Pages

21 Agustus 2010

Menanamkan Kebaikan dalam Hidup




Suatu hari seorang majikan mengeluh, mengapa salah seorang pembantunya suka memboroskan gajinya. Ketika baru beberapa bulan bekerja, pembantunya ini sudah minta dibelikan sebuah HP. Majikan itu tidak bisa menolak, karena uang yang digunakan adalah milik pembantu itu. Namun yang mengherankan adalah setiap bulan pembantu itu mesti mengeluarkan seratus lima puluh ribu rupiah untuk beli pulsa. Tambahan lagi, ia juga sering membelikan makanan dan pakaian untuk sanak keluarganya.

Melihat kebiasaan yang boros itu, majikan itu berkata kepadanya, “Yang kamu lakukan itu tidak bijaksana. Kamu bekerja keras, tetapi kamu habiskan hanya untuk hal-hal yang tidak berguna. Kamu tidak bisa menikmati hasil jerih payahmu. Orang lain yang menikmati kerja kerasmu itu.”

Namun pembantu itu tidak mau mendengarkan nasihat majikannya. Ia tetap saja melakukan apa yang menjadi keinginannya. Ia merasa senang, ketika orang lain memuji dirinya yang mudah memberikan apa yang dimilikinya. Apa yang terjadi kemudian? Pembantu itu kemudian stress. Ia tidak punya apa-apa yang bisa ia banggakan. Gajinya habis hanya untuk hal-hal yang tidak berguna.

Banyak orang menghabiskan harta miliknya untuk hal-hal yang tidak perlu. Mereka melakukan itu demi gengsi, agar orang lain mengagumi diri mereka. Ternyata gengsi itu mahal harganya. Orang berani melepaskan milik kepunyaannya hanya demi gengsi.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa hidup apa adanya itu jauh lebih penting daripada mesti menonjolkan diri. Orang tidak perlu menunjukkan kebaikan dirinya secara berlebihan. Orang yang baik itu biasanya tidak menampakkan. Orang yang baik itu biasanya tidak menggembar-gemborkan diri.

Orang yang menampilkan kebaikan semu biasanya juga orang yang egois dalam hidupnya. Orang yang suka disanjung-sanjung. Kalau sanjungan itu sudah habis, orang seperti ini akan mengalami stress. Atau orang seperti ini akan mencari cara-cara baru untuk mempertahankan kebaikan semunya itu. Orang seperti ini akan selalu bersandiwara dalam hidupnya. Ketika sandiwara itu berakhir, orang seperti ini akan mengalami kekosongan dalam dirinya. Ia tidak punya jiwa yang kokoh lagi. Semangatnya menurun drastis. Habislah ia dalam perjalanan hidupnya.

Sebagai orang beriman, kita diharapkan untuk meningkatkan kebaikan kita. Namun bukan kebaikan yang semu, melainkan kebaikan yang sejati. Artinya, orang beriman itu tidak bermain sandiwara dalam hidupnya. Orang beriman mesti menampilkan diri apa adanya. Dengan demikian, ia menemukan damai dan sukacita dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

477

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.