Pages

30 Juni 2011

Tumbuhkan Kepedulian terhadap Sesama Rata Penuh





Ada seorang ibu yang selalu merasa beruntung dalam hidupnya. Ia merasa bahwa banyak orang selalu peduli terhadap hidupnya. Misalnya, ketika ia hendak melahirkan anaknya yang ketiga, ia mendapatkan bantuan dari tetangganya. Mengapa? Karena waktu hendak melahirkan itu suaminya tidak punya uang sama sekali. Suaminya baru saja diPHK dari pekerjaannya.

Karena itu, ia merasa bersyukur atas kepedulian itu. Ia mendoakan tentangganya itu, agar Tuhan senantiasa memberinya rahmat dan rezeki. Selama di rumah sakit, ibu itu pun selalu mendapat kunjungan dari teman-temannya. Mereka juga membawa oleh-oleh baginya. Ia merasakan bahwa Tuhan tetap mengasihinya dengan kehadiran teman-temannya itu.

Ibu itu kini boleh merasa bersyukur atas kebaikan sesamanya. Kebaikan yang telah ia tunjukkan kepada mereka kini berbuah bagi dirinya. Di kampungnya, ibu ini dikenal sebagai orang yang aktif dan peduli terhadap tetangga-tetangganya. Ketika ada tetangga yang sakit, ia datang berkunjung. Ia menghibur mereka yang sedang sakit dan bersedih hati. Ia meluangkan waktunya bagi sahabat-sahabatnya.

Bagi ibu itu, apa yang ia lakukan bagi sesamanya sudah merupakan panggilan hidupnya. Ia selalu tergerak hatinya begitu mendengar ada sesamanya yang mengalami penderitaan dalam hidupnya. Ia tidak tega melihat penderitaan sesamanya. Ia berusaha mendatangi dan menghibur sesamanya yang menderita itu.

Sahabat, kepedulian terhadap mereka yang menderita merupakan bagian dari kehidupan orang beriman. Kepedulian itu mendorong seseorang untuk memberikan hiburan bagi mereka yang menderita. Ada gerakan hati untuk mengunjungi mereka yang menderita. Ada dorongan untuk memberikan dukungan bagi mereka yang menderita, agar dapat bangkit dari penderitaan itu.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa kepedulian terhadap sesama memberikan buah kebahagiaan dalam hidup. Orang yang peduli terhadap sesamanya yang menderita mampu meringankan beban penderitaan itu. Orang yang sakit dapat sembuh berkat kepedulian itu. Orang mendapatkan kekuatan moril berkat kepedulian dari sesamanya.

Orang yang beriman teguh akan melaksanakan imannya dalam hidup sehari-hari. Caranya adalah dengan menumbuhkan sikap peduli dalam dirinya terhadap sesamanya. Tentu saja sikap peduli itu tidak datang dengan sendirinya. Sikap peduli itu tumbuh dalam proses hidup manusia. Sikap peduli itu berkembang, ketika orang sungguh-sungguh mengembangkannya. Tidak sekali jadi. Bisa saja orang mengalami jatuh bangun dalam menumbuhkan sikap peduli terhadap sesamanya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa menumbuhkembangkan sikap peduli terhadap sesama. Mengapa? Karena kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Kita selalu berjumpa dengan sesama. Kita selalu bersentuhan dengan sesama.

Karena itu, kita mesti tetap membuka hati kita bagi penderitaan sesama. Dengan demikian, hidup kita menjadi lebih damai dan sukacita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


714

29 Juni 2011

Membuat Prioritas dalam Hidup


Menentukan prioritas dalam hidup merupakan sesuatu yang mesti dilakukan oleh setiap orang. Mengapa? Karena dengan prioritas yang dimiliki itu orang dapat fokus dalam hidupnya. Pusat perhatian orang tidak mudah dipecah oleh hal-hal sampingan yang bukan prioritas dalam hidupnya. Dengan prioritas itu orang akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.

Aktris Katherine Heigl yang berusia 32 tahun mesti mengucapkan selamat tinggal pada film serial televisi Grey’s Anatomy. Alasannya, biar punya cukup waktu bersama anak perempuannya, Naleigh yang baru berusia dua tahun. Ia ingin memusatkan perhatian pada anaknya itu. Karena itu, ia rela mengorbankan sesuatu yang juga tidak kalah pentingnya dalam hidupnya.

Gosip bertahan atau keluarnya Heigl dari Grey’s Anatomy sudah muncul sejak tahun 2007 lalu. Ketika itu dia ”meninggalkan” Grey’s Anatomy untuk bermain film layar lebar berjudul Knocked Up. Pengalaman bermain dalam film bioskop membuat dia berpikir untuk meninggalkan serial televisi.

Namun faktanya, Heigl tetap bermain untuk serial televisi yang dimulai tahun 2005 itu. Dua tahun lalu ia sempat ”istirahat” dari Grey’s Anatomy sekitar tiga bulan. Waktu itu, Heigl bersama suaminya, Josh Kelley, baru mengadopsi Naleigh dari Korea. Kali ini dia serius meninggalkan Grey’s Anatomy, setelah 118 episode membintangi serial tersebut. Ia terakhir tampil Januari 2010 lalu.

Ia berkata, ”Saya sudah selesai dengan Grey’s Anatomy. Kami telah bekerja keras menyelesaikan kontrak sebaik-baiknya. Ini saat yang menyedihkan, tetapi inilah yang saya inginkan. Saya telah mengecewakan penggemar (Grey’s Anatomy), tetapi juga harus membuat keputusan. Saya berharap pilihan inilah yang terbaik.”

Sahabat, adakah kita juga membuat prioritas-prioritas dalam hidup kita? Atau kita hidup mengalir begitu saja seperti air? Tentu saja orang yang punya tujuan hidup pasti membuat prioritas-prioritas dalam hidupnya. Orang mesti berani memilih mana yang lebih penting bagi hidupnya. Orang tidak bisa hidup dibawa arus. Mengapa? Karena manusia telah diberi kebebasan oleh Tuhan untuk menentukan pilihan hidupnya.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa ada hal yang paling penting yang mesti diprioritaskan. Orang yang mau maju dan sejahtera dalam hidupnya mesti berani mengorbankan hal-hal yang menjadi kesenangannya pribadi. Ada hal yang lebih penting yang mesti diutamakan seperti yang dilakukan oleh Katherine Heigl.

Orang beriman yang ingin maju mesti mampu menentukan prioritas itu dalam hidup. Tentu saja dalam menentukan prioritas-prioritas itu orang beriman menyertakan Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan menghendaki manusia fokus dalam hidupnya. Tuhan ingin manusia senantiasa mengarahkan seluruh hidupnya pada kebahagiaan hidup.

Mari kita berusaha untuk memiliki prioritas-prioritas dalam hidup ini. Dengan demikian, kita dapat meraih kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

715

28 Juni 2011

Berani Pertaruhkan Hidup bagi Orang lain




Peristiwa ini terjadi terhadap seorang bapak di Pintu Satu Senayan, Jakarta, tahun lalu. Saat itu ia sedang mengendarai mobil. Sekitar dua puluh meter sebelum berbelok ke Jalan Pintu Satu Senayan, ia menyalakan lampu sinyal. Tetapi beberapa pengendara sepeda motor seakan tak perduli. Mereka tetap memaksa dan menerobos. Satu, dua, sepeda motor berhasil lolos. Tetapi sepeda motor ketiga gagal. Tabrakan tak terhindarkan.

Sepeda motor yang dikemudikan dengan kencang itu akhirnya membentur mobil bapak itu dengan keras. Sang pengemudi terpental lalu terhempas di trotoar. Bapak itu menepi dan berhenti.

Sejumlah orang yang menyaksikan peristiwa itu menyuruhnya jalan terus. Menurut mereka, pengendara motor itu yang salah. Sementara ia melihat pengendara sepeda motor bangkit dan dengan terpincang-pincang berusaha mendorong motornya ke pinggir jalan. Hati kecilnya memerintahkannya untuk turun dari mobil.

Mulanya pengemudi sepeda motor tersebut menolak tawarannya untuk diperiksa di Rumah Sakit Djakarta, yang jaraknya tak jauh dari lokasi tabrakan. Dia mengaku hanya butuh waktu sebentar guna memulihkan kondisi tubuhnya. Bapak itu mendesak dan mengatakan akan menanggung biaya pengobatan termasuk kerusakan motornya. Akhirnya dia bersedia.

Setelah membawa pengemudi motor itu ke rumah sakit, meninggalkan uang untuk perbaikan motornya, dan meninggalkan kartu nama, barulah mereka berpisah. Jika harus menghitung “kerugian” dalam peristiwa itu, bukan cuma karena mobil bapak itu yang rusak, tetapi juga banyak waktu yang terbuang.

Menurut bapak itu, sebagai manusia biasa, ada waktunya ia merasa jengkel pada ulah sebagian pengendara sepeda motor di Jakarta. Banyak yang ugal-ugalan dan merasa merekalah “raja jalanan”. Mereka seakan tidak perduli pada keselamatan jiwa sendiri dan orang lain. Terlalu banyak pengalaman tidak menyenangkan berhadapan dengan pengendara sepeda motor yang seperti itu.

Sahabat, dalam suatu peristiwa kecelakaan biasanya orang mempersoalkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Orang tidak langsung berpikir tentang korban yang mesti dibantu terlebih dahulu. Orang lebih mementingkan keselamatan dirinya sendiri.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa dalam kondisi apa pun keselamatan harus selalu menjadi prioritas utama. Karena itu, bapak itu tidak pertama-tama memikirkan siapa salah, siapa benar. Yang ia pentingkan adalah siapa yang harus diselamatkan terlebih dahulu. Tindakan seperti ini merupakan suatu tindakan yang heroik. Ia berani berkorban untuk keselamatan orang lain. Ia bahkan tidak memikirkan kerusakan dan kerugian yang diderita oleh dirinya.

Tentu saja sikap seperti ini adalah sikap orang yang memiliki iman yang dalam kepada Tuhan. Orang yang berani mengorbankan hidupnya demi keselamatan orang lain menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan. Tuhan telah memberi hidup ini kepadanya. Karena itu, ia mesti meneruskan hidup ini kepada orang lain.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa berani mempertaruhkan hidup kita bagi keselamatan sesama. Dengan demikian, dunia ini menjadi tempat yang aman dan damai bagi semua orang. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

712

27 Juni 2011

Menghayati Iman dalam Hidup


Seorang ibu bercerita bahwa suatu waktu ia mengalami sakit tenggorokan sampai suaranya hilang. Sakit itu ia alami selama satu tahun. Ketika ia berobat ke rumah sakit, dokter mengatakan bahwa ia mengalami radang tenggorokan yang akut. Dokter menganjurkan dirinya untuk beristirahat selama satu minggu.

Anjuran itu tidak bisa dilaksanakan oleh ibu itu, karena profesinya sebagai guru TK yang menuntutnya untuk mengeluarkan suara. Ibu itu tidak bisa meninggalkan tugasnya. Ia tetap masuk ke kelas untuk mengajar anak-anak. Ia memaksakan diri untuk mengeluarkan suara, karena tuntutan profesinya. Akibatnya, penyakit radang tenggorokan itu malah menjadi-jadi sampai mengeluarkan darah.

Ia tidak tinggal diam. Seribu satu langkah ia ambil untuk menyelamatkan tenggorokannya. Ia terus mengobatinya. Namun ia juga memohon bantuan kepada Tuhan. ia yakin, mukjijat akan terjadi dalam hidupnya. Ia yakin, Tuhan akan selalu membantunya untuk kesembuhan tenggorokannya. Keyakinannya ini meneguhkan semangatnya untuk terus maju dalam hidup ini. Ia berhasil. Kombinasi antara usaha diri sendiri dan bantuan Tuhan telah menyembuhkan tenggorakannya.

Ibu itu berkata, “Melalui peristiwa tersebut, iman saya menjadi semakin kuat. Saya menyediakan waktu setiap hari untuk membaca Kitab Suci, berdoa dan beramal.”

Sahabat, banyak orang mengaku beriman kepada Tuhan. Namun kenyataan hidup mereka sering bertentangan dengan iman itu. Misalnya, ada orang yang rajin beribadat, rajin membaca Kitab Suci, namun ternyata ia seorang koruptor kelas kakap. Ada orang yang punya semangat sosial yang tinggi seperti memberi sumbangan untuk kegiatan-kegiatan sosial. Namun kemudian orang ini berurusan dengan polisi, karena menjadi bandar narkoba.

Tentu saja contoh-contoh tadi merupakan kehidupan yang menyimpang dari iman. Kehidupan iman ternyata tidak selaras dengan hidup sehari-hari. Iman yang luhur dan mulia itu tidak diimbangi dengan penghayatan hidup yang baik dan benar. Ada ketimpangan antara iman dan kenyataan hidup sehari-hari.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kita masih tetap butuh iman yang hidup. Iman yang hidup itu tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Suatu sikap iman yang selaras dengan penghayatan iman. Orang tidak bisa hanya mengharapkan mukjijat. Orang juga mesti berusaha untuk menghayati imannya dalam hidup sehari-hari.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita senantiasa diajak untuk terus-menerus menghidupi iman kita dalam perjalanan hidup ini. Hanya dengan menjadikan iman kita nyata dengan melaksanakan ajaran-ajaran agama kita masing-masing, kita mampu menjadi orang beriman yang baik.

Mari kita berusaha untuk menyerahkan hidup kepada Tuhan. Dengan cara ini, kita memiliki iman yang kuat dan tahan uji. Iman kita tidak hanya tampak dalam ibadat dan doa-doa. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


711

26 Juni 2011

Ketika Orang Berani Menghadapi Pilihan Hidup


“Hidup ini pilihan”. Begitu ungkapan yang sering kita dengar. Sebenarnya sejak awal kehidupan ini kita sudah dihadapkan pada beberapa pilihan yang terkadang membuat kita pusing tujuh keliling. Namun semua itu tergantung dari cara kita menanggapi pilihan hidup itu. Tentu saja setiap pilihan hidup itu pasti ada resikonya.

Seorang gadis menyadari jalan pilihan hidupnya, ketika ia berusia delapan belas tahun. Waktu itu ia telah lulus dari SMA. Waktu itu saudari iparnya menganjurkannya untuk kuliah di sebuah universitas negeri. Ia dianjurkan untuk menempuh kulian Diploma III. Namun anjuran itu bertentangan dengan pikirannya. Mengapa? Karena ia telah menanamkan cita-cita untuk menjadi seorang perawat.

Ia merenungkan dua pilihan itu. Ia berpikir, kalau ia memenuhi anjuran saudari iparnya, ia akan tergantung kepadanya. Tetapi kalau ia mengikuti keinginannya, ia telah merasa berhutang kepada saudari iparnya yang telah menyekolahkannya hingga lulus SMA. Dalam kebimbangan seperti itu, ia memutuskan untuk meninggalkan rumah saudari iparnya. Ia pergi ke kota lain untuk mencari pekerjaan.

Ia berhasil. Dari hasil kerjanya itu, ia mulai menabung. Ia ingin melanjutkan sekolahnya lagi. Ia tidak hanya ingin berhenti sampai lulus SMA. Ia ingin memiliki pendidikan yang lebih tinggi lagi.

Setelah beberapa tahun bekerja, ia meminta kepada bosnya untuk dapat melanjutkan kuliah di kota tersebut. Bosnya sangat mendukung keinginannya. Bahkan sang bos berjanji untuk membantu biaya kuliahnya. Hal itu menjadi motivasi yang semakin membantunya dalam kuliahnya. Empat tahun kemudian ia pun menyandang gelar sarjana. Kerja kerasnya mulai ia nikmati. Ia memiliki pendidikan yang lebih tinggi.

Sahabat, banyak anak zaman sekarang sering gampang menyerah pada situasi yang mereka hadapi. Ketika ada tantangan, mereka berhenti. Mereka tidak berani untuk maju. Mereka takut gagal dalam hidup mereka. Tentu hal seperti ini membuat kita miris. Mengapa anak zaman sekarang mudah menyerah pada tantangan hidup? Semestinya tantangan hidup itu menjadi motivasi untuk meraih cita-cita hidup.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa tantangan hidup bukan menjadi halangan bagi manusia untuk berhenti di jalan. Tantangan itu menjadi motivasi bagi dirinya untuk meraih cita-cita hidupnya. Tantangan bukanlah penghalang bagi kemajuan. Orang yang berani menghadapi tantangan itu akan berhasil dalam hidupnya. Orang seperti ini berani menghadapi resiko yang akan dihadapi.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk menghidupi iman kita dalam hidup sehari-hari. Iman itu sering berhadapan dengan tantangan-tantangan. Iman sejati itu diuji dalam perjalanan hidup ini. Karena itu, orang beriman mesti berani menghadapi pilihan-pilihan hidup yang penuh resiko. Dengan cara ini, orang tetap bertahan dalam perjalanan hidup ini. Orang tetap berani untuk menghidupi imannya dalam tantangan hidup yang nyata.

Mari kita tetap berusaha untuk menghidupi iman kita dalam hidup yang nyata dengan berbagai resikonya. Dengan demikian, kita dapat menemukan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


709

Terbuka terhadap Perubahan Zaman



Mencermati hidup manusia, manusia selalu hidup dalam perubahan. Perubahan itu terjadi dalam pertumbuhan fisik, berbicara, intelektual dan psikologi serta spiritual. Manusia yang terbuka terhadap perubahan akan mengalami kemajuan dalam hidupnya. Hanya orang yang ingin menggapai kesuksesan dan kesejahteraan dalam hidupnya akan membuka dirinya terhadap perubahan itu.

Seorang gadis menyadari bahwa hidup ini unik dan selalu berubah. Ia mengaku mesti menerjang berbagai aral yang menantang untuk menerima perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Ia berhasil. Ia menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Ia mulai membangun hidupnya dengan menjadi guru dan pendidik.

Ia mengaku, awalnya ia mengalami kesulitan-kesulitan dalam mengajar dan mendidik. Namun berkat keterbukaan hatinya terhadap berbagai perubahan, ia pun mulai merasa percaya diri. Ia yakin, apa yang ia ajarkan di kelas memberikan hal-hal yang berguna bagi kehidupan banyak orang.

Untuk itu, ia berani melakukan inovasi-inovasi dalam setiap pelajaran yang ia berikan. Ia tidak hanya menggunakan metode-metode yang biasa-biasa saja. Ia menggunakan metode-metode alternatif yang membantu murid-muridnya maju dalam pendidikan mereka.

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang cepat berubah. Sepuluh tahun lalu, misalnya, di kota Palembang belum kita jumpai mall-mall. Namun sekarang ada berbagai mall yang menjadi pusat perbelanjaan bagi masyarakat. Ini suatu perubahan. Masyarakat Palembang hidup dalam perubahan seperti ini. Kalau orang tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, orang akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Orang akan menemukan bahwa orang mengalami berbagai hambatan dalam hidupnya.

Untuk itu, orang mesti menyiapkan dirinya untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi. Orang juga mesti berani melakukan inovasi-inovasi dalam hidup ini untuk dapat mengimbangi perubahan yang terjadi. Tentu saja hal ini tidak mudah. Orang mesti berani menghadapi resiko-resiko yang akan terjadi, ketika orang berani melakukan inovasi dalam hidupnya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa inovasi yang dilakukan dengan metode-metode baru dalam mengajar itu membantu orang untuk berhasil dalam hidupnya. Sebagai orang beriman, kita diharapkan senantiasa melakukan inovasi-inovasi dalam perjalanan hidup ini. Ada banyak kemungkinan yang terbuka luas bagi kita untuk meraih hidup yang sejahtera.

Mari kita terus-menerus berusaha untuk terbuka hati terhadap berbagai perubahan zaman. Hanya dengan membuka hati, kita dapat meraih kesuksesan dan kesejahteraan dalam hidup. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

710

24 Juni 2011

Bertahan dalam Kebenaran



Kata siapa belajar itu gampang? Waktu pertama belajar mengendarai sepeda motor, misalnya, ternyata sulit. Tangan dan kaki gemetar setiap mengendarai sepeda motor. Walaupun ada yang membantu, masih ada rasa takut.

Suatu waktu seorang pemuda memberanikan diri mengendarai sepeda motor vespa. Tiba di jalan sempit, gang antara ruko, stang sepeda motornya menyenggol dinding tembok ruko tersebut. Handel rem patah. Ia turun mendorong motor sampai ke bengkel untuk diperbaiki dan mengganti bagian yang rusak.

Suatu hari, ia mengendarai sepeda motor ke sekolah. Ia berangkat agak pagi. Sampai di pintu gerbang sekolah, naik tanjakan, braak…. Motornya menabrak pintu dapur. Walapun kejadiannya pelan, namun ia merasa sangat takut. Ia menjadi gugup.

Namun pengalaman-pengalaman tabrakan itu tidak membuat pemuda itu putus asa. Ia terus belajar. Suatu ketika ia pun dapat mengendarai sepeda motor dengan sangat lancar. Ia dapat meliuk-liuk di jalan raya. Ia bisa zigzag di keramaian kota.

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang serba menantang. Di saat ujian nasional yang lalu sedang berjalan, banyak pelajar tergoda untuk mendapatkan jawaban atas soal ujian. Mereka tampak kurang percaya diri untuk mengerjakan soal-soal ujian nasional itu. Padahal mereka sudah mempersiapkan diri berbulan-bulan. Banyak try out telah dilakukan di sekolah-sekolah. Memang, ujian nasional itu gampang-gampang susah. Orang mesti menyiapkan diri sungguh-sungguh. Kalau hanya asal-asalan menyiapkan diri, tentu akan mengalami kesulitan yang besar di ruang ujian.

Dalam suasana kurang percaya diri itu timbullah keinginan untuk menyontek. Suatu tindakan yang tidak terpuji. Suatu tindakan yang mengangkangi kebenaran dan kejujuran. Padahal setiap sekolah telah menanamkan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran yang semestinya selalu diperjuangkan.

Karena itu, orang mesti berlatih terus-menerus untuk menemukan cara-cara yang jujur dan benar dalam menjalani hidup ini. Orang mesti belajar untuk memiliki ketrampilan yang dapat membantu dirinya untuk menjalani hidup ini. Orang mesti berusaha untuk tidak tergoda oleh hal-hal yang menuntutnya untuk meninggalkan kebenaran dan kejujuran.

Mari kita terus-menerus berusaha untuk mendidik diri kita memiliki kekuatan untuk bertahan dalam kebenaran dan kejujuran. Dengan demikian, hidup kita menjadi suatu contoh bagi orang lain. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


708

23 Juni 2011

Membagikan Pengalaman Kegembiraan


Suatu pagi, seorang mahasiswi mendapat telephon dari kampusnya. Ia diminta untuk segera ke kampus. Ia segera berangkat. Seribu satu pikiran timbul tenggelam dalam benaknya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah tiba di kampus. Namun ia tetap yakin, ada sesuatu yang baik yang akan ia peroleh dari kampusnya.

Setelah beberapa lama, ia pun tiba di kampusnya. Ia langsung menuju ke bagian administrasi universitas itu. Begitu bertemu dengan petugas administrasi, jantungnya berdetak kencang. Namun tiba-tiba ia menjadi tenang. Ia pun dapat tersenyum gembira, begitu petugas itu berkata, “Selamat. Anda mendapat beasiswa!”

Ia melonjak kegirangan. Ia merasakan hidup ini menjadi lebih bermakna. Hidup ini menjadi lebih mudah. Ia datang dari keluarga miskin yang tidak berpunya, namun ia mendapatkan perhatian yang luar biasa dari pihak universitas. Ia pun bersyukur atas kebaikan Tuhan. Ternyata Tuhan tetap menyertai umat-Nya yang miskin. Tuhan tetap peduli terhadap orang yang lemah.

Kegembiraan itu kemudian ia bagikan kepada sang ibu di rumah. Sang ibu sampai meneteskan air mata. Ia begitu bahagia. Ia tidak perlu lagi bekerja terlaku keras untuk membiayai putrinya itu.

Gadis itu mengucapkan terima kasih atas perhatian ibunya. Ia menyadari, sikap cerewet yang selama ini ditunjukkan oleh ibunya itu sungguh-sungguh bermanfaat. Ia mendapatkan dukungan dan dorongan untuk meraih prestasi yang tinggi dalam kuliahnya.

Sahabat, kegembiraan yang kita miliki bukan hanya untuk diri kita sendiri. Kegembiraan itu juga mesti dibagikan kepada sesama. Mengapa? Karena kegembiraan itu menjadi suatu situasi kita memberi semangat hidup kepada orang lain. Ketika kita berani membagikan kegembiraan kita kepada orang lain, kita ingin mengungkapkan betapa hidup ini memiliki makna yang begitu mendalam.

Banyak orang berpikir, kegembiraan itu miliki diri mereka sendiri. Karena itu, mereka memendam kegembiraan itu untuk diri mereka sendiri. Mereka enggan membagikan kegembiraan itu kepada sesamanya. Akibatnya, kegembiraan itu hanya untuk diri mereka sendiri. Kegembiraan itu hanya bermakna bagi diri mereka sendiri. Bukan menjadi bagian dari sesama.

Melalui kisah di atas kita diajak untuk berani membagikan kegembiraan yang kita miliki kepada sesama kita. Mengapa? Karena kegembiraan yang kita miliki itu bukan hanya milik kita. Kegembiraan itu juga milik sesama kita. Kegembiraan itu pantas kita bagikan kepada sesama kita.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk menyadari bahwa kegembiraan itu berasal dari Tuhan. Tuhan sendiri ingin membagikan kegembiraannya kepada ciptaan-Nya. Tuhan ingin agar kita menemukan kegembiraan dalam hidup kita. Karena itu, mari kita saling berbagi kegembiraan. Dengan demikian, hidup ini menjadi semakin bermakna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

707

22 Juni 2011

Andalkan Rahmat Penyembuhan dari Tuhan



Seorang gadis bercerita bahwa tahun 2005 merupakan tahun terberat bagi dirinya. Di saat usianya menginjak yang ke-32, ia dinyatakan menderita penyakit Idiopatic Thrombocitopenic Purpura atau ITP. Penyakit itu tidak diketahui penyebabnya. Ia begitu cemas. Ia tidak pernah merasakan sakit. Hanya pada suatu hari sekujur kakinya timbul bintik-bintik merah dan kebiru-biruan.

Beberapa hari kemudian terjadi pendarahan di sela-sela gusinya. Ia takut dan merasa lemas. Lalu ia pergi ke sebuah rumah sakit untuk memeriksakan diri. Begitu darahnya dicek di laboratorium, ternyata trombositnya hanya mencapai sebelas ribu. Padahal manusia normal mesti memiliki sekitar 150.000 - 250.000. Ia langsung dirawat hingga lima hari. Baru sekali itu ia merasakan terbaring lemas di rumah sakit.

Dalam kondisi seperti itu, ia mendapatkan dukungan dari teman-teman dan keluarganya. Mereka senantiasa memberinya semangat. Semangat itu untuk sementara menguatkan dirinya. Beberapa hari kemudian, ia diperbolehkan pulang. Ia menjalani pengobatan di rumah.

Namun baru empat bulan ia menjalani pengobatan, ternyata ia masuk kembali ke rumah sakit. Ia menjalani perawatan lagi. Setiap saat selalu diambil darahnya. Jarum suntik sudah tidak menakutkan lagi baginya. Begitulah seterusnya hingga ia masuk rumah sakit untuk keempat kalinya.

Ia mulai mengerti tentang penyakit yang dideritanya. Ia mencari informasi tentang penyakit yang dideritanya. Ia menemukan bahwa sel-sel darah merahnya terlalu sedikit atau terlalu rendah. Antibodi dalam tubuhnya itu menyerang sel-sel darah itu sendiri. Karena sel darah merah di tubuhnya rendah itulah yang menyebabkan bintik-bintik merah dan terjadi pendarahan.

Gadis itu terus berusaha untuk sembuh dan terbebas dari penyakitnya. Ia mencoba untuk menjadi sehat. Pola hidup sehat senantiasa ia terapkan, pengobatan medis tetap ia jalani.

Sahabat, usaha untuk memperoleh kesembuhan dari suatu penyakit menunjukkan tekad iman yang besar. Orang yang menyerah pada keadaan sebenarnya orang yang kurang beriman. Tuhan telah memberi berbagai potensi yang ada dalam diri untuk terus-menerus memerangi kelemahan. Karena itu, manusia mesti menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk memperkuat dirinya.

Kisah tadi mengatakan kepada kita bahwa usaha untuk memperoleh kesembuhan memberi kekuatan kepada gadis itu untuk terus maju. Ia tidak mau menyerah. Ia berusaha untuk mencari cara-cara yang terbaik untuk kesembuhan dirinya. Ia mencari tahu jenis penyakit yang dideritanya. Dengan demikian, ia semakin mengerti dan tahu tentang penyakitnya itu.

Sebagai orang beriman, usaha untuk menyembuhkan diri dari suatu penyakit mesti selalu dibantu oleh rahmat Tuhan. Dalam kondisi sakit, orang mesti berusaha untuk menyerahkan hidup kepada Tuhan sambil berharap rahmat penyembuhan. Dengan demikian, orang senantiasa mengandalkan kuasa Tuhan dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


706

21 Juni 2011

Berusaha Menjadi Orang Baik




Banyak orang berebut menjadi orang penting dalam kehidupan sehari-hari. Ada berbagai motivasi yang diungkapkan. Berbagai usaha ditempuh untuk meraih keinginan untuk menjadi orang penting. Setelah meraih keiningan itu, orang merasa bahagia. Soalnya, apakah cukup orang menjadi orang penting dalam hidup ini?

Namun menurut Ebet Kadarusman, belum cukup orang menjadi orang penting. Ia berkata, “Memang baik jadi orang penting, tetapi jauh lebih penting untuk jadi orang baik.”

Tentu saja ini sebuah ungkapan yang menantang manuisa untuk semakin menjadi orang baik dalam hidup ini. Ebet Kadarusman meninggal Sabtu, 20 Maret 2010, lalu di Bandung. Ia dikenal oleh banyak pemirsa televisi lewat acara ‘Salam Canda’. Ungkapan atau pesan tadi merupakan trademark saat ia membawakan acara tersebut.

Sahabat, tentu saja pesan tadi punya makna yang mendalam bagi hidup manusia. Boleh-boleh saja orang berlomba-lomba untuk menjadi orang penting. Namun yang mesti diingat adalah orang mesti berusaha untuk menjadi orang baik dalam hidup ini. Ketika orang hanya mengejar keinginan untuk menjadi orang penting, orang bisa menempuhnya dengan cara-cara yang tidak terpuji.

Untuk itu, perlu kesadaran dalam diri manusia tentang makna kehidupan ini. Apakah orang hidup untuk mengejar cita-cita menjadi orang penting? Atau orang mesti menjadi orang baik lebih dahulu baru menjadi orang penting? Tentu saja tidak mudah menjadi orang yang baik. Orang mesti menghadapi berbagai rintangan dalam hidup ini. Orang mesti melewati tantangan-tantangan.

Namun kalau orang tetap bertahan pada prinsip untuk menjadi orang baik lebih dahulu, orang akan mengalami hidup ini menjadi lebih bermakna. Hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk melakukan hal-hal baik dan berguna bagi orang lain. Orang akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi orang yang baik. Namun soal baik buruknya seseorang tentu bukan penilaian dari diri sendiri. Hal itu merupakan penilaian dari orang lain atas kinerja dan sepak terjang seseorang dalam hidup ini.

Sebagai orang beriman, kita dipanggil untuk menjadi orang yang baik. Orang yang baik itu orang yang mampu melepaskan diri dari egoisme dan cinta diri yang berlebihan. Mengapa mesti demikian? Karena orang yang baik itu mesti rela berkorban bagi sesamanya. Orang yang baik itu rela mendahulukan kepentingan dan kebahagiaan sesamanya. Orang yang baik itu mampu memberi dirinya bagi kebahagiaan sesamanya.

Mari kita berlomba-lomba menjadi orang yang baik dengan cara-cara yang baik. Hanya dengan menjadi orang baik, kita mampu menjadi pembawa kegembiraan dan harapan dalam hidup sehari-hari. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


705

20 Juni 2011

Rahasia Tujuh Juta Dollar


Grace Groner meninggal dunia Januari 2011 lalu ketika ia berusia 100 tahun. Ia berasal dari Lake Forest, Illinois, Amerika Serikat. Rumahnya sangat sederhana di sebuah rumah dengan satu kamar. Ia membeli pakaian untuk dirinya dari penjualan di bagasi rumah pada musim panas.

Namun di balik kesederhanaannya itu, ia telah mendonasikan tujuh juta dolar Amerika Serikat untuk alma maternya, Lake Forest College. Dari mana uang sebanyak itu ia miliki? Ternyata uang itu ia peroleh dengan membeli saham di Laboratorium Abbot di mana ia bekerja selama 43 tahun. Ia pernah menjadi sekreteris jendral di laboratorium tersebut.

Pada tahun 1935 ia membeli tiga lembar saham yang masing-masing seharga 60 dollar. Dari pembelian saham itu kemudian ia mendapatkan pembagian keuntungan. Ia tidak gunakan keuntungan itu untuk kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Ia menginvestasikan keuntungan itu dengan membeli saham.

Setelah bertahun-tahun menginvestasikan dananya di laboratorium itu, Groner mengumpulkan uang sebesar 7 juta dollar. Ia mendirikan sebuah yayasan untuk college tersebut yang digunakan untuk beasiswa, khususnya bagi para mahasiswa yang tertarik untuk belajar di luar negeri.

Sahabat, apa yang dilakukan oleh Grace Groner merupakan suatu kebajikan yang berguna bagi banyak orang. Ia punya kepedulian terhadap sesama. Ia ingin memajukan kehidupan banyak orang. Karena itu, ia berani mengorbankan diri bagi hidup orang lain. Ia rela hidup dalam kesederhanaan demi kemajuan generasi muda.

Tentu saja hal seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang beriman kepada Tuhan. Orang yang beriman itu orang yang senantiasa ingin membahagiakan sesamanya. Orang yang tidak ingin menyaksikan sesamanya mengalami penderitaan dalam hidupnya. Orang beriman itu orang yang rela mengorbankan hidupnya bagi sesamanya.

Karena itu, apa yang mesti kita lakukan? Yang mesti kita lakukan adalah kita berani menemukan peluang-peluang untuk membahagiakan sesama kita.

Untuk itu, kita mesti menghentikan egoisme dan mengejar kepentingan diri sendiri. Orang seperti ini orang yang memiliki cinta yang mendalam terhadap sesamanya. Orang seperti ini biasanya peduli terhadap kehidupan sesamanya. Orang seperti ini tidak menggerutu ketika membantu sesamanya. Justru orang seperti ini mengalami sukacita dan bahagia menyaksikan sesamanya bahagia.

Mari kita membahagiakan sesama kita dengan memiliki kepedulian terhadap mereka. Dengan demikian, kebahagiaan juga menjadi bagian hidup mereka. Tuhan membekati. **



Frans de Sales, SCJ


713

Usaha Menyadari Kesalahan Diri

Tahun lalu Jesse James, suami dari Sandra Bullock, meminta maaf kepada istri dan tiga orang anaknya. Pasalnya, ia telah dituduh melakukan skandal seksual dengan Michelle Bombshell McGee. Menurut James, hal itu telah menyebabkan hidupnya dan hidup istri serta anak-anaknya terganggu. Karena itu, ia meminta maaf dan mengharapkan pengampunan dari istrinya yang baru saja meraih hadiah Oscar sebagai pemain film putri terbaik itu.

Ia mengatakan, tuduhan terhadap dirinya itu tidak benar. Ia tidak pernah melakukan hal yang tidak senonoh. Ia tidak punya skandal seksual dengan McGee. Beberapa waktu lalu, McGee mengatakan kepada sebuah tabloid bahwa ia memiliki skandal yang panjang dengan James. Menurut James, hal itu tidak benar, sehingga ia meminta maaf kepada istri dan tiga anaknya tentang berita miring tersebut.

Ia berkata, “Hanya ada satu orang yang disalahkan dalam seluruh situasi ini. Orang itu adalah saya. Hal itu karena saya membiarkan diri saya dituding melakukan hal yang buruk.”

Ia mengatakan bahwa gosip-gosip itu telah menyebabkan rasa sakit dalam diri istri dan anak-anaknya. Ia berkata, “Gosip ini telah menyakiti istri dan anak-anak saya dan membuat malu mereka. Saya sangat sedih telah menyebabkan mereka sakit. Saya sungguh minta maaf atas penderitaan yang telah saya buat terhadap mereka. Saya harap suatu hari mereka dapat mengampuni saya.”

Sahabat, apa yang dilakukan Jesse James adalah suatu usaha yang sangat baik. Ia mengakui apa yang telah dilakukannya itu menyebabkan sakit dalam diri istri dan anak-anaknya. Ia menyadari kesalahan. Tentu saja ini suatu langkah yang baik dalam hidup. Orang yang mampu menyadari kesalahan dalam dirinya itu orang yang memiliki kebesaran hati untuk memperbaiki situasi hidup. Orang seperti ini ingin hidup lebih baik. Ia tidak ingin terpuruk dalam kegelapan hidup.

Dalam hidup ini banyak orang tidak mudah memiliki kebesaran hati untuk mengakui kesalahan dirinya. Orang lebih mudah mengajukan argumentasi pembelaan diri. Orang lebih gampang membela diri dengan mengatakan tidak melakukan hal-hal yang dituduhkan kepadanya. Tentu saja pembelaan diri boleh-boleh saja.

Namun yang lebih penting adalah orang mesti berani menyadari kesalahan yang telah dibuatnya. Hal ini menjadi langkah awal dalam memperbaiki diri. Hanya dengan cara ini, orang mampu memperbaiki relasi yang telah rusak. Orang mampu menjalin kembali benang-benang kusut kehidupan. Maaf akan segera diberikan, ketika orang menunjukkan suatu perubahan dalam hidup ini.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita diharapkan untuk terus-menerus menyadari kesalahan-kesalahan kita. Hal ini menjadi langkah awal bagi kita untuk membangun suatu hidup yang lebih baik. Dengan demikian, kehidupan yang harmonis dapat tercipta dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


704

19 Juni 2011

Membuat Perhitungan yang Cermat bagi Hidup Rata Penuh




Ada seorang mahasiswa yang terpaksa memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya. Setelah dua tahun kuliah, ia menyadari bahwa ilmu yang sedang didalami itu bukan bidangnya. Ia tidak bisa mengikuti matakuliah yang diberikan.

Ia mengatakan bahwa ia lebih baik berhenti kuliah. Ia tidak tega membiarkan orangtuanya mengeluarkan uang untuk biaya kuliahnya. Terlalu berat bagi mereka. Lagi pula ia belum tentu menyelesaikan kuliahnya dengan baik.

Lantas ia meminta ijin kepada orangtuanya untuk berhenti kuliah. Kepada mereka ia menjelaskan semua persoalan yang dihadapinya. Mereka bisa mengerti. Lalu ia meminta kesediaan orangtuanya untuk memberi dia dana untuk buka usaha perbaikan hand phone dan jualan alat-alat elektronik. Orangtuanya terkejut mendengar permintaan anaknya. Mengapa? Karena selama ini anak itu menjalani kuliah ekonomi.

Anak itu meyakinkan mereka bahwa ia akan lebih berhasil dengan usaha barunya. Mereka pun memberi dana untuk buka usaha baru itu. Apa yang terjadi kemudian? Mahasiswa putus kuliah itu berhasil dalam usahanya! Melalui kerja kerasnya memperbaiki hp yang rusak dan jualan alat-alat elektronik, ia dapat menghidupi dirinya dan orangtuanya.

Tentang hal ini, ia berkata kepada orangtuanya, “Kalau saya tidak banting setir, tentu ayah dan ibu akan buang uang tanpa hasil yang jelas. Sekarang saya berada di jalur yang benar.”

Sahabat, dalam hidup ini orang mesti berani untuk banting setir. Orang mesti berani beralih dari kehidupan yang tidak menentu menjadi hidup yang terarah kepada kehidupan yang lebih baik.

Orang mesti berani bertaruh. Ini menunjukkan bahwa orang punya iman. Orang yang memikirkan dengan matang apa yang akan diperbuatnya. Orang yang juga menyertakan Tuhan dalam perjalanan hidupnya.

Tentu saja hal seperti ini tidak mudah. Orang dituntut untuk menemukan peluang-peluang baru dalam hidupnya. Orang mesti berani menangkap peluang-peluang itu bagi hidupnya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa peluang yang dipergunakan dengan baik akan membawa manusia kepada kebahagiaan. Orang mempertaruhkan sesuatu yang sangat tinggi nilainya bagi hidupnya. Orang mesti berani mempertanggungjawabkan apa yang telah dipilihnya itu.

Banting setir tidak hanya berarti orang memulai sesuatu yang baru bagi hidupnya. Namun yang lebih penting adalah orang sungguh-sungguh memperhitungkan apa yang telah dipilihnya itu dengan cermat. Perhitungan yang salah akan menjadikan orang frustrasi dalam hidupnya. Orang akan mengalami hidup ini kurang begitu bernilai.

Sebagai orang beriman, mari kita berusaha untuk memperhitungkan lebih cermat atas apa yang akan kita perbuat. Dengan demikian, kita akan menemukan suatu hidup yang lebih baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


703

18 Juni 2011

Hidup dalam Persaudaraan dan Persahabatan


Ada seorang bapak yang sewot luar biasa ketika mengetahui bahwa bemper mobil sedannya tergores. Seseorang baru saja menyerempet mobilnya itu. Orang itu tidak melarikan diri. Ia meminggirkan mobilnya dan turun menemui pemilik sedan itu. Ia meminta maaf atas kekilafannya. Ia tidak sengaja melakukan hal itu. Peristiwa itu terjadi secara kebetulan.

Bapak pemilik sedan itu sama sekali tidak menghiraukan permintaan maaf itu. Ia lebih peduli terhadap bemper mobilnya yang lecet itu. Beberapa saat kemudian, bapak itu menatap wajah orang yang menyerempet mobilnya. Ia memarahinya dengan kata-kata yang pedas dan kasar. Tidak ada pengampunan dari dalam dirinya. Yang ia pentingkan adalah bemper mobilnya yang lecet itu.

Orang yang menyerempet mobil itu tidak habis pikir. Mengapa bapak itu begitu sadis? Mengapa ia begitu peduli terhadap bemper mobilnya yang lecet itu? Padahal lecet itu bisa dihilangkan dalam beberapa saat dengan cat.

Dengan sedih, orang itu berkata, “Bapak, saya minta maaf. Kita sama-sama berada di tempat yang ramai. Jadi kekeliruan sedikit saja bisa terjadi serempetan. Kalau bapak tidak mementingkan permohonan maaf saya, saya akan segera pergi.”

Bapak itu semakin marah. Ia tidak mau memberikan maaf. Baginya, lecet itu mesti diganti dengan sejumlah uang. Namun ia enggan mengatakan berapa jumlah uang yang mesti diberikan kepadanya. Orang yang menyerempet mobil itu lantas meninggalkan bapak itu sendirian.

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang menampilkan berbagai segi kehidupan. Ada yang begitu peduli dengan harta benda yang mereka miliki. Ada yang peduli terhadap kehidupan sosial dan kebersamaan.

Ada yang tidak peduli terhadap permohonan maaf dari sesamanya. Karena itu, orang seperti ini sulit sekali mengampuni sesamanya. Orang seperti ini lebih peduli terhadap kepentingan dirinya sendiri. Tujuan kehadiran orang lain di sekitarnya hanya demi kepentingan dirinya sendiri.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa dalam kebersamaan hidup yang mesti dipentingkan adalah terciptanya persaudaraan. Kesalahan yang kecil tidak perlu dibesar-besarkan. Kesalahan yang kecil itu mesti segera ditutup dengan bangunan persaudaraan dan persahabatan. Kalau orang membesar-besarkan kesalahan, persahabatan tidak akan terjadi dalam kehidupan bersama.

Karena itu, membangun persaudaraan dan persahabatan menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan ini. Persahabatan yang baik mampu mengubah yang buruk menjadi lebih baik. Orang mengatakan bahwa lebih baik memiliki sahabat yang baik daripada memiliki harta berlimpah, namun tidak punya sahabat yang baik.

Sebagai orang beriman, kita mesti berusaha untuk mendahulukan persaudaraan dan persahabatan dalam hidup ini. Mengapa? Karena hidup dalam persaudaraan dan persahabatan yang baik itu membuahkan kebaikan. Kita akan diperkaya oleh bangunan persaudaraan dan persahabatan itu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

702

17 Juni 2011

Memelihara Ketegaran Hati


Banyak orang mengenal nama Pepeng. Ia seorang presenter kondang di salah satu stasiun televisi. Namun beberapa tahun terakhir ini ia hilang dari peredaran. Ia mengalami sakit yang luar biasa pada tubuhnya. Ia terpaksa tinggal di rumah. Penyakit yang dideritanya adalah penyakit langka bernama multiple schlerosis (MS). Belum ditemukan obat penyembuh untuk penyakit ini.

Penyakit tersebut membuat sekujur tubuh Pepeng sakit. Sedikit saja ia bergerak, ia akan mengalami kesakitan yang luar biasa. Namun Pepeng dapat diacungi jempol. Soalnya adalah ia ingin berdamai dengan penyakitnya. Tentang penyakit yang dideritanya, ia berkata, “Saya berusaha berdamai dengan penyakit saya.”

Pepeng mengaku, rasa nyeri yang menyerang sekujur tubuhnya dalam setiap helaan nafasnya itu, dia kendalikan dengan kesadaran penuh. Dengan penuh semangat, ia berkata, “Saya yang mengambil alih pimpinan. Bukan penyakit saya.”

Pepeng tegar menghadapi penderitaannya. Hebatnya lagi, dalam kondisi seperti itu, Pepeng tetap menyelesaikan kuliah psikologinya untuk meraih gelar S2. Di sela-sela waktunya ia juga masih menyempatkan diri untuk menulis. Termasuk merintis pembentukan komunitas penyandang MS. Komunitas yang dibentuk agar sesama penyandang MS bisa saling memberi info mutakhir tentang penyakit tersebut dan juga saling menguatkan.

Tentang ketegaran dirinya untuk tetap hidup, ia berkata, “Saya pantang mati sebelum ajal.”

Sahabat, kisah Pepeng menyadarkan kita semua tentang makna kehidupan. Kehidupan itu mesti tetap diperjuangkan hingga nafas terakhir. Dalam istilah Pepeng adalah pantang mati sebelum ajal. Orang diajak untuk tidak putus asa menghadapi penderitaan. Orang boleh saja mengalami penderitaan karena penyakit, tetapi orang mesti tetap bertahan sambil mencari cara-cara untuk mengobatinya.

Karena itu, tidak ada jalan pintas untuk mengakhiri hidup ini. Mengakhiri hidup dengan jalan pintas itu menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk mengolah hidupnya. Memang, mesti diakui bahwa tidak semua orang mampu menghadapi kondisi sakit seperti yang dialami Pepeng. Namun Pepeng telah menunjukkan kepada kita bahwa ia masih memiliki semangat hidup. Ia masih punya kesempatann untuk menyelesaikan perjalanan panjang hidupnya dengan baik.

Untuk itu, dukungan dari sesama dan orang-orang di sekitar kita sangat dibutuhkan oleh mereka yang sedang sakit. Mereka butuh untuk disapa. Mereka butuh kata-kata peneguhan dari kita. Dengan cara itu, orang-orang yang sedang mengalami penderitaan dapat menjalani hari-hari hidup mereka dengan lebih menyenangkan.

Sebagai orang beriman, ketegaran kita dalam menghadapi penyakit menjadi cerminan iman kita kepada Tuhan. Orang yang gampang putus asa dalam menghadapi penyakitnya adalah orang yang kurang punya iman kepada Tuhan. Mari kita tingkatkan keberimanan kita dengan memiliki ketegaran dalam menghadapi berbagai situasi hidup yang sulit. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


701

16 Juni 2011

Memupuk Kepekaan Hati bagi Yang Menderita




“Kawan-kawan, seorang ibu dan tiga anaknya masih terjebak banjir di Kampung Melayu. Sudah dua hari mereka tidak mendapat suplai makanan. Bantuan dapat disalurkan melalui posko relawan atau tim SAR di lokasi”. Begitu bunyi salah satu SMS yang dikirim oleh Nor Pud.

Kali lain, Nor Pud mengirim SMS berbunyi, “Apakah kita akan membiarkan anak-anak korban penggusuran itu harus kehilangan kesempatan untuk belajar? Mereka tidak berdosa. Mereka harus diselamatkan.” SMS itu merupakan reaksinya atas peristiwa penggusuran di sebuah lokasi di Jakarta Barat.

Biasanya SMS-SMS semacam itu dilengkapi dengan nama orang yang bisa dihubungi dan nomor telepon yang bisa dikontak. Kadang sangat detail ditulis obat-obatan atau jenis barang yang dibutuhkan. Bahkan lokasi orang-orang yang membutuhkan bantuan biasanya dicantumkan sangat lengkap, sehingga memudahkan siapa saja yang ingin memberikan bantuan.

Hampir setiap minggu Nor Pud Binarto mengirim SMS semacam itu kepada kenalan-kenalannya untuk membantu para korban. Isinya berupa imbauan agar mereka yang menerima SMS tersebut tergerak untuk membantu. Bukan cuma peristiwa di wilayah Jakarta yang menjadi kepeduliannya. Mulai longsor di Papua, bentrokan berdarah di Ambon, gempa di Jogja, sampai TKI yang terlantar akibat diusir pemerintah Malaysia menjadi perhatiannya.

Lelaki enerjik ini seorang yang selalu gelisah. Terlalu banyak yang ingin dilakukannya. Tetapi waktu seakan terlalu singkat. Bicaranya juga ceplas-ceplos. Kritis bahkan cenderung nyinyir. Hampir semua keadaan dikritisinya. Terutama yang menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah yang dia nilai menyengsarakan rakyat kecil. Ia pernah menjadi penyiar salah satu stasiun radio terkenal di Jakarta.

Sahabat, kepedulian terhadap sesama yang menderita menggerakkan hati orang untuk membantu. Apa yang dilakukan oleh Nor Pud itu tampaknya biasa-biasa saja. Namun ia ingin agar orang memiliki kepedulian terhadap sesamanya. Ia ingin agar orang yang menerima SMS-nya itu tergerak hatinya untuk sesamanya yang sedang menderita.

Memang tampak cara seperti ini terlalu sederhana. Namun hasil dari cara seperti ini ternyata luar biasa. Banyak orang kemudian tergerak hatinya untuk membantu sesamanya yang sedang mengalami penderitaan. Usaha yang tampak kecil itu membawa kebahagiaan bagi banyak orang yang menderita.

Nor Pud mengorbankan waktu dan uangnya untuk menggerakkan sesamanya bagi yang menderita. Tentu saja pengorbanan seperti ini dapat dilakukan berkat kepekaan terhadap sesama. Kepekaan itu tumbuh dari rasa kasih yang besar terhadap orang lain yang menderita.

Kisah Nor Pud memberikan inspirasi bagi orang beriman untuk selalu memiliki dan memupuk kepekaan dalam dirinya terhadap sesama yang menderita. Kepekaan itu kemudian menggerakkan hati orang untuk tanggap terhadap kebutuhan sesama. Mari kita berusaha terus-menerus untuk memiliki kepekaan hati terhadap sesama yang menderita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Tabloid KOMUNIO dan Majalah FIAT

700

15 Juni 2011

Menyediakan Diri untuk Melayani Sesama





Suatu hari seorang ibu tertegun. Darah di seluruh tubuhnya terasa berdesir lebih cepat. Jarum jam menunjuk pukul 12 tengah malam.

Seorang pemuda sedang menyikat lantai. Di sampingnya tergeletak sebuah ember berisi air. Tak jauh dari situ terdapat cairan pembersih. Mata ibu itu berkaca-kaca. Ia hampir tidak bisa percaya pemuda itu adalah anaknya sendiri.

Ia tidak menyangka anaknya mau melakukan hal itu. Menyikat lantai dan mengepel. Di dadanya masih melekat “celemek” warna hijau dengan sebuah logo yang sangat dikenal: Starbucks. Sudah hampir tiga bulan anaknya magang kerja di Starbucks. Pekerjaan utamanya adalah membuat kopi dan melayani pembeli. Menjelang tutup, bergantian dengan teman-teman sekerjanya, dia menyapu, bersih-bersih, buang sampah, termasuk mengepel atau menyikat lantai.

Menyaksikan anaknya melakukan pekerjaan itu, ada rasa haru yang menyesakkan dada ibu itu. Sudah sejak lama ia ingin anaknya bekerja seperti itu. Beberapa waktu lalu ia pernah sedikit memaksa, agar sang anak melamar di salah satu restoran cepat saji terkenal. Sayang, lamarannya tidak pernah mendapat jawaban. Berkali-kali dicoba, tetapi yang terakhir jawaban yang diterima adalah mereka belum membutuhkan tenaga magang.

Ibu itu mendorong anaknya untuk magang di restoran cepat saji, karena ia ingin sang anak merasakan apa yang dirasakan para pelayan restoran. Ibu itu berkata, “Saya ingin dia berempati terhadap pekerjaan pramusaji. Sebab selama ini dia selalu berada pada posisi yang dilayani. Bagaimana rasanya jika sebaliknya, dia yang harus melayani?”

Setelah gagal magang di restoran cepat saji, sang anak akhirnya diterima magang di Starbucks. Sejak awal ibu itu sudah menyiapkan mental anaknya untuk menerima keadaan terburuk sebagai pelayan: mendapat perlakukan kasar dari pembeli.

Sahabat, seorang guru spiritual mengatakan bahwa ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Ia menyadari bahwa kedatangannya ke dunia ini untuk membawa kebahagiaan bagi manusia. Karena itu, manusia mesti diajar untuk saling melayani. Bukan hanya menunggu untuk dilayani oleh orang lain.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kita hidup bukan hanya untuk diri kita sendiri. Kita hidup untuk melayani sesama. Mengapa? Karena ketika saling melayani, kita mau menampakkan sikap kesiapsediaan untuk membantu orang lain. Karena itu, kita mesti belajar untuk saling melayani. Kita mesti belajar untuk menyediakan diri, ketika orang lain membutuhkan pelayanan dari kita.

Sering orang berpandangan bahwa menjadi pelayan itu menjadi orang rendahan. Orang yang martabatnya lebih rendah dari orang lain. Tentu saja pandangan seperti ini pandangan yang keliru. Menjadi pelayan berarti orang menyediakan dirinya untuk membahagiakan orang lain melalui pelayanannya. Orang yang dengan tulus hati mau mengabdikan hidupnya bagi sesama. Karena itu, melayani itu pekerjaan yang mulia. Suatu pekerjaan yang membahagiakan diri dan sesama.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa siap sedia melayani sesama. Artinya, kita mau menyediakan diri dengan setulus hati membahagiakan sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

699

14 Juni 2011

Hati yang Mudah Tergetar




Dr Tira Aswitama awalnya terpanggil menjadi relawan, ketika bencana tsunami meluluhlantakan Nanggroe Aceh Darussalam pada 2004 lalu. Ia berkata, ”Mendengar dan melihat bencana tsunami itu hati saya tergetar. Dengan izin orangtua, saya pun berangkat ke Aceh. Padahal saya waktu itu baru diwisuda menjadi dokter.”

Tinggal di Aceh selama dua tahun itulah yang mengasah jiwa Dr Tira. Ia mengaku, di dalam dirinya memang ada ”panggilan” untuk membantu sesama. Pengalaman dari Aceh itulah kemudian membuat ia mengambil keputusan yang lebih hebat lagi, yaitu pergi bertugas ke Sudan, Afrika.

Rupanya panggilan untuk menjadi relawan adalah segalanya bagi dokter muda itu. Bahkan untuk pergi ke negeri yang sedang dilanda konflik perang saudara itu ia harus menunda pernikahannya dengan seorang pemudi yang ia cintai.

Tentang pengalamannya di Sudan, ia berkata, ”Ada pengalaman menarik, ketika saya betugas di Sudan. Saya menolong seorang ibu yang akan melahirkan di tengah gurun dengan peralatan seadanya. Tidak hanya itu, suasana di sekitar makin mencekam, karena ada peristiwa tembak-menembak karena perang.”

Karena belum berpengalaman menolong orang melahirkan, Dr Tira mengaku terpaksa menelpon dosennya di Jakarta melalui telepon satelit untuk meminta ‘bantuan’.

Sahabat Sonora, kita hidup dalam dunia yang membutuhkan bantuan dari orang lain. Bencana alam yang sering menimpa dunia yang kita huni membuat hati orang tergetar untuk membantu para korban. Hati yang mudah tergetar ini mesti senantiasa dipelihara dalam hidup. Hal ini mampu membantu para korban untuk menghadapi hari-hari hidup mereka dengan lebih baik. Ada harapan dari para korban untuk melanjutkan hidup mereka.

Kisah dokter Tira memberi inspirasi kepada kita bahwa ia memiliki kasih sayang yang begitu mendalam terhadap orang lain. Kasih sayang itu mendorong dirinya untuk meninggalkan kesenangan dirinya sendiri. Ia rela mendahulukan kepentingan sesamanya. Ia memberikan dirinya untuk keselamatan hidup orang lain. Tentu saja ini suatu perbuatan yang indah yang mesti dilakukan juga oleh orang-orang lain.

Kalau dunia ini dipenuhi oleh orang-orang seperti dokter Tira, tentu dunia ini menjadi tempat yang damai. Banyak orang akan menemukan kebahagiaan dan sukacita dalam hidup mereka. Banyak orang terbantu untuk melanjutkan perjalanan hidupnya dalam cinta kasih.

Sayang, belum begitu banyak orang yang mampu tergerak hatinya oleh penderitaan sesamanya. Banyak orang masih mengandalkan egoisme dan cinta diri yang berlebihan. Banyak orang terlalu mendahulukan kepentingan dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa sesama manusia juga membutuhkan uluran tangan dari diri mereka.

Karena itu, hati yang mudah tergetar oleh penderitaan sesama mesti selalu dipupuk terus-menerus. Dengan demikian, hidup ini menjadi sesuatu yang menyenangkan. Hidup yang damai menjadi bagian dari kita semua. Tuhan memberkat. **

Frans de Sales, SCJ


698

13 Juni 2011

Berani Memberi Hidup bagi Sesama




Tidak ada satu pun orang yang ingin mengalami penyakit gagal ginjal. Tapi jika suatu saat Anda divonis secara mendadak menderita penyakit sistem pengolahan limbah tubuh ini, hanya ada dua pilihan solusi. Cuci darah seumur hidup atau cangkok ginjal.

Seorang bernama Afaf Susilawati mengaku sangat senang dan bahagia memberikan satu ginjalnya bagi sang adik tercinta, Huda Rosdiana Biarawati. Ia tidak berpikir dua kali. Padahal keputusannya itu membuat ia harus hidup dengan satu ginjal saja. Tentu saja hal ini sangat beresiko terhadap hidupnya ke depan.

Dengan ginjal pemberian sang kakak itu, akhirnya Huda Rosdiana menjalani transplantasi ginjal dari Afaf pada 2001 silam. Huda divonis mengalami komplikasi ginjal saat berusia 19 tahun. Untungnya Huda hidup di tengah keluarga yang saling menyayangi sepenuhnya. Seluruh kakak bahkan ibunya sampai harus “berebut” untuk mendonorkan ginjal mereka.

Namun tanpa disadari yang lain, Afaf secara diam-diam langsung melakukan pemeriksaan ke dokter. Setelah pemeriksaan, dokter memutuskan ginjal Afaf yang akan dicangkokkan ke Huda tanpa bisa dicegah yang lainnya.

Huda akhirnya sukses menjalani cangkok ginjal. Namun ia hanya mampu bertahan selama 6 tahun saja. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 2007 lalu. Hal itu terjadi setelah perjuangan kerasnya melawan virus yang menyerang ginjal barunya.

Sahabat, kadang-kadang orang mesti berani memutuskan untuk melakukan sesuatu yang beresiko atas hidupnya untuk keselamatan orang lain. Tentu saja keputusan seperti ini mesti dilandasi oleh semangat cinta dan kepedulian terhadap kehidupan. Dua hal ini mesti selalu menjadi landasan berpikir, ketika orang ingin melakukan sesuatu bagi kebaikan sesamanya.

Kisah di atas mengatakan kepada kita bahwa kehidupan itu memiliki nilai dan makna yang sangat penting. Manusia mesti saling mendukung dalam memperjuangkan kehidupan ini. Tujuannya untuk menciptakan suatu dunia yang lebih baik dan damai. Kasih sayang yang ditunjukkan dengan mengorbankan salah satu organ tubuh yang sangat penting itu merupakan buktinya.

Cinta kasih dan kepedulian terhadap kehidupan mewujud dalam pengorbanan diri dalam kehidupan bersama. Dalam situasi seperti ini, orang menyadari bahwa ia hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri. Ia hidup juga untuk kebahagiaan sesama. Ia hidup untuk memperjuangkan kehidupan banyak orang. Karena itu, korban yang ia lakukan memiliki nilai dan makna yang tinggi pula.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memberikan hidup kita bagi kebahagiaan sesama. Korban yang kita lakukan itu membantu sesama kita untuk menjalani hidup ini dalam suasana yang damai dan sukacita. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih berguna bagi kehidupan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


697

12 Juni 2011

Uluran Tangan Sesama Memberi Kehidupan


Seorang ibu mengalami penderitaan luar biasa. Setelah ditinggal mati suaminya, ia mesti berjuang untuk membesarkan tiga orang anaknya sendirian. Dengan berbagai cara, ia berusaha untuk menyekolahkan tiga anaknya yang kini memasuki masa remaja itu. Ia bekerja siang dan malam tak kenal lelah.

Suatu hari ia merasa sakit di kedua payudaranya. Rupanya ada dua benjolan yang bersarang di sana. Apa yang mesti ia buat? Tubuhnya mulai terasa sakit yang tak tertahankan. Ia pun memutuskan untuk memeriksakan dirinya ke dokter. Hasil pemeriksaan itu sangat menyejutkan dirinya. Kedua payudaranya itu mesti dibuang, kalau ia masih mau tetap hidup.

Soalnya adalah biaya untuk operasi itu sangat besar. Ia tidak mampu membiayainya. Apalagi ia sendiri mesti membiayai tiga anaknya. Ia merasa berat. Ia merasa ia tidak berdaya. Biaya operasi yang besar selalu menghantui dirinya. Di saat-saat ia sendirian, airmatanya tiba-tiba bercucuran membasahi wajahnya.

Kadang, dalam keputusasaan ia berkata dalam hatinya, “Sudahlah, tidak usah dioperasi. Toh tidak ada jaminan akan terus hidup.”

Namun kemudian ia sadar bahwa ia seorang beriman. Orang beriman itu selalu menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Karena itu, ibu itu berusaha terus-menerus menyerahkan hidupnya ke dalam kuasa Tuhan. Ia yakin, Tuhan akan membantu dirinya yang berada dalam kesulitan itu.

Benar! Tuhan membantunya. Melalui adiknya, ada seorang kaya yang peduli terhadap penyakitnya. Orang kaya itu mengirimkan cek untuk biaya operasi dan perawatannya di rumah sakit. Dengan uang itu, ibu itu dapat menjalani operasi. Ia tidak perlu kuatir akan biaya yang akan dikeluarkannya. Ia juga tidak perlu lagi kuatir akan biaya sekolah bagi anak-anaknya.

Sahabat, banyak orang merasa putus asa ketika menghadapi persoalan-peroalan dalam hidupnya. Orang merasa tidak punya jalan untuk menyelesaikan persoalannya. Jalan seolah-olah buntu. Akibatnya, orang menyerah pada keadaan. Orang tidak mau berusaha lagi.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa semestinya manusia tidak boleh putus asa dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya. Manusia mesti berani menghadapinya. Manusia mesti mencari cara-cara yang terbaik untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada. Dengan cara ini, orang dapat membahagiakan dirinya dan sesamanya.

Untuk itu, orang mesti memiliki iman yang teguh kepada Tuhan. Orang mesti berani mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Orang mesti percaya bahwa Tuhan mampu membantunya dengan berbagai cara. Tuhan selalu punya cara untuk membantu manusia yang meminta kepadaNya dengan hati yang tulus.

Karena itu, penyerahan diri secara total merupakan suatu gerakan yang mesti selalu dilakukan oleh manusia. Kalau manusia berusaha untuk menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan, ia akan menemukan damai dalam hidupnya. Mari kita senantiasa menyerahkan hidup kita kepada Tuhan. Dengan demikian, damai dan sukacita menjadi bagian hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora Palembang, pukul 22.00 WIB, bagi mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya.



696

07 Juni 2011

Menemukan Peluang-peluang di Sekitar Kita

Apakah Anda suka melayani atau suka dilayani? Kalau Anda suka melayani, Anda akan dikatakan sebagai orang yang mudah tergerak melihat kebutuhan orang lain. Anda akan mudah mengulurkan tangan begitu melihat orang lain berada dalam kesulitan. Anda akan merasa bahagia, karena orang yang Anda layani itu menemukan sukacita dalam hidupnya.

Namun kalau Anda suka dilayani, Anda akan dianggap sebagai orang yang hanya mengulurkan tangan minta tolong. Anda akan dikatakan sebagai orang yang kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Bisanya menuntut orang lain melakukan sesuatu bagi Anda.

Deddy Mizwar, aktor dan sutradara film, merasa risih ketika segala sesuatu mesti dilayani oleh orang lain. Maret tahun lalu ia mengunjungi Yogyakarta. Begitu ia sampai di hotel, orang-orang langsung bergegas melayaninya. Padahal ia sendiri bisa melakukan apa yang harus ia lakukan. Karena itu, ia menamakan hal seperti ini sindrom melayani.

Sambutan seperti itu terutama ia alami ketika ia berada di luar Jakarta. Ia berkata, “Tiap kali ada orang dari pusat (Jakarta) datang, orang di daerah seakan terkena sindrom melayani. Padahal, tak semua orang merasa nyaman dan perlu dilayani seperti itu.”

Namun Deddy Mizwar yang kini berusia 55 tahun ini merasa hal ini dapat memberi inspirasi bagi para sineas muda untuk menemukan ide-ide. Ia mengatakan, ada begitu banyak ide cerita bagi sebuah film di sekitar kita. Karena itu, para sineas muda mesti mampu menangkap hal-hal tersebut untuk memperkaya karya mereka.

Sahabat, ada banyak hal baik di sekeliling kita yang dapat kita ambil untuk kemajuan diri kita. Melayani orang lain dengan sepenuh hati merupakan salah satu sisi kehidupan yang dapat membantu kita untuk semakin menemukan makna hidup bagi kita. Karena itu, kita mesti berani memaksimalkan sebaik-baiknya hal-hal itu bagi hidup kita.

Soalnya, banyak orang merasa bahwa hal-hal yang ada di sekitar mereka itu biasa-biasa saja. Karena itu, tidak bisa digunakan untuk kemajuan hidup mereka. Tentu saja padangan seperti ini berasal dari orang-orang yang kurang kreatif. Mereka memandang hidup ini dari satu segi saja. Mereka memandang hidup ini terlalu picik dan sempit. Mereka begitu gampang menyerah pada situasi yang ada.

Karena itu, orang mesti kreatif untuk menemukan hal-hal yang dapat membantu mereka untuk hidup lebih baik. Ada begitu banyak hal baik di sekitar kita yang dapat kita gunakan untuk kemajuan hidup kita. Untuk itu, kita diajak untuk senantiasa menemukan peluang-peluang yang ada di sekitar kita. Dengan demikian, kita dapat menjadi orang-orang yang berguna bagi diri kita dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ



695

05 Juni 2011

Berani Meminta Maaf Atas Kesalahan



Banyak orang tidak gampang meminta maaf atas kesalahan yang telah mereka melakukan. Mengapa? Karena mereka merasa bahwa harga diri mereka akan jatuh, kalau nanti sungguh-sungguh diketahui bahwa apa yang telah mereka lakukan itu salah.

Akibatnya, mereka tetap bertahan pada pandangan dirinya sendiri. Padahal kalau orang berani menyatakan maaf atas kesalahan yang diperbuatnya, tentu situasi menjadi lebih baik. Mungkin hubungan yang kurang baik dapat dijalin kembali.

Mantan pesumo grand champion bernama Asashoryu meminta maaf kepada para mantan koleganya, sebulan setelah ia menyatakan diri pensiun dari olahraga tradisional Jepang tersebut. Asashoryu yang berusia 29 tahun merupakan pesumo asal Mongolia dengan nama asli Dolgorsurengiin Dagvadorj.

Ia berkata, “Saya Asashoryu atau yang pernah bernama itu, merasa menyesal bahwa selain memenangi Piala Kaisar (Jepang) saya juga sering menimbulkan masalah."

Grand champion ini memang beberapa kali terlibat pertikaian dengan otoritas sumo Jepang, terutama mengenai perilakunya. Ia akhirnya diminta mengundurkan diri setelah ketahuan mabuk dan berkelahi di luar sebuah klab malam di Tokyo. Otoritas sumo kemudian meminta dia mengundurkan diri daripada menghadapi ancaman pemecatan.

Ia ingin mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Ia berkata, “Saya sangat berterima kasih atas dukungan Anda, sehingga mampu menjadi juara Piala Kaisar sebanyak 25 kali. Saat ini saya sudah berusia 30 tahun dan saya harap saya akan memasuki fase kehidupan baru dengan baik.”

Sahabat, kita hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Kita ini adalah makhluk sosial yang senantiasa memiliki relasi dengan sesama. Apa yang kita buat selalu memiliki dampak terhadap kehidupan bersama itu. Karena itu, ketika kita melakukan suatu kesalahan atau dosa, orang lain pun akan menerima dampaknya. Mereka merasakan akibat dari kesalahan atau dosa kita itu.

Untuk itu, kita diajak untuk berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi dampak negatif perbuatan kita terhadap orang lain. Kalau toh kita telanjur melakukan kesalahan atau dosa, kita diharapkan untuk berani minta maaf. Hanya dengan cara itu, kehidupan bersama kita menjadi lebih normal lagi. Kita dapat berbagi kebaikan di antara kita. Kita dapat menemukan sukacita dan kebahagiaan dalam hidup ini.

Kisah tadi mau mengajak kita untuk berani dengan tulus hati meminta maaf atas kesalahan yang kita lakaukan. Kita tidak perlu mempertahankan pendapat kita yang jelas-jelas telah mengakibatkan kesulitan dalam hidup orang lain.

Orang yang memiliki niat yang tulus untuk memperbaiki keadaan yang kurang baik akan mendapatkan pahala dalam hidupnya. Mari kita berusaha untuk hidup baik di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan demikian, hidup kita menjadi berkat bagi orang lain. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


693

04 Juni 2011

Sejarah Masa Lalu Menjadi Inspirasi bagi Hidup



Warisan sejarah bangsa merupakan salah satu identitas bangsa yang perlu dilestarikan dan diselamatkan. Mengapa? Karena warisan sejarah bangsa itu merupakan akar dari kehidupan manusia. Tanpa masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang tidak ada. Kita senantiasa berpijak pada masa lalu untuk membangun hidup kita di masa sekarang dan yang akan datang.

Meutia Hatta, salah seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden, mengatakan bahwa benda-benda bersejarah merupakan identitas bangsa. Ia berharap agar benda-benda sejarah itu dilestarikan dan diselamatkan. Dengan demikian, generasi penerus bangsa dapat mengenal sejarah bangsanya.

Maret tahun lalu putri almarhum Bung Hatta itu mengunjungi museum mini benda bersejarah Aceh milik H Harun Keuchik Leumik di kawasan Simpang Surabaya, Banda Aceh. Menurut Meutia, semua pihak harus ambil bagian dalam menjaga dan merawat peninggalan sejarah. Dengan demikian, peninggalan tersebut terus terjaga.

Ia berkata, “Pelestarian itu bukan hanya dilakukan oleh pemerintah, melainkan juga oleh seluruh komponen masyarakat yang peduli akan benda bersejarah.”

Menurut dia, peran individu dalam pelestarian dan menyimpan benda bersejarah tersebut harus mendapat apresiasi dari pemerintah. Ia berkata, “Kita bangga dan patut memberikan apresiasi terhadap para kolektor seperti Harun Keuchik Leumik yang menyimpan benda-benda bersejarah milik kerajaan Aceh Tempo Doeloe.”

Sahabat, mungkin banyak dari kita yang kurang peduli lagi terhadap sejarah masa lalu termasuk benda-benda peninggalan sejarah itu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena ada orang yang merasa bahwa menoleh ke masa lalu itu tidak berguna. Orang mesti hidup untuk hari ini dan untuk masa yang akan datang. Atau ada orang yang merasa bahwa mengenang masa lalu hanya buang-buang waktu. Akibatnya, usaha untuk melestarikan benda-benda sejarah dianggap sebagai angin lalu.

Tentu saja situasi seperti ini memprihatinkan. Warisan sejarah yang indah itu bisa saja dijual ke bangsa lain. Hal ini pernah terjadi ketika banyak benda-benda sejarah dibeli oleh orang-orang dari luar negeri. Benda-benda purbakala yang bersejarah itu menjadi milik bangsa lain.

Soalnya, mengapa kita mesti melestarikan sejarah bangsa kita? Karena sejarah merupakan sebuah kekayaan yang dapat menjadi contoh bagi generasi penerus bangsa untuk menjadi spirit. Mereka dapat banyak belajar dari peristiwa-peristiwa masa lalu untuk membangun hidup yang lebih baik. Peristiwa masa lalu yang jelek dapat menjadi kesempatan untuk introspeksi diri. Dengan demikian, peristiwa-peristiwa itu dapat membantu mereka untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

Mari kita berusaha melestarikan sejarah bangsa kita. Dengan demikian, kita dapat semakin menghargai warisan sejarah nenek moyang kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ



692

Memaknai Warisan-warisan Budaya

Kenangan terhadap orang yang dekat dengan kita membuat kita terharu. Apalagi orang yang dekat dengan kita itu telah meninggal dunia. Suatu peristiwa pengenangan kembali orang yang pernah begitu dekat dengan kita itu akan membangkitkan kembali semangat kita.

Hal ini terjadi dalam diri Penyanyi Lisa A Riyanto. Penyanyi berusia 36 tahun ini bangga dan terharu karena pada perhelatan musik Java Jazz, 5-7 Maret 2010 lalu, ada acara Tribute to A Riyanto. Acara tersebut didukung para penyanyi seperti Andre Hehanusa, Rafika Duri dan Andien. Mereka menyuguhkan sejumlah lagu hasil gubahan A Riyanto.

Lisa mengaku bersemangat menyanyikan lagu-lagu ciptaan almarhum ayahnya. Ia berkata, ”Saya ikut nyanyi lagu ’Kemuning’. Wah, saya jadi ikut bersemangat juga, karena lagu-lagu ayah itu dibawakan dengan nuansa musik jazz.”

Bagi Lisa, menyanyikan lagu karya A Riyanto seperti melakukan pertemuan kembali dengan sang ayah yang meninggal pada 1994 lalu. Ada semacam rasa sesal pada dirinya, karena sewaktu album pertama Lisa dirilis, sang ayah telah meninggal dunia.

Tentang hal ini, Lisa berkata, ”Saya menyesal sekali. Perasaan seperti itu selalu ada pada diri saya.”

Namun Lisa mengaku bangga, karena lagu-lagu A Riyanto sampai hari ini masih terdengar, diingat dan digemari publik. Ini termasuk di dalam festival jazz. Ketika tampil menyanyi, Lisa pun sering membawakan lagu-lagu karya sang ayah.

Ia berkata, ”Kalau menyanyikan lagu-lagu itu, rasanya saya sedang bernyanyi dengan ayah. Perasaan ini, ayah yang mengiringi saya nyanyi.”

Sahabat, orang-orang yang dekat dengan kita memberi kita semangat dan inspirasi untuk maju dalam kegiatan-kegiatan kita. Meski mereka sudah tiada, semangat hidup yang mereka tunjukkan kepada kita mampu mempengaruhi kita. Yang penting adalah kita masih memberi penghargaan yang baik terhadap warisan-warisan yang mereka tinggalkan.

Pengalaman Lisa A Riyanto tadi memberi kita inspirasi untuk tetap menghidupkan warisan-warisan yang baik dari orang-orang yang dekat dengan kita. Warisan-warisan seperti sopan santun, saling menghargai dan saling mencintai yang telah dijalin selama ini mesti tetap dihidupkan. Hal itu akan membantu kita memaknai kehidupan ini. Orang yang berbudaya tinggi adalah orang yang memiliki sopan santun, mampu menghargai orang lain dan mampu mencintai sesama.

Karena itu, kita mesti berusaha untuk melestarikan nilai-nilai itu dalam hidup kita sehari-hari. Dengan demikian, kita pun memiliki semangat untuk memaknai nilai-nilai itu dalam perjalanan hidup kita. Kita dapat bertumbuh menjadi orang-orang yang lebih berbudaya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


691