Ada seorang ibu yang punya dua orang anak. Setiap hari ia mengantar dan menjemput kedua anak ke sekolah. Sementara suaminya hingga kini tidak pernah peduli terhadap sekolah anak-anaknya. Dia lebih sibuk dengan pekerjaannya untuk menghidupi keluarga. Namun sering kali dia mengomeli ibu itu, kalau ia pulang terlambat setelah mengantar atau menjemput anak-anak.
Sang suami berkata, “Wah, kunjungi pacar lama, ya?” Kata-kata seperti itu sudah sering ia ucapkan kepada istrinya. Istrinya merasa tersinggung setiap kali mendengar kata-kata seperti itu. Ia bertanya dalam hatinya, “Bagaimana mungkin saya masih mau main selingkuh dengan lelaki lain? Saya kan sudah punya anak dan suami? Tidak ada niat sedikit pun kembali ke pacar lama yang juga tinggal di kota ini. Saya sudah menambatkan hati pada suami saya untuk selama hidup. Jadi saya tidak tahu mau buat apa. Sudah capek mengantar dan menjemput anak-anak malah masih dicurigai suami seperti itu.”
Ibu itu sering hilang akal kalau mendengar kata-kata suaminya. Ia juga punya perasaan. Ia tidak ingin hubungannya dengan suaminya menjadi retak. Ia sangat mencintai anak-anaknya. Ia ingin tetap membangun keluarga yang baik. Ia hanya berharap, agar suaminya berubah pikiran. Tidak memikirkan yang bukan-bukan tentang dirinya.
Kurangnya perhatian dari seseorang terhadap orang lain dapat menimbulkan persoalan-persoalan dalam hidup bersama. Apalagi dalam hidup berkeluarga. Sering muncul kecemburuan dalam membangun hidup berkeluarga. Kisah tadi menjadi salah satu contoh betapa kecemburuan itu bisa merenggangkan hubungan suami istri. Kecurigaan bisa terjadi dalam hidup berkeluarga, karena hal-hal yang sepele.
Karena itu, orang mesti mampu berefleksi diri. Artinya, orang mesti berani bertanya diri, ada apa dengan pasangannya. Lantas bagaimana dengan diri sendiri? Mengapa sang suami atau istri sampai tega melemparkan kata-kata yang menusuk perasaan? Mungkinkah ada ketidakjujuran dalam membangun relasi dalam hidup perkawinan?
Sebuah perkawinan yang harmonis itu menuntut pengertian yang mendalam dari kedua belah pihak. Perkawinan yang bahagia itu biasanya ditandai dengan adanya rasa percaya terhadap pasangan. Kepercayaan yang mulai luntur di antara pasangan suami istri sering menjadi pemicu hancurnya sebuah keluarga.
Untuk itu, keluarga-keluarga mesti memperhatikan hal ini. Kepercayaan satu terhadap yang lain mesti dibangun sejak awal. Kepercayaan itu bukan hanya janji-janji hampa di bibir saja. Kepercayaan itu mesti ditunjukkan dalam hidup nyata. Suatu kepercayaan yang tampak dalam tindakan nyata. Mungkinkah dapat terjadi?
Sebagai orang beriman, setiap pasangan suami istri mesti berani membangun kepercayaan di antara mereka. Untuk itu, mereka mesti memiliki cinta yang utuh dalam hidup perkawinan. Cinta mereka tidak bisa sepotong-sepotong. Kalau ini yang terjadi, bukan keharmonisan yang terjadi. Tetapi justru yang terjadi adalah kehancuran dalam hidup berkeluarga. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
191
08 Oktober 2009
Menumbuhkan Kepercayaan dalam Hidup Berkeluarga
Label:
cinta,
hidup berkeluarga
"Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora Palembang pada pukul 23.00 bagi yang tinggal di Palembang dan sekitarnya. " Bagikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.