadapi. Ia berhasil. Ia menjadi jendral termuda dalam dinas ketentaraan Prancis. Kemenangan besar ia raih justru saat ia memimpin prajurit-prajurit letih yang kelaparan.

Tentang prajurit-prajuritnya ini, ia berkata, “Prajurit-prajurit ini berjalan di atas perut mereka.”

Di kemudian hari ia menaklukkan seluruh Eropa daratan. Siapa dia? Sang jendral muda itu adalah Napoleon Bonaparte.

Sahabat, adakah keputusasaan sedang melanda hidup Anda? Mengapa Anda putus asa? Dua pertanyaan ini dapat membantu Anda untuk bangkit kembali dari kelesuan hidup Anda. Mungkin saat-saat ini Anda sedang dilanda oleh permasalahan yang berat. Anda ingin keluar dari permasalahan itu, namun Anda mengalami suatu kesulitan yang besar. Anda harus memutuskan untuk terus menjalani hidup ini atau mengakhirinya secara tragis.

Kalau Anda memutuskan untuk menjalani hidup ini, Anda masih punya jalan atau cara yang cespleng untuk keluar dari permasalahan hidup Anda. Anda masih punya waktu untuk berjuang. Anda masih punya kesempatan untuk membahagiakan diri Anda sendiri. Anda tidak perlu gegabah untuk mengakhiri hidup ini secara tragis. Masih ada banyak jalan. Masih ada banyak orang yang mau mengulurkan tangan untuk membantu penyelesaian permasalahan yang Anda hadapi.

Namun kalau Anda memilih untuk mengakhiri hidup Anda secara tragis, Anda tidak punya kesempatan untuk berjuang. Anda tidak punya waktu lagi untuk membahagiakan hidup Anda. Kenangan tragis yang akan tertinggal bagi anak cucu Anda. Anda dikenang sebagai seorang pengecut yang kalah dengan mudah di kala berhadapan dengan permasalahan hidup.

Belajar dari Napoleon Bonaparte, kita menemukan nilai-nilai perjuangan yang indah. Kalau saja ia mengangkat kakinya meloncat dari jembatan tinggi itu, ia tidak akan pernah mencatatkan diri sebagai jendral termuda dan cerdas dalam sejarah Prancis. Ia memulai hidup baru. Ia dapatkan apa yang ia inginkan.

Sebagai orang beriman, kita ingin terus-menerus berjuang untuk keluar dari setiap permasalahan yang kita hadapi. Melalui ketekunan untuk melakukan hal-hal spektakuler kita dapat menemukan betapa hidup ini begitu berarti. Hidup ini begitu indah bersamaan dengan setiap derap perjuangan kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

595

18 Januari 2011

Menyadari Kehadiran Tuhan dalam Hidup

Dalam suatu pengajaran-Nya, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi dan supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat. Sebab ia akan menimpa semua penduduk bumi ini.”

Murid-murid-Nya itu sempat menjadi bingung, mengapa Yesus mengajak mereka untuk senantiasa berjaga-jaga. Namun Yesus menjelaskan bahwa orang beriman itu harus selalu menyiapkan hatinya. Hati yang bersih dari ketamakan, dengki, kebencian adalah hati yang berkenan kepada Tuhan. Karena itu, orang mesti selalu mempersiapkan dirinya kapan dan di mana saja berada.

Lantas para murid itu bertanya tentang cara menyiapkan diri. Yesus mengatakan bahwa cara yang paling baik adalah masuk dalam keheningan doa. Ia berkata kepada mereka, “Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk menempuh perjalanan hidup ini.”

Para murid kagum terhadap pengajaran Yesus. Namun Yesus mengingatkan mereka, agar mereka tidak hanya kagum terhadap pengajaranNya. Mereka mesti melaksanakan pengajaranNya dalam hidup sehari-hari. Berdoa itu mesti dilakukan dalam hidup yang nyata. Bukan hanya dipikirkan atau diimpi-impikan untuk berdoa.

Sahabat, banyak orang merasa bahwa mereka tidak punya waktu untuk berdoa. Ketika diajak untuk berdoa, mereka selalu mengatakan bahwa mereka belum punya waktu. Soalnya, kapan waktu itu ada? Kapan waktu itu tiba untuk berdoa? Bukankah Tuhan sudah memberi setiap orang waktu untuk melakukan segala sesuatu yang diinginkannya?

Tentu saja pandangan bahwa orang tidak punya waktu untuk berdoa itu keliru. Kalau kita menghitung waktu-waktu kita, ada begitu banyak waktu yang terbuang percuma. Ada begitu banyak waktu yang disia-siakan untuk hal-hal yang sepele dan tidak berguna. Berapa waktu Anda digunakan untuk duduk-duduk tanpa kegiatan yang berguna bagi hidup? Berapa waktu Anda yang disia-siapkan untuk menyenangkan mata Anda?

Karena itu, orang beriman mesti senantiasa berjaga-jaga. Artinya, orang mesti menyiapkan dirinya untuk menerima kedatangan Tuhan dalam hidupnya. Sebenarnya setiap saat Tuhan mendatangi manusia. Namun orang sering kurang menyadarinya. Mengapa bisa terjadi? Karena orang hanya mau mementingkan dirinya sendiri. Orang hanya mau mendengarkan dirinya sendiri.

Untuk itu, manusia mesti berubah. Manusia mesti menyadari bahwa Tuhan hadir dalam setiap saat hidupnya. Kalau hal ini sungguh-sungguh disadari, manusia akan senantiasa mensyukuri kebaikan Tuhan. Manusia tidak perlu kuatir akan ketiadaan waktu untuk berdoa atau berjumpa dengan Tuhan dalam hidupnya. Kalau hal seperti ini terjadi dalam hidup manusia, hidup ini menjadi semakin bermakna. Hidup ini menjadi saat yang menyenangkan. Saat yang menggembirakan bagi diri dan sesama. Dengan demikian, sukacita dan damai menjadi bagian dari hidup manusia. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


594

17 Januari 2011

Berani Mempertaruhkan Hidup

Seorang pesenam dari Jepang meraih medali emas impiannya setelah menari dengan indah di olimpiade. Padahal sehari sebelumnya, tumitnya retak. Dokter tim senam Jepang mengatakan bahwa ia akan cacat seumur hidupnya.

Karena itu, ia disarankan untuk tidak mengikuti lomba senam di final. Ia sangat sedih mendengar saran itu. Namun ia punya tekad. Ia maju untuk berlomba di final keesokan harinya. Ia yakin, ia akan dapat meraih medali emas yang diimpikannya.

Ia berkata dalam hatinya, “Kalau nanti saya harus cacat seumur hidup tidak apa-apa. Saya harus menghadapi resiko itu. Medali emas belum tentu akan saya raih untuk kedua kalinya.”

Keesokan harinya ia menuju lapangan senam untuk bertanding di final. Saat-saat mendebarkan yang ia tunggu-tunggu itu pun tiba. Ia melompat-lompat di atas papan senam dengan gemulai seolah-olah tidak ada yang terjadi dengan kakinya yang cedera. Ia berhasil meraih poin paling tinggi. Ia merebut medali emas impiannya. Saat itu menjadi saat yang sangat membahagiakan baginya. Ia lupa akan rasa sakit di kakinya. Hari itu hari yang istimewa baginya.

Ternyata setelah cedera kakinya itu diperiksa lagi oleh dokter, hasilnya memuaskan. Ia tidak akan mengalami cacat seumur hidup. Ia boleh menikmati kesuksesannya.

Sahabat, sering situasi hidup membelenggu manusia. Ketika orang mengalami sakit atau cedera, orang merasa seolah-olah hidupnya akan berakhir. Banyak orang lalu merasa putus asa. Tidak ada harapan lagi untuk hidup. Tidak ada kesempatan lagi untuk melakukan sesuatu yang lebih baik.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa orang mesti berani mengambil resiko atas hidupnya. Orang tidak perlu terpaku pada kesedihan yang dihadapinya. Dalam situasi sulit sebenarnya masih ada kesempatan-kesempatan untuk maju dan berkembang. Menyerah pada keadaan hanya membuat orang semakin menderita.

Orang mesti berani mengambil keputusan atas hidupnya. Tentu saja keberanian itu dilandasi oleh keunggulan-keunggulan yang dimiliki. Orang yang tidak punya keberanian untuk menghadapi resiko biasanya orang yang sulit untuk maju. Orang seperti ini sering tersendat-sendat dalam hidupnya. Orang yang tidak bisa maju dalam hidupnya. Orang seperti ini orang yang mengalami stagnasi dalam hidupnya.

Karena itu, orang beriman adalah orang yang berani mempertaruhkan hidupnya. Orang yang mengandalkan Tuhan dalam menghadapi resiko-resiko yang akan terjadi atas hidupnya. Orang beriman yang mudah meratapi kenyataan hidupnya yang sulit tidak sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan.

Mari kita berusaha terus-menerus untuk mengatasi berbagai persoalan hidup kita. Hanya dengan berusaha kita akan menemukan kesuksesan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

16 Januari 2011

Jangan Kehilangan Tuhan dalam Hidup

Dalam perjalanan ke Amerika Serikat di tahun 1994 lalu, saya dan teman saya mesti menginap di Singapura. Pasalnya, pesawat yang kami tumpangi baru berangkat keesokan harinya. Baru pertama kali keluar negeri, membuat kami kurang begitu tahu banyak tentang situasi luar negeri seperti di Singapura.

Karena itu, kami pun menginap selama 12 jam di hotel transit yang ada di Bandara Cangi. Bayarannya pun cukup mahal. Padahal sebenarnya kalau mau nginap, tidak harus 12 jam. Cukup enam jam. Enam jam yang sisa adalah menikmati bandara Changi yang canggih. Atau bisa jalan-jalan di kota Singapura yang mungil itu.

Begitu masuk hotel, kami langsung tidur. Kami menikmati istirahat panjang di kamar hotel yang cukup luks itu. Hingga keesokan harinya, kami hanya menikmati dinding-dinding hotel itu.

Tidak ada yang menarik. Tidak ada gemerlap seperti di tengah-tengah kota Singapura. Yang ada hanya sebuah televisi yang menyiarkan berita-berita seputar kota Singapura. Bagi saya, siaran-siaran televisi itu hanya pengantar tidur. Kami telah kehilangan kesempatan untuk menikmati indahnya kota Singapura.

Memang, istirahat panjang malam itu membantu kami untuk perjalanan panjang menuju Amerika Serikat. Namun tetap saja kami telah melepaskan kesempatan emas menikmati indahnya kota Singapura dan budaya bersih yang dimilikinya.

Sahabat, kadang-kadang kita salah perhitungan. Antara apa yang kita pikirkan dengan kenyataan sering berbeda. Akibatnya, kita menyesal setelah kita sungguh-sungguh menyadari kesalahan kita. Semua sudah berlalu baru kita sadar. Semua sudah tiada baru kita ingat akan penting dan bermaknanya sesuatu.

Dalam hidup ini banyak orang juga kehilangan kesempatan-kesempatan terindah. Apa yang semestinya dinikmati dalam hidup ini, berlalu begitu saja. Orang menyesal. Kesempatan emas berlalu begitu saja tanpa tanggapan. Makna hidup menjadi berkurang. Orang dapat menjadi lesu dalam hidupnya.

Sering orang beriman juga kehilangan hal yang paling penting dalam hidup mereka. Kesibukan yang menumpuk dapat mengaburkan perhatian mereka kepada Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan ini. Tuhan sering diabaikan. Suara Tuhan tidak didengarkan. Atau suara Tuhan dianggap sepele. Tidak berguna. Tidak mempunyai makna. Ketika orang mengalami persoalan-persoalan dalam hidup baru mereka sadar betapa hidup ini begitu berarti. Hidup ini memiliki makna yang begitu dalam. Ternyata Tuhan selalu menyertai hidupnya.

Karena itu, tidak usah heran kalau orang beriman menuntut keadilan dari Tuhan, ketika kesulitan hidup menimpanya. Padahal yang terjadi adalah perhatian orang sudah berubah. Bukan kepada Tuhan, tetapi kepada diri sendiri. Orang terlalu mementingkan dirinya sendiri saja.

Sebagai orang beriman, kita mesti selalu memusatkan hidup kita pada Tuhan. Mengapa? Karena hanya Tuhanlah satu-satunya yang memberikan jaminan bagi hidup kita. Tuhan adalah kekal abadi. Manusia yang tidak abadi tidak bisa memberikan jaminan terhadap orang lain. Mari kita berserah diri kepada Tuhan. Dengan demikian, hidup kita menjadi indah. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

15 Januari 2011

Belajar untuk Tidak Menuntut Tuhan

Ada seorang pemuda yang taat berdoa. Ia sedang berpacaran dengan seorang gadis muda yang baik hati. Keduanya adalah dua konglomerat kaya. Masing-masing mereka selalu berdoa, “Tuhan berikanlah aku pasangan yang menurut Engkau terbaik...”

Setelah mereka menikah, keadaan berubah. Doa mereka berubah menjadi, “Tuhan, berikanlah kami anak yang terbaik.”

Tetapi setelah tujuh tahun menikah, mereka belum dikaruniai anak. Namun setelah mereka berdoa dan berdoa, akhirnya mereka mempunyai anak. Tuhan ternyata mendengarkan doa mereka. Kali ini doa mereka berubah lagi, “Tuhan, biarlah anak ini menjadi anak yang terbaik bagi kami.”

Setelah sembilan bulan sang istri mengandung, lahirlah seorang anak bagi mereka. Seorang anak laki-laki. Sang ayah langsung melonjak kegirangan. Tetapi setelah tiga hari, sang dokter memanggil sang ayah ke rumah sakit. Dokter itu berkata, ”Pak, dengan berat hati saya harus menyampaikan kabar buruk kepada Anda. Apakah Anda siap menerimanya?”

Si ayah menjawab, ”Kabar apapun, saya siap menerimanya. Saya siap menghadapi yang terburuk”

Dokter itu mengatakan bahwa putranya tidak akan bertumbuh dengan normal seperti anak-anak yang lain. Putranya akan menderita suatu kecacatan yang tidak dapat disembuhkan, yaitu cacat mental yang serius.”

Sambil menitikkan air mata, sang ayah berdoa, ”Tuhan, apapun yang Engkau berikan kepadaku, aku tahu semuanya baik. Engkau tidak pernah mencelakakan anak-anakMu.”

Sahabat, biasanya orang yang doanya tidak dikabulkan oleh Tuhan itu mengeluh. Mereka menuntut keadilan dari Tuhan. Mereka sering memaksa Tuhan untuk mengabulkan doa-doa mereka. Padahal dikabulkan atau tidak doa-doa mereka itu bukan urusan mereka. Tuhan yang punya urusan terhadap terkabulnya doa seseorang.

Karena itu, kisah tadi menunjukkan suatu iman yang sangat mendalam kepada Tuhan. Sang ayah begitu pasrah kepada Tuhan. Apa pun yang diberikan oleh Tuhan ia terima dengan sukacita. Ia tidak mengeluh. Ia tidak menuntut Tuhan untuk mengabulkan doa-doanya sesuai dengan kehendak pribadinya. Yang ia inginkan adalah kehendak Tuhan terjadi atas dirinya. Bukan kehendaknya yang ia paksakan kepada Tuhan.

Orang yang bersikap seperti ini biasanya orang yang bahagia dalam hidupnya. Orang yang hidup apa adanya. Meski ia memiliki segala sesuatu yang ia butuhkan untuk hidupnya, ia tetap merendahkan dirinya di hadapan Tuhan. Baginya, Tuhan adalah segalanya dalam hidupnya. Hanya Tuhan yang dapat memberikan yang terbaik bagi dirinya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk tetap menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan. Sikap iman yang benar adalah sikap pasrah. Suatu sikap yang hanya mengandalkan Tuhan di dalam hidup ini. Sikap seperti ini mendatangkan sukacita dan damai dalam hidup ini. Mari kita belajar untuk berdoa penuh iman kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


591

13 Januari 2011

Memelihara Sikap Optimis dan Positif

Suatu hari ada seorang murid yang terlambat masuk kelas. Padahal hari itu adalah ujian semester kenaikan kelas. Matapelajaran yang diuji hari itu adalah matapelajaran yang sulit, yaitu Matematika. Namun ia masih sempat mengerjakan soal-soal Matematika tersebut. Ia mengerjakannya dengan baik dan benar. Ia tidak merasa bahwa semua soal Matematika itu sulit baginya. Ia mengerjakan soal-soal itu dengan penuh optimis dan dengan perasaan positif.

Padahal dalam kata pengantarnya sebelum ujian, guru Matematika mengingatkan murid-muridnya agar mereka hati-hati. Soalnya adalah ada dua soal yang sangat sulit. Belum pernah ada murid yang berhasil mengerjakan dua soal itu dengan baik. Karena itu, murid-murid menjadi cemas dan berpikir yang bukan-bukan. Mereka dilanda oleh sikap pesimis. Hasilnya, tidak seorang pun dari mereka yang dapat mengerjakan dua soal itu dengan benar.

Hanya satu orang murid yang dapat mengerjakan dua soal itu dengan baik dan benar. Dia adalah murid yang datang terlambat itu. Dialah murid pertama yang dapat mengerjakan soal itu dengan baik dan benar. Ketika ditanya, murid itu mengatakan bahwa ia tidak punya pikiran yang negatif tentang dua soal Matematika itu. Ia mengerjakannya dengan bebas. Tidak ada tekanan apa-apa.

Sahabat, berpikir dan bertindak optimis dalam hidup itu menyenangkan. Apalagi hal itu disertai dengan sikap positif terhadap segala sesuatu yang dihadapi. Orang yang demikian biasanya akan menemukan kesuksesan dalam hidupnya. Orang tidak merasa tertekan dalam hidupnya. Sebaliknya orang merasa memiliki kebebasan dalam mengerjakan hal-hal yang berguna bagi dirinya dan sesama.

Kekuatan pikiran positif membantu seseorang untuk bertumbuh dalam hidupnya. Kekuatan optimisme mendorong orang untuk senantiasa bertahan dan mengerjakan segala sesuatu dengan enteng. Orang seperti ini akan menemukan keindahan dalam hidupnya. Orang seperti ini akan terus-menerus memacu dirinya untuk tetap maju.

Sebaliknya, orang yang pesimis dan berpikir negatif tentang suatu hal biasanya mengalami tekanan-tekanan dalam hidupnya. Ia tidak punya kebebasan untuk bertindak dengan baik dan benar. Dalam kondisi demikian, ia akan mudah mengalami stress. Akibatnya, apa yang dikerjakannya itu asal-asalan saja. Hasilnya pun sangat jauh dari yang diharapkan.

Karena itu, orang mesti memiliki sikap positif dan optimis dalam hidup ini. Apa pun kesulitan yang dihadapi pasti ada jalan pemecahannya. Untuk itu, orang mesti yakin bahwa sebenarnya tidak ada yang sulit dalam hidup ini. Yang ada adalah bagaimana orang menyikapi dan bertindak dalam memecahkan sesuatu yang sulit dalam hidupnya itu. Mari kita tetap memelihara sikap positif dan optimis dalam diri kita. Kita akan menemukan kesuksesan dalam hidup ini. Dengan demikian, sukacita dan damai menjadi bagian dari hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

590

12 Januari 2011

Berusaha Memiliki Pikiran Yang Jernih


Ada seorang remaja yang tidak bisa diam atau hening. Ia menghiasi hidupnya dengan bunyi-bunyian musik. Earphone selalu ada di telinganya. Di kamarnya, ia selalu menyetel lagu-lagu yang keras. Saat hening menjadi sesuatu yang aneh baginya. Yang dia inginkan adalah menikmati musik-musik keras itu sepuas hati.

Suatu kali ibunya keberatan terhadap gaya hidupnya. Pasalnya, nilai-nilai di sekolahnya turun drastis. Menurut sang ibu, anaknya itu tidak punya pikiran yang bening. Bunyi musik-musik keras itu telah membuat anaknya lambat dalam berpikir. Akibatnya, nilai-nilainya di kelas turun drastis.

Ibunya bertanya, ”Mengapa kamu suka dengan musik-musik keras seperti itu? Bukankah kamu butuh waktu untuk hening, agar dapat konsentrasi dalam belajar?”

Anak itu menjawab, ”Saya tidak bisa hening, ibu. Waktu hening itu sesuatu yang berat bagi saya untuk saya lakukan.”

Dengan wajah sedih, ibu itu berkata, ”Kamu mesti berlatih untuk hening. Dalam keheningan itu pikiranmu akan terarah. Kamu akan dapat memfokuskan hidupmu pada yang kamu inginkan.”

Anak itu berjanji untuk mengheningkan dirinya. Perlahan-lahan ia berusaha untuk menjauhkan dirinya dari musik-musik keras. Setiap hari ia mengurangi lagu-lagu keras itu. Hasilnya adalah nilai-nilai matapelajarannya mulai membaik. Keheningan ternyata membantunya untuk berpikir lebih jernih.

Sahabat, banyak orang takut akan keheningan. Banyak orang tidak menyukai keheningan itu. Mengapa? Karena mereka takut terhadap keheningan. Mereka takut kalau hidup mereka menjadi sunyi sepi. Mereka tidak ingin hidup dalam kesendirian. Karena itu, mereka menghiasi diri mereka dengan hal-hal yang membuat mereka dikuasai oleh kebisingan.

Tentu saja pandangan seperti ini tidak benar. Keheningan itu membantu orang untuk mengalami kehadiran Tuhan dalam hidup ini. Dalam keheningan orang dapat menemukan kebaikan Tuhan. Dalam keheningan itu orang dapat memaknai hidup ini secara lebih baik.

Dalam keheningan orang dapat mengolah pikirannya dengan lebih baik. Orang akan menemukan hal-hal yang menakjubkan bagi hidupnya berkat keheningan itu. Keheningan membantu orang untuk berpikir secara jernih dan terarah tentang hal-hal yang berguna bagi hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar pikiran kita senantiasa jernih. Kita ingin agar hidup kita selalu terarah pada hal-hal yang baik dan benar. Pikiran yang jernih dan baik biasanya akan menghasilkan hal-hal yang spektakuler dalam hidup ini. Banyak penemuan baru dalam berbagai bidang kehidupan manusia berasal dari kebeningan pikiran. Pikiran dapat bening, kalau orang mampu masuk dalam keheningan hidupnya. Mari kita berusaha untuk mengheningkan diri kita dalam situasi dunia yang hiruk pikuk ini. Dengan demikian, kita dapat memiliki pikiran yang jernih. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

11 Januari 2011

Mensyukuri Indahnya Hidup

Ada seorang pertapa yang selalu dikunjungi oleh orang dari berbagai tempat. Menurut mereka, pertapa itu orang yang sangat bijaksana. Ia memberikan nasihat-nasihat yang sangat baik bagi mereka. Karena itu, mereka rela mengorbankan waktu mereka untuk mendatangi pertapa itu.

Namun sebenarnya yang dilakukan oleh pertapa itu sangat sederhana. Ia cuma menasihati mereka untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan. Mereka mesti mensyukuri setiap pemberian dari Tuhan kepada mereka. Hanya dengan mensyukuri itu mereka dapat menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini. Nasihat itu dilaksanakan dengan baik oleh mereka. Hidup mereka menjadi damai. Mereka mengalami ketenteraman dalam hidup ini.

Pertapa itu berkata, “Hal yang sangat sulit dilakukan oleh manusia adalah bersyukur atas hidup ini. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena manusia merasa bahwa hidup ini adalah milik mereka. Padahal bukan. Hidup ini adalah pemberian dari Tuhan.”

Menurut pertapa itu, bersyukur mesti menjadi keutamaan dalam hidup manusia. Orang yang senantiasa mensyukuri kebaikan Tuhan akan selalu mengalami bahwa hidup ini memiliki sisi yang begitu indah. Sedangkan orang yang sulit mensyukuri pemberian Tuhan lebih sering memandang hidup ini dari sisi negatif.

Sahabat, sudahkah Anda mensyukuri hidup Anda hari ini? Bukankah ada begitu banyak hal baik yang Anda jumpai hari ini? Atau kalau Anda belum mensyukuri kebaikan hidup ini, apa alasannya? Bukankah Tuhan tidak pernah menyakiti hati Anda?

Bersyukur berarti kita menerima kehadiran Tuhan dalam hidup ini. Inilah sikap iman yang benar. Orang beriman itu orang yang menyerahkan seluruh hidupnya ke dalam kuasa Tuhan. Orang membiarkan Tuhan sendiri yang berkarya di dalam hidupnya. Orang hanya mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Tidak ada hal-hal lain yang diandalkan dalam hidup ini. Dengan cara ini, orang beriman akan menemukan hidupnya begitu bermakna.

Karena itu, orang mesti menyisihkan waktunya untuk bersyukur atas segala hal indah yang telah diperoleh dalam hidupnya. Dengan rasa syukur, orang mampu menghargai pemberian dari Tuhan. Dan yang diharapkan adalah juga tetap menghargai kehadiran Tuhan dalam hidup ini.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa bersyukur itu menjadi awal yang indah bagi hidup ini. Bersyukur itu menjadi suatu kesempatan bagi kita untuk mengembangkan hidup kita. Mengapa? Karena hidup ini tidak boleh berhenti pada apa yang sudah kita capai sekarang ini. Hidup ini mesti berjalan terus. Hidup ini mesti terus-menerus kita isi dengan hal-hal yang baik dan berharga. Dengan demikian, hidup ini semakin berguna bagi kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

10 Januari 2011

Mensyukuri Indahnya Hidup

Ada seorang pertapa yang selalu dikunjungi oleh orang dari berbagai tempat. Menurut mereka, pertapa itu orang yang sangat bijaksana. Ia memberikan nasihat-nasihat yang sangat baik bagi mereka. Karena itu, mereka rela mengorbankan waktu mereka untuk mendatangi pertapa itu.

Namun sebenarnya yang dilakukan oleh pertapa itu sangat sederhana. Ia cuma menasihati mereka untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan. Mereka mesti mensyukuri setiap pemberian dari Tuhan kepada mereka. Hanya dengan mensyukuri itu mereka dapat menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini. Nasihat itu dilaksanakan dengan baik oleh mereka. Hidup mereka menjadi damai. Mereka mengalami ketenteraman dalam hidup ini.

Pertapa itu berkata, “Hal yang sangat sulit dilakukan oleh manusia adalah bersyukur atas hidup ini. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena manusia merasa bahwa hidup ini adalah milik mereka. Padahal bukan. Hidup ini adalah pemberian dari Tuhan.”

Menurut pertapa itu, bersyukur mesti menjadi keutamaan dalam hidup manusia. Orang yang senantiasa mensyukuri kebaikan Tuhan akan selalu mengalami bahwa hidup ini memiliki sisi yang begitu indah. Sedangkan orang yang sulit mensyukuri pemberian Tuhan lebih sering memandang hidup ini dari sisi negatif.

Sahabat, sudahkah Anda mensyukuri hidup Anda hari ini? Bukankah ada begitu banyak hal baik yang Anda jumpai hari ini? Atau kalau Anda belum mensyukuri kebaikan hidup ini, apa alasannya? Bukankah Tuhan tidak pernah menyakiti hati Anda?

Bersyukur berarti kita menerima kehadiran Tuhan dalam hidup ini. Inilah sikap iman yang benar. Orang beriman itu orang yang menyerahkan seluruh hidupnya ke dalam kuasa Tuhan. Orang membiarkan Tuhan sendiri yang berkarya di dalam hidupnya. Orang hanya mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Tidak ada hal-hal lain yang diandalkan dalam hidup ini. Dengan cara ini, orang beriman akan menemukan hidupnya begitu bermakna.

Karena itu, orang mesti menyisihkan waktunya untuk bersyukur atas segala hal indah yang telah diperoleh dalam hidupnya. Dengan rasa syukur, orang mampu menghargai pemberian dari Tuhan. Dan yang diharapkan adalah juga tetap menghargai kehadiran Tuhan dalam hidup ini.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa bersyukur itu menjadi awal yang indah bagi hidup ini. Bersyukur itu menjadi suatu kesempatan bagi kita untuk mengembangkan hidup kita. Mengapa? Karena hidup ini tidak boleh berhenti pada apa yang sudah kita capai sekarang ini. Hidup ini mesti berjalan terus. Hidup ini mesti terus-menerus kita isi dengan hal-hal yang baik dan berharga. Dengan demikian, hidup ini semakin berguna bagi kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


588

07 Januari 2011

Hidup Ini Begitu Berharga


Ada seorang ibu yang melahirkan anak secara normal. Namun anak yang lahir itu tidak normal. Anak itu lahir hanya memiliki pangkal otak. Ibu itu tahu dan sadar bahwa anak yang dilahirkan itu tidak akan hidup lama. Ia akan menghembuskan nafas terakhirnya. Denyut jantungnya yang normal tidak didukung oleh kondisi otak yang tidak normal. Karena itu, ia pasrah. Ia menyerahkan hidup anaknya kepada Tuhan. Hanya Tuhan yang mampu menyelenggarakan hidup bagi anaknya itu.

Yang dilakukan ibu itu adalah ia menerima kehadiran anaknya itu dengan hati yang tulus. Ia memberinya susu. Ia merawatnya. Ia mengajak anaknya itu berbicara layaknya anak-anak normal. Anak itu dapat menanggapi dirinya. Ia membalas kasih mamanya dengan senyum yang indah. Setiap hari hal itu terjadi. Ibu itu sangat bahagia menyaksikan kondisi anaknya.

Satu tahun kemudian anak itu meninggal dunia. Dalam damai ia menghembuskan nafas terakhirnya. Seutas senyum bahagia tersungging di wajah anak itu. Bagi sang mama, saat kematian itu menjadi saat yang sangat mengharukan. Ia menangis. Ia merasakan kehilangan yang luar biasa. Senyum kasih anaknya telah pergi untuk selamanya. Ia tidak dapat memberinya kasih lagi.

Namun beberapa hari kemudian, ibu itu menemukan sukacita. Mengapa? Karena kasih yang ia berikan bagi anaknya itu tidak sia-sia. Kebahagiaan ternyata telah menemani hari-hari hidup anaknya yang singkat itu. Ia bersyukur, ia boleh dipercaya oleh Tuhan untuk memelihara dan mengasihi buah hatinya. Hidup itu begitu indah. Hidup itu berharga.

Sahabat, hidup yang indah dan berharga itu menjadi semakin berharga ketika ada kasih yang menyertainya. Hidup tanpa kasih, kata orang, bagai sayur tanpa garam. Untuk memiliki kasih yang sejati, orang mesti berani mengorbankan hidupnya. Korban itu mesti ditampakkan dalam perbuatan yang nyata.

Kisah tadi menunjukkan bahwa korban itu tidak sia-sia. Kasih yang ditunjukkan dalam hidup sehari-hari itu ternyata membuahkan hasil yang nyata. Anak itu mengalami sukacita dan damai. Anak itu menemukan kasih yang tulus dari sang ibu. Anak itu menemukan betapa hidup ini sungguh-sungguh berharga.

Keindahan dan berharganya hidup tidak diukur dari panjang atau pendeknya hidup seseorang. Juga tidak diukur dari kaya dan miskinnya orang. Atau tidak juga diukur dari tinggi atau rendahnya jabatan seseorang. Namun indah dan berharganya hidup seseorang diukur dari bagaimana orang menjalani hidup ini. Karena itu, ukuran yang sesungguhnya terletak pada bagaimana seseorang memaknai hidup ini dalam kasih. Kasih itu menjadi ukuran indah dan berharganya hidup ini.

Karena itu, orang beriman mesti senantiasa memaknai hidup ini dengan kasih yang tulus. Ketulusan kasih itu mampu membawa orang untuk tetap setia kepada Tuhan dan sesama. Orang mampu membagikan kasih itu kepada sesama yang dijumpainya dalam hidup sehari-hari. Mengapa? Karena hidup ini bukan hanya untuk diri sendiri. Hidup kita ini juga diperuntukkan bagi sesama. Mari kita memaknai indah dan berharganya hidup ini dengan membagikan kasih kita kepada sesama. Dengan demikian, hidup ini semakin bermakna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

06 Januari 2011

Berani Mempertanggungjawabkan Perbuatan


Ada seorang anak yang suka menghindar. Setiap kesalahan yang diperbuatnya selalu dilemparkan kepada orang lain. Ia selalu berusaha mengelak. Dia berkata, “Itu bukan kesalahanku. Kenapa aku yang dipersalahkan?”

Dengan mengelak seperti itu, ia tidak perlu dipersalahkan. Ia lolos dari suatu masalah. Ia membebankan masalah atau kesalahan yang dilakukannya kepada orang lain. Namun kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat, sekali-sekali ia jatuh ke tanah juga. Suatu kali anak itu kena batunya. Ia tidak bisa mengelak dari kesalahan yang diperbuatnya. Ada bukti-bukti yang tidak bisa ia elak lagi. Ia terpaksa mengakui perbuatannya yang salah itu.

Ia kesal terhadap hal itu. Ia berteriak-teriak. Ia tidak mau menerima kesalahan yang dibuatnya sendiri itu. Ia bersungut-sungut. Ia berusaha untuk mengalihkan perhatian orang-orang terhadap persoalan yang lain. Namun kali ini ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia harus menanggung akibat dari kesalahan yang diperbuatnya.

Sahabat, banyak orang sering tidak mau bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya. Bisa berbuat, tetapi enggan bertanggungjawab. Mengapa? Karena orang tidak berani menanggung resiko atas apa yang dilakukannya. Orang melarikan diri dari resiko dengan mengatakan bahwa ia tidak melakukannya. Dengan demikian, mereka tidak perlu menanggung akibat dari perbuatannya.

Mochtar Lubis mengatakan bahwa inilah salah satu ciri orang Indonesia. Beliau mengatakan bahwa dengan mengatakan tidak terhadap apa yang dilakukannya, seseorang ingin melepaskan tanggung jawab. Hal ini umum terjadi di Indonesia. Bahkan orang yang sudah jelas-jelas kedapatan bersalah masih juga membela diri.

Untuk itu, orang mesti berubah. Yang salah katakan salah. Yang benar katakan benar. Tidak perlu membuat rekayasa yang membingungkan banyak orang. Orang mesti berani menghadapi resiko apa pun yang akan terjadi. Keberanian untuk bertanggung jawab itu bagian dari iman. Orang mesti berani mempertanggungjawabkan imannya di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan demikian, orang tetap bertahan dalam kebaikan.

Sebagai orang beriman, kita mesti berani bertanggungjawab apa yang kita lakukan. Sekecil apa pun kesalahan yang kita lakukan, kita mesti mempertanggungjawabkannya. Kita tidak perlu kuatir atau takut terhadap resiko yang akan kita hadapi. Keberanian kita menunjukkan bahwa kita mau bersungguh-sungguh dalam iman akan Tuhan.

Untuk itu, kita mesti memasrahkan hidup kita kepada Tuhan. Kita mesti yakin bahwa Tuhan senantiasa menyertai dan membimbing hidup kita. Tuhan selalu peduli terhadap hidup kita. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita berjuang sendirian. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


586

04 Januari 2011

Bersyukur di Saat-saat Sulit



Ada seorang narapidana yang senantiasa mensyukuri kebaikan Tuhan. Baginya, Tuhan selalu baik. Meski ia dijebloskan ke dalam penjara, ia tetap yakin bahwa Tuhan itu baik. Perbuatan jahat yang dilakukannya itu melulu karena kehendak pribadinya. Karena itu, ia tidak perlu menyalahkan Tuhan. Ia mesti tetap bersyukur atas kebaikan Tuhan sama seperti sebelum ia mendekam di penjara.

Sikapnya itu membuat orang-orang yang dekat dengannya itu heran. Bukankah ia sendirian memperjuangkan kehidupannya? Bukankah di saat-saat seperti itu Tuhan seolah-olah menghilang?

Namun narapidana itu berusaha untuk menyadarkan orang-orang itu akan kebaikan Tuhan. Ia berkata, “Tuhan begitu baik kepada saya di dalam ruangan yang sempit ini. Secara fisik, saya tidak punya kebebasan. Namun saya merasa Tuhan selalu setia mendampingi saya. Tuhan tidak pernah menyakiti hati saya. Setiap pagi ia memberi udara segar bagi saya.”

Narapidana itu menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan yang diimani itu dengan mensyukuri kebaikan Tuhan itu. Ia tidak mau meninggalkan Tuhan. Ia tetap memasrahkan hidupnya kepada Tuhan.

Sahabat, betapa banyak orang lupa mensyukuri kebaikan Tuhan. Apalagi ketika sukses dan kebahagiaan menjadi bagian hidupnya. Orang lupa bahwa ada Tuhan yang selalu mendampingi dan menyertai perjalanan hidup manusia. Orang kurang peduli terhadap kasih dan kesetiaan Tuhan dalam hidupnya sehari-hari.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa Tuhan tetap menyertai manusia. Dalam saat-saat sulit hidup ini Tuhan tetap hadir untuk memberikan kekuatan. Karena itu, dalam saat-saat sulit itu manusia semestinya tidak perlu mengeluh atau menolak kehadiran Tuhan.

Keluhan-keluhan itu hanya menunjukkan kurangnya iman kita kepada Tuhan. Keluh kesah yang bahkan menyangsikan kehadiran Tuhan itu menunjukkan bahwa manusia tidak sabar dalam penderitaannya. Manusia gampang menyerah pada situasi sulit yang dihadapinya. Manusia begitu rapuh.

Karena itu, yang mesti dilakukan oleh orang beriman adalah senantiasa mensyukuri kebaikan dan penyertaan Tuhan. Sering manusia kurang menyadari penyertaan Tuhan. Sering manusia ingin menggapai cita-citanya seorang diri tanpa menyertakan Tuhan.

Tentu saja sikap seperti ini berbahaya. Tuhan tetap menyertai setiap orang meskipun manusia tidak memintanya. Tuhan tetap setia membantu ciptaan-Nya dalam hidupnya sehari-hari. Karena itu, patutlah kita bersyukur atas kebaikan Tuhan itu dalam situasi sulit hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

585

Tuhan Tidak harus Menjawab Setiap Doa Kita


Ada sepasang suami istri bertekun dalam doa agar anaknya yang menderita penyakit kanker ganas dapat disembuhkan. Anak itu sangat menderita. Ia sering mengerang kesakitan. Ia mengalami kesulitan untuk tidur. Tubuhnya yang dulu gemuk berubah menjadi kurus.

Suami istri itu ikut menanggung penderitaan anak mereka. Karena itu, mereka meminta bantuan dari Tuhan untuk menyembuhkan penyakit anak mereka. Sayang, doa mereka tampaknya tidak dikabulkan oleh Tuhan. Sang anak yang sangat dicintai itu menghembuskan nafas terakhirnya dalam diam. Ia diambil kembali oleh Tuhan yang telah menciptakannya. Ia kembali kepada Tuhan yang menjadi pemilik yang asli dari hidupnya.

Suami istri ini sangat terpukul menghadapi kematian sang buah hati. Mereka punya cita-cita yang begitu tinggi bagi anak semata wayang mereka itu. Kehilangan besar bagi mereka begitu sang buah hati menghembuskan nafas terakhir. Hati mereka menjadi galau. Mengapa Tuhan tidak mengabulkan permohonan mereka? Mengapa Tuhan tidak mau mendengarkan doa-doa mereka?

Tahun-tahun pun berlalu. Tiga tahun setelah kepergian anak mereka itu, sang istri mengandung lagi. Hari-hari mereka kembali dihiasi oleh sukacita. Kesedihan hati telah sirna. Mereka kembali meyakini kekuatan doa mereka. Ternyata Tuhan mendengarkan doa mereka. Tuhan mengabulkan doa mereka dengan cara yang lain.

Sahabat, banyak orang berdoa kepada Tuhan dengan tujuan-tujuan tertentu. Mereka meminta agar Tuhan segera mengabulkan doa-doa mereka. Mereka tidak mau tahu. Yang penting Tuhan harus mengabulkan permohonan mereka. Kalau Tuhan tidak cepat mengabulkan permohonan mereka, mereka akan meninggalkan Tuhan. Untuk apa percaya lagi kepada Tuhan yang tidak segera mengabulkan permohonan umat-Nya!

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa Tuhan tidak mesti mengabulkan permohonan seseorang secara langsung. Tuhan punya kebebasan untuk mengabulkan doa-doa umat-Nya. Tuhan punya cara sendiri untuk mengabulkan doa-doa manusia.

Karena itu, yang dibutuhkan dari manusia adalah sikap iman yang benar kepada Tuhan. Dalam kondisi apa pun, manusia semestinya menyerahkan kepada Tuhan apa saja yang dimohonkan itu. Manusia tidak perlu memaksakan kehendaknya kepada Tuhan.

Kadang-kadang jawaban Tuhan itu lain dari yang kita harapkan. Tidak sedikit orang yang akhirnya meninggalkan Tuhan, karena jawaban doa yang diterima tidak sesuai dengan harapan dan keinginan hati mereka. Jawaban Tuhan yang berbeda itu demi kebaikan manusia sendiri. Ia akan menjawab doa-doa manusia sesuai dengan rencana dan maksudNya yang baik untuk hidup manusia.

Karena itu, kita mesti percaya bahwa jawaban tidak terhadap permohonan kita diberikan Tuhan, karena kasih sayang-Nya kepada kita. Ia mengenal apa yang terbaik untuk kita. Ia mendidik kita untuk memahami sudut pandang Tuhan dan bukan sudut pandang manusia. Bukan berarti Tuhan tidak menyayangi kita, juga tidak berarti permohonan kita salah. Mungkin kita merasa lemah, ketika jawaban Tuhan tidak seperti yang kita harapkan, tetapi ingatlah bahwa Tuhan ingin kita mendapatkan yang terbaik menurut pandangan-Nya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

584

03 Januari 2011

Menyusun Strategi-stategi untuk Tahun Baru

Tadi pagi Johan agak sewot sama mamanya. Pasalnya, kemarin ia sudah merengek-rengek meminta dibelikan terompet, namun ditolak. Anak berusia sepuluh tahun itu kemudian meninggalkan rumahnya. Selama seharian ia pergi. Ia baru muncul di sore hari, ketika matahari sudah menuju peraduannya.

Menurut Johan, alasan yang dibuat ibunya itu hanya mengada-ada. Alasanya adalah sang ibu ingin menggunakan uang seefisien mungkin. Tidak untuk beli hal-hal yang kurang berguna. Apalagi hal-hal itu hanya untuk kesenangan sesaat. Johan tersinggung mendengar alasan ibunya itu. Ia ingin sekali bergembira. Ia ingin sekali bersukacita pada malam tahun baru. Ia ingin merayakannya bersama teman-teman sebayanya dengan meniup terompet pada malam tahun baru.

Keinginan Johan tak tercapai. Maksud hati ingin merayakan malam tahun baru dengan meriah. Tetapi ganjalan ekonomi keluarga membuat ia mesti mengikuti nasihat sang mama. Alasan itu membuat ia sedih. Ia sewot. Namun ia mesti berusaha untuk mengatasi kemarahannya. Mengapa? Karena itulah kenyataan hidupnya. Ia hanyalah anak seorang janda yang profesinya sebagai tukang cuci.

Johan kemudian sadar. Cara menyambut tahun baru tidak harus dengan meniup terompet. Tidak mesti dengan membuang-buang uang untuk membeli terompet. Ia dapat merayakan tahun baru bersama teman-temannya di rumah kontrakan ibunya yang sederhana itu. Artinya, ia dapat merayakannya dalam kesederhanaan.

Sahabat, berapa banyak dari kita yang merayakan tahun baru dengan gegap gempita? Berapa banyak dari kita yang menghabiskan sekian banyak uang untuk menyambut tahun baru? Dengan alasan untuk melepas tahun yang lama dan menyambut tahun baru, begitu banyak orang yang mengorbankan begitu banyak hal.

Kisah tadi mau mengingatkan kita bahwa tahun baru dapat dimaknai secara sederhana. Yang penting adalah suasana batin yang sungguh-sungguh bersih dan gembira. Yang penting adalah orang dapat memiliki suatu disposisi batin yang baik dan menyenangkan untuk menyambut tahun baru dengan penuh optimis.

Karena itu, kita dapat bertanya pada diri kita masing-masing tentang apa yang telah kita buat selama tahun yang silam. Apakah saya memiliki hati yang mudah tergerak oleh penderitaan sesama saya? Apakah saya mau peduli terhadap sesama yang hidup bersama saya? Apakah saya punya cinta yang lebih besar terhadap sesama saya? Atau apakah saya lebih mementingkan diri sendiri, sehingga egoisme justru menguasai diri saya?

Kalau kita sudah bertanya tentang apa yang telah kita buat setahun yang silam, kita juga boleh memiliki kiat-kiat untuk tahun yang baru ini. Sebagai orang beriman, kita ingin agar tahun yang baru memiliki makna yang mendalam bagi hidup kita. Karena itu, berpijak pada hal-hal baik yang telah kita buat selama tahun yang silam, kita ingin meraih sukses yang lebih besar di tahun yang baru. Untuk itu, kita mesti menyusun strategi-strategi yang tepat untuk meraih keinginan-keinginan kita. Tentu saja kita masih tetap menyertakan Tuhan dalam perjuangan kita. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

583