Pages

31 Oktober 2009

Rela Berkorban untuk Sesama


Seorang petani ladang bekerja dengan tekun di ladangnya. Setelah sarapan, ia pergi ke kebunnya. Di sana ia mencangkul, membersihkannya lalu menanam. Ia melakukannya hingga sore hari. Lantas ia pulang ke rumahnya untuk berjumpa dengan anak istrinya. Rutinitas seperti ini ia lakukan setiap hari. Bahkan pada akhir pekan.

Terik matahari tidak mampu menghentikan tangannya untuk menyiangi tanaman. Ia mencintai tanaman-tanamannya. Mengapa? Karena itulah sumber hidupnya. Tanpa bekerja di ladangnya, asap di dapur keluarganya tidak bisa mengepul. Kepenatan dianggapnya sebagai bagian dari hidupnya.

Itulah tanda cinta yang ia berikan untuk keluarganya. Itulah rasa tanggung jawab yang ia tunjukkan kepada seluruh anggota keluarganya. Namun ketika ditanya tentang cinta, petani itu bingung menjawab. Baginya, cinta itu tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata yang panjang lebar. Cinta itu cukup ditampakkan melalui perbuatan yang nyata.

Dewasa ini ungkapan ‘I love you’ sudah bukan hal baru lagi. Di jaman dulu ungkapan ‘saya cinta padamu’ menjadi hal yang begitu sakral. Tidak biasa diungkapkan di depan umum. Namun kini ungkapan ini sudah bisa didengar kapan saja dan di mana saja. Sudah biasa dan sudah menjadi bagian dari hidup kawula muda.

Soalnya adalah apakah ungkapan ini sungguh-sungguh suatu bentuk cinta yang mendalam akan sesama? Atau hanya sebuah lip service, kata-kata kosong sebagai basa-basi? Dalam hidup sehari-hari cinta itu mesti menduduki tempat tertinggi dalam hidup manusia. Mengapa? Karena manusia hanya bisa hidup kalau ada cinta kasih. Tanpa cinta kasih manusia tidak memiliki hidup.

Dalam kisah tadi, petani itu sungguh-sungguh mencintai sesamanya. Cintai itu ia tunjukkan dengan melakukan perbuatan yang nyata. Ia mengorbankan seluruh hidupnya untuk keluarganya. Ia tidak mesti mengatakan ‘I love you’ kepada seluruh anggota keluarganya. Mereka sudah tahu bahwa ia mencintai mereka dengan melakukan pekerjaan dengan tekun dan setia di ladangnya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mencintai sesama dan orang-orang yang dekat dengan kita. Caranya adalah dengan memberi perhatian dan berani mengorbankan hidup kita bagi sesama. Dengan cara ini, hidup kita akan menjadi lebih baik. Kita menjadi orang-orang yang berkenan kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

212


Bagikan

30 Oktober 2009

Ganti Kekerasan dengan Pengampunan


Suatu hari, seorang bapak ingin menagih utang kepada temannya sebesar lima juta rupiah. Sudah beberapa kali ia menagih, namun temannya itu tidak mau mengindahkannya. Karena itu, kali ini ia mendatangi rumah temannya dengan membawa seekor King Cobra.

Melihat King Cobra yang diacung-acungkan kepadanya, pengutang itu lari terbirit-birit. Ia sangat ketakutan. Ia bahkan menggigil karena takut. Ia bersembunyi tidak jauh dari rumahnya. Namun bapak itu tidak mau pergi juga. Ia tetap menunggu temannya itu.

Dalam hati, bapak itu berkata, “Barang-barang di rumah ini kan bisa saya ambil. Saya akan hitung sampai seharga lima juta. Saya akan bawa pulang ke rumah.”

Bapak itu kemudian mulai mengangkat sebuah televisi layar datar. Ia memasukkannya ke mobilnya. Lantas ia masuk ke dalam rumah lagi untuk mengambil beberapa barang lagi. Begitu ia keluar dari rumah dengan sebuah DVD player, temannya itu keluar dari persembunyiannya. Ia langung berteriak, “Maling.... maling.... “

Kontan saja tetatangga-tetangganya langsung keluar dari rumah mereka. Dengan beramai-ramai mereka menangkap bapak itu. Mereka menggebukinya hingga babak belur. Lalu mereka menyerahkan bapak itu kepada polisi.

Bolehkah kita membalas kejahatan dengan kejahatan? Bolehkah kita main hakim sendiri tanpa tahu apa persoalan yang sebenarnya? Dalam kehidupan kita sehari-hari aksi main hakim sendiri sering terjadi. Para pencuri ayam yang kepergok sering menjadi bulan-bulanan massa. Orang berpikir bahwa kalau seorang pencuri dihukum secara beramai-ramai itu suatu tindakan yang baik. Padahal menyiksa orang lain, apa pun bentuknya, merupakan suatu perbuatan yang tidak berkenan di hati Tuhan.

Yang dikehendaki Tuhan adalah pengampunan. Yang dikehendaki Tuhan dari manusia adalah kasih satu terhadap yang lain. Kekerasan yang dilakukan bukan suatu jalan baik yang mesti ditunjukkan oleh orang-orang yang beriman kepada Tuhan.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita ditantang untuk meninggalkan kekerasan dalam bentuk apa pun. Kekerasan yang dilakukan hanya menumbuhkan balas dendam dalam diri sesama kita.

Mari kita berusaha untuk selalu menempatkan pengampunan di atas segala-galanya. Hanya dengan kerelaan hati untuk mengampuni sesama, kita dapat menciptakan suatu suasana hidup yang lebih baik. Dunia menjadi lebih damai, kalau ada pengampunan dan cinta kasih di antara kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


211

29 Oktober 2009

Berusaha untuk Hidup Jujur

Ada seorang miskin yang punya keinginan untuk menjadi orang kaya. Untuk mewujudkan mimpinya itu, ia mengambil pakaian dan segala perlengkapan lainnya lalu pergi ke kota. Ia berpikir, di kota ia akan dengan mudah menjadi orang kaya. Tinggal di desa lebih banyak buntungnya daripada untung.

Dia menjelajahi seluruh kota dan bertanya bagaimana caranya menjadi orang kaya. Berbagai ragam jawaban ia temukan. Misalnya, menjadi orang kaya itu orang mesti bekerja keras. Orang tidak begitu saja menjadi orang kaya. Tidak ada cara instant menjadi orang kaya.

Ia berkata dalam hati, “Saya ingin menjadi orang kaya dalam waktu yang singkat. Mengapa tidak bisa?”

Tiba-tiba ia mendapati seseorang yang membawa banyak emas yang secara tidak sengaja jatuh ke dalam selokan. Ia berpikir dalam hati bahwa itulah kesempatan baginya untuk menjadi orang kaya mendadak. Karena itu, ia segera saja mengambil beberapa batang emas dari selokan itu. Kemudian ia mengambil langkah seribu.

Namun banyak orang yang berdiri di sekitar selokan itu segera menangkapnya. Salah seorang menghardiknya, “Bagaimana mungkin kamu mau mengambil emas-emas itu dan melarikan diri? Padahal banyak orang berkerumun di sini untuk menolong orang yang jatuh itu.”

Orang miskin itu menjawab, “Aku hanya melihat emas. Aku tidak melihat orang banyak itu.”

Banyak orang tersilau oleh harta kekayaan. Harta itu memang selalu menggoda. Karena itu, orang tidak peduli bahwa harta itu mempunyai pemilik. Orang tidak boleh mengambil milik orang lain bagi dirinya sendiri. Harta yang menggoda itu bisa menjerumuskan banyak orang ke dalam penjara.

Akhir-akhir ini Komisi Pemberantasan Korupsi sedang giat-giatnya memburu para koruptor. Salah satu kasus adalah penggeledahan di ruangan para anggota DPR. Ditengarai ada anggota wakil rakyat yang terlibat dalam penggelapan dana penghijauan dan pengalihfungsian hutan mangrove di Tanjung Api-api, Sumatera Selatan.

Keinginan untuk menjadi orang kaya secara mendadak telah mendorong usaha-usaha untuk penggelapan dana itu. Padahal dana itu sudah disiapkan oleh negara untuk kehidupan bersama. Hutan yang mau ditanam itu bukan hanya untuk sekelompok orang. Tetapi untuk kehidupan begitu banyak orang di dunia ini.

Sebagai orang beriman tentu kita ingin hidup secara wajar. Kalau kita menjadi kaya, hal itu bukan karena perbuatan tangan kita yang kotor. Tetapi lebih sebagai suatu usaha keras yang halal yang kita raih untuk kehidupan kita.

Karena itu, mari kita berusaha untuk hidup jujur. Kejujuran itu akan membuat hidup kita menjadi damai dan tenteram. Kita akan menemukan hidup yang bahagia, meski harta kita sedikit. Meski kita tidak kaya harta, namun kehidupan yang jujur memberikan kita kekayaan rohani. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

210

28 Oktober 2009

Bersama Tuhan dalam Kancah Persaingan


Mei 2008 yang lalu kita semua menyaksikan perjuangan putri-putri Indonesia untuk merebut Piala Uber. Maria Kristin dan kawan-kawan telah berjuang habis-habisan. Babak demi babak telah mereka lewati. Keringat mengguyur seluruh tubuh mereka. Perjuangan keras mereka lakukan demi kebanggaan bangsa kita.

Mereka bahkan tidak takut jatuh dan bangun di atas lapangan disaksikan ribuan mata penonton. Sorak sorai dukungan dari penonton telah mereka dapatkan. Sejak awal mereka didukung oleh rakyat Indonesia untuk kembali merebut Piala Uber dari tangan China. Semangat membara mereka torehkan. Buktinya adalah mereka mampu mengempaskan tim-tim unggulan.

Sayang, di final tim Uber kita kalah dari tim terkuat dunia: China. Kekalahan mereka tidak begitu mengecewakan rakyat. Mereka sudah berjuang habis-habisan. Mereka tidak memiliki rasa takut untuk menghadapi lawan yang begitu tangguh. Kalau mereka sampai kalah, memang sampai di situlah perjuangan mereka.

Ada satu hal yang tampak dari pertandingan final itu, yaitu semangat juang yang ditunjukkan oleh tim Piala Uber kita. Mereka pantang menyerah. Semangat mereka terus berkobar demi Indonesia tercinta ini. Patriotisme mereka sangat tampak dalam pertandingan itu baik di tunggal maupun di ganda.

Setiap orang mesti memiliki semangat juang dalam hidup ini. Semangat juang itu ditunjukkan dengan kerja keras dan pantang menyerah. Orang yang memiliki semangat juang biasanya akan menuai hasil yang menggembirakan.

Di balik semangat juang itu ada semangat berkorban. Orang yang ingin berhasil dalam hidupnya mesti memiliki semangat berkorban. Tidak ada orang yang berhasil dalam hidupnya dengan cara bermalas-malasan. Apalagi dalam dunia persaingan yang semakin kuat sekarang ini. Semangat juang mesti selalu diandalkan dalam menghadapi persaingan-persaingan yang ada. Orang yang tidak memiliki semangat juang dan berkorban tidak akan bertahan dalam hidupnya. Ia akan cepat keluar dari persaingan yang begitu ketat.

Karena itu, orang mesti memiliki iman yang kuat dalam menghadapi persaingan ini. Iman yang kuat itu ditunjukkan dalam semangat juang dan berkorban yang tinggi. Orang yang beriman itu orang yang berani bertarung dalam kancah persaingan. Orang yang pantang menyerah di kala menghadapi tantangan. Orang beriman itu bukan pengecut. Ia terus maju apa pun resiko yang akan dihadapinya.

Orang yang beriman itu tentu sudah siap dengan berbagai strategi untuk menghadapi berbagai persaingan dan tantangan yang akan dihadapinya. Jadi orang beriman itu tidak berjuang dengan tangan hampa. Ia mesti melengkapi dirinya dengan berbagai hal yang menunjang dirinya dalam menghadapi berbagai persaingan itu. ‘Perlengkapan’ yang paling utama adalah Tuhan. Orang beriman selalu mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Ia menyusun strateginya bersama Tuhan. Dengan demikian ia memiliki kekuatan untuk menghadapi berbagai persaingan dan tantangan.

Mari kita berusaha untuk senantiasa menghadapi berbagai persaingan dan tantangan bersama Tuhan. Hanya Tuhanlah yang mampu membantu kita berjuang dalam kancah persaingan ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


225

Berani Menghadapi Resiko Hidup

Albert Schweitzer lahir pada tahun 1875 di Alsace Hulu. Sewaktu kecil ia sering sakit-sakitan dan lamban dalam baca tulis. Ketika berusia delapan tahun, ia mampu bermain organ dengan baik. Setelah dewasa, kecerdasannya makin menonjol. Ia kemudian mampu meraih tiga gelar doktor di bidang filsafat, teologi dan musik. Pada usia 30 tahun, keriernya terus menanjak. Ia pernah ikut konser musik dan menjadi penulis buku.

Suatu hari, ia membaca artikel tentang Kongo di Afrika. Satu kalimat yang sangat menyentuh Schweitzer adalah “Sementara kita sibuk berkotbah, mereka menderita sakit dan mati di depan kita tanpa berbuat apa-apa.”

Schweitzer tersentak dan tergerak untuk berbuat sesuatu. Sekalipun sudah memiliki tiga gelar doktor, ia memutuskan untuk kuliah lagi di fakultas kedokteran. Setelah selesai, ia akan pergi ke Kongo, tetapi teman-temannya menghalanginya. Mereka menasihatinya untuk menyumbang uang saja, sehingga tidak perlu meninggalkan kariernya yang cemerlang.

Namun Schweitzer dan istrinya tetap memutuskan untuk pergi ke Kongo pada tahun 1913. Di sana mereka melayani orang sakit dan menderita selama 50 tahun. Ia rela meninggalkan segala sesuatu di belakangnya demi sesamanya yang menderita. Banyak warga Kongo tertolong oleh pelayanan Schweitzer dan istrinya.

Jarang kita menemukan orang-orang yang sudah mapan dalam hidupnya untuk memulai suatu kehidupan yang belum pasti. Kalau orang diminta untuk memilih mempertahankan hidup yang sudah mapan dengan suatu kondisi yang kurang menyenangkan, pasti orang akan memilih yang pertama. Orang tidak peduli akan penderitaan sesamanya.

Namun Schweitzer punya pandangan yang lain. Ia memilih untuk melayani orang-orang yang menderita sakit. Ia berani mengambil resiko atas hidupnya demi keselamatan sesamanya. Hal ini tentu saja butuh suatu pengalaman iman yang kuat akan Tuhan. Hanya orang yang punya iman yang besar kepada Tuhan yang mampu mengubah hidupnya.

Tentu saja Schweitzer mendasarkan keputusannya pada kasihnya kepada sesama. Iman itu biasanya disertai dengan kasih akan sesama. Kasih yang menuntut suatu perbuatan nyata bagi sesama yang membutuhkan.

Sebagai orang beriman, kita juga diajak untuk berani menghadapi resiko dalam perjalanan hidup kita. Tentu saja hal ini menjadi suatu jawaban iman kita kepada Tuhan yang kita sembah. Karena itu, dibutuhkan suatu keberanian untuk mengambil langkah-langkah hidup yang benar yang berlawanan dengan pandangan-pandangan umum. **

Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

209

27 Oktober 2009

Usaha Mencintai Budaya Sendiri

Beberapa waktu lalu bangsa kita dikejutkan oleh klaim Malaysia atas lagu Rasa Sayange, Angklung dan Reog Ponorogo. Menurut pemerintah Malaysia, ketiga unsur seni ini milik mereka. Karena itu, mereka menjadikannya hak paten atas ketiga hal ini. Kalau bangsa lain menciptakan hal yang sama, mereka mesti meminta ijin kepada pemerintah Malaysia.


Reaksi dari masyarakat dan pemerintah Indonesia sangat beragam. Banyak protes terjadi terhadap ulah Malaysia ini. Soalnya adalah tiga unsur seni itu berasal dari tanah air ini. Karena itu, pemerintah Malaysia tidak punya hak untuk mematenkannya. Reaksi paling keras dilakukan terhadap Reog Ponorogo di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Berbagai atraksi menentang ditunjukkan. Bahkan ancaman-ancaman pun dikeluarkan oleh para pecinta reog.


Pertanyaan besar bagi kita sebagai bangsa adalah mengapa pematenan terhadap produk kita ini bisa terjadi? Ada berbagai jawaban atas pertanyaan ini. Disinyalir bahwa ada sejumlah pemburu benda budaya dari Malaysia. Mereka langsung mendatangi penduduk, terutama desa-desa di Sumatra. Dengan uang puluhan juta rupiah, naskah-naskah Melayu bersejarah itu berpindah tangan. Tindakan selanjutnya adalah pengklaiman terhadap produk-produk budaya ini.


Namun hal yang lebih utama adalah Malaysia tahu betul bahwa bangsa kita sedang dilanda sindrom cinta produk dari luar negeri. Segala lapisan masyarakat di tanah air sedang menggandrungi produk-produk budaya dari luar negeri. Misalnya, musik rock, olahraga keras seperti smack down, coca cola dan minuman sejenisnya, McDonald, dan berbagai super market dari luar negeri yang merajalela di seantero negeri ini.


Masyarakat Indonesia sedang mencurahkan seluruh perhatian untuk produk-produk budaya dari luar negeri ini. Karena itu, mereka lupa bahwa produk-produk budaya dalam negeri yang memiliki nilai seni tinggi mesti dipatenkan. Masyarakat Indonesia sedang mengalami xenomania (mencintai secara berlebihan produk dari luar negeri).


Dari peristiwa ini, kita diajak untuk mencintai budaya lokal yang kita miliki. Produk-produk budaya kita sebenarnya tidak kalah hebat dengan produk-produk dari luar negeri. Soalnya adalah apakah bangsa ini dapat mencintai kebudayaannya sendiri? Ini pertanyaan yang mesti terus-menerus dijawab oleh setiap insan dari bangsa ini.


Melestarikan budaya sendiri berarti kita ingin menemukan jati diri kita sebagai bangsa. Suatu bangsa yang memiliki harga diri. Suatu bangsa yang memiliki suatu identitas yang jelas meski kita memiliki banyak budaya, bahasa dan suku. Kekayaan budaya yang kita miliki itu semestinya kita perjuangkan dalam kehidupan kita. Dengan demikian produk-produk budaya kita itu tetap menjadi milik kita. Siapa lagi yang mesti mencintai budaya kita, kalau bukan kita sendiri? **

Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


208

26 Oktober 2009

Berjuang Meraih Sukses

Setelah berhenti kuliah, Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Studio Animasi Pixar, mengalami masa-masa yang tidak selalu menyenangkan. Ia tidak punya kamar kost, sehingga menumpang tidur di lantai kamar teman-temannya.

“Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan tujuh mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna. Saya menikmatinya. Dan banyak yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa ingin tahu dan intuisi, ternyata kemudian sangat berharga,” kata Steve Jobs.

Suatu hari ia tertarik pada Reed College yang mungkin waktu itu adalah yang terbaik di Amerika Serikat dalam hal kaligrafi. Di seluruh penjuru kampus, setiap poster, label dan petunjuk ditulis tangan dengan sangat indahnya. “Karena sudah DO (drop out), saya tidak harus mengikuti perkuliahan normal. Saya memutuskan mengikuti pelajaran. Saya belajar jenis-jenis huruf serif dan sanserif, membuat variasi spasi antarkombinasi kata dan kiat membuat tipografi yang hebat,” kata Steve Jobs tentang pelajaran yang baru.

Menurutnya, semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains. Sangat menakjubkan. Saat itu, ia sama sekali tidak melihat manfaat kaligrafi bagi kehidupannya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika ia mendisain komputer Macintosh yang pertama, ilmu itu sangat bermanfaat. Macintosh adalah komputer pertama yang bertipografi cantik.

Ia berkata, “Seandainya saya tidak DO dan mengambil pelajaran kaligrafi, Macintosh tidak akan memiliki sedemikian banyak huruf yang beragam bentuk dan proporsinya. Dan karena Windows menjiplak Macintosh, maka tidak ada PC yang seperti itu. Andaikata saya tidak DO, saya tidak berkesempatan mengambil pelajaran kaligrafi dan PC tidak memiliki tipografi yang indah.”

Apa yang dihasilkan oleh Steve Jobs tidak dalam sekejap. Ia berproses. Ia mengalami jatuh dan bangun. Ia mengalami betapa hidup itu menuntut suatu perjuangan. Kalau saja ia berhenti berjuang, kesuksesan tidak akan ia raih seperti sekarang ini.

Kesuksesan itu tidak diraih dalam waktu yang singkat. Orang mesti mengalami berbagai proses untuk meraih sukses itu. Hal ini tumbuh dalam diri orang-orang yang memiliki keberanian untuk menata hidupnya menjadi lebih baik. Orang yang pengecut biasanya akan gagal di tengah jalan.

Sebagai orang beriman, kita mesti berani untuk mengalami proses kehidupan ini. Kita tidak bisa mengharapkan bulan jatuh dari langit untuk kita nikmati. Kebahagiaan itu tidak datang dalam waktu yang singkat. Namun kebahagiaan itu sudah dimulai, ketika kita memiliki tekad untuk meraih sukses.

Untuk itu, orang yang ingin sukses dalam hidupnya mesti berani berjuang. Ia mesti berani bekerja keras, karena kesuksesan itu biasanya disertai dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh.

Mari kita terus-menerus berjuang sambil tetap menaruh iman dan pengharapan kita kepada Tuhan. Dia selalu menyertai kita dengan meringankan perjuangan kita dalam meraih sukses. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
207

25 Oktober 2009

Berjuang Bersama Tuhan

Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Studio Animasi Pixar, ternyata memiliki kisah hidup yang unik. Kisah ini dimulai sebelum ia lahir. Ibu kandungnya adalah mahasiswi belia yang hamil karena "kecelakaan". Ibunya memberikan ia kepada seseorang untuk diadopsi. Dia bertekad bahwa anaknya harus diadopsi keluarga sarjana. Ia diadopsi seorang pengacara dan istrinya.

Sialnya, begitu ia lahir, tiba-tiba pasangan ini berubah pikiran, karena ingin bayi perempuan. Maka orangtua angkatnya sekarang, yang ada di daftar urut berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: "Kami punya bayi laki-laki yang batal dipungut, apakah Anda berminat?

Mereka menjawab, "Tentu saja." Ibu kandungnya lalu mengetahui bahwa ibu angkat anaknya tidak pernah lulus kuliah dan ayah angkatnya bahkan tidak tamat SMA. Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, setelah orangtua angkat anaknya berjanji akan menyekolahkannya sampai perguruan tinggi.

Dan, 17 tahun kemudian Steve Jobs betul-betul kuliah. Namun, ia memilih universitas yang sangat mahal, sehingga seluruh tabungan orangtuanya habis untuk biaya kuliah. “Setelah enam bulan, saya tidak melihat manfaatnya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Saya sudah menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan orangtua saya seumur hidup mereka. Maka, saya pun memutuskan berhenti kuliah. Saya yakin, itu yang terbaik. Saat itu rasanya menakutkan, namun sekarang saya menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang pernah saya ambil,” kata Steve Jobs saat pelepasan mahasiswa Unversitas Stanford beberapa tahun lalu.

Ia menjadi seorang yang sukses dalam hidupnya. Keputusan itu penuh resiko. Namun ia berani menghadapi apa pun resiko itu.

Dalam hidup ini kadang-kadang orang mesti berani mengambil resiko. Orang tidak bisa hanya mencari aman dalam hidup ini. Kesuksesan dan kemajuan yang dicapai oleh berbagai orang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang berani melintasi batas-batas kemapanan yang ada. Mereka ingin sesuatu yang lebih dalam hidup mereka. Karena itu, mereka berjuang.

Kisah Steve Jobs menjadi salah satu pendorong bagi kita untuk berani mengambil langkah-langkah berani untuk kesuksesan dan kemajuan dalam hidup kita. Namun orang tidak asal berani. Orang mesti memiliki perhitungan-perhitungan yang matang dalam usaha-usahanya.

Sebagai orang beriman, kita yakin Tuhan akan selalu menjadi pendorong bagi hidup kita. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita berjuang sendiri dalam hidup ini. Tuhan senantiasa membantu kita untuk meraih sukses dan kemajuan.

Karena itu, mari kita berusaha untuk senantiasa berjuang bersama Tuhan dalam hidup ini. Kita serahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan. Dia pasti membantu kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


206

24 Oktober 2009

Hidup Ini Anugerah Tuhan

Hidup ini sering terjadi keajaiban-keajaiban. Orang mengalami keajaiban itu sebagai bentuk penyertaan Tuhan atas dirinya. Pengalaman tentang keajaiban Tuhan pernah dialami oleh murid-murid Yesus. Pada waktu Raja Herodes memerintah wilayah Palestina, ia menyuruh tentaranya menangkap para pengikut Yesus. Bahkan ada yang dibunuh.

Petrus, misalnya, ditangkap dan dipenjarakan tanpa suatu pengadilan apa pun. Petrus diawasi oleh empat regu masing-masing dengan empat prajurit. Mungkin ia dianggap sebagai orang yang paling berbahaya. Petrus tidak bisa berjumpa dengan para pengikut Yesus yang lain.

Namun para pengikut yang lain mendoakan keselamatan Petrus. Mereka berdoa dengan sangat tekun, sehingga Tuhan mendengarkan doa-doa mereka. Keajaiban pun terjadi. Meskipun tangan dan kakinya terbelenggu oleh rantai, Petrus pun terlepas dari penjara. Rupanya ada malaikat Tuhan yang datang untuk membebaskan Petrus yang tidak bersalah.

Sementara ia tertidur nyenyak, malaikat itu datang dan menepuk punggungnya. Rantai yang membelenggu tangan dan kakinya itu dengan mudah terlepas. Ia pun berjalan dengan bebas meninggalkan penjara. Tidak ada seorang prajurit pun yang mampu menahannya untuk pergi dari penjara itu. Ia diselamatkan oleh Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Petrus mengalami hal ini sebagai anugerah dari Tuhan bagi dirinya. Untuk itu, ia mensyukuri rahmat Tuhan itu.

Kita sering mendengar adanya keajaiban-keajaiban di jaman modern ini. Ada orang yang merasa bahwa keajaiban yang ia alami itu berasal dari dirinya sendiri. Karena itu, ia mulai membanggakan kemampuan dirinya. Ia mulai pamer. Ini berbahaya bagi kehidupan.

Sebenarnya, keajaiban itu berasal dari Tuhan. Tuhan itu sumber segala-galanya. Tuhan yang memampukan seseorang untuk memiliki kekuatan dalam menjalani kehidupan ini. Kekuatan dan kemampuan yang kita miliki itu berasal dari Tuhan. Dialah yang memberi kehidupan ini kepada kita.

Pengalaman Petrus dalam kisah tadi menunjukkan bahwa manusia semestinya tidak membanggakan kemampuan atau kekuatan yang ada dalam dirinya. Untuk itu, kerendahan hati sangat dituntut dari diri seorang yang beriman kepada Tuhan. Orang beriman itu mesti berani mengakui kemampuan yang dimilikinya sebagai rahmat yang datang dari Tuhan. Tuhanlah yang memberi daya kekuatan untuk kehidupan kita.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan. Artinya, kita mengakui keterbatasan kita di hadapan Tuhan. Kita membiarkan Tuhan bekerja dalam diri kita. Untuk itu, kita mesti membuka hati kita lebar-lebar bagi kehadiran Tuhan di dalam diri kita. Dengan demikian kita mengalami damai dan sejahtera. Kasih Tuhan senantiasa menyertai kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.



205

23 Oktober 2009

Teguh pada Iman akan Tuhan

Menjelang Natal tiba, di beberapa gereja di Kota ini memberikan paket untuk orang miskin. Biasanya disebut Paket Natal. Tujuan utama dari paket ini sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama yang kekurangan. Biasanya banyak orang yang merasa masih kekurangan datang untuk mendapatkan paket ini. Isi paket ini berupa sembilan bahan pokok yang dapat membantu warga untuk kelangsungan hidup mereka.

Suatu kali, seorang bapak protes karena ia tidak kebagian paket. Padahal ia sangat membutuhkan pakek itu untuk anaknya yang tinggal di desa. Menurutnya, anaknya itu orang yang tidak mampu yang sangat membutuhkan bantuan dari orang lain. Panitia yang mendengar pengaduannya memberikan tambahan paket bagi bapak itu.

Melihat hal itu beberapa orang lain iri. Mereka juga ingin mendapatkan tambahan paket. Mereka juga protes kepada panitia. Salah seorang anggota panitia meminta mereka untuk mengerti, karena mereka sudah mendapatkan paket. Lagi pula orang tidak bisa terlalu banyak menuntut. Ini kan pemberian. Jadi sebenarnya mereka tidak punya hak untuk menuntut. Diberi atau tidak, itu bukan urusan mereka. Akhirnya, mereka mau menerima penjelasan dari panitia.

Hari itu banyak orang merasakan kegembiraan dan kebahagiaan. Mereka mendapatkan perhatian dari sesama melalui Paket Natal itu. Orang-orang yang mendapatkan Paket Natal itu merasa puas. Ternyata di dunia ini masih ada orang-orang yang memiliki kemurahan hati bagi sesamanya.

Mengapa gereja mempunyai kepedulian terhadap sesama yang berkekurangan? Jawabannya sangat sederhana, yaitu karena Tuhan mencintai manusia. Tuhan memelihara hidup manusia dan menjaganya dari hari ke hari. Cara Tuhan memelihara kita manusia itu dengan berbagai cara. Salah satunya adalah melalui sesama yang peduli terhadap orang lain di sekitarnya.

Tuhan mencintai manusia sedemikian rupa, sehingga Ia selalu melindunginya. Ke mana pun kita pergi, Tuhan senantiasa menjaga kita. Tuhan selalu peduli terhadap hidup kita. Tuhan tidak ingin kita mati binasa. Tuhan selalu menghendaki agar kita memiliki hidup bahagia di dunia ini dan di akhirat. Karena itu, kita tidak perlu takut kepada orang-orang yang ingin membinasakan hidup kita. Mereka hanya bisa membunuh tubuh yang fana ini. Mereka tidak bisa membunuh jiwa kita. Tuhan selalu melindungi kita.

Sebagai orang-orang beriman, kita dipanggil untuk senantiasa menyerahkan hidup kita ke dalam lindungan Tuhan. Artinya, kita ingin agar hanya kehendak Tuhan sendirilah yang selalu terjadi dalam diri kita. Memang ada begitu banyak tantangan dan godaan yang mesti kita hadapi dalam dunia ini. Namun kalau kita selalu berpegang teguh pada iman kita akan Tuhan, saya yakin kita akan tetap bertahan.

Mari kita membangun hidup yang senantiasa mengandalkan kehendak Tuhan yang mesti terjadi dalam hidup kita. Kita biarkan Tuhan terlibat dalam diri kita. Kita biarkan Tuhan menguasai seluruh hidup kita. Dengan demikian, kita menjadi orang-orang yang selalu percaya kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


204

22 Oktober 2009

Menjaga Komitmen Hidup Berkeluarga

Suatu pagi, seorang bapak datang kepada seorang pastor. Ia baru saja bertengkar dengan istrinya yang telah memberinya lima orang anak. Dia merasa sangat kesal terhadap istrinya. Menurutnya, istrinya telah merendahkan martabatnya sebagai seorang lelaki dan kepala keluarga. Karena itu, ia ingin menceraikan istrinya. Ia sudah bosan hidup dalam konflik terus-menerus dengan istrinya.

Kepada pastor, ia berkata, “Pastor, saya sudah tidak tahan lagi hidup dengan istri saya. Dia selalu meremehkan saya. Kalau boleh, saya menceraikan dia.”

Pastor itu tersenyum mendengar pengaduan bapak itu. Beberapa saat kemudian, ia berkata kepadanya, “Orang beriman itu mesti selalu setia. Apa pun situasinya.”

Bapak itu terkejut mendengar kata-kata pastor itu. Ia tidak percaya mendengar kata-kata pastor itu. Ia tahu dan sadar bahwa ia mesti selalu setia kepada istrinya. Tetapi kali ini ia sudah tidak sabar. Ia tidak ingin hidup lebih lama dengan istrinya. Lantas ia berkata, “Tetapi pastor, kesetiaan saya sudah habis. Apa saya harus memaksakan diri?”

Pastor itu tersenyum mendengar kata-kata bapak itu. Lalu ia berkata, “Bapak, tidak semua orang dipanggil dan dipilih untuk menjadi suami dari istri bapak. Pasti dia punya hal-hal yang sangat baik. Pasti dia punya keunggulan-keunggulan yang hanya boleh dimiliki oleh bapak. Cobalah setia kepadanya walaupun ia meremehkan bapak.”

Setiap orang dipanggil dan dipilih oleh Tuhan untuk hidup bersama yang lain. Dalam kehidupan berkeluarga, setiap orang dipanggil secara khusus untuk menjadi suami atau istri untuk orang tertentu saja. Ada perbedaan-perbedaan yang begitu besar di antara dua insan yang membangun keluarga. Tetapi perbedaan-perbedaan itu menjadi rahmat yang menguatkan. Perbedaan-perbedaan itu menjadi kekayaan yang dapat digunakan untuk memajukan kehidupan berkeluarga.

Ada kalanya di antara dua insan itu terjadi kesalahpahaman. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Kalau ada konflik, mereka mesti dapat menyelesaikannya dengan kepala dingin. Konflik tidak diselesaikan dengan sensasi. Mereka mesti terus-menerus berusaha untuk menyelesaikan konflik itu. Tuhan menghendaki mereka tetap setia dalam panggilan hidup berkeluarga itu.

Untuk itu, setiap keluarga mesti tetap setia pada komitmen yang telah mereka ikrarkan pada saat perkawinan mereka. Ketika mereka menikah, mereka bersumpah setia satu sama lain dalam untung dan malang. Maka mereka mesti tetap setia pada komitmen itu. Mereka mesti memelihara komitmen itu dalam perjalanan hidup mereka.

Hidup berkeluarga itu juga suatu panggilan dari Tuhan. Tuhan menghendaki agar keluarga-keluarga membangun cinta kasih dan persaudaraan. Dalam konteks ini, suami istri dipanggil untuk saling menyucikan diri dengan saling mencintai. Ketidaksetiaan itu melukai hidup berkeluarga.

Karena itu, saya mengajak keluarga-keluarga untuk tetap bertahan dalam hidup berumah tangga. Yakinlah, Tuhan senantiasa menyertai dan memberikan rahmatNya bagi keluarga-keluarga. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

203

21 Oktober 2009

Dipanggil Menjadi Pembawa Keselamatan



Ada seorang bernama Cikwan. Ia pernah masuk penjara, karena perbuatannya yang keji. Ia pernah menjadi perampok di Lampung. Ia pernah menjadi preman yang ditakuti. Padahal dulu ia seorang penganut Agama Katolik yang taat. Ia setia mengikuti ibadat dan Perayaan Ekaristi.

Cikwan mengaku, ia melakukan hal itu karena rasa tanggung jawabnya terhadap istri dan anak-anaknya. Ketika ia merantau di Lampung, penghasilannya tidak cukup untuk hidupnya sendiri. Akibatnya, ia nekat. Ia menjadi preman dan mulai merampok untuk mempertahankan hidupnya. Suatu ketika, ia ditangkap polisi dan dijebloskan ke dalam penjara.

Di penjara itu, ia bertemu dengan seorang polisi yang seiman dengannya. Ia mendapat banyak nasihat dari polisi itu. Setelah masa tahanan selesai, ia pun kembali ke kampung halamannya. Ia berkumpul kembali dengan istri dan anak-anaknya yang sama sekali tidak tahu kegiatannya sebagai preman dan perampok. Mereka menerima kehadirannya dengan baik. Mereka mendorongnya untuk giat dalam kehidupan rohani.

Godaan untuk menjadi perampok terus-menerus mengiang di telinganya. Ia menahan diri terhadap godaan itu. Awalnya ia berhasil. Namun lama-kelamaan ia tidak bisa menahan diri. Ia jatuh lagi ke dalam dunia gelap kehidupan para preman dan perampok. Namun tidak lama ia hidup dalam dunia gelap itu. Ia dapat keluar dari situasi itu. Menurut Cikwan, hal itu terjadi karena Tuhan terus-menerus mengetuk hatinya. Tuhan memanggilnya kembali ke jalan yang benar.

Ia berkata, “Tuhan begitu baik kepada saya. Saya seorang penjahat, tetapi Tuhan mau menerima saya kembali.”

Ada kalanya manusia terperosok ke dalam kegelapan hidup. Banyak faktor mempengaruhi kehidupan manusia. Salah satu yang dialami Cikwan adalah faktor ekonomi dan tanggungjawab terhadap keluarganya. Kesulitan ekonomi membuat orang menghalalkan segala cara. Namun apa yang dilakukan oleh Cikwan bukanlah suatu solusi yang benar. Ia menyadari itu. Ia berhasil keluar dari kegelapan hidup itu.

Pertobatan selalu ada. Tuhan tidak pernah menginginkan seorang berdosa mati binasa. Yang diinginkan Tuhan adalah keselamatan orang berdosa. Di jaman Yesus, ada begitu banyak orang berdosa yang disingkirkan oleh masyarakat. Tetapi justru Yesus menerima kehadiran mereka. Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa.

Ketika para ahli agama mempersoalkan tindakan Yesus yang menerima kehadiran orang-orang berdosa, Ia menjawab, “Bukan orang sehat yang memerlukan dokter, melainkan orang sakit. Aku menginginkan belas kasihan, bukan persembahan.” Artinya, kehadiran Yesus itu untuk membawa manusia kepada keselamatan. Ia tidak menghendaki ada orang yang tidak selamat.

Ada banyak orang berdosa di sekitar kita. Mungkin termasuk kita sendiri. Tugas kita adalah membawa semakin banyak orang kepada Tuhan. Tugas kita adalah menyelamatkan semakin banyak orang. Mari kita membuka hati kita untuk menerima semua orang berdosa yang datang kepada kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

202

20 Oktober 2009

Berbuat Kasih Itu Indah



Suatu hari seorang bapak berjanji kepada anaknya untuk mengirim pulsa. Tetapi ia sendiri tidak punya uang. Anaknya menunggu hingga malam, tetapi kiriman pulsa tidak datang-datang juga. Ia kesal. Lantas ia membanting-banting pintu kamar kosnya. Ia tidak percaya kalau bapaknya tidak menepati janji.

Beberapa saat kemudian, ia menelephon bapaknya. “Pak, mana janjinya? Pulsa saya sudah habis,” kata anak itu.

Dengan perasaan bersalah, bapaknya menjawab, “Tidak usah kuatir, nak. Bapak akan mengirimimu pulsa. Bapak sedang di jalan.”

“Yah, tetapi ini sudah malam. Pulsa saya tinggal lima ribu rupiah,” kata anaknya.

Bapaknya hanya geleng-geleng kepala. Ia tidak punya uang di tangan. Ia juga tidak bisa mentransfer pulsa, karena ia juga hanya punya lima ribu rupiah. Lantas ia berkata, “Nantilah, nak. Kita lihat besok pagi saja. Ini kan sudah malam.”

Anak itu sangat kecewa terhadap bapaknya. Bapaknya banyak berjanji, tetapi tidak bisa menepatinya. Sejak saat itu, anak itu tidak banyak berharap lagi sama bapaknya. Ia kehilangan kepercayaan terhadap bapaknya.

Dalam hidup ini ada dua sisi yang menentukan, yaitu kata-kata dan perbuatan. Orang yang mau sukses dalam hidup itu mesti melaksanakan dua hal ini dalam hidupnya. Kalau ia hanya berkata-kata dengan janji-janji yang muluk-muluk, ia akan kehilangan kepercayaan. Ia tidak berhasil dalam hidupnya, karena ia tidak melaksanakan apa yang dikatakannya.

Kalau orang berani melakukan perbuatan nyata, ia akan menemukan kesuksesan hidup. Ia menjadi orang yang mudah dipercaya, karena kata-kata yang ia ucapkan selaras dengan perbuatannya.

Dalam hidup beriman juga demikian. Orang beriman yang sejati itu orang yang mampu melaksanakan apa yang diucapkannya. Orang berani berbuat sesuatu untuk hidupnya. Dalam salah satu kotbahnya, Yesus berkata, “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu, ‘Tuhan, Tuhan’ akan masuk surga, melainkan orang yang melakukan kehendak Tuhan di surga.”

Apa yang dikehendaki oleh Tuhan bagi manusia? Tuhan menghendaki agar manusia saling mengasihi. Dalam hidup ini kasih itu mesti nyata, bukan hanya kata-kata. Kasih yang nyata itu ditunjukkan dengan perhatian terhadap sesama. Setiap orang membutuhkan perhatian. Karena itu, ketika kita memberi perhatian kepada sesama berarti kita memberi perhatian untuk diri kita sendiri.

Mari kita saling mengasihi, karena Tuhan sudah lebih dahulu mengasihi kita. Dengan kasih itu kita ingin berbuat baik bagi sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
201



19 Oktober 2009

Tuhan Menjamin Hidup Kita



Ada seorang arsitek yang meninggalkan kehidupan kota. Ia merasa bosan dengan hingar bingar kota. Baginya, kehidupan kota sudah terkontaminasi. Ia menjual seluruh harta miliknya untuk membuat sebuah padepokan di kaki gunung. Di sana ia hidup damai dan tenteram bersama istri dan beberapa anaknya yang masih kecil.

Ia juga membuat beberapa padepokan yang bisa dipakai untuk penginapan. Banyak keluarga yang mendatangi padepokannya untuk menikmati istirahat di akhir pekan. Melihat suasana yang begitu damai dan tenang, banyak keluarga merasakan damai dan bahagia. Hasilnya adalah mereka menjadi semakin giat dalam bekerja. Suasana akhir pekan itu memotivasi mereka untuk bekerja dengan sungguh-sungguh.

Kepada para pengunjung, ia meminta mereka untuk menikmati apa yang disediakan oleh alam di sekitarnya. Ia menganjurkan agar mereka mau makan singkong atau umbi-umbian, makan dengan lauk ikan dari kolam yang ada di padepokan itu. Ia juga mengharapkan mereka mandi air dingin yang ada di sekitar situ.

Namun para pengunjung itu tidak begitu peduli dengan anjurannya. Mereka membawa sendiri makanan dari kota. Mereka membawa bekal makanan yang berlimpah. Arsitek itu berkata, “Anugerah alam sudah begitu banyak. Namun orang masih menjamin dirinya secara berlebihan. Itu kerakusan.”

Apa yang kita kejar dalam hidup ini? Kalau kita jujur, kita akan mengatakan bahwa yang kita kejar dalam hidup ini adalah kebahagiaan. Kita ingin hidup bahagia. Kita ingin memiliki keluarga yang bahagia. Pekerjaan yang kita miliki itu untuk kebahagiaan kita.

Namun banyak orang sering lupa akan tujuan hidup ini. Orang merasa bahwa harta yang banyak itulah jaminan bagi kebahagiaan hidupnya. Karena itu, orang berlomba-lomba mengumpulkan harta kekayaan. Kawan bisa jadi lawan, karena perebutan harta kekayaan. Bahkan antar saudara pun bisa terjadi permusuhan karena ingin menguasai harta kekayaan.

Kasih tadi mau mengungkapkan ketergantungan hidup manusia itu pada Tuhan yang menciptakan kita. Sebagai orang beriman, ketergantungan kita pada Tuhan mesti selalu menjadi hal utama dalam hidup ini. Penyerahan diri secara total kepada Tuhan akan membawa kita kepada kebahagiaan. Mengapa? Karena Tuhan itu sumber kebahagiaan sejati. Hanya Tuhan yang mampu memberikan kebahagiaan itu kepada kita. Hanya Dia semata yang dapat memelihara hidup kita. Tuhan menjamin hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.



200

18 Oktober 2009

Membangun Keselarasan Hidup


Kita sering menyaksikan para pejabat baru yang diambil sumpah jabatan. Dengan yakin, mereka mengucapkan sumpah dengan didampingi oleh pemuka agama masing-masing yang memegang Kitab Suci. Para pejabat itu berjanji setia kepada sumpah mereka untuk bekerja dengan sebersih-bersihnya. Banyak orang kagum menyaksikan sumpah jabatan seperti itu.

Namun beberapa lama kemudian kita juga menyaksikan pejabat yang sama menjadi topik utama berita di berbagai media massa. Mereka terlibat atau tertangkap pihak berwenang entah karena tidak disiplin, menyelewengkan kekuasaan atau melakukan korupsi dalam berbagai bentuk. Kita dibuat tercengang dan berdecak getir.

Mengapa orang yang tampaknya begitu baik itu bisa jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan yang melawan hukum? Kita tidak habis pikir. Rasanya belum begitu lama pejabat itu begitu gencar memerangi kejahatan, korupsi, tetapi nyatanya dia sendiri tertangkap tangan.

Mengucapkan sesuatu itu tidak begitu sulit asalkan tidak bisu. Kita yakin bahwa mereka semua mengerti, tahu isi yang diucapkan dalam sumpah jabatan itu. Namun tahu atau mengerti saja belumlah cukup. Orang mesti memiliki kehendak baik untuk melaksanakan apa yang dijanjikannya. Orang mesti berjuang untuk menjaga keselarasan antara apa yang diucapkan dengan cara hidupnya. Ini tidak mudah. Ada banyak godaan dan tantangan yang mesti dihadapi.

Kata-kata yang diucapkan seseorang itu membawa konsekuensi yang besar bagi hidupnya. Ia bisa mendapatkan kepercayaan yang besar dari orang-orang di sekitarnya. Namun dengan kata-kata yang ia ucapkan, ia dapat ditolak oleh orang-orang di sekitarnya. Ada ungkapan bahwa kata-kata itu bagai pedang bermata dua. Orang bisa menggunakannya untuk hal-hal yang baik. Tetapi orang juga bisa menggunakannya untuk hal-hal yang jelek.

Karena itu, orang mesti menjaga kata-kata yang hendak diucapkannya. Orang mengatakan bahwa janji itu adalah utang. Sebesar janji kita, sebesar itu pula utang yang kita miliki. Dalam hidup sehari-hari, kita mesti menyelaraskan antara kata-kata yang kita ucapkan dengan perbuatan nyata kita. Kalau ada ketimpangan, kita tidak bisa dipercaya. Kalau kita banyak janji namun tanpa berbuat, kita akan disebut sebagai orang yang suka membual. Kita bagai tong kosong nyaring bunyinya.

Dari kata-kata dan perbuatan nyata yang kita lakukan orang akan menilai kualitas diri kita. Baik atau buruknya diri kita dapat dilihat dari keselarasan antara kata-kata dan perbuatan itu. Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti berani menghidup semangat untuk melaksanakan apa yang telah kita janjikan atau sumpahkan. Hanya dengan melaksanakannya dengan baik, kita menjadi orang-orang yang berkenan kepada Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

199

17 Oktober 2009

Membangun Komunikasi yang Baik


Seorang remaja kelas tiga SMU sekarang memasuki usia 17 tahun. Remaja tingtinglah. Ia baru saja selesai dengan ujian akhir. Ia sudah dinyatakan lulus. Seperti remaja-remaja umumnya, ia juga ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Ia ingin menjadi sarjana dan kelak memiliki pekerjaan yang baik. Karena itu, setelah menyelesaikan sekolah di kota mpek-mpek, Palembang, ini, ia berniat ke Jawa. Ia mau mencoba untuk mandiri. Tidak seperti sekarang, ia selalu tergantung kepada orangtuanya.

Dengan mantap, ia berkata, “Saya ingin bebas. Saya ingin belajar hidup sendiri jauh dari orangtua. Tentu saja segala macam kebutuhan masih dari orangtua. Kan belum punya kerjaan. Saya berharap agar dengan hidup jauh dari orangtua itu saya menjadi anak yang lebih dewasa dan matang. Soalnya selama ini segala sesuatu diputuskan oleh orangtua.”

Namun ia punya satu persoalan. Orangtuanya tidak mau kehilangan dia. Mereka ingin. agar ia tetap tinggal di rumah. Anak itu berkata, “Kata mereka kalau mau kuliah, di Palembang saja. Papi enggan melepaskan saya untuk pergi jauh. Mami malah menangis terus begitu saya menceritakan niat saya. Padahal hati ini ingin belajar mandiri. Sampai kapan saya akan tergantung terus pada orangtua, kalau tidak diberi kesempatan untuk mengambil keputusan-keputusan penting mnengenai diri sendiri? Kalau jauh dari orangtua kan saya bisa belajar mengambil keputusan-keputusan penting untuk masa depan saya sendiri.”

Anak remaja itu heran, kenapa orangtuanya begitu kuatir akan dirinya.

Kebebasan itu dambaan setiap orang. Pada saat tertentu, orang ingin menentukan arah hidupnya sendiri. Tidak tergantung pada keputusan orang lain, bahkan orangtua sekalipun. Mengapa kebebasan seperti ini penting? Karena masa depan seseorang itu ada di tangan orang itu. Ia butuh belajar untuk menyelesaikan segala persoalan sendiri. Ia butuh suasana di mana ia memegang kendali dalam hidupnya sendiri.

Hambatan akan kebebasan itu terjadi sering karena komunikasi yang kurang berjalan dengan baik. Dalam kisah tadi tampak bahwa orangtua kurang merestui niat baik sang anak untuk belajar mandiri. Tampaknya ada missunderstanding antara anak remaja dan orangtua. Mungkin ada ganjalan-ganjalan yang mesti dilewati dulu.

Karena itu, dalam hal kebebasan yang sangat diperlukan adalah adanya komunikasi yang baik dan lancar di antara berbagai pihak. Komunikasi yang kurang baik akan mengakibatkan salah paham. Akibatnya bisa fatal bagi hidup manusia. Kita dapat menyaksikan kurang lancarnya komunikasi telah menyebabkan rapuhnya kehidupan manusia. Relasi yang baik sulit terwujud. Ada prasangka dan kesurigaan yang terjadi di antara sesama manusia.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk membangun komunikasi yang baik dan lancar di antara kita. Hal ini akan membantu kita dalam mewujudkan suatu masyarakat yang lebih baik dan manusiawi. Untuk itu, kita mesti bekerja bersama Tuhan. Kita membiarkan Tuhan menguasai diri kita dengan kekuasaanNya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

16 Oktober 2009

Membangun Keselarasan Hidup





Kita sering menyaksikan para pejabat baru yang diambil sumpah jabatan. Dengan yakin, mereka mengucapkan sumpah dengan didampingi oleh pemuka agama masing-masing yang memegang Kitab Suci. Para pejabat itu berjanji setia kepada sumpah mereka untuk bekerja dengan sebersih-bersihnya. Banyak orang kagum menyaksikan sumpah jabatan seperti itu.

Namun beberapa lama kemudian kita juga menyaksikan pejabat yang sama menjadi topik utama berita di berbagai media massa. Mereka terlibat atau tertangkap pihak berwenang entah karena tidak disiplin, menyelewengkan kekuasaan atau melakukan korupsi dalam berbagai bentuk. Kita dibuat tercengang dan berdecak getir.

Mengapa orang yang tampaknya begitu baik itu bisa jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan yang melawan hukum? Kita tidak habis pikir. Rasanya belum begitu lama pejabat itu begitu gencar memerangi kejahatan, korupsi, tetapi nyatanya dia sendiri tertangkap tangan.

Mengucapkan sesuatu itu tidak begitu sulit asalkan tidak bisu. Kita yakin bahwa mereka semua mengerti, tahu isi yang diucapkan dalam sumpah jabatan itu. Namun tahu atau mengerti saja belumlah cukup. Orang mesti memiliki kehendak baik untuk melaksanakan apa yang dijanjikannya. Orang mesti berjuang untuk menjaga keselarasan antara apa yang diucapkan dengan cara hidupnya. Ini tidak mudah. Ada banyak godaan dan tantangan yang mesti dihadapi.

Kata-kata yang diucapkan seseorang itu membawa konsekuensi yang besar bagi hidupnya. Ia bisa mendapatkan kepercayaan yang besar dari orang-orang di sekitarnya. Namun dengan kata-kata yang ia ucapkan, ia dapat ditolak oleh orang-orang di sekitarnya. Ada ungkapan bahwa kata-kata itu bagai pedang bermata dua. Orang bisa menggunakannya untuk hal-hal yang baik. Tetapi orang juga bisa menggunakannya untuk hal-hal yang jelek.

Karena itu, orang mesti menjaga kata-kata yang hendak diucapkannya. Orang mengatakan bahwa janji itu adalah utang. Sebesar janji kita, sebesar itu pula utang yang kita miliki. Dalam hidup sehari-hari, kita mesti menyelaraskan antara kata-kata yang kita ucapkan dengan perbuatan nyata kita. Kalau ada ketimpangan, kita tidak bisa dipercaya. Kalau kita banyak janji namun tanpa berbuat, kita akan disebut sebagai orang yang suka membual. Kita bagai tong kosong nyaring bunyinya.

Dari kata-kata dan perbuatan nyata yang kita lakukan orang akan menilai kualitas diri kita. Baik atau buruknya diri kita dapat dilihat dari keselarasan antara kata-kata dan perbuatan itu. Karena itu, sebagai orang beriman, kita mesti berani menghidup semangat untuk melaksanakan apa yang telah kita janjikan atau sumpahkan. Hanya dengan melaksanakannya dengan baik, kita menjadi orang-orang yang berkenan kepada Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.



199

15 Oktober 2009

Membangun Komunikasi yang Baik





Seorang remaja kelas tiga SMU sekarang memasuki usia 17 tahun. Remaja tingtinglah. Ia baru saja selesai dengan ujian akhir. Ia sudah dinyatakan lulus. Seperti remaja-remaja umumnya, ia juga ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Ia ingin menjadi sarjana dan kelak memiliki pekerjaan yang baik. Karena itu, setelah menyelesaikan sekolah di kota mpek-mpek, Palembang, ini, ia berniat ke Jawa. Ia mau mencoba untuk mandiri. Tidak seperti sekarang, ia selalu tergantung kepada orangtuanya.

Dengan mantap, ia berkata, “Saya ingin bebas. Saya ingin belajar hidup sendiri jauh dari orangtua. Tentu saja segala macam kebutuhan masih dari orangtua. Kan belum punya kerjaan. Saya berharap agar dengan hidup jauh dari orangtua itu saya menjadi anak yang lebih dewasa dan matang. Soalnya selama ini segala sesuatu diputuskan oleh orangtua.”

Namun ia punya satu persoalan. Orangtuanya tidak mau kehilangan dia. Mereka ingin. agar ia tetap tinggal di rumah. Anak itu berkata, “Kata mereka kalau mau kuliah, di Palembang saja. Papi enggan melepaskan saya untuk pergi jauh. Mami malah menangis terus begitu saya menceritakan niat saya. Padahal hati ini ingin belajar mandiri. Sampai kapan saya akan tergantung terus pada orangtua, kalau tidak diberi kesempatan untuk mengambil keputusan-keputusan penting mnengenai diri sendiri? Kalau jauh dari orangtua kan saya bisa belajar mengambil keputusan-keputusan penting untuk masa depan saya sendiri.”

Anak remaja itu heran, kenapa orangtuanya begitu kuatir akan dirinya.

Kebebasan itu dambaan setiap orang. Pada saat tertentu, orang ingin menentukan arah hidupnya sendiri. Tidak tergantung pada keputusan orang lain, bahkan orangtua sekalipun. Mengapa kebebasan seperti ini penting? Karena masa depan seseorang itu ada di tangan orang itu. Ia butuh belajar untuk menyelesaikan segala persoalan sendiri. Ia butuh suasana di mana ia memegang kendali dalam hidupnya sendiri.

Hambatan akan kebebasan itu terjadi sering karena komunikasi yang kurang berjalan dengan baik. Dalam kisah tadi tampak bahwa orangtua kurang merestui niat baik sang anak untuk belajar mandiri. Tampaknya ada missunderstanding antara anak remaja dan orangtua. Mungkin ada ganjalan-ganjalan yang mesti dilewati dulu.

Karena itu, dalam hal kebebasan yang sangat diperlukan adalah adanya komunikasi yang baik dan lancar di antara berbagai pihak. Komunikasi yang kurang baik akan mengakibatkan salah paham. Akibatnya bisa fatal bagi hidup manusia. Kita dapat menyaksikan kurang lancarnya komunikasi telah menyebabkan rapuhnya kehidupan manusia. Relasi yang baik sulit terwujud. Ada prasangka dan kesurigaan yang terjadi di antara sesama manusia.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk membangun komunikasi yang baik dan lancar di antara kita. Hal ini akan membantu kita dalam mewujudkan suatu masyarakat yang lebih baik dan manusiawi. Untuk itu, kita mesti bekerja bersama Tuhan. Kita membiarkan Tuhan menguasai diri kita dengan kekuasaanNya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


198

14 Oktober 2009

Belajar Mendengarkan Penderitaan Sesama


Seorang pemuda termasuk seorang yang cepat bergaul. Ia seorang yang sangat supel. Ia punya banyak teman di lingkungan sekitarnya. Ia dikenal baik oleh orang-orang di lingkungannya.

Suatu malam, sepulang dari kuliah ia tidak langsung masuk ke rumah, karena ada tetangga yang sedang asyik ngobrol. Lalu ia segera gabung dengan mereka dalam pembicaraan mereka. Ternyata lama-kelamaan ia semakin jauh terlibat. Dan baru ia ketahui bahwa salah seorang temannya pernah menggunakan ekstasi jenis popeye. Ia mengaku tidak pernah merasa ada sugesti (kepingin) untuk mencoba lagi obat-obatan haram itu. Ketika ia tanyakan alasan ia meminum obat-obatan itu, ia mengaku karena malu cintanya ditolak cewek.

Persoalan bagi pemuda itu adalah apakah ia harus menjauhi temannya atau tetap berteman saja seperti biasa? Selama ini ia tidak pernah sekalipun menawarkan obat-obatan itu kepadanya. Yang membuat ia bingung adalah ada tulisan yang mengatakan pergaulan yang jahat merusak diri.

Menerima kehadiran orang lain tidaklah mudah. Apalagi orang yang mesti diterima itu seorang yang berbuat jahat. Kiranya banyak orang akan menolak kehadiran orang yang berbuat jahat itu. Ketika seseorang mau menerima seorang yang berbuat jahat, banyak orang akan menolaknya. Inilah dilema yang sering dihadapi dalam hidup bersama.

Memang, cara yang paling gampang adalah meninggalkan atau menolak teman-teman yang kedapatan melakukan suatu kejahatan. Kenapa pusing-pusing memikirkan mereka? Lagi pula kalau bergaul dengan mereka nanti bisa-bisa kena getah dari tindakan mereka yang ilegal itu. Jangan ambil resiko bila itu membahayakan dirimu. Saya yakin dengan sikap ini selesailah masalahmu.
Namun rasanya jawaban ini bukanlah yang dikehendaki. Orang mesti tanggap dan peka terhadap masalah sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Situasi itu sekaligus mendorong orang untuk ikut bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat. Dengan cara ini, orang tidak perlu menjauhi teman-temannya yang melakukan hal-hal yang ilegal.

Manusia diberi bekal untuk berkarya secara konkrit di tengah masyarakat yang sakit. Ini bisa menjadi suatu panggilan untuk berkarya di tengah mereka yang membutuhkan. Kemampuan untuk mendengarkan ‘orang lain’ yang berkisah tentang diri dan perjuangannya bisa menjadi kesempatan untuk membimbing sesama ke jalan yang benar. Membantu mereka keluar dari masalah yang sedang mereka hadapi.

Dalam masyarakat di mana aspek individualistis dominan, banyak orang tidak mampu mendengarkan penderitaan orang lain dengan baik. Mereka sibuk dengan diri dan masalahnya sendiri-sendiri. Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memasang telinga kita untuk setiap bentuk penderitaan sesama. Kita mengulurkan tangan kita membantu mereka. Kita memberi mereka tempat untuk bangkit dari keterpurukan hidup mereka. Kita menerima kehadiran mereka. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.



197

13 Oktober 2009

Ketika Orang Harus Memilih


Seorang perempuan berusia 25 tahun sudah tiga tahun ini berpacaran dengan seorang pemuda. Pemuda itu pacar pertamanya. Mengingat usianya sudah masuk usia nikah, ia tidak berniat putus hubungan dengan pemuda itu. Lagi pula mencari pasangan hidup kan tidak mudah.

Tapi ada hal yang menganjal di hatinya. Pemuda itu masih ingin bebas dan senang bepergian dengan teman-teman wanitanya yang lain. Kadang hanya berdua saja. Pemuda itu sering ditelephon, dikirimi surat, bahkan sampai dicium oleh teman-teman wanitanya itu.

Pemuda itu tidak pernah memperkenalkan pacarnya dengan teman-temannya atau orangtuanya. Dia hanya bilang bahwa ia sudah punya pacar. Dia takut kalau pacarnya itu nantinya judes pada teman-temannya dan orangtuanya.

Perempuan itu itu bingung. Apakah pemuda itu dapat setia setelah menikah dengannya? Ia bergulat dengan dirinya sendiri.

Setiap orang merindukan kesetiaan dari kekasih atau sahabat karibnya. Tidak ada orang yang ingin dikhianati oleh sesamanya. Apalagi oleh orang yang ia cintai.

Ketidaksetiaan, apa pun bentuknya, akan meninggalkan rasa sakit yang begitu mendalam. Bahkan rasa sakit itu bisa bertahan bertahun-tahun lamanya. Dalam kisah tadi, ada kecemasan dari perempuan yang pacarnya punya banyak teman wanita. Persoalannya, apakah ia boleh mempertahankan pacarnya itu?

Sebenarnya perlu disadari bahwa masa pacaran itu bukan harga mati untuk menikah. Banyak orang menikah dengan pacar kedua, ketiga atau ke sekian. Dalam masa pacaran itu, orang belum terikat. Soalnya adalah banyak anak muda merasa bahwa masa pacaran itu sudah segala-galanya. Akibatnya, ketika ada persoalan selama masa ini, mereka sering mengalami kegoncangan dalam hidupnya. Bisa-bisa mereka frustrasi.

Karena itu, dalam masa pacaran ini semestinya orang tidak perlu terlalu memaksakan diri untuk mengikat diri dengan orang tertentu. Masa pacaran itu masa untuk saling melihat-lihat. Ibaratnya orang berada dalam sebuah toko serba ada (toserba). Ada banyak pilihan. Orang tidak harus memilih salah satu dari yang dijual dalam toserba itu. Kalau cocok dengan hati, baru orang dapat memilih atau membeli. Kalau tidak cocok sama sekali, apa gunanya dipilih? Nah, kalau dipaksakan, orang akan menemukan kesulitan-kesulitan lebih besar di kemudian hari. Orang dituntut untuk pandai-pandai, ketika masuk ke dalam sebuah toserba itu.

Jadi bagi mereka yang sedang pacaran, jangan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan. Ingat, kalau sekarang Anda salah memutuskan, akan menjadi bumerang bagi Anda. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
196

12 Oktober 2009

Cermat dan Pandai Mengatur Ekonomi


Konsultan perencanaan keuangan, Safir Senduk, mengamati banyak orang Indonesia terjebak gaya hidup konsumtif. Mereka sering kali membeli barang karena keinginan, bukan karena memang membutuhkannya.

Ia berkata, ”Akibatnya, banyak orang terjerat utang. Mereka menjalani hidup dengan ’gali lubang tutup lubang’. Sebaiknya belilah barang sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan.”

Pria yang sudah menulis sejumlah buku tentang perencanaan keuangan keluarga itu memberi saran agar orang membayar tunai saat membeli barang yang nilainya cenderung merosot. Ia berkata, “Mengapa harus membeli kredit jika bisa tunai? Sebab, dengan membeli kredit nilai barang yang dibeli makin turun, padahal kita telah membayar dengan harga lebih mahal.”

Safir yang juga laris sebagai pembicara di berbagai tempat ini menambahkan, mereka yang berpenghasilan besar belum dapat dikatakan kaya jika pengeluarannya pun besar. Sebaliknya, mereka yang bergaji kecil, tetapi dapat mengelola keuangan dengan cerdas, bahkan melakukan sejumlah investasi, layak disebut kaya. Jadi, biar layak disebut kaya, belilah barang sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan.

Itulah kondisi banyak orang Indonesia sekarang ini. Keinginan untuk menumpuk barang-barang begitu tinggi. Akibatnya, orang mengejar sesuatu memenuhi keinginan dirinya. Apa saja yang dirasa diinginkan, orang membelinya. Orang kurang seleksi antara apa yang sungguh-sungguh dibutuhkan dan apa yang diinginkan.

Banyak orang lalu terjebak dalam suasana hidup konsumeristis. Kalau sudah terjebak, orang akan sulit sekali untuk keluar dari situasi seperti itu. Seorang ibu yang membiasakan anak-anaknya untuk secara selektif dalam berbelanja, misalnya, tidak akan mengalami kesulitan dalam banyak hal. Ia akan dengan mudah mengatur kebutuhan-kebutuhan hidup anak-anaknya.

Karena itu, pengelolaan keuangan dalam keluarga mesti dilakukan secara cermat. Di jaman ekonomi sulit seperti sekarang ini, keluarga-keluarga mesti pandai-pandai menggunakan pendapatannya untuk keberlangsungan hidup keluarga. Untuk itu, mereka mesti memutuskan apa yang sungguh-sungguh dibutuhkan dalam hidup mereka. Mereka tidak bisa saja membeli sesuatu untuk memenuhi keinginan mereka belaka.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk secara cermat dan bijaksana mengatur ekonomi rumah tangga kita. Hal ini juga bagian dari iman kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
195

11 Oktober 2009

Memupuk Kepekaan terhadap Sesama




Bagi Butet Manurung, salah satu hal yang memprihatinkan dari keberadaan suku orang rimba atau suku anak dalam di pelosok hutan Jambi adalah munculnya proses pengidealan oleh dunia luar.

Ia berkata, ”Hidup mereka sering kali dikatakan kurang beradab dan salah. Padahal, ini masalah perbedaan pandangan saja.”

Tergerak pada perjuangan hidup suku orang rimba, ia mengabdikan diri di pedalaman Jambi. Di tempat itu Butet mengenalkan cara membaca, menulis, hingga berbahasa Indonesia kepada anak-anak suku orang rimba.

Ia juga mengajak mereka belajar mengasah keterampilan hidup. Perempuan bernama lengkap Saur Marlina Manurung ini berkata, ”Untuk pembelajaran ini, aku menggandeng sukarelawan yang ahli di bidang pertanian. Sekolah kami bukan sekadar mengasah pengetahuan, tetapi bagaimana mempertahankan hidup, atau sekolah hidup.”

Ia bersama rekannya juga membuka enam sekolah yang tersebar di beberapa daerah, seperti di Sulawesi Selatan, Flores dan Halmahera. Dari enam sekolah itu, hanya dua yang disokong donatur. Untuk menghidupi sekolah lainnya, ia mengandalkan subsidi silang, yakni penjualan buku hingga menyisihkan sebagian honornya sebagai pembicara.

Perjuangan seorang Butet untuk kemajuan anak bangsa yang tertinggal begitu besar. Ia mengorbankan segala yang ia miliki hanya untuk sesamanya yang menderita. Ia berani mempertaruhkan hidupnya untuk masuk keluar hutan rimba demi kemajuan sesamanya. Inilah iman yang hidup. Orang yang beriman itu menampilkan imannya dalam kepeduliannya terhadap sesama.

Kita hidup dalam dunia yang penuh tantangan. Ada orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan bantuan kita. Ada orang-orang yang perlu dibuka pikirannya untuk lebih maju dalam hidup ini. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, kita semua punya tanggung jawab untuk hidup yang lebih baik dari sesama kita. Kita hidup bukan hanya untuk diri kita sendiri. Kita hidup juga untuk orang lain.

Butet Manurung sudah memberikan suatu contoh yang begitu baik dan indah bagi kita. Ia menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya kita bisa berbuat banyak hal untuk sesama kita. Kita bisa mewujudkan kepedulian kita dengan membantu mereka yang membutuhkan bantuan kita.

Sebagai orang beriman, kita dipanggil untuk memiliki kepekaan terhadap sesama dan lingkungan di sekitar kita. Kemajuan hidup sesama kita juga mendapatkan pengaruh dari kepedulian dan perhatian kita. Mari kita hidup semakin peka terhadap sesama di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


194

10 Oktober 2009

Mengolah Harta untuk Kebahagiaan Hidup

Di sebuah keluarga terjadi keributan antara dua orang anak. Anak pertama sangat suka akan anjing. Ia memiliki tiga ekor anjing kecil dari berbagai ras yang berbeda. Ia memeliharanya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Waktu luangnya ia habiskan untuk ketiga anjing ini. Bahkan uang saku yang diberikan oleh orangtuanya habis untuk membeli makanan bagi ketiga anjingnya.

Kalau ada anggota keluarga yang mengganggu anjing-anjingnya, ia menjadi sangat marah. Ia akan membela mati-matian ketiga anjingnya. Bahkan bisa terjadi perang mulut.

Sementara anak kedua tidak suka memelihara binatang. Waktu-waktu luangnya ia gunakan untuk memelihara tanaman di halaman rumahnya. Ia begitu perhatian terhadap tanaman-tanaman itu. Ia punya koleksi tanaman-tanaman yang mahal dari berbagai jenis tanaman.

Suatu hari, anjing-anjing milik kakaknya menggunakan bunga-bunga di halaman rumah itu sebagai teman main. Banyak bunga yang rusak. Sang kakak membiarkan saja anjing-anjing itu menggigit bunga-bunga yang mahal dan indah itu. Tidak lama kemudian datang sang adik yang menendangi anjing-anjing itu satu per satu. Ia marah melihat tanamannya dirusak. Sang kakak tidak bisa menerima perlakukan adiknya terhadap anjing-anjingnya. Mereka pun bertengkar. Keributan besar terjadi di antara mereka. Mereka hampir saja berkelahi. Untung, sang ibu datang melerai dan mendamaikan keduanya.

Harta dunia yang kita miliki bisa menjadi pemicu perpecahan. Keributan bisa terjadi gara-gara apa yang kita senangi dirusak oleh orang lain. Emosi kita bisa meluap-luap, kalau barang yang begitu berharga dan kita cintai hilang atau rusak. Bisa saja kita tidak bisa tidur berhari-hari hanya memikirkan barang-barang berharga yang hilang atau rusak oleh keteledoran kita.

Kita memang membutuhkan harta atau barang-barang untuk kelanjutan hidup kita. Tidak ada orang yang dapat hidup di dunia ini secara baik, kalau ia tidak memiliki uang atau barang-barang. Karena itu, kita pasti ingin tetap menjaga baik-baik harta kekayaan yang kita miliki.

Namun cinta yang berlebihan terhadap harta kekayaan dapat membawa bencana dalam hidup kita. Kalau kita terlalu terikat pada apa yang kita miliki akan membiarkan barang-barang itu menguasai diri kita. Padahal semestinya kitalah yang menguasai barang-barang atau harta kekayaan itu.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk menggunakan harta kekayaan itu untuk membangun persaudaraan dan damai. Orang beriman itu sadar bahwa harta kekayaan itu hanyalah sarana untuk kelangsungan hidupnya. Harta kekayaan itu bukan tujuan dari hidup ini. Tujuan utama hidup kita adalah mengalami kebahagiaan dan damai dengan sarana harta yang kita miliki. Percuma kita memiliki harta kekayaan, tetapi hidup kita tidak bahagia. Percuma kita bekerja mati-matian untuk mengumpulkan harta, tetapi hidup kita selalu dikejar-kejar oleh ketakutan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


193

09 Oktober 2009

Berani Berkorban bagi Sesama




Seorang gadis kesal sama papanya. Soalnya, papanya selalu menasihati dia untuk selalu tekun berdoa dan beribadat. Namun ia sendiri malas untuk melakukan semua itu. Kalau gadis itu mengingatkan papanya untuk berdoa dan beribadat, papanya selalu menegurnya dengan kata-kata yang pedas.

Akibatnya, gadis itu tumbuh menjadi anak yang cuek. Ia tidak begitu peduli terhadap papanya. Ia bosan berbicara dengan papanya. Baginya, tidak ada gunanya berkomunikasi dengan papanya dalam urusan ibadat. Pasti papanya tidak mau kalah, meskipun ia sendiri tidak melaksanakan apa yang ia perjuangkan.

Suatu hari gadis itu merasa sikapnya yang cuek itu mesti ia akhiri. Ia mulai sadar bahwa sebenarnya ia tidak bisa mengubah apa-apa pada diri papanya. Bahkan papanya semakin malas saja untuk berdoa dan beribadat. Ia berkata dalam hatinya, “Lebih baik saya mengubah diri saya sendiri menjadi lebih baik. Saya akan melakukan puasa pada hari-hari tertentu. Saya mau berdoa untuk papa saya, agar ia mau mengubah sikap hidupnya.”

Setelah melakukan puasa dan doa untuk sang papa dalam waktu yang lama, gadis itu menemukan ada perubahan dalam diri papanya. Ia merasa sangat bersyukur atas hal itu. Ia berdoa, “Tuhan, terima kasih Engkau telah mengubah sikap hidup papa saya. Semoga ia dapat menemukan kehadiranMu dalam hidup sehari-hari bersama keluarga kami.”

Banyak orang lebih suka menyaksikan orang lain berubah daripada dirinya sendiri berubah. Dalam kenyataan hidup, sangat sulit mengubah watak seseorang yang sudah dewasa atau sudah tua. Sangat sulit mengajar sesuatu yang baru kepada orang yang sudah tua. Bagi orang yang sudah tua, lebih baik mereka hidup apa adanya. Hidup sejauh mereka mampu.

Kisah gadis tadi menunjukkan bahwa perubahan itu bisa terjadi melalui suatu proses yang lama dan berat. Mengubah cara hidup orang lain yang sudah tertanam puluhan tahun itu butuh kerja keras. Gadis dalam kisah tadi melakukannya dengan korban. Ia mesti puasa dan berdoa, agar papanya dapat mengubah tingkah lakunya yang kurang baik.

Pengorbanan itu ternyata begitu penting dalam hidup sehari-hari. Tanpa korban, orang tidak bisa hidup dengan damai dan tenang. Tanpa korban, perubahan akan sulit terjadi dalam hidup seseorang.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk rela berkorban bagi kebaikan sesama kita. Bahkan kita mesti berani berkorban bagi orang yang tidak bersabahat dengan kita atau musuh-musuh kita. Mampukah kita menjadi sahabat yang baik bagi musuh kita? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
192

08 Oktober 2009

Menumbuhkan Kepercayaan dalam Hidup Berkeluarga

Ada seorang ibu yang punya dua orang anak. Setiap hari ia mengantar dan menjemput kedua anak ke sekolah. Sementara suaminya hingga kini tidak pernah peduli terhadap sekolah anak-anaknya. Dia lebih sibuk dengan pekerjaannya untuk menghidupi keluarga. Namun sering kali dia mengomeli ibu itu, kalau ia pulang terlambat setelah mengantar atau menjemput anak-anak.

Sang suami berkata, “Wah, kunjungi pacar lama, ya?” Kata-kata seperti itu sudah sering ia ucapkan kepada istrinya. Istrinya merasa tersinggung setiap kali mendengar kata-kata seperti itu. Ia bertanya dalam hatinya, “Bagaimana mungkin saya masih mau main selingkuh dengan lelaki lain? Saya kan sudah punya anak dan suami? Tidak ada niat sedikit pun kembali ke pacar lama yang juga tinggal di kota ini. Saya sudah menambatkan hati pada suami saya untuk selama hidup. Jadi saya tidak tahu mau buat apa. Sudah capek mengantar dan menjemput anak-anak malah masih dicurigai suami seperti itu.”

Ibu itu sering hilang akal kalau mendengar kata-kata suaminya. Ia juga punya perasaan. Ia tidak ingin hubungannya dengan suaminya menjadi retak. Ia sangat mencintai anak-anaknya. Ia ingin tetap membangun keluarga yang baik. Ia hanya berharap, agar suaminya berubah pikiran. Tidak memikirkan yang bukan-bukan tentang dirinya.

Kurangnya perhatian dari seseorang terhadap orang lain dapat menimbulkan persoalan-persoalan dalam hidup bersama. Apalagi dalam hidup berkeluarga. Sering muncul kecemburuan dalam membangun hidup berkeluarga. Kisah tadi menjadi salah satu contoh betapa kecemburuan itu bisa merenggangkan hubungan suami istri. Kecurigaan bisa terjadi dalam hidup berkeluarga, karena hal-hal yang sepele.

Karena itu, orang mesti mampu berefleksi diri. Artinya, orang mesti berani bertanya diri, ada apa dengan pasangannya. Lantas bagaimana dengan diri sendiri? Mengapa sang suami atau istri sampai tega melemparkan kata-kata yang menusuk perasaan? Mungkinkah ada ketidakjujuran dalam membangun relasi dalam hidup perkawinan?

Sebuah perkawinan yang harmonis itu menuntut pengertian yang mendalam dari kedua belah pihak. Perkawinan yang bahagia itu biasanya ditandai dengan adanya rasa percaya terhadap pasangan. Kepercayaan yang mulai luntur di antara pasangan suami istri sering menjadi pemicu hancurnya sebuah keluarga.

Untuk itu, keluarga-keluarga mesti memperhatikan hal ini. Kepercayaan satu terhadap yang lain mesti dibangun sejak awal. Kepercayaan itu bukan hanya janji-janji hampa di bibir saja. Kepercayaan itu mesti ditunjukkan dalam hidup nyata. Suatu kepercayaan yang tampak dalam tindakan nyata. Mungkinkah dapat terjadi?

Sebagai orang beriman, setiap pasangan suami istri mesti berani membangun kepercayaan di antara mereka. Untuk itu, mereka mesti memiliki cinta yang utuh dalam hidup perkawinan. Cinta mereka tidak bisa sepotong-sepotong. Kalau ini yang terjadi, bukan keharmonisan yang terjadi. Tetapi justru yang terjadi adalah kehancuran dalam hidup berkeluarga. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


191

07 Oktober 2009

Mempertahankan Bahtera Perkawinan

Ada seorang ibu mengeluh bahwa suaminya yang sudah sepuluh tahun menikah dengannya ternyata tidak setia. Suaminya punya gandengan lain yang lebih cantik dan muda. Ia mengaku, sejak awal perkawinan itu suaminya tidak pernah memberinya nafkah baik lahir maupun batin. Anehnya, mereka sudah punya dua orang anak yang manis-manis.

Ibu itu juga tidak mengerti mengapa situasi seperti itu bisa terjadi. Yang pasti baginya sekarang adalah suaminya lebih memperhatikan gandengan barunya itu. Bahkan suaminya cuek saja, ketika ia mempersoalkan hal ini. Ia menuntut agar suaminya kembali hidup bersama dengannya. Ia meminta agar suaminya meninggalkan perempuan simpanannya.

Namun suaminya tidak bergeming. Ia semakin mesra dengan cewek selingkuhannya. Sang istri tambah sewot. Apalagi ia mesti menanggung hidup dirinya dan kedua anaknya sendirian. Suatu hari, sang suami itu akhirnya sungguh-sungguh meninggalkan rumah. Ia hidup bersama cewek simpanannya itu.

Kisah seperti ini biasa kita dengar. Ada ketidaksetiaan di antara suami istri, meski mereka sudah lama menjalin hubungan perkawinan. Pertanyaannya, mengapa hal ini mesti terjadi? Ada banyak sebab terciptanya situasi seperti ini. Mungkin saja pasangan itu sejak awal tidak sungguh-sungguh saling mencintai. Mereka menikah karena terpaksa. Bangunan cinta mereka belum sungguh-sungguh kokoh. Dengan demikian, ketika terjadi goncangan terhadap bahtera perkawinan mereka, perkawinan itu pun mudah goyah.

Jalan pintas yang dilakukan adalah perpisahan. Padahal perpisahan itu melukai banyak pihak. Selain suami istri yang mengalami perpisahan itu, anak-anak mereka juga akan mengalami luka batin yang mendalam. Mereka bertumbuh dalam suasana yang tidak seimbang. Tidak ada orang yang menjadi panutan bagi hidup mereka. Mereka bertumbuh dalam suasana ketidaksetiaan.

Karena itu, apa yang mesti dibuat oleh sepasang suami istri untuk mempertahankan perkawinan mereka? Pertama, mereka mesti membangun cinta yang lebih mendalam. Meskipun awalnya cinta mereka kurang mendalam, mereka mesti bisa memulai suatu proses untuk semakin saling mencintai. Ini tidak mudah. Namun mereka mesti mencoba. Mereka tidak boleh putus asa.

Kedua, mempertahankan perkawinan meski digoyang oleh gelombang itu untuk sesuatu yang mulia. Yaitu untuk kelangsungan cinta mereka sendiri dan cinta akan anak-anak yang lahir dari cinta mereka. Untuk itu, pasangan suami istri mesti tetap setia pada komitmen yang telah mereka buat ketika menikah. Bertahan dalam cinta itu lebih indah daripada menyerah kalah karena tantangan yang menghadang.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar pasangan suami istri tetap setia seumur hidup dalam hidup perkawinan mereka. Karena itu, mereka mesti menyerahkan hidup mereka kepada Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Tuhan akan senantiasa melindungi setiap suami istri yang penuh iman mempertahankan bahtera perkawinan mereka. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


190

06 Oktober 2009

Hidup di Dunia

Ada seorang tukang kayu. Suatu saat ketika bekerja, secara tak disengaja arlojinya terjatuh dan terbenam di antara tingginya tumpukan serbuk kayu. Arloji itu adalah sebuah hadiah dan telah dipakainya cukup lama. Ia sangat mencintai arloji tersebut. Karenanya ia berusaha keras untuk menemukan kembali arlojinya. Ia mempersalahkan keteledoran diri sendiri.

Lantas tukang kayu itu membongkar tumpukan serbuk yang tinggi itu. Teman-teman karyawan yang lain juga turut membantu mencarinya. Namun, sia-sia saja. Arloji kesayangan itu tetap tak ditemukan. Tibalah saat makan siang. Para pekerja serta pemilik arloji tersebut dengan lesu meninggalkan bengkel kayu tersebut. Saat itu, seorang anak kecil, yang sejak tadi memperhatikan mereka mencari arloji itu, datang mendekati tumpukan serbuk kayu tersebut. Ia menjongkok dan mencari. Tak berapa lama berselang, ia telah menemukan kembali arloji kesayangan si tukang kayu tersebut. Lantas ia mendatangi tukang kayu itu dan memberikan arloji kesayangannya.

Tukang kayu itu sangat gembira. Namun ia juga heran karena sebelumnya banyak orang telah membongkar tumpukan serbuk namun sia-sia. Namun cuma anak kecil itu seorang diri saja, ia berhasil menemukan arloji itu.

Tukang kayu itu bertanya, "Bagaimana caranya engkau mencari arloji ini?"

Jawab anak kecil itu, "Saya hanya duduk dengan tenang di lantai. Dalam keheningan itu saya bisa mendengar bunyi tok-tak, tok-tak. Dengan itu, saya tahu di mana arloji itu berada."

Kini kita hidup dalam dunia yang bising. Banyak orang mengalami kesulitan untuk mendapatkan keheningan dalam hidup ini. Atau banyak orang kurang menyadari pentingnya keheningan bagi hidup. Kita menyaksikan banyak orang memenuhi dirinya dengan hal-hal yang membuat ramai dirinya. Banyak telinga anak muda tidak lepas dari ear phone. Mereka tampak tidak bisa melepaskan diri dari musik. Akibatnya, mereka juga kurang peduli terhadap lingkungan hidup di sekitar mereka.

Ada lagi orang yang setiap saat selalu memenuhi kamar tidur atau kamar kerjanya dengan bunyi musik yang bising. Menurut mereka, dengan musik seperti itu mereka dapat menghilangkan kesepian hidup. Tetapi soalnya adalah kesepian ada dalam batin manusia. Jadi kehadiran musik hanya menghilangkan kesepian luar saja. Kesepian batin tetap ada. Dibutuhkan suatu keheningan batin untuk mendayagunakan kesepian batin menjadi sesuatu yang berguna bagi hidup.

Dalam keheningan kita dapat menemukan banyak hal baik bagi hidup kita. Kisah tadi merupakan salah satu contoh betapa keheningan itu sangat berguna bagi hidup manusia. Dalam keheningan itu seseorang dapat menemukan hal-hal yang sangat berharga dalam hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita tetap membutuhkan kehehingan. Dalam kehehingan itu kita dapat menemukan dan menangkap kehendak Tuhan bagi hidup kita. Mari kita ciptakan suasana hening dalam diri kita. Dengan demikian, kita dapat menemukan kehendak Tuhan bagi hidup kita. Tuhan memberkati. **


189

05 Oktober 2009

Pengaruh Lingkungan dalam Hidup Kita

Suatu hari, seorang nyonya, istri seorang tokoh masyarakat terkemuka, sedang berkunjung ke desa asalnya. Ketika sedang berjalan-jalan di lingkungan desa, ia mendapatkan segumpal tanah yang bentuknya aneh. Tanah liat itu ternyata berbau harum sekali. Diambilnya tanah liat itu lalu dibawanya pulang ke kota. Meski sudah dibawa berkilo-kilometer jauhnya, tanah liat itu tetap saja masih mengeluarkan aroma harum. Bahkan ketika tanah liat tersebut dibawa ke kamar tidur nyonya itu, seluruh ruangan dipenuhi dengan baunya yang harum.

Malam harinya, karena terdorong keingintahuan yang tak mampu ditahannya lagi, nyonya itu mengambil tanah liat tadi dan mengamat-amatinya. Kemudian ia bertanya dalam hati, “Tanah liat apa ini? Mengapa bisa begini harum? Siapa yang mengharumkannya? Dan untuk apa diharumkan?”

Tiba-tiba tanah liat itu berbicara. “Apakah nyonya benar-benar ingin tahu?” tanya tanah liat itu.

Mendengar kata-kata tanah liat itu, terkejutlah nyonya terhormat itu. Dengan gugup dan amat takut, nyonya itu menjawab, "Eh, iya. Aku ingin tahu."

"Tidak usah takut, Nyonya," kata tanah liat itu. Mendengar kata-kata tanah liat itu, nyonya itu menjadi tenang kembali.

Kata tanah liat itu, "Begini, nyonya. Saya hanyalah tanah liat biasa. Tetapi lama sekali saya ditempatkan berdampingan dengan minyak wangi dari Paris. Bahkan, saya sempat ketumpahan minyak dalam jumlah yang lumayan banyak. Karena itulah saya berbau wangi."

Kita hidup dengan orang yang memiliki berbagai watak, suku, kebiasaan yang berbeda-beda. Keberagaman itu turut mempengaruhi kepribadian kita. Lingkungan hidup di mana kita tinggal ikut berpengaruh dalam pembentukan kepribadian kita. Seseorang dapat memiliki watak yang keras juga dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Ia tidak begitu saja lahir dengan watak yang keras. Lingkungan berperanan dalam membentuk watak seseorang.

Atau orang yang tumbuh dalam suasana kasih dan saling mengampuni akan memiliki watak seperti ini dalam perjalanan hidupnya. Ia menjadi orang yang mudah diterima oleh banyak orang, karena begitu mudah memperhatikan sesamanya yang membutuhkan pertolongannya. Ia menjadi orang yang mudah mengampuni sesamanya yang melakukan kesalahan terhadapnya.

Namun semua itu mesti mengalami proses dalam perjalanan hidup seseorang. Untuk itu, orang mesti berani mengolah kepribadiannya. Orang tidak bisa membiarkan wataknya yang keras dan mau menang sendiri terus-menerus bertumbuh dan berkembang. Kita hidup bersama orang lain. Mereka juga memiliki watak yang mempengaruhi hidup kita. Ada orang yang begitu mudah menyerah pada apa yang sudah ada. Tentu hal ini mesti mendapatkan perhatian. Kita ingin menjadi orang-orang yang memiliki kepribadian yang lemah lembut dan rendah hati.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk mengasah watak dan kepribadian kita. Dengan demikian kita dapat menjadi orang-orang yang mampu hidup bersama orang lain di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.




188

04 Oktober 2009

Mengolah Pengalaman Hidup

Suatu Pagi yang cerah, ada seorang penganggur yang sedang duduk-duduk di tepi jalan di antara dua kota. Tak lama kemudian, lewatlah seorang turis di jalan itu. Wajahnya tampak kusut. Ketika melintas di hadapan sang penganggur, berhentilah sang turis dan bertanya kepadanya, “Pak, numpang tanya. Orang-orang macam apa yang tinggal di kota di depan itu?”

Tanpa memandang sang turis, sang penganggur balik bertanya, “Orang-orang macam apa yang Anda temui di kota yang baru saja Anda tinggalkan?”

Sang turis menjawab, “Oh, sangat mengerikan. Mereka egois dan kurang ajar.”

Mendengar jawaban itu, sang penganggur mendongakkan kepalanya. Lalu ia berkata, “Kalau begitu, di kota depan itu pun Anda akan menjumpai orang-orang yang sama.”

Tak lama setelah itu, seorang turis lain juga lewat di jalan itu. Wajahnya tampak riang gembira. Ketika melintas di hadapan sang penganggur, berhentilah sang turis dan bertanya kepadanya, "Pak, numpang tanya. Orang-orang macam apa yang tinggal di kota di depan itu?”

Tanpa memandang sang turis, sang penganggur balik bertanya, “Orang-orang macam apa yang Anda temui di kota yang baru saja Anda tinggalkan?”

Sang turis menjawab, “Oh, menyenangkan sekali. Mereka amat baik dan bersahabat.”

Sang penganggur mendongakkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata kepada sang turis, “Kalau begitu, di kota depan itu pun Anda akan menjumpai orang-orang yang sama.”

Turis itu membalas senyum si penganggur, lalu berjalan menuju ke kota di depannya dengan gembira.

Pengalaman hidup kita dapat mempengaruhi cara pandang kita terhadap orang lain atau suatu masyarakat tertentu. Orang yang memiliki pengalaman indah tentang orang lain atau suatu masyarakat akan menyimpan dalam hatinya hal-hal yang baik. Orang yang punya pengalaman masa lalu yang jelek tentang orang lain atau suatu masyarakat akan menyimpan memori yang jelek pula.

Untuk itu, orang mesti mampu mengolah pengalaman masa lalu itu. Kisah tadi menunjukkan bahwa turis kedua dapat mengolah pengalaman masa lalunya. Ia memiliki suasana gembira dalam hatinya, karena ia memiliki pengalaman yang indah. Namun semestinya setiap orang mampu memiliki kegembiraan dalam hidupnya, meski memiliki pengalaman masa lalu yang kurang begitu baik.

Orang mesti berani menerima pengalaman jelek masa lalunya dan mengolahnya menjadi sesuatu yang berguna bagi hidupnya. Pengalaman masa lalu yang jelek itu mesti mengalami proses daur ulang. Hal ini membutuhkan suasana batin yang baik dan menyenangkan.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mampu mengolah pengalaman-pengalaman hidup kita. Hanya dengan mengolahnya dengan baik, kita akan menjadi orang-orang yang senantiasi menghiasi hidup kita dengan suasana kegembiraan. Mari kita pandai-pandai mengolah pengalaman hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


187

03 Oktober 2009

Menemukan Solusi atas Persoalan


Suatu senja, seorang laki-laki mengendarai seekor kuda menuju ke laut dan sampai di sebuah penginapan. Ia turun dari kuda dan dengan keyakinan seperti pengendara lain yang menuju ke laut malam itu, ia menambatkan kudanya di sebatang pohon di samping pintu dan memasuki rumah penginapan.

Tengah malam, ketika semua sedang tidur, seorang pencuri datang dan mencuri kuda pengembara itu. Di pagi harinya, laki-laki itu bangun dan mendapati kudanya telah dicuri orang. Ia sangat bersedih hati karena kudanya. Mengapa ada orang yang tega mencurinya? Kemudian, tamu-tamu lain yang tinggal di penginapan itu datang mengerumuninya dan mulai berbicara.

Laki-laki pertama berkata, “Betapa bodohnya kamu menambatkan kuda di luar kandang.”

Laki-laki kedua berkata, “Lebih bodoh lagi karena tak kauikat kaki kuda itul"

Laki-laki ketiga berkata, “Terlampau bodoh menuju laut dengan mengendarai kuda.”

Dan yang keempat berkata, “Hanya kaki kudalah yang lamban dan malas.”

Pengembara itu semakin heran. Kemudian ia berteriak, “Sahabat-sahabatku, karena kudaku dicuri, kalian buru-buru mencerca kesalahan dan kekuranganku. Tapi aneh, tak satu kata pun kalian ucapkan untuk menyalahkan orang yang telah mencuri kudaku.”

Mengeritik orang lain itu sering terjadi dalam hidup manusia. Orang sering merasa dirinya yang paling baik dan benar. Ia tidak menyadari bahwa apa yang dikritiknya itu sebenarnya tidak mampu ia lakukan. Ada orang yang hanya bisa mengkritik orang lain. Apa saja yang dibuat oleh orang lain dianggap salah.

Kisah tadi menunjukkan bahwa orang mesti hati-hati dalam mengkritik sesamanya. Orang mesti berani memberi solusi-solusi, tidak hanya mengkritik sesamanya. Sebenarnya kritik itu baik sejauh kritik itu membangun atau memperbaiki situasi yang kurang beres menjadi beres. Sebuah kritik yang tidak memberi kemajuan dalam hidup bersama hanyalah sebuah kritik yang tidak bermakna.

Sebagai orang beriman, kita mesti menyadari diri kita sendiri. Kita boleh saja mengkritik kalau kritik itu memberikan suatu kemajuan dalam hidup bersama. Kritik yang baik selalu memberi kemungkinan-kemungkinan bagi pembangunan hidup bersama. Kita tidak begitu saja mengkritik perbuatan orang lain. Sebelum kita mengkritik, kita mesti tahu lebih dulu apakah kritik itu mampu memberi manfaat bagi hidup bersama atau tidak.

Kalau sebuah kritik hanya memecah belah hidup bersama, kita mesti bertanya diri apakah kritik kita itu relevan atau tidak. Karena itu, mari kita membangun suatu hidup bersama yang baik. Kita beri solusi-solusi yang baik terhadap setiap persoalan yang kita hadapi dalam hidup bersama. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.


186

02 Oktober 2009

Berdoa Itu Mendengarkan Kehendak Tuhan


Pernahkah Anda memerhatikan murid TK belajar mewarnai gambar? Umumnya, anak-anak itu menghadapi dua macam kesulitan. Pertama, mereka sulit mencari warna yang cocok dengan gambarnya. Kedua, mereka mencoret-coretkan pensil atau spidol berwarna keluar dari garis batas gambar yang ada. Hasilnya tidak bagus untuk dilihat.

Tetapi ketika usia anak-anak itu bertambah dan kemampuan mereka juga makin berkembang, mereka dapat memilih warna yang cocok. Hasil karyanya tidak lagi keluar dari garis batas yang ada pada gambar itu. Dengan demikian kita akan melihat hasil karya yang bagus dan memuaskan.

Doa yang baik itu tidak langsung jadi. Doa itu mengalami proses dalam hidup manusia. Awalnya doa kita masih banyak salah. Doa kita masih seperti ungkapan hati anak-anak. Lambat laun doa kita menjadi doa yang baik dan lebih berkenan kepada Tuhan. Doa kita menjadi lebih bermakna.

Namun semua itu mesti dijalani dengan tekun. Doa itu mesti selalu dipanjatkan kepada Tuhan. Kadang orang merasa jemu untuk berdoa kepada Tuhan. Orang merasa bosan untuk berdoa. Apalagi orang jatuh ke dalam rutinitas dalam berdoa. Rutinitas akan membawa orang pada kebosanan dalam berdoa.

Untuk itu, orang beriman mesti membangun hidupnya dengan baik. Tuhan akan selalu memberi kekuatan kepada kita. Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu senantiasa memberikan yang terbaik bagi kebutuhan hidup kita.

Karena itu, kita mesti selalu belajar untuk bertumbuh dan berkembang dalam relasi kita dengan Tuhan. Kita mesti terus-menerus berusaha untuk menghidupi kasih Tuhan dalam hidup kita. Hanya dengan menghidupi kasih Tuhan itu, kita akan menjadi manusia yang berkenan kepada Tuhan.

Dengan membangun relasi yang baik dengan Tuhan, kita akan menemukan kehendak Tuhan bagi hidup kita. Kata orang, Tuhan itu hanya seinchi dari kaki kita. Artinya, Tuhan begitu dekat dengan kita. Tuhan ada di hadapan kita. Sering kita lupa bahwa Tuhan selalu berada di dekat kita. Akibatnya, kita melakukan hal-hal yang kurang berkenan kepadaNya.

Mari kita menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup kita dengan memanjatkan doa-doa kepadaNya. Dengan demikian kita mampu melaksanakan kehendak Tuhan dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.





185

01 Oktober 2009

Menjalin Relasi yang Baik dengan Tuhan


Seorang ayah mengajari anaknya yang berusia 5 tahun tentang doa dan kuasa Tuhan yang dapat menjawab setiap permohonan doa orang yang percaya kepadaNya. Anak itu menerima semua pengajaran ayahnya dengan hati yang sangat terbuka. Tetapi ia agak bingung karena belum tahu bagaimana caranya mengeluarkan kata-kata yang tepat untuk berdoa.

Pada waktu itu, ia sedang bermain-main dengan huruf-huruf alfabet A-B-C-D yang terbuat dari plastik. Tiba-tiba timbul ide dalam diri anak tersebut. Ia berpikir bahwa Tuhan itu Mahakuasa, jadi Ia dapat melakukan apa saja yang mustahil bagi manusia.

Maka dengan tangannya ia mencampuradukkan mainan huruf-huruf plastik A-B-C itu seraya berkata, “Tuhan, aku tidak tahu bagaimana caranya berdoa, sebab aku masih kecil. Tetapi ayahku berkata bahwa Engkau Mahakuasa dan aku percaya akan hal itu. Maka kini aku mencampuraduk huruf-huruf ini, biar Engkau ya Tuhan yang menyusunnya menjadi kata-kata doa bagiku.”

Anak ini sangat polos dan tulus. Ia sadar, ia tidak tahu kata-kata yang indah yang ia panjatkan kepada Tuhan dalam doa-doanya. Karena itu, kita yakin, Tuhan mendengarkan doanya. Anak ini ingin berhubungan langsung dengan Tuhan. Ia merasa bahwa Tuhan itu seperti ayahnya sendiri. Karena itu, ia meminta Tuhan menyusun huruf-huruf permainannya menjadi kata-kata doa baginya.

Doa merupakan sumber energi paling kuat yang dikenal oleh manusia. Doa menawarkan sebuah hubungan langsung dengan Tuhan. Doa itu seperti berkas sinar yang tak henti-hentinya tercurah dari hati dan pikiran seorang pendoa.

Doa membuka hati kita untuk menerima bantuan dari Tuhan yang selalu mengelilingi dan menyertai kita. Tuhan menunggu kita untuk memanjatkan doa-doa kita kepadaNya. Tuhan ingin agar kita membangun relasi yang baik denganNya. Caranya adalah dengan berdoa kepadaNya. Artinya, orang beriman menyerahkan seluruh keluh kesahnya kepada Tuhan. Dan membiarkan Tuhan menjawab keluh kesah itu dengan penuh kasih.

Sebagai orang beriman, kita tentu ingin agar setiap persoalan hidup kita didengarkan oleh Tuhan. Kita ingin agar Tuhan mengabulkan setiap permohonan kita. Karena itu, mari kita berdoa dengan penuh iman kepadaNya. Kita biarkan Tuhan menguasai diri kita dengan kuasaNya. Dengan demikian kita menjadi orang-orang yang senantiasa mengandalkan Tuhan dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.