Pages

31 Agustus 2010

Membangun Pesaudaraan dengan Harta yang dapat Binasa


Ada dua orang bersaudara bekerja bersama-sama di ladang milik keluarga mereka. Yang seorang telah menikah dan memiliki sebuah keluarga besar. Yang lainnya masih lajang. Ketika hari mulai senja, kedua bersaudara itu membagi sama rata hasil yang mereka peroleh.

Suatu hari, saudara yang masih lajang itu berpikir, ”Tidak adil jika kami membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku masih lajang dan kebutuhanku hanya sedikit.”

Karena itu, setiap malam ia mengambil sekarung padi dari lumbung miliknya dan menaruhnya di lumbung milik saudaranya.

Sementara itu, saudaranya yang telah menikah itu berpikir dalam hatinya, ”Tidak adil jika kami membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku punya istri dan anak-anak yang akan merawatku di masa tua nanti. Sedangkan saudaraku tidak memiliki siapa pun. Tidak seorang pun akan peduli padanya pada masa tuanya.”

Karena itu, setiap malam ia pun mengambil sekarung padi dari lumbung miliknya dan menaruhnya di lumbung milik saudara satu-satunya itu.

Selama bertahun-tahun kedua bersaudara itu menyimpan rahasia itu masing-masing. Sementara itu, padi mereka sesungguhnya tidak pernah berkurang. Suatu malam keduanya bertemu dan barulah saat itu mereka tahu apa yang telah terjadi. Mereka pun berpelukan.

Harta kekayaan bisa menjadi pemersatu dalam kehidupan berkeluarga. Tetapi harta kekayaan bisa saja memecah belah persaudaraan. Hal ini tergantung dari bagaimana orang memaknai kehadiran harta kekayaan dalam hidupnya. Orang yang hidupnya untuk mengejar harta akan menaruh obsesinya pada harta kekayaan. Orang seperti ini berusaha mati-matian untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Kadang ia lupa bahwa hartanya yang banyak itu tidak dapat ia gunakan. Ia senang mengumpulkannya, tetapi belum tentu dapat menggunakannya dengan baik.

Tetapi orang yang menggunakan harta kekayaan untuk kesejahteraan hidupnya akan memandang harta sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Harta kekayaan yang banyak itu bukan tujuan kebahagiaan hidup manusia. Tujuan utama kehidupan manusia adalah kebahagiaan, bukan mengumpulkan harta. Orang seperti ini akan menggunakan harta kekayaan untuk membangun persaudaraan. Ia memandang setiap orang sebagai sahabat yang dapat membantunya mencapai tujuan hidup, yaitu kebahagiaan.

Kisah tadi mengingatkan kita, agar kita memupuk persaudaraan dengan menggunakan harta kekayaan yang kita miliki. Kedua saudara itu tidak mau persaudaraan mereka rusak hanya karena kehadiran harta kekayaan.

Sebagai orang beriman, kita dipanggil untuk senantiasa menemukan makna hidup di balik harta kekayaan yang kita miliki itu. Karena itu, mari kita perkuat persaudaraan dalam hidup kita dengan menggunakan harta yang dapat binasa. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

484

30 Agustus 2010

Inspirasi Kehidupan 2

Inspirasi Kehidupan

Klik gambar untuk membuka lengkap

29 Agustus 2010

Inspirasi Kehidupan 3

Inspirasi Kehidupan 3
Klik gambar untuk melihat

28 Agustus 2010

Inspirasi Kehidupan 5

Inspirasi Hari Ini

Klik gambar untuk melihat.

27 Agustus 2010

Persahabatan yang Memperkaya Nilai-nilai Kehidupa

Seorang pemuda berusia 20 tahun itu tampak sendirian di tengah keramaian pesta kaum muda. Ia duduk di pojok ruangan. Tiada yang menemani. Hanya sebotol minuman ringan dan sepiring makanan kecil. Wajahnya tampak murung. Ia tidak bergairah. Padahal kaum muda yang berpesta malam itu berjingkrak-jingkrak. Mereka tertawa. Mereka bernyanyi beria-ria. Tiada yang murung.

Pemuda itu tetap duduk di pojok ruangan itu. Padahal beberapa kaum muda mengajaknya untuk melantai bersama. Ia menolak. Ia memilih untuk menyendiri. Ia lagi tidak enak badan.

Belakangan baru ketahuan bahwa pemuda itu memang tidak punya teman. Ia tidak punya sahabat yang bisa diajaknya untuk ngobrol. Karena itu, tidak ada teman yang dapat ia bagikan perasaan hatinya. Suka dan duka ia miliki sendiri. Ia tidak mengalami betapa kayanya persahabatan yang baik. Ia terpuruk dalam kesendiriannya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena pemuda itu tidak mau membuka dirinya bagi persahabatan. Pemuda itu ingin hidup sendirian dan menyendiri.

Ketika ditanya, dia berkata, “Saya ingin hidup sendiri. Saya tidak ingin mengganggu orang lain. Saya juga tidak ingin diganggu.”

Membangun persahabatan dengan orang lain itu bukan untuk mengganggu ketenangan orang lain. Membangun persahabatan itu merupakan hakekat kehidupan manusia. Tidak ada orang yang diciptakan untuk dirinya sendiri. Setiap orang diciptakan untuk orang lain. Manusia itu makhluk sosial yang mesti membangun kehidupan bersama dengan orang lain.

Seorang bijak mengatakan bahwa manusia yang paling lemah adalah orang yang tidak mampu mencari sahabat. Namun yang lebih lemah dari itu adalah orang yang mendapatkan banyak teman, tetapi menyia-nyiakannya. Artinya, membangun persahabatan itu adalah suatu keharusan. Namun persahabatan itu mesti mampu memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Tidak hanya untuk satu pihak saja.

Persahabatan adalah bagian dari hidup manusia. Persahabatan itu memperkaya hidup manusia. Hanya dengan membangun persahabatan orang akan menemukan makna hidupnya sendiri. Hidup seseorang baru memiliki arti yang lebih dalam, ketika ia mampu hidup bersama orang lain.

Melalui persahabatan itu orang dapat membagikan hidupnya kepada orang lain. Orang dapat berbagi kebahagiaan yang menguatkan sesamanya. Orang dapat juga mensharingkan pengalaman hidupnya kepada orang lain. Dengan demikian, hidup ini semakin memiliki nilai-nilai yang berguna untuk kehidupan.

Sebagai orang beriman, dorongan kita untuk membangun persahabatan adalah kasih Tuhan yang senantiasa menyertai kita. Tuhan sendiri menghendaki kita hidup bersahabat dengan semua orang. Persahabatan itu mesti membangun pesaudaraan dan cinta kasih yang mendalam. Mari kita membangun persahabatan yang baik dan benar untuk kehidupan yang lebih baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

483

26 Agustus 2010

Inspirasi Kehidupan 1

Inspirasi Kehidupan
Klik gambar untuk melihat.

Memberi Motivasi dengan Kata-kata

Ada dua orang laki-laki yang dirawat di kamar yang sama di sebuah rumah sakit. Yang satu harus duduk selama satu jam sehari untuk mengosongkan air yang ada di paru-parunya. Tempat tidurnya dekat jendela, sehingga ia bisa melihat keluar. Sedangkan yang lain mesti berbaring lurus di atas punggung. Tempat tidurnya agak jauh dari jendela, sehingga ia tidak bisa menyaksikan apa yang terjadi di luar.

Keduanya menghabiskan waktu mereka dengan obrolan-obrolan. Mereka menjadi sangat akrab, meski sebelumnya mereka tidak saling mengenal. Mereka bercerita tentang pekerjaan, keluarga dan tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi.

Setiap sore, laki-laki yang tidur dekat jendela menceritakan kepada temannya apa yang ia lihat di luar jendela. Berbagai kegiatan di luar jendela itu menarik perhatian temannya. Ia pun mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia merasa bahagia. Ia merasa tenang, ketika mendengarkan kata-kata temannya. Meski ia tidak bisa melihat, namun mendengar saja sudah cukup baginya. Kata-kata temannya itu sungguh-sungguh bermakna baginya.

Ia mencoba membayangkan berada di luar jendela. Ia bayangkan sedang menggandeng istri dan anak-anaknya. Atau ia membayangkan sedang mendampingi istrinya yang sedang membaca novel di tepi kolam di rumahnya. Lantas pria yang tidur itu berkata, “Saya menyukai ceritamu. Suasana itu membuat saya semakin bersemangat untuk sembuh. Nanti ketika saya sembuh, saya akan menceritakan semua ini kepada keluarga saya.”

Kata-kata yang indah dan menarik dapat membangkitkan semangat seseorang yang sedang menderita. Kata-kata indah itu dapat membantu orang yang sedang sakit dapat sembuh kembali. Kata-kata itu seperti pemicu yang mampu menelisik sisi terdalam hati manusia. Kata-kata itu dapat membantu orang untuk melakukan sesuatu yang indah dan menawan bagi orang lain.

Kata-kata itu dapat membantu kita untuk menggerakkan tangan kita untuk melakukan sesuatu yang bernilai bagi hidup kita. Di dalam kata-kata itu tersimpan kekuatan yang sangat kuat. Kekuatan kata-kata itu selalu hadir dalam hidup kita. Untuk itu, kita mesti memiliki kata-kata yang sopan dan santun untuk membangun relasi yang baik dengan sesama. Kata-kata kita mampu membangkitkan semangat hidup orang lain.

Sebagai orang beriman, tentu kita ingin mendasarkan kata-kata kita pada firman Tuhan. Kalau kita menggunakan firman Tuhan itu dengan benar dan baik, kita akan membantu orang untuk memiliki semangat hidup. Orang yang sakit dapat menemukan kesembuhannya, ketika mendengarkan kata-kata kita yang santun dan lembut. Orang yang sedang putus asa dapat menemukan motivasi untuk melanjutkan hidupnya, ketika mendengar nasihat kita yang menyenangkan hatinya.

Mari kita gunakan kata-kata yang baik, benar dan santun dalam membangun persahabatan dengan semua orang. Hanya dengan cara demikian, kita dapat memberikan semangat hidup kepada sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


482

25 Agustus 2010

Merebut Kesempatan untuk Hidup yang Lebih Baik



Seorang gadis melepaskan kesempatan yang begitu berharga baginya untuk membangun karier yang lebih baik. Ia ditawari untuk bekerja di perusahaan asing yang punya prospek yang sangat besar. Bahasa Inggrisnya sempurna. Ilmu dia punya. Tetapi yang membuat ia melepaskan kesempatan itu adalah hal sepele: ia tidak mau jauh dari keluarganya.

Terhadap keputusannya itu, banyak orang menganggapnya sebagai suatu kebodohan. Apalagi ketika mereka mendengar alasannya yang sepele itu. Tetapi baginya, itulah cara terbaik baginya untuk tetap dekat dengan orangtuanya. Ia lebih mencintai orangtuanya daripada membangun karier bagi dirinya sendiri. Ia memilih untuk tidak mempunyai apa-apa.

Banyak orang membutuhkan pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya. Banyak orang ingin agar kariernya menanjak, sehingga mereka dapat membangun kehidupan yang lebih baik. Bagi mereka, kesempatan yang ada mesti direbut. Tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Kesempatan itu hanya datang sekali. Ia tidak datang untuk kedua kali.

Kesempatan itu adalah waktu, karena ia hanya datang satu kali. Setelah itu, ia berlalu ketika orang tidak menggunakannya dengan baik. Karena itu, orang mesti menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya dan sebanyak mungkin untuk kehidupan ini. Orang tidak boleh membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja. Menyia-nyiakan kesempatan hanyalah suatu kebodohan dalam hidup.

Kisah gadis tadi menunjukkan lemahnya iman seseorang. Orang yang punya iman itu orang yang mampu menghadapi tantangan jaman. Orang yang berani meninggalkan kelekatan dirinya dengan hal-hal di sekitarnya. Orang yang mampu menggunakan kemampuannya untuk membangun hidup yang lebih baik bagi kesejateraan dirinya dan sesama.

Karena itu, kesempatan adalah peluang yang dapat segera diambil untuk membangun hidup yang lebih baik. Kesempatan itu keluasan yang membuka jalan-jalan baru bagi masa depan yang terang benderang. Orang yang melewatkan kesempatan begitu saja akan mengalami penyesalan dalam hidupnya. Peluang itu berlalu bersama waktu. Tidak akan kembali lagi.

Di hadapan kita berjajar pintu-pintu kesempatan yang terbuka lebar. Kita mesti masuk ke dalam pintu-pintu itu. Kita rebut kesempatan itu untuk membangun suatu kehidupan yang lebih baik. Jangan kita hanya menonton dan mengagumi kesempatan-kesempatan itu. Kita maju dan menggunakannya untuk kebahagiaan diri kita.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa berusaha untuk merebut peluang-peluang yang berhamburan di depan mata kita. Peluang-peluang itu menjadi bekal bagi kita dalam perjalanan menuju kesejahteraan bagi hidup kita. Namun orang beriman mesti berpikir tentang hidup sesamanya. Orang beriman mesti peduli terhadap lingkungan hidupnya. Sesama bukanlah musuh yang mesti ditaklukkan, tetapi sesama adalah teman seperjalanan menuju kesuksesan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

481Rata Penuh

24 Agustus 2010

Membuka Diri terhadap Dunia yang Luas

Seorang gadis bertahun-tahun tinggal di dalam rumahnya saja. Kalau ia keluar, paling sebatas pagar sekeliling rumahnya. Di rumah ada televisi. Tetapi ia memilih tidak menghabiskan waktunya di depan televisi. Waktu-waktu digunakannya untukk bekerja. Akibatnya, ia tidak begitu tahu tentang kemajuan dunia. Ia lebih sibuk dengan dirinya sendiri.

Suatu hari, ia diminta oleh ibunya untuk berbelanja ke pasar untuk kebutuhan dapur mereka. Biasanya sang ibu yang belanja. Namun kali itu sang ibu berhalangan. Apa yang dilakukan gadis itu? Setelah di pasar, ia bingung tidak tahu mau buat apa. Ia tidak bisa memilih apa yang semestinya ia beli untuk kebutuhan dapur. Ia juga tidak tahu harga sayu-sayuran. Jadi ia memilih untuk pulang daripada kebingungan berjalan ke sana ke mari.

Ketika ibunya pulang, ibunya sangat terkejut ketika tahu bahwa putrinya tidak belanja barang-barang kebutuhan dapur. Ketika ia bertanya tentang hal itu, putrinya mengatakan bahwa ia tidak tahu mau beli apa. Selama ini ibunya sudah memenuhi dapur dengan belanjaannya. Ia tinggal memasak. Jadi dunia gadis itu hanya sekitar dapur. Ia tidak mengerti kalau di pasar itu lebih banyak barang-barang kebutuhan yang dijual daripada yang ada di dapur rumahnya.

Ada orang yang dunianya sangat sempit. Ada yang dunianya selebar meja tulisnya. Ada yang dunianya seluas rumah dan halaman rumahnya. Tetapi ada juga yang dunianya itu seluas jagat raya ini. Tak terhingga. Mengapa ini bisa terjadi? Karena orang yang punya dunia seluas jagat raya itu selalu membuka diri terhadap berbagai informasi. Ia juga mau mencari informasi yang berguna bagi dirinya sendiri. Ia tidak tinggal diam saja di tempat dan membiarkan dunia informasi datang mempengaruhinya.

Kisah tadi menunjukkan bahwa suatu dunia yang sempit itu membuat orang memiliki gerak hidup yang terbatas. Pengetahuan pun terbatas. Karena itu, ketika orang mesti keluar ke dunia yang lebih luas, orang mengalami kesulitan. Orang mengalami kebingungan. Tentu saja hal seperti ini tidak menguntungkan bagi kehidupan manusia.

Karena itu, orang mesti berani untuk berpetualang. Orang tidak bisa hanya terkungkung dalam dunia yang sempit. Di sekitar kita ada gunung, lembah, dataran dan lautan yang membentang. Semua itu menanti kita untuk kita jelajahi. Bukan hanya untuk bersenang-senang. Tetapi lebih-lebih untuk mengalami betapa dalam dan luasnya kasih Tuhan kepada manusia.

Tuhan telah menyediakan semua itu untuk kita garap. Tuhan menyediakan semua itu bagi kesejahteraan hidup kita. Tuhan menciptakan semua itu, agar manusia memiliki kehidupan yang layak.

Sebagai orang beriman, mari kita membuka diri kita lebar-lebar terhadap berbagai hal yang ada di sekitar kita. Kita serap semua itu demi kesejahteraan hidup kita. Dengan demikian, kita dapat menjadi orang-orang yang mampu bersyukur kepada Tuhan atas semua yang telah dianugerahkanNya kepada kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
480

23 Agustus 2010

Berani Menerjang Rintangan-rintangan




Ada seorang pemuda yang selalu ragu-ragu untuk memulai suatu usaha. Padahal kalau saja ia mulai dengan berani usaha itu, ia akan meraub keuntungan yang berlipat-lipat. Tetapi karena ia selalu ragu-ragu, akibatnya usaha itu tidak pernah berjalan. Ia kehilangan keuntungan yang banyak. Ia menjadi seorang yang bermimpi tentang hasil usaha yang banyak. Tetapi ia sendiri tidak mampu meraihnya. Keragu-raguan itu telah membuat ia gagal dalam usaha tersebut.

Rintangan yang paling besar adalah sikap ragu-ragu itu. Kalau saja pemuda itu mampu menyingkirkan rintangan itu, ia tentu menjadi orang yang maju dalam hidupnya. Rupanya sikap ragu-ragu itu telah membuat ia tidak punya kemampuan untuk memiliki ketahanan dalam hidup. Apa saja yang ia usahakan selalu gagal. Ia terlalu banyak memikirkan tentang berbagai hal yang tidak masuk akal.

Itulah keterbatasan dirinya. Kemampuannya untuk menerjang sikap ragu-ragu dalam dirinya itu hilang. Ia tidak punya nyali untuk meneruskan perjalanan hidupnya. Ia mau hidup biasa-biasa saja. Ia tidak mau lebih maju lagi dalam berusaha. Ia mudah menyerah pada situasi yang ada.

Orang yang sering ragu-ragu dalam hidupnya biasanya akan menemukan suatu hidup yang tidak membahagiakan. Orang seperti ini sering punya macam-macam pikiran yang menaungi dirinya. Sebentar-sebentar ia akan bertanya pada dirinya sendiri, kalau saya lakukan ini apa yang akan terjadi? Kalau saya buat ini, bagaimana kata orang tentang diriku?

Tentu saja sikap seperti ini sering menghambat orang untuk maju dalam perjuangan hidupnya. Orang tidak pernah akan melangkahkan kakinya lebih jauh lagi. Orang seperti ini akan tetap berhenti di tempat. Tidak maju-maju. Orang mudah menyerah pada keterbatasan dirinya.

Apa yang mesti dilakukan terhadap orang seperti ini? Kepada orang seperti ini mesti dikatakan bahwa setiap orang punya keterbatasan. Namun keterbatasan itu dapat menjadi kekuatan bagi manusia untuk dapat maju dalam kehidupannya. Keterbatasan itu mampu membantu seseorang untuk memilah-milah apa saja yang bisa dilakukannya untuk kemajuan dirinya.

Yang mesti disadari dalam hidup ini adalah kita mesti berani untuk melangkahkan kaki kita. Kita mesti berani menerjang halangan-halangan yang mungkin akan menghadang kita. Karena itu, kita jangan dulu cepat-cepat tunduk pada rintangan-rintangan. Mungkin yang kita temui dalam perjalanan hidup kita bukan rintangan, tetapi jalan mulus yang membantu kita berhasil dalam usaha-usaha kita.

Karena itu, mari kita singkirkan pikiran-pikiran yang tidak-tidak yang ada dalam diri kita. Atau kita jadikan hal-hal itu sebagai kekuatan untuk membantu kita meraih sukses dalam usaha-usaha kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

479

22 Agustus 2010

Berpikir Yang Baik Tentang Sesama

Suatu hari seorang bapak kehilangan uang sebesar lima ratus ribu rupiah. Ia sudah mencari ke mana-mana, namun tidak ia temukan. Ia sudah berusaha mengingat-ingat apakah uangnya itu tertinggal di kantor atau jatuh di jalan. Namun ia tidak ingat apa-apa. Yang pasti adalah ia memasukkan uangnya itu ke saku celananya, bukan di dompetnya. Karena itu, ia menaruh curiga terhadap pembantu rumah tangga yang pagi harinya mencuci celananya.

Namun ia tidak mau cepat-cepat menuduh. Sepulang dari kantor, ia bertanya kepada istrinya tentang uang lima ratus ribu rupiah yang hilang itu. Sang istri juga tidak tahu. Ia hanya memindahkan celana suaminya yang kotor itu lalu meletakkan di kamar mandi. Setelah itu, pembantu yang mencuci celana dan pakaian-pakaian yang lain. Bapak itu semakin bingung mendengar penjelasan istrinya. Ia semakin kuatir, karena uang itu bukan miliknya. Uang itu milik bersama teman-teman di kantornya.

Akhirnya, ia memberanikan diri bertanya kepada sang pembantu. Sambil tersenyum, pembantu itu berkata, “Pak, saya simpan uang bapak. Bapak tidak usah cemas. Uang bapak selamat.”

Bapak itu memandang penuh senyum dan terima kasih kepada pembantu itu. Ia memeluknya. Ia meminta maaf kepadanya, karena sudah berprasangka buruk terhadapnya.

Sering orang mudah berprasangka buruk terhadap sesamanya. Kesalahan yang dibuatnya sendiri dituduhkan kepada orang lain. Kecerobohan diri sendiri dilimpahkan kepada orang lain. Orang mau melempar kesalahan dirinya kepada orang lain.

Kisah tadi mengajak kita untuk hati-hati dalam menuduh orang lain. Belum tentu orang yang kita tuduh itu seburuk yang ada dalam pikiran kita. Ternyata orang yang dituduh melakukan hal yang buruk itu orang yang baik. Orang yang peduli terhadap sesamanya. Orang yang mau menyelamatkan sesamanya.

Ketika Anda berhadapan dengan suatu persoalan, Anda mesti tanggalkan prasangka-prasangka. Prasangka itu seperti sepatu yang enak dipakai, tetapi tidak bisa dipakai untuk berjalan. Mengapa ada prasangka-prasangka? Karena orang tidak menguasai persoalan yang ada. Orang masih meraba-raba tentang suatu persoalan. Orang mesti berusaha menguasai sungguh-sungguh suatu persoalan.

Orang akan memiliki pandangan yang lebih jernih dan enak, kalau ia mampu melepaskan diri dari prasangka-prasangka. Persoalan hidup pun akan mudah diatasi. Untuk itu, orang mesti membersihkan dirinya dari pikiran yang buruk tentang orang lain. Orang mesti memiliki suatu pikiran positif tentang orang lain.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk menemukan hal-hal yang baik dalam diri sesama kita. Dengan cara ini, kita akan melihat sesama dengan mata yang jernih dan baik. Kita akan membangun suatu relasi yang lebih baik dengan sesama kita. Hidup kita akan bahagia dan damai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

478

21 Agustus 2010

Menanamkan Kebaikan dalam Hidup




Suatu hari seorang majikan mengeluh, mengapa salah seorang pembantunya suka memboroskan gajinya. Ketika baru beberapa bulan bekerja, pembantunya ini sudah minta dibelikan sebuah HP. Majikan itu tidak bisa menolak, karena uang yang digunakan adalah milik pembantu itu. Namun yang mengherankan adalah setiap bulan pembantu itu mesti mengeluarkan seratus lima puluh ribu rupiah untuk beli pulsa. Tambahan lagi, ia juga sering membelikan makanan dan pakaian untuk sanak keluarganya.

Melihat kebiasaan yang boros itu, majikan itu berkata kepadanya, “Yang kamu lakukan itu tidak bijaksana. Kamu bekerja keras, tetapi kamu habiskan hanya untuk hal-hal yang tidak berguna. Kamu tidak bisa menikmati hasil jerih payahmu. Orang lain yang menikmati kerja kerasmu itu.”

Namun pembantu itu tidak mau mendengarkan nasihat majikannya. Ia tetap saja melakukan apa yang menjadi keinginannya. Ia merasa senang, ketika orang lain memuji dirinya yang mudah memberikan apa yang dimilikinya. Apa yang terjadi kemudian? Pembantu itu kemudian stress. Ia tidak punya apa-apa yang bisa ia banggakan. Gajinya habis hanya untuk hal-hal yang tidak berguna.

Banyak orang menghabiskan harta miliknya untuk hal-hal yang tidak perlu. Mereka melakukan itu demi gengsi, agar orang lain mengagumi diri mereka. Ternyata gengsi itu mahal harganya. Orang berani melepaskan milik kepunyaannya hanya demi gengsi.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa hidup apa adanya itu jauh lebih penting daripada mesti menonjolkan diri. Orang tidak perlu menunjukkan kebaikan dirinya secara berlebihan. Orang yang baik itu biasanya tidak menampakkan. Orang yang baik itu biasanya tidak menggembar-gemborkan diri.

Orang yang menampilkan kebaikan semu biasanya juga orang yang egois dalam hidupnya. Orang yang suka disanjung-sanjung. Kalau sanjungan itu sudah habis, orang seperti ini akan mengalami stress. Atau orang seperti ini akan mencari cara-cara baru untuk mempertahankan kebaikan semunya itu. Orang seperti ini akan selalu bersandiwara dalam hidupnya. Ketika sandiwara itu berakhir, orang seperti ini akan mengalami kekosongan dalam dirinya. Ia tidak punya jiwa yang kokoh lagi. Semangatnya menurun drastis. Habislah ia dalam perjalanan hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita diharapkan untuk meningkatkan kebaikan kita. Namun bukan kebaikan yang semu, melainkan kebaikan yang sejati. Artinya, orang beriman itu tidak bermain sandiwara dalam hidupnya. Orang beriman mesti menampilkan diri apa adanya. Dengan demikian, ia menemukan damai dan sukacita dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

477

20 Agustus 2010

Atas Nama Cinta


Seorang penjaga lepas pantai berhari-hari berada di anjungan mercusuar. Ia meninggalkan sang buah hati yang baru dinikahinya satu tahun lalu. Ia bekerja di sana demi keselamatan kapal-kapal yang lewat di perairan sekitarnya. Ia tidak merasa lelah. Ia tidak merasa kesepian. Bahkan ia memiliki semangat yang luar biasa. Itulah pekerjaannya. Itulah tempat ia mendapatkan sesuap nasi untuk penghidupan dirinya dan sang buah hati.

Pada akhir pekan, ia akan turun ke darat. Ia digantikan oleh penjaga yang lain yang khusus bekerja selama akhir pekan. Ia akan kembali lagi ke anjungan mercusuar itu pada hari Senin hingga Jumat.

Ketika ditanya tentang hal itu, ia mengatakan bahwa itulah resiko dari suatu pilihan hidup. Ia sudah memilih untuk bekerja di tempat itu, maka ia mesti mempertanggungjawabkannya. Apalagi sang buah hati pun tidak keberatan. Malahan ia sangat mendukung sang kekasihnya dengan motivasi-motivasi yang tinggi.

Penjaga lepas pantai itu berkata, ”Hal yang semakin mendorong saya bekerja di tempat ini adalah cinta. Pertama-tama saya mencintai pekerjaan ini. Tetapi yang juga menjadi hal yang utama adalah saya mencintai istri saya dan mereka semua yang ada di rumah saya.”

Cinta memang merupakan kekuatan yang paling besar dalam hidup ini. Tanpa cinta, orang tidak akan mengorbankan hidupnya bagi sesamanya. Tanpa cinta, orang hanya akan mengalami kesia-siaan dalam hidup ini. Suatu pekerjaan tidak akan memiliki makna yang mendalam, kalau tidak disertai oleh cinta yang mendalam. Korban yang dilakukan untuk seseorang atau orang lain selalu didasari oleh cinta yang sejati dan luhur.

Hanya cinta yang mampu melahirkan pengharapan dan pengabdian kepada sesama. Cinta mampu menundukan hati yang keras dan kasar. Hanya cinta yang mampu memberi kekuatan kepada manusia untuk melakukan hal-hal yang spektakuler dalam hidup ini. Tentu saja cinta yang baik. Bukan cinta yang egois yang hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa orang yang berkorban demi cinta tidak pernah berpikir tentang resiko yang akan dihadapinya. Dalam benak orang seperti ini yang ada hanyalah kekuatan untuk memberikan hidupnya untuk sesama yang dicintainya. Ia tidak banyak berpikir tentang apa yang diperolehnya bagi dirinya sendiri. Ia hanya berpikir tentang apa yang dapat ia berikan bagi orang yang dicintainya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memberikan perhatian dan cinta kita kepada sesama. Mereka semua adalah milik Tuhan. Mereka juga dikasihi oleh Tuhan seperti Tuhan mengasihi kita. Dengan demikian, apa pun yang kita lakukan bagi sesama, kita lakukan demi cinta kita yang semakin besar kepada sesama.

Mari kita berusaha terus-menerus untuk mengabdikan hidup kita atas nama cinta. Dengan demikian, kita akan menemukan damai yang tahan terhadap setiap cobaan hidup. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


476

19 Agustus 2010

Bersiap Siaga Menghadapi Gelombang Kehidupan





Seorang bapak yang telah puluhan tahun bekerja keras untuk keluarganya mendapat tantangan di masa tuanya. Ia kehilangan istri yang sangat dicintainya. Ketika ia sukses dalam usaha-usahanya, sang istrilah justru yang memegang peranan yang sangat penting. Sang istri berhasil mengendalikan perusahaan di kala sang suami mesti mengurus berbagai hal untuk kelancaran usaha-usahanya.

Karena itu, kehilangan sang istri menjadi pukulan yang sangat besar dalam hidupnya. Ia tampak begitu murung mengarungi hari-hari hidupnya. Ia kurang punya semangat untuk meneruskan usaha-usahanya. Seolah-olah hidup ini sia-sia saja baginya. Padahal ia telah melewati berbagai tantangan yang menghadangnya.

Tentang kepergian istrinya untuk selama-lamanya, ia berkata, “Dia sangat berarti bagi hidup saya. Mengapa dia mesti meninggalkan saya seorang diri? Apalagi kami masih punya rencana yang besar untuk kemajuan usaha-usaha kami. Saya tidak bisa buat apa-apa lagi untuk kelanjutan usaha kami.”

Dia sangat terpukul. Dia merasa kehilangan pegangan hidup. Badai dan gelombang menghantam dirinya. Ia tidak kuat menghadapinya.

Gelombang kehidupan bisa menerpa siapa saja. Kapan gelombang itu datang, orang juga tidak tahu. Bisa saja gelombang kehidupan itu datang ketika orang sedang menikmati sukses kehidupannya. Tetapi bisa saja gelombang kehidupan itu menerpa orang yang sedang memulai usaha-usahanya. Dalam kondisi apa pun semestinya orang siap untuk menghadapi gelombang kehidupan itu.

Kisah tadi mengatakan kepada kita bahwa sang bapak tidak siap menghadapi hal yang terburuk dalam hidupnya. Ia belum rela sang istri yang dicintai itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Mengapa bisa terjadi? Karena bisa saja ia kurang punya iman yang mendalam.

Semestinya ia yakin bahwa kematian itu bukan akhir dari segala-galanya. Kematian itu suatu saat untuk beralih ke kehidupan yang lain. Suatu kehidupan yang diyakini oleh orang beriman sebagai kehidupan yang abadi. Di sana, tidak akan ada lagi penderitaan. Tidak ada lagi gelombang yang mampu menerpa hidup manusia.

Karena itu, kesiapsediaan menjadi suatu hal yang sangat penting dalam hidup manusia. Orang mesti menyiapkan dirinya untuk menghadapi peristiwa yang paling pahit dalam hidupnya. Orang beriman diajak untuk selalu bersiap siaga. Mengapa? Karena kematian itu seperti pencuri yang datang tiba-tiba, tidak direncanakan.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk selalu siap siaga menghadapi gelombang kehidupan ini. Dengan cara ini, orang mampu menghadapi gelombang kehidupan ini dengan hati yang damai dan lapang. Mari kita berusaha untuk senantiasa menyertakan Tuhan dalam perjalanan hidup kita. Dengan demikian, kita dapat menerima peristiwa-peristiwa yang terburuk yang akan menimpa diri kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

475

18 Agustus 2010

Mengubah yang Negatif Menjadi Positif


Ada seorang pemarah. Apa-apa saja yang salah ia langsung marah. Ia tidak peduli siapa yang ia marahi. Bahkan orangtuanya sekalipun ia marahi, kalau mereka melakukan kesalahan sekecil apa pun. Ia gampang naik pitam. Ia mudah terbawa emosi. Karena itu, ia kehilangan banyak sahabat. Banyak temannya yang menghindar darinya. Mereka tidak mau ambil resiko bertengkar dengannya.

Suatu hari ia mulai menyadari kebiasaannya itu. Karena itu, ia mulai berusaha untuk mengendalikan dirinya. Ia berusaha untuk tidak marah, ketika salah seorang temannya mengganggunya. Namun ia tidak berhasil. Ia masih saja tetap meluapkan emosinya kepada orang-orang di sekitarnya yang membuat hatinya terasa jengkel.

Mengetahui niatnya untuk mengendalikan dirinya, seorang temannya memberinya nasihat untuk memakan dua buah cabe pedas begitu ia hendak marah. Baginya, nasihat ini sesuatu yang tidak masuk akal. Ia ragu apakah ia berhasil atau tidak. Namun ia mau coba juga.

Waktu pertama kali ia lakukan nasihat itu, mulutnya terasa sangat pedas seperti api yang membakar. Ia ingin berhenti saja. Namun keinginan untuk mengubah kebiasaan marahnya itu terus memotivasi dirinya untuk melakukan nasihat itu. Setiap kali ia hendak marah, ia mengambil dua buah cabe dari saku bajunya. Ia makan. Terasa pedas di mulut. Ia tidak jadi marah.

Akhirnya, ia berhasil. Ia merasakan betapa orang yang dimarahi itu juga akan mengalami pedas seperti cabe di dalam mulutnya. Ia sadar bahwa dalam hidup bersama orang tidak boleh saling menyakiti. Orang tidak boleh membuat sesamanya merasakan pedasnya dimarahi.

Setiap kita dapat menusukkan pisau belati kemarahan kepada sesama kita. Kita merasa kurang senang terhadap sesama kita. Kita merasa kurang puas terhadap sesama kita. Kita langsung mendampratnya habis-habisan. Padahal kemarahan itu akan meninggalkan bekas yang mendalam dalam diri sesama kita itu. Kemarahan itu seperti cabe yang pedas yang merusak relasi kita satu sama lain.

Karena itu, apa yang mesti kita lakukan kalau kita memiliki sifat yang mudah emosi, mudah marah? Kita mesti berlatih terus-menerus. Kita berlatih untuk mengalahkan kemarahan yang ada dalam diri kita. Mengapa? Karena orang yang mudah marah biasanya orang yang sulit menemukan jalan keluar, ketika menghadapi persoalan-persoalan. Orang yang kurang kreatif dalam hidupnya. Yang dimiliki hanyalah memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Tidak ada jalan alternatif yang bisa ditempuh untuk memecahkan masalah-masalahnya.

Sebagai orang beriman, kita ingin agar kita terus-menerus memiliki kesadaran untuk mengubah yang negatif menjadi sesuatu yang positif bagi hidup kita. Kebiasaan marah dapat kita ubah menjadi kebiasaan untuk mudah mengampuni. Mari kita berusaha untuk berdamai dengan setiap orang. Hanya dengan cara ini, kita dapat membangun hidup yang lebih baik dengan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


474

17 Agustus 2010

Menjadikan Ketekunan sebagai Kekuatan Diri



Seorang pengelana mengembara ke berbagai tempat di pulaunya. Ribuan kilometer sudah ia jelajahi. Ia tidak pernah merasa capek. Bahkan ia merasa memiliki pengalaman yang lebih banyak daripada sebelumnya. Karena itu, ia tidak mau berhenti untuk berkelana.

Ketika ditanya tentang kebiasaannya itu, ia mengatakan bahwa ia lakukan semua itu untuk menemukan pengalaman hidup. Pengalaman hidup itu mesti dicari dan dikejar. Orang tidak bisa diam saja di tempat lalu mendapatkan pengalaman hidup sebanyak-banyaknya.

Suatu hari seorang temannya bertanya, ”Bagaimana Anda mulai dengan ide berkelana itu?”

Pengelana itu menjawab, ”Sederhana saja. Yang dibutuhkan dari Anda adalah melangkahkan kaki Anda. Langkah pertama itu sangat menentukan keberhasilan Anda dalam upaya untuk berkelana.”

Temannya itu terkagum-kagum mendengarkan penjelasan pengelana itu. Lantas pengelana itu melanjutkan, ”Ribuan kilometer yang saya capai sekarang itu dimulai dengan satu langkah. Sebuah langkah besar sebenarnya terdiri dari banyak langkah-langkah kecil.”

Banyak orang takut untuk membuat langkah-langkah besar dalam hidup mereka. Misalnya, melakukan sesuatu yang spektakuler. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena mereka tidak pernah berani melangkahkan kaki mereka. Mereka takut salah untuk melangkah. Mereka punya nyali yang kecil. Padahal yang dibutuhkan hanyalah sebuah langkah awal yang pasti. Langkah-langkah berikutnya adalah kesuksesan hidup yang luar biasa.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa orang yang ingin sukses dalam hidup adalah orang yang mau bekerja dengan penuh ketekunan. Ketekunan itu menjadi kekuatan seseorang dalam meraih sukses. Keberhasilan tidak akan tercapai kalau orang tidak pernah mengerjakan sesuatu dengan tekun. Orang tidak bisa loncat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Orang mesti berani mempertaruhkan hidupnya untuk pekerjaannya itu. Dengan demikian, ia akan menemukan keahliannya.

Karena itu, orang mesti berani untuk mengambil keputusan bagi hidupnya. Orang mesti berani mengambil langkah pertama yang penuh kepastian. Memang, mesti diakui bahwa ada banyak tantangan dan rintangan yang siap menghadang langkah-langkah kita. Tetapi kalau kita tetap punya keyakinan, kita akan sukses dalam perjalanan hidup kita.

Sebagai orang beriman, langkah-langkah kaki kita mesti disertai oleh Tuhan. Kita tidak bekerja sendirian. Kita mesti menyertakan Tuhan dalam perjalanan hidup ini. Hanya dengan menyertakan Tuhan, kita akan menemukan sukacita dan damai dalam perjalanan hidup kita. Orang yang berlangkah bersama Tuhan itu biasanya mendapatkan berkat dan perlindungan. Setiap rintangan akan dilalui dengan baik. Mari kita terus berlangkah bersama Tuhan yang kita imani. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

473

16 Agustus 2010

Memberi Tanpa Pertimbangan



Suatu malam seorang nenek tua datang ke sebuah keluarga. Sudah menjadi biasa, setiap bulan ia selalu dapat jatah dari keluarga itu. Tidak banyak. Hanya tiga puluh ribu rupiah. Namun malam itu ia sial. Tidak ada seorang pun yang tinggal di rumah itu. Rupanya keluarga itu sedang berlibur ke luar kota. Jadi ia tidak dapat apa-apa dari keluarga itu. Padahal ia tidak punya uang lagi untuk biaya hidupnya. Ia juga tidak punya uang lagi untuk ongkos pulang.

Dalam kebingungan, ia berusaha untuk meninggalkan rumah itu. Tiba-tiba ia berpapasan dengan seseorang yang tidak dikenalnya. Ia seorang anak muda. Nenek itu menyapanya dan meminta sejumlah uang, agar ia dapat pulang ke rumahnya. Anak muda itu merogoh saku celananya. Ada dua puluh ribu rupiah. Ia pun memberikannya kepada nenek tua itu.

Nenek itu heran. Kok ada anak muda yang begitu mudah memberinya uang? Dalam keheranannya, anak muda itu berkata, ”Nenek tidak usah berpikir yang macam-macam. Saya beri dengan tulus hati. Sekarang nenek pulang ke rumah. Atau mau saya antar?”

Nenek tua itu tersenyum mendengar kata-kata anak muda itu. Lantas ia meminta anak muda itu mengantarnya ke rumahnya. Anak muda itu pun menaikkannya ke atas motornya. Ia mengantarnya sampai di rumah dengan selamat.

Memberi tanpa pertimbangan sering sulit dilakukan oleh banyak orang. Orang akan memiliki berbagai pertimbangan, ketika akan memberi sesuatu kepada sesamanya. Apalagi sesuatu yang akan diberikan itu sangat berharga bagi hidupnya. Orang berusaha untuk mempertahankannya sekuat-kuatnya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa memberi tanpa pertimbangan itu mungkin. Anak muda itu dengan setulus hati memberi apa yang menjadi harapan sang nenek. Ia tidak peduli apakah nenek itu punya uang atau tidak. Yang penting baginya adalah memberi dengan setulus hati. Bahkan ia pun mau mengantarkan nenek itu ke rumahnya. Ia memiliki suatu kebajikan yang luar biasa besar.

Mengapa banyak orang tidak bisa memberi tanpa pertimbangan? Karena banyak orang lebih mendahulukan kepentingan dirinya sendiri. Orang ingin mendahulukan dirinya sendiri. Karena itu, sekaya apa pun orang, orang seperti ini akan mengalami kesulitan untuk memberi tanpa pertimbangan.

Memberi tanpa pertimbangan itu bagai menyingkirkan batu dari dalam hati kita. Ada usaha yang keras untuk mau melepaskan apa yang kita miliki untuk sesama yang sangat membutuhkan. Kalau orang sudah berhasil melepaskannya, orang akan mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya. Orang akan berani melepaskan apa yang dimiliki tanpa banyak pertimbangan.

Sebagai orang beriman, kita mesti berani memberi tanpa pertimbangan kepada sesama. Mengapa? Karena setiap hari kita selalu mendapatkan kasih Tuhan. Tuhan memberi kita rahmatNya. Tuhan selalu melindungi hidup kita. Tuhan selalu menyediakan apa saja yang kita butuhkan untuk hidup kita. Mari kita berusaha untuk memberi tanpa pertimbangan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

472

15 Agustus 2010

Mengungkapkan Kasih Melalui Tanda-tanda

Suatu hari seorang pria berhenti di sebuah toko bunga. Matanya tertuju pada seikat mawar segar. Ia pun membeli seikat mawar. Ia ingin mengirimkan buat ibunya yang tinggal di kota tetangga. Beberapa saat kemudian, ia keluar dari toko bunga itu. Ia tersenyum puas memandangi seikat mawar itu. Baginya, mawar itu menjadi ungkapan perhatiannya terhadap sang mama. Seikat mawar itu menjadi tanda cintanya kepada sang mama. Ia ingin menyatakan cintanya dengan seikat mawar segar.

Tidak jauh dari tempat ia keluar, berdiri seorang gadis kecil. Air mata membasahi wajahnya yang manis itu. Di tangannya, ia memegang selembar uang kertas seribu rupiah. Melihat gadis itu, pria itu bertanya, “Hai manis, ada apa denganmu? Ada yang bisa saya bantu?”

Gadis kecil itu berkata, “Saya ingin membeli setangkai mawar untuk mama saya yang sedang sakit. Tetapi saya hanya punya seribu rupiah. Setangkai mawar itu harganya dua ribu rupiah.”

Sambil memegang bahunya, pria itu berkata, “Ayo, ikut aku. Aku akan membelikan bunga yang kau mau.”

Gadis itu menganggukkan kepalanya. Hari itu, ia dapat mempersembahkan sekuntum mawar buat mamanya yang sedang dirawat di rumah sakit. Ia ingin membahagiakan mamanya. Ia memberikan cintanya bagi sang mama.

Kita hidup dalam tanda-tanda. Dua orang tadi memberi perhatian kepada orang yang mereka cinta dengan mawar yang indah dan segar. Mereka mengungkapkan cinta mereka melalui kehadiran mawar itu. Dengan demikian, mereka akan mengalami betapa cinta itu memberi kehidupan. Cinta memberi semangat kepada mereka yang dicintai.

Katakan dengan setangkai bunga merupakan ungkapan cinta yang mendalam kepada sesama. Sayang, dalam hidup ini banyak orang mulai melupakan tanda-tanda. Banyak orang lupa bahwa tanda merah yang menyala itu tanda bahaya. Orang tidak boleh menerjang tanda merah itu. Bencana akan menjadi bagian dari orang yang berani menerjang tanda merah. Orang tidak peduli lagi akan hidup ini. Akibatnya, orang gampang untuk melanggar rambu-rambu kehidupan.

Karena itu, orang mesti memiliki kesadaran dalam hidupnya bahwa orang mesti berusaha untuk mengendalikan dirinya. Orang mesti berusaha untuk meninggalkan sikap nekad dan menggantinya dengan sikap hati-hati dalam hidup ini. Orang mesti berusaha untuk mengubah cara hidupnya dari yang merusak menjadi membangun kehidupan bersama.

Sebagai orang beriman, kita mesti berani untuk menunjukkan cara hidup kita yang baik terhadap sesama. Kisah tadi menjadi inspirasi bagi kita untuk senantiasa mengungkapkan kasih kita kepada sesama. Kita mesti menggunakan cara-cara yang baik dan indah mengungkapkan kasih sayang kita kepada orang-orang yang kita cinta. Dengan demikian, kita akan menjadi orang-orang yang memiliki hidup yang baik dan berkenan kepada sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

471

14 Agustus 2010

Menemukan Makna Hidup dalam Hidup Bersama

Pagi itu, seorang wanita gemuk menggelar nasi bungkus dagangannya. Pekerjaan itu sudah ia lakukan sejak ia masih muda: dua puluh tahun lalu. Keringat membasahi wajahnya. Sesekali ia tersenyum menyapa para pengguna jasanya. Nasi bungkus yang dijualnya itu relatif murah. Namun rasanya sangat enak bagi lidah orang-orang kecil. Karena itu, wanita gemuk itu selalu dikerubuti banyak pelanggan.

Ia pun menyapa mereka dengan sangat santun. Ia tidak ingin menyakiti siapa pun. Ia ingin membahagiakan semua yang datang untuk membeli nasi bungkus yang dijualnya. Wanita itu pun tetap menjaga mutu jualannya. Soal mutu, ia tidak mau main-main. Ia selalu berusaha untuk menyajikan yang terbaik bagi siapa pun yang datang. Baginya, mutu itu segalanya. Sedikit saja mutunya berkurang, banyak orang akan meninggalkannya. Banyak orang akan pergi ke pedagang nasi yang lain.

Menyadari bahwa banyak kuli bangunan yang datang untuk membeli nasi bungkus produksinya, wanita itu tidak pernah menaikkan harga. Ketika ditanya tentang keuntungan yang diperolehnya, ia menjawab, ”Bisa numpang makan dan beli sedikit sabun sudah cukup bagi saya.”

Dianjurkan untuk menaikkan harga per bungkus, ia berkata, ”Lalu bagaimana kuli-kuli itu bisa beli? Siapa yang mau menyediakan sarapan pagi buat mereka?”

Wanita itu punya misi hidup. Ia tidak hanya mencari uang untuk dirinya sendiri. Ia mau agar semakin banyak orang memiliki kesejahteraan. Karena itu, ia tidak mau menaikkan harga jualannya. Sungguh, suatu misi yang sangat mulia. Ia tidak mau hanya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Ia ingin agar orang lain pun meraih keuntungan bagi hidupnya.

Mencermati kehidupan kita sekarang, kita mesti berani mengatakan bahwa banyak orang lebih memusatkan perhatiannya bagi dirinya sendiri. Banyak orang mengejar keuntungan bagi dirinya sendiri. Karena itu, orang berusaha untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Orang tidak peduli terhadap kelangsungan hidup sesamanya.

Tentu saja suasana seperti ini berbahaya bagi kehidupan bersama. Situasi seperti ini dapat membuat orang lupa terhadap sesamanya. Orang hidup hanya untuk dirinya sendiri. Akibatnya, orang akan mengalami hidup yang tidak seimbang. Orang tidak akan menemukan makna hidup ini. Hidup ini akan semakin bermakna, ketika orang dapat hidup saling berdampingan dengan sesamanya. Orang tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa menemukan makna hidup, ketika kita memiliki misi yang mulai untuk kehidupan semua orang. Kita akan menemukan hidup ini semakin bermakna, ketika kita menjalin persaudaraan dengan semua orang. Mampukah kita? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

470

13 Agustus 2010

Berusaha Memiliki Hati yang Tenang dan Damai

Ada seorang gadis yang kurang begitu mudah menerima situasi hidup diri dan keluarganya. Orangtuanya tidak punya pekerjaan tetap, sehingga menjadi kendala dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ia memberontak. Hatinya dipenuhi oleh dendam dan benci terhadap situasi itu. Namun ia sendiri tidak bisa berperan untuk mengatasi situasi hidup itu.

Akibatnya, hatinya selalu gundah. Seolah-olah ada setumpuk permasalahan yang sedang menimbun batinnya. Ia tidak bersemangat dalam hidupnya. Tidak ada gairah untuk keluar dari situasi hidup seperti itu. Ia terkurung dalam situasi dirinya sendiri, sehingga tampak tidak ada jalan keluar bagi dirinya.

Suatu hari ia diajak oleh seorang temannya untuk bertamasya. Mereka pergi ke sebuah telaga yang luas. Angin senja itu memberikan kesegaran bagi dirinya. Ia merasa beban-beban hidupnya sedikit demi sedikit mulai lepas.

Sambil berjalan menyusuri telaga itu, temannya itu berkata, ”Kamu lihat telaga yang tenang itu? Begitu indah dan menyenangkan menyaksikan telaga yang tenang dan damai. Hati kita juga semestinya tenang dan damai seperti telaga itu.”

Gadis itu tertegun mendengar kata-kata temannya. Ia merasa disentuh oleh kata-kata itu. Selama ini hatinya selalu gamang memikirkan kondisi keluarganya. Semestinya hatinya itu menjadi tenang, sehingga persoalan yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik.

Hati yang tenang dan damai menjadi titik awal bagi seseorang dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya. Seringkali keresahan meliputi hati manusia. Orang bingung menghadapi persoalan hidupnya. Orang kurang teguh dalam menemukan yang terbaik bagi hidupnya.

Mungkin orang butuh waktu untuk menenangkan diri. Orang butuh waktu untuk menggali dan merefleksikan pengalaman-pengalaman hidup hariannya. Orang tidak boleh hanya tenggelam dalam dukacita hidupnya. Masih ada secercah harapan bagi hidupnya. Masih ada telaga yang membentang yang mampu membantu manusia untuk menyadari keberadaannya.

Teman gadis itu memberikan suatu penyadaran yang sangat bermakna bagi hidup gadis itu. Ia menunjukkan bahwa hati manusia mesti jauh lebih tenang dan damai daripada telaga. Hati yang tenang dan damai akan membantu manusia dapat menangkap nilai-nilai yang baik dari hidup ini. Kalau orang dapat menciptakan hati yang tenang dan damai, orang akan mengalami sukacita. Orang akan merasakan bahwa Tuhan hadir dalam hidupnya. Tuhan senantiasa ada bersama dirinya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memiliki hati yang tenang dan damai. Hati yang galau menjauhkan kita dari Tuhan yang selalu mencintai kita. Hati yang tenang dan damai membantu kita untuk senantiasa terbuka terhadap suara Tuhan yang berseru kepada kita.

Karena itu, mari kita berusaha menciptakan hati yang tenang dan damai. Dengan demikian, Tuhan dapat tinggal dan menetap di dalam diri kita. Kita akan mengalami sukacita dan damai. Kita dapat memancarkan sukacita dan damai itu kepada setiap orang yang kita jumpai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


469

Menjadi Sumber Sukacita


Ada seorang anak muda yang merasa bahwa ia punya suatu masalah yang sangat berat. Ia mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah itu sendirian. Padahal masalah tersebut sangat membuat hatinya tidak tenang. Ia bingung mau pergi kepada siapa. Yang sudah ia lakukan adalah ia berusaha menyelesaikannya sendiri. Ia juga sudah membicarakan masalahnya dengan orangtuanya. Namun tidak ada jalan keluar yang pas. Ia tetap bingung dengan masalah itu.

Karena itu, suatu ketika ia mendatangi seorang bijak yang sangat terkenal di desa tetangganya. Ia menceritakan semua persoalan kepada orang bijak itu. Ia berkeluh kesah kepadanya tentang suasana batinnya. Orang bijak itu mendengarkan dengan penuh perhatian.

Lantas orang bijak itu memberinya segelas air putih tanpa diberi apa-apa. Anak muda itu meminumnya. Ia merasakan kelegaan dalam hatinya. Orang bijak itu bertanya, ”Apa yang kaurasakan setelah minum air yang saya berikan?”

Anak muda itu menjawab, ”Saya merasa tenang. Saya merasa semua persoalan saya sudah diselesaikan dengan baik.”

Orang bijak itu tersenyum. Lalu ia berkata kepada anak muda itu, ”Anak muda, sebenarnya kamu sendiri yang telah menyelesaikan permasalahanmu. Saya hanya membantu mengarahkan kamu untuk mengerti sungguh-sungguh permasalahanmu.”

Sering orang merasa tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Orang mudah panik, ketika menghadapi suatu permasalahan. Padahal kalau persoalan itu dapat dihadapi dengan hati yang tenang, orang akan mampu menyelesaikannya dengan baik. Orang tidak perlu kuatir dan cemas akan hidupnya.

Kisah di atas menunjukkan kepada kita bahwa persoalan-persoalan yang kita miliki itu dapat diselesaikan dengan kepala dingin. Untuk itu, orang mesti sungguh-sungguh mengerti duduk persoalannya. Orang mesti meneliti benar-benar apakah persoalan itu datang dari dalam dirinya sendiri atau dari luar dirinya. Kalau orang sudah menemukan sumber persoalannya, orang akan dengan mudah menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

Orang yang mampu menyelesaikan suatu persoalan dengan kepala dingin akan dapat hidup dalam suasana yang menyenangkan. Ia tidak perlu panik atau tergesa-gesa menjalani hari-hari hidupnya. Orang seperti ini akan mudah menemukan kebahagiaan dan damai dalam hidupnya. Orang seperti ini akan menjadi sumber penghiburan bagi sesama yang ada di sekitarnya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk menjadi sumber sukacita bagi sesama kita. Caranya adalah dengan membantu sesama yang mengalami persoalan-persoalan hidup. Kita membantu mereka dengan menemukan dan menunjukkan persoalan-persoalan yang sesungguhnya yang mereka sedang hadapi. Dengan demikian, kita dapat menjadi cahaya bagi sesama yang berada dalam kebingungan. Kita dapat membawa sesama kepada kebahagiaan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

468

12 Agustus 2010

Bingkisan Kasih dari Tuhan

Kita mesti sadari bahwa Tuhan punya berbagai cara untuk menyelamatkan umat manusia. Tuhan tetap peduli terhadap perjuangan hidup manusia. Tuhan menginginkan setiap orang mengalami sukacita dan bahagia di dunia ini dan di akhirat. Karena itu, setiap hari Tuhan memberikan rahmat demi rahmat kepada manusia.

Kebaikan Tuhan itu tampak dalam diri Yesus. Ketika berhadapan dengan lima ribu orang yang mengikuti-Nya, ia tetap bertahan untuk melayani mereka. Ia tidak merasa terganggu oleh kehadiran mereka. Bahkan ketika hari sudah menjelang malam, orang-orang itu masih ingin mendengarkan pengajaranNya.

Sepanjang hari mereka mendengarkan pengajaran-Nya. Sebagai manusia, tentu saja mereka butuh makan dan minum. Hati Yesus tergerak oleh ribuan orang yang datang kepada-Nya. Apalagi mereka sedang lapar dan haus. Karena itu, ia berkata kepada salah seorang murid-Nya, ”Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?”

MuridNya itu menjawab, ”Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja.”

Yesus heran mendengar jawaban itu. Ia ingin agar murid itu memiliki iman yang sungguh-sungguh mendalam kepadaNya. Artinya, murid itu mesti memasrahkan diri kepadaNya. Ia mesti mengandalkan kebaikan Tuhan. Karena itu, ia mesti mencari jalan keluar dengan berbagai cara yang halal.

Untung, ada seorang anak yang membawa lima roti dan dua ikan. Yesus meminta agar roti itu dibawa kepadaNya. Berhadapan dengan roti dan ikan itu, Yesus mengucapkan syukur yang sedalam-dalamNya kepada Tuhan. Ternyata Tuhan masih mau memberi manusia makanan. Ternyata Tuhan tidak meninggalkan manusia menderita karena lapar.

Apa yang terjadi setelah Yesus mengucapkan syukur atas lima roti dan dua ikan itu? Sungguh, sesuatu yang luar biasa terjadi. Mukjijat pun terjadi. Roti itu menjadi banyak. Demikian pula ikan itu. Bukan hanya dapat dimakan oleh sepuluh orang. Tetapi dapat dimakan oleh lima ribu orang itu. Bahkan masih tersisa dua belas bakul. Hari itu, Yesus memberikan bingkisan kasih kepada ribuan orang itu. Dengan modal bingkisan kasih itu, mereka boleh mendapatkan rahmat Tuhan. Mereka boleh melanjutkan hari-hari hidup mereka.

Setiap hari kita juga mendapatkan bingkisan kasih dari Tuhan. Ada berbagai bentuk bingkisan kasih itu. Tidak selalu dalam bentuk barang. Bingkisan kasih itu dapat melalui perhatian yang begitu indah dari sesama terhadap kita. Dalam keluarga, misalnya, seorang suami memberikan perhatian dan cinta yang mendalam kepada istri dan anak-anaknya.

Tuhan ingin agar bingkisan kasihNya itu dilanjutkan oleh umat manusia. Bingkisan kasih itu kini berada di tangan kita masing-masing. Dan Tuhan ingin agar bingkisan kasih itu mampu memberikan sukacita dan damai bagi sesama kita. Sudahkah Anda membahagiakan sesama Anda dengan bingkisan kasih yang Anda salurkan kepada sesama Anda? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

467

11 Agustus 2010

Dalam Keheningan Menemukan Makna Hidup


Kita mesti akui bahwa kita hidup dalam dunia yang bising. Kita disibukkan oleh berbagai hal. Pekerjaan dan tanggungjawab yang kita emban sering membuat kita bising, sibuk. Kita harus menyelesaikan seluruh pekerjaan kita dengan waktu yang sudah ditentukan. Kita mesti berbelanja berbagai hal untuk kebutuhan-kebutuhan kita. Kadang-kadang kita tidak tahu mau buat apa, karena banyaknya pekerjaan dan tanggungjawab yang kita emban.

Karena itu, kita tidak tahu mesti pergi kepada siapa ketika kita mengalami suasana hidup yang membingungkan kita. Kita mencari orang yang dapat membantu kita untuk keluar dari kebingungan itu. Namun ketika tidak menemukan orang yang pas, orang akan mengalami kebingungan.

Kita dapat belajar dari Yesus. Setelah murid-muridNya pulang dari pekerjaan mewartakan kabar sukacita, ia mengajak mereka untuk pergi ke tempat yang sunyi. Ia berkata, ”Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika.” Yesus ingin agar mereka sungguh-sungguh merenungkan karya mewartakan kabar sukacita itu. Apakah kabar sukacita itu sungguh-sungguh memberi kebahagiaan kepada mereka yang menerima itu? Atau kabar sukacita itu justru tidak membahagiakan manusia?

Yesus mengajak mereka untuk sungguh-sungguh merenungkan tugas perutusan mereka. Yesus ingin agar mereka tidak hanya bekerja sepanjang hari. Yesus ingin agar mereka juga menjalin relasi yang dekat dengan Tuhan. Caranya adalah dengan pergi ke tempat yang sunyi.

Artinya, orang mesti berani untuk mengheningkan diri, agar dapat mendengarkan kehendak Tuhan atas dirinya. Kalau orang dapat mendengarkan kehendak Tuhan, orang akan mengalami betapa Tuhan begitu baik kepadanya. Tuhan begitu mencintai dirinya. Dan Tuhan ingin, agar ia dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.

Tampaknya kita butuh waktu untuk mengheningkan diri. Kita hidup bukan hanya untuk sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan kita yang banyak itu. Kita juga butuh waktu untuk membangun relasi yang lebih dekat dengan Tuhan. Dalam tradisi agama-agama, Tuhan ditemukan dalam keheningan. Tuhan dijumpai dalam suasana yang sunyi. Ketika orang mengundurkan diri ke tempat yang sunyi, orang dapat sungguh-sungguh merefleksikan kebaikan dan kehendak Tuhan atas dirinya.

Sebagai orang beriman, kita mesti mampu mengatakan kepada diri kita bahwa kita butuh waktu untuk merefleksikan pekerjaan-pekerjaan kita. Kita butuh suasana hening dan sunyi untuk menemukan makna yang terdalam dari segala sesuatu yang telah kita buat. Dengan demikian, kita dapat semakin memaknai kehidupan kita.

Untuk apa kita bekerja keras kalau kita tidak menemukan makna yang terdalam dari kesibukan-kesibukan kita? Karena itu, mari kita belajar dari Yesus yang membawa murid-muridNya untuk masuk dalam kehingan hidup. Di sana kita dapat membangun relasi yang lebih intens dengan Tuhan yang kita sembah dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

466

10 Agustus 2010

Tuhanlah Jaminan Hidup Kita

Bayangkan, kalau Anda diutus ke suatu tempat untuk mengunjungi orang-orang yang belum Anda kenal sama sekali. Tempat yang akan Anda datangi itu pun baru pertama kali Anda kunjungi. Tambahan lagi Anda dilarang untuk bawa banyak barang kebutuhan Anda. Mengapa? Karena menurut orang yang mengutus Anda itu, di tempat yang baru itu semua kebutuhan Anda akan terpenuhi.

Menghadapi situasi seperti ini pasti Anda cemas. Anda akan bingung dan bertanya-tanya, apa benar semua jaminan akan Anda dapatkan di tempat yang baru. Karena itu, Anda akan ragu-ragu untuk datang ke tempat yang baru itu. Tetapi berhubung hal ini adalah suatu perintah, Anda harus pergi juga. Kesetiaan Anda kepada pimpinan Anda menjadi taruhannya. Kalau Anda tidak mau pergi, Anda bukan orang yang loyal terhadap pimpinan Anda. Kalau Anda tetap ragu-ragu untuk pergi, Anda akan dikatakan sebagai orang yang tidak berani ambil resiko.

Nah, Anda berada dalam suatu dilema. Tetapi Anda mesti membuat suatu keputusan yang akan membawa dampak yang sangat berpengaruh terhadap hidup Anda. Anda mesti berani membuat keputusan. Keputusan yang mencerminkan suatu sikap plin-plan hanya membawa kebuntungan dalam hidup Anda. Karena itu, pilihan yang paling tepat bagi Anda adalah memutuskan untuk pergi ke tempat yang baru sebagai utusan dari atasan Anda. Semua resiko yang akan Anda hadapi, Anda mesti berani tanggung.

Yesus mengutus murid-muridNya untuk mewartakan kabar sukacita kepada semua orang. Apa isi kabar sukacita itu? Isinya adalah bahwa Tuhan senantiasa menyertai umatNya. Tuhan hadir dalam perjalanan hidup manusia. Karena itu, Yesus ingin agar para muridNya itu fokus pada tugas perutusan itu. Bukan fokus pada segala keperluan yang akan mereka butuhkan untuk mewartakan kabar sukacita itu.

Karena itu, Yesus meminta mereka untuk tidak membawa apa-apa dalam perjalanan mereka. Misalnya, mereka tidak boleh membawa pakaian lebih dari satu. Mereka tidak boleh membawa bekal dalam perjalanan. Semua yang mereka butuhkan sudah disediakan oleh orang-orang yang akan mereka kunjungi. Yesus memberikan jaminan bagi mereka.

Sekarang tinggal bagaimana kreativitas dari para murid itu. Kalau mereka dapat mewartakan kabar sukacita itu dengan baik, mereka akan diterima dengan baik. Artinya, mereka pun akan mendapatkan apa yang mereka butuhkan dalam pekerjaan mereka itu.

Yesus ingin agar mereka sungguh-sungguh berpegang teguh pada diriNya. Mengapa? Karena Yesus menghadirkan Tuhan yang memberikan jaminan bagi hidup manusia. Yesus minta agar mereka selalu tergantung pada diriNya, bukan pada kemampuan manusiawi mereka. Hasilnya? Kabar sukacita itu diterima oleh banyak orang. Begitu banyak orang bertobat dan menyerahkan seluruh hidup mereka kepada Tuhan.

Kita mesti bertanya diri, sampai sejauh mana kita memiliki ketergantungan yang mendalam kepada Tuhan? Apakah kita sungguh-sungguh memberikan hidup kita kepada Tuhan? Atau kita masih mengandalkan kemampuan diri kita? Orang beriman itu orang yang selalu menyerahkan seluruh jaminan hidupnya pada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


465

09 Agustus 2010

Perjuangkan Kehidupan dengan Cintakasih

Suatu hari seorang perempuan diperkosa oleh seseorang yang tidak dikenalnya. Peristiwa itu seolah-olah menghancurkan hidupnya. Ia menjadi seorang yang minder. Ia tidak mau bertemu lagi dengan siapa pun, termasuk ayahnya sendiri. Ia mengalami trauma yang luar biasa.

Batin perempuan itu semakin diterpa penderitaan, ketika ia mengetahui bahwa ia hamil sebagai akibat perkosaan itu. Ia bingung. Ia tidak tahu mau buat apa dengan janin yang ada di dalam rahimnya. Ia mengandung seorang anak yang tidak dikehendakinya. Ia mengandung anak dari suatu perbuatan bejat seorang lelaki. Ia benci atas dirinya sendiri. Ia benci lelaki yang telah memperkosanya.

Dalam keadaan seperti itu, ia berusaha untuk bertahan dengan keadaannya. Ia tidak mau menghentikan kehamilannya. Ia membiarkan kehamilannya itu terus berjalan. Ia berusaha untuk menerima kenyataan dirinya, meski orang-orang di sekitarnya akan mencemoohkan dirinya. Ia mau menerima kehadiran janin dalam rahimnya, meskipun nanti sang bayi lahir tanpa seorang ayah.

Ketika anaknya lahir, perempuan itu menerimanya dengan tangan terbuka. Ia tidak mau menolaknya. Ia berusaha untuk membesarkannya seorang diri. Dalam perjalanan waktu, ia pun mulai berusaha untuk memaafkan lelaki tak dikenal yang telah memperkosa dirinya. Ia ingin membersihkan dirinya dari rasa benci yang mendalam. Dengan demikian, ia dapat membesarkan anaknya dalam suasana cinta kasih yang mendalam.

Usaha untuk menerima kehadiran sesama dalam hidup mesti selalu dilakukan oleh setiap orang. Mengapa? Karena manusia itu makhluk yang mulia. Manusia itu menghadirkan Sang Pencipta di dunia ini. Tuhan telah menciptakan manusia sesuai dengan citraNya. Artinya, dalam ciptaan yang mulia itu Tuhan hadir. Tuhan berkarya terus-menerus melalui ciptaanNya yang mulia itu.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa mempertahankan dan memperjuangkan kehidupan itu jauh lebih mulia dan penting. Orang beriman itu mesti selalu menempatkan hidup manusia di atas segala-galanya. Penghentian terhadap kehidupan merupakan suatu penolakan terhadap kehadiran Tuhan dalam hidup manusia.

Perempuan dalam kisah di atas menunjukkan keberaniannya untuk tetap memperjuangkan kehidupan. Karena itu, ia berusaha untuk menciptakan suasana cinta kasih dalam dirinya. Ia mengubah benci menjadi pengampunan dan cintakasih. Ia ingin agar hidupnya sungguh-sungguh bermakna bagi dirinya dan anaknya.

Seandainya orang beriman berhadapan dengan situasi seperti ini, apa yang mesti dilakukan? Orang beriman tidak punya pilihan lain kecuali tetap memperjuangkan kehidupan. Kehidupan itu lebih berharga dari apa pun yang kita miliki di dunia ini. Mari kita selalu memperjuangkan kehidupan dengan menerima sesama kita dalam hidup yang nyata. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

464

08 Agustus 2010

Membangun Sikap Syukur Atas Kebaikan



Ada seorang gadis yang sulit mensyukuri hidupnya. Baginya, hidup ini selalu negatif. Tidak ada yang baik. Karena itu, dia ingin segera mengakhiri hidupnya. Ia mengutuki hari-hari hidupnya. Ia tidak bahagia dengan hidupnya. Ia mempunyai pengalaman yang sangat buruk dengan hidupnya.

Ia berkata, ”Saya hanyalah setitik air di tengah lautan yang luas. Tidak punya arti apa-apa. Orang boleh saja mengatakan bahwa saya punya arti bagi hidup orang lain. Tetapi saya sebenarnya tidak punya apa-apa dalam hidup ini.”

Tidak lama kemudian, ia mengambil pisau yang tajam untuk menggorong pergelangan tangannya. Namun ia tidak sanggup. Apalagi ada saudaranya yang berusaha untuk menghalangi tindakannya.

Saudaranya itu berkata, ”Coba kamu ingat betapa orangtua kita mencintai kita. Mereka meninggal ketika kita belum apa-apa. Tetapi mereka telah meninggalkan hal-hal yang begitu bermanfaat bagi hidup kita.”

Gadis itu tersenyum mendengar kata-kata saudaranya. Ia pun melepaskan pisau yang ada di tangannya. Ia membatalkan perbuatan nekadnya. Nyawanya berhasil diselamatkan.

Ia berkata, ”Terima kasih. Kamu sudah memberi saya cakrawala baru. Ternyata hidup ini tidak sejelek yang saya bayangkan. Hidup ini memiliki sisi-sisi yang indah. Saya ingin hidup lebih lama lagi.”

Hidup yang disyukuri akan membawa manusia mengenal kebaikan dalam hidup ini. Orang yang bersyukur itu senantiasa mengarahkan hidupnya kepada kebaikan. Tidak ada pikiran yang jelek tentang hidup ini. Yang ada dalam pikirannya hanyalah hal-hal yang baik. Kebaikan itu memberikan motivasi baginya untuk semakin bertumbuh dalam kasih kepada Tuhan dan sesama.

Bersyukur itu mendorong orang untuk tetap maju dalam hidup ini. Orang terus-menerus bergerak untuk menemukan makna terdalam dari hidup ini. Orang akan mengalami suasana antusias dalam hidupnya. Orang tidak perlu kuatir akan hidup yang kurang membahagiakan. Dalam sikap bersyukur itu, orang menemukan kasih Tuhan kepadanya. Karena itu, bersyukur berarti merengkuh kebaikan Tuhan bagi hidup ini.

Sayang, banyak orang sulit mensyukuri hidup ini. Mengapa? Karena orang hanya melihat sisi gelap kehidupannya. Orang menutup mata terhadap hal-hal yang baik dan benar yang dimilikinya dalam hidup ini. Akibatnya, orang akan kehilangan banyak hal baik dalam hidup ini. Padahal semakin banyak orang mensyukuri kebaikan dalam hidup ini, orang akan menemukan semakin banyak hal baik bagi dirinya.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk terus-menerus mensyukuri segala sesuatu yang kita peroleh dalam hidup ini. Hanya dengan demikian, kita dapat menerima rahmat demi rahmat bagi hidup kita. Mari kita bertumbuh dalam sikap bersyukur atas kebaikan yang kita peroleh dalam hidup ini. Dengan demikian, hidup ini memiliki makna yang semakin mendalam. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

463

07 Agustus 2010

Menimba Kebaikan dari Sesama

Ada seorang anak yang selalu mengukur segala sesuatu dari dirinya sendiri. Orang yang tidak cocok dengannya akan ia lawan habis-habisan. Orang itu harus mengikuti kemauan dirinya. Padahal ia bukan anak yang sempurna. Ia punya kelemahan-kelemahan yang mesti dibenahi.

Namun anak ini ngotot. Ia tidak peduli akan situasi orang lain. Ia juga tidak mau menerima kritik terhadap sikap hidupnya. Akibatnya, anak itu tumbuh dengan pandangan dirinya sendiri. Ia menjadi anak yang tidak punya wawasan yang luas. Ia menjadi anak seperti katak di bawah tempurung. Meski begitu, ia tetap tidak mau berubah pikiran. Ia hidup dengan dirinya sendiri.

Suatu hari ia kena batunya, ketika seorang teman lamanya menegur sikap hidupnya. Ia melawan. Namun temannya itu pun ngotot. Ia berkata, ”Kita hidup itu harus mau buka diri terhadap lingkungan di sekitar kita. Ada banyak hal baik yang kita butuhkan untuk pertumbuhan hidup kita.”

Anak itu menjawab, ”Saya tidak butuh kebaikan orang lain. Yang saya butuhkan adalah orang lain mesti mengikuti kemauan saya.”

Temannya itu berkata, ”Kalau begitu, kamu harus siap-siap untuk kehilangan semua orang. Tidak ada orang yang mau berteman dengan orang seperti kamu.”

Sejak itu, ia kehilangan banyak teman. Tiada orang yang mau menjadi sahabatnya. Tidak ada yang mau membangun relasi yang baik dengannya.

Manusia tidak hidup dalam pulaunya sendiri. Manusia selalu hidup dan berada bersama orang lain. Dengan cara ini, manusia akan bertumbuh dan berkembang dalam proses hidup yang lebih baik. Keterbukaan terhadap kebaikan sesama menjadi sesuatu yang sangat penting dalam hidup ini. Karena itu, manusia mesti selalu mau membangun relasi dengan siapa saja.

Ada orang yang memang ingin memaksakan kehendaknya, karena ia merasa dialah yang paling baik dalam hidup ini. Dia berusaha sekuat tenaga untuk menguasai orang lain. Tentu saja hal ini akan berbahaya dalam kehidupan bersama. Mesti selalu ada keseimbangan dalam hidup manusia. Orang mesti sadar bahwa dia tidak hidup sendirian. Orang selalu hidup bersama orang lain.

Orang juga mesti memiliki prasangka yang positif terhadap dirinya. Dengan demikian, ia akan menemukan sesuatu yang indah dalam dunia di sekelilingnya. Orang seperti ini akan menemukan bahwa relasi dengan sesama itu menyenangkan dan memberikan makna yang lebih mendalam bagi hidupnya.

Orang beriman itu selalu mau membangun kehidupan bersama orang lain. Orang beriman tidak hidup sendirian. Orang beriman selalu hidup bersama orang lain. Karena itu, orang beriman mesti selalu membuka pintu hatinya lebar-lebar bagi sesamanya. Orang mau belajar hal-hal yang baik yang ada dalam diri sesamanya. Dengan cara ini, orang akan menemukan sukacita dan damai dalam hidupnya. Orang tidak perlu stress karena kehilangan banyak sahabat dari hidupnya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



462

06 Agustus 2010

Menumbuhkan Kebesaran Hati

Keringat mengucur deras membasahi pipinya. Sejak pagi lelaki muda itu sudah memikul pasir dari sungai. Tidak banyak. Cuma satu ember berukuran sedang. Namun bagi lelaki muda itu, ia mesti melakukannya untuk meraih cita-citanya membangun sebuah rumah untuk keluarganya. Selama ini, mereka hanya tinggal di rumah kontrakan. Padahal sebidang tanah yang mereka miliki dibiarkan kosong begitu saja. Rerumputan tumbuh memenuhi tanah tersebut.

Suatu hari seorang tetangga menegurnya, ”Mengapa tidak pakai mobil saja?”

Pemuda itu mengatakan bahwa ia ingin mengerjakannya sendiri. Ia mengerjakannya sedikit demi sedikit. Ia berkata, ”Lama-lama juga akan jadi banyak. Apalagi sekarang ini saya sedang liburan.”

Tekad pemuda itu termasuk kuat. Ia punya cita-cita yang mulia untuk kedua orangtuanya. Ia ingin keluarganya berteduh di rumah milik sendiri. Karena itu, ia berusaha sekuat tenaga untuk menyediakan bahan-bahan bangunan. Ia tidak hanya memikul pasir. Ia juga memikul batu dari sungai yang berada sekitar lima ratus meter dari rumahnya.

Sedikit demi sedikit menjadi bukit. Itulah pepatah lama yang masih memiliki makna yang dalam bagi hidup kita. Di saat di mana dunia dipengaruhi oleh usaha-usaha yang instan, pepatah ini masih tetap relevan. Sesuatu yang sedikit demi sedikit dikumpulkan mencerminkan keuletan dan ketekunan seseorang.

Manusia mesti memiliki semangat seperti ini. Mengapa? Karena dengan semangat ini orang akan merasakan pentingnya berusaha. Orang dapat merasakan betapa bernilainya suatu keberhasilan yang dicapai melalui usaha seperti ini.

Kalau orang dapat mengumpulkan kebaikan demi kebaikan bagi hidupnya, orang akan menumbuhkan kebajikan dalam dirinya. Orang akan menemukan bahwa hidup ini begitu bernilai, karena orang mendapatkan sesuatu tidak dengan malas-malasan. Kisah tadi mau membantu kita untuk memaknai hidup ini lebih baik lagi.

Tindakan kecil itu mencerminkan kebesaran jiwa seseorang. Orang tidak terpengaruh oleh manipulasi yang dilakukan oleh banyak orang untuk memperoleh hasil yang setinggi-tingginya. Hal ini menunjukkan mendalamnya iman seseorang. Iman yang dibangun dalam suatu proses waktu tertentu. Tidak dibangun berdasarkan suatu hasil yang diperoleh dalam waktu sesaat yang sering gampang musnah oleh tantangan-tantangan jaman.

Sebagai orang beriman, kita dapat belajar dari peristiwa hidup di sekitar kita. Suatu pekerjaan yang tampaknya sepele, karena dikerjakan dengan sedikit demi sedikit ternyata memiliki makna yang begitu mendalam bagi hidup kita. Karena itu, kita mesti belajar untuk memiliki kebesaran hati. Suatu situasi di mana kita tidak gampang terpengaruh oleh hal-hal yang membuat kita tergiur oleh hasil yang besar dan banyak dalam waktu yang singkat. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


461

05 Agustus 2010

Menghargai Kehidupan Manusia

Seorang anak mengadu kepada ayahnya, ”Ayah, mengapa ayah lebih perhatikan adik saya?”

Ayahnya tersenyum mendengar pertanyaan anaknya. Lantas ia berkata kepadanya, ”Nak, sebenarnya ayah perhatikan kalian semua. Kamu dan kakakmu adalah anak-anak yang sangat ayah sayangi. Demikian pula adikmu. Bedanya, adikmu butuh perhatian yang lebih. Ia memiliki kelainan pada jantungnya.”

Anak itu terdiam. Ia mengerti akan kata-kata ayahnya. Namun ia tetap mengajukan pertanyaan lagi, ”Kami semua sudah mengerti tentang itu. Tetapi kenapa ayah selalu menomorsatukan dia?”

Ayahnya tersenyum. Lantas ia berkata, ”Ayah tahu apa yang kamu inginkan. Kamu menginginkan keadilan dari ayah. Tetapi ini persoalannya bukan adil atau tidak adil. Ini soal nyawa adikmu. Jadi ayah minta kamu mau sungguh-sungguh mengerti tentang hal ini.”

Sang anak menganggukkan kepalanya. Ia mengerti apa yang menjadi konsern ayahnya. Kalau sudah berkenaan dengan nyawa, ia akan menyerah. Itulah yang semestinya diperjuangkan setiap insan di muka bumi ini.

Nyawa manusia itu sangat berharga. Tidak ada yang lebih tinggi nilainya daripada kehidupan. Hanya manusia yang egois yang menempatkan nyawa manusia lebih rendah. Manusia yang normal selalu menempatkan kehidupan di atas segala-galanya.

Kisah tadi mau menunjukkan kepada kita bahwa kepedulian terhadap kehidupan mesti didahulukan. Apa pun yang terjadi, kehidupan itu tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup ini. Hanya dengan memberi penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan, orang dapat memaknai dengan lebih mendalam kehidupan ini.

Peristiwa perang dan bom yang dialami bangsa manusia menunjukkan penghargaan yang begitu rendah terhadap kehidupan. Manusia ingin memusnahkan kehidupan sesamanya. Manusia tidak suka melihat kehadiran sesamanya. Hal ini terjadi karena manusia kurang menyadari makna kehidupan. Atau manusia menempatkan egoismenya terlalu tinggi. Manusia hanya mau menang sendiri. Orang lain boleh-boleh saja dikorbankan demi kepentingan egoismenya.

Tentu saja situasi seperti ini berbahaya dalam kehidupan bersama. Manusia tidak saling memandang. Manusia tidak saling memberikan rasa hormat lagi. Karena itu, orang mesti mengubah pandangannya tentang kehidupan ini. Orang mesti berani menempatkan nilai-nilai kehidupan di atas segala-galanya.

Sebagai orang beriman, kita semua dipanggil untuk memberikan penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai kehidupan. Dengan demikian, kita dapat saling memberikan penghormatan terhadap hidup kita masing-masing. Kita dapat menjadi orang-orang yang mampu membantu sesama kita untuk bertumbuh dan berkembang dalam kasih kepada Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


460

Bagikan

04 Agustus 2010

Membangun Iman yang Hidup



Ada seorang ibu memulai sebuah usaha sekolah. Ia memulai dengan lima orang murid di sebuah garasi mobil. Banyak orang melihat hal itu tertawa. Mereka tidak yakin bahwa ibu itu akan berhasil merintis sebuah sekolah. Tetapi ibu itu tetap setia menjalankan usahanya. Baginya, mendidik anak-anak yang memiliki ilmu dan cara hidup yang baik itu mesti dimulai. Kalau tidak ada yang pernah mau mulai, kehidupan yang lebih baik akan sulit tercapai.

Tahun pertama ia lalui dengan mulus, meski banyak cibiran ia dapatkan. Tahun kedua, mulai berdatangan murid-murid baru. Tidak tanggung-tanggung. Kali ini 15 anak yang ingin dididik oleh ibu itu. Ia tersenyum melihat kenyataan itu. Namun tantangan baru mesti ia hadapi. Ia mesti membangun sebuah gedung baru untuk menampung murid-murid baru itu. Tidak hanya itu. Ia mulai butuh guru-guru yang dapat membantunya dengan pelajaran-pelajaran.

Tantangan itu ia hadapi dengan hati yang tenang. Sambil anak-anak itu belajar di salah satu ruang di rumahnya, ia membangun sebuah gedung sekolah. Ia tetap punya keyakinan bahwa melakukan suatu perbuatan baik itu mesti menjadi andalan utama. Ia berhasil. Ketika memasuki tahun ketiga, gedung baru itu pun sudah siap lengkap dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk sebuah sekolah. Guru-guru baru ia rekrut. Ia memberikan harapan yang besar bagi masyarakat di desanya untuk menyekolahkan anak-anak di desa sendiri.

Usaha yang tanpa pantang menyerah menunjukkan bahwa orang itu punya iman yang mendalam kepada Tuhan. Iman itu mesti membumi. Ia tidak boleh hanya berada di awang-awang saja. Iman yang membumi biasanya berbuah subur bagi kehidupan manusia.

Kisah ibu tadi menunjukkan betapa iman yang besar itu mengalahkan semua tantangan dan rintangan. Ibu itu yakin bahwa Tuhan tetap setia menemaninya. Tuhan tidak pernah meninggalkannya berjuang sendirian. Tuhan terlibat dalam usahanya. Hasilnya, ia berani melangkah meski banyak tantangan yang mesti ia hadapi.

Dalam hidup ini kita menyaksikan ada orang-orang yang tidak berani melangkahkan kaki untuk membuat hidupnya sukses. Orang takut berhadapan dengan tantangan dan rintangan. Orang merasa bahwa ia sendirian dalam usaha itu. Padahal Tuhan selalu menyertai perjalanan hidupnya dan usahanya. Tuhan selalu membantu setiap orang yang mau berusaha untuk maju.

Kita diajak untuk berani melangkahkan kaki kita demi kehidupan yang lebih baik. Tentu saja kita mesti mendasari usaha-usaha kita itu pada kasih dan kebaikan Tuhan. Kita mesti yakin bahwa Tuhan senantiasa menyertai kita. Tuhan selalu peduli terhadap hidup kita. Tuhan selalu ingin, agar kita memiliki hidup yang lebih baik.

Karena itu, mari kita terus berusaha. Dengan demikian, kita memiliki iman yang semakin mendalam kepada Tuhan. Iman kita semakin menjadi nyata dalam hidup kita sehari-hari. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


459

Bagikan

03 Agustus 2010

Pentingnya Menenangkan Hati yang Kacau



Seorang gadis merasa kecewa terhadap setiap lelaki yang pernah menjalin persahabatan dengannya. Ia ingin salah satu dari mereka menambatkan hatinya kepadanya. Namun sudah sekian lama hati mereka belum juga tertambat dalam hatinya. Ia merasa sepi sendiri. Ia merasa hidup ini tidak memiliki makna yang mendalam baginya. Karena itu, ia berusaha untuk menjauhkan diri dari setiap lelaki yang ingin menjalin relasi dengannya.

Dalam situasi seperti itu, ia merasa hatinya tawar. Tidak ada lagi gairah dalam hidupnya. Yang tersisa hanyalah hati yang tertusuk duri-duri. Perih dan pedih. Ia semakin resah. Akibatnya, ia mengisolasi dirinya dalam keheningan. Ia tidak ingin berjumpa dengan siapa pun. Prinsipnya adalah biarlah hidup ini ia nikmati sendiri. Tanpa teman. Tanpa sahabat.

Namun tindakan seperti itu justru menjauhkan dirinya dari kasih Tuhan. Ia semakin merasa diri jauh dari Tuhan. Seolah-olah Tuhan tidak lagi peduli terhadapnya. Hasilnya, ia menjadi acuh tak acuh terhadap sesama. Bahkan orang-orang yang dekatnya tidak lagi ia sapa. Ia menyendiri. Ia terpasung dalam kesendiriannya. Ia tidak bisa mengolah hatinya yang hancur berkeping-keping itu.

Setiap orang membutuhkan waktu untuk mengheningkan hatinya. Orang mesti berani menenangkan hatinya. Orang yang tergesa-gesa dalam hidupnya biasanya tidak memiliki pemikiran yang mendalam. Orang seperti ini mudah ceroboh. Tidak punya banyak pertimbangan dalam hidupnya.

Dalam situasi seperti ini orang mesti berani mengheningkan hatinya. Orang mesti mengambil waktu untuk tenang. Artinya, merefleksikan seluruh perjalanan hidupnya. Ada apa dengan dirinya sendiri? Apakah ada sesuatu yang salah? Orang mesti berani menukik ke dalam batinnya yang terdalam untuk merenungkan makna perjalanan hidupnya.

Kalau ini yang dilakukan, orang akan semakin bertumbuh di dalam kasih Tuhan. Orang akan mengalami betapa Tuhan peduli terhadap dirinya. Tuhan mencintai dirinya, sehingga ia pun mampu mencintai sesamanya dengan setulus hati.

Orang beriman itu orang yang mampu merefleksikan pengalaman hidupnya bersama Tuhan. Orang yang mampu menimba kasih Tuhan dalam situasi apa pun. Orang yang menemukan betapa hidup ini semakin memiliki nilai-nilai yang luhur, ketika orang tidak menyingkirkan sesamanya.

Untuk itu, orang beriman perlu mengheningkan batinnya untuk menimba kasih Tuhan. Dengan demikian, kasih Tuhan itu dapat ia pancarluaskan kepada sesama yang ada di sekitarnya. Kalau ini yang terjadi dalam hidup orang beriman, dunia ini menjadi tempat yang aman dan damai bagi hidup manusia.

Mari kita berusaha untuk menenangkan hati kita, ketika kita mengalami kekacauan dalam hidup ini. Kita ciptakan waktu hening untuk diri kita sendiri, agar kasih Tuhan mengalir dalam hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

458

Bagikan