Pages

31 Mei 2010

Bersikap Baik terhadap Setiap Orang




Ada seorang guru bijaksana yang bertanya kepada murid-muridnya tentang akhir suatu hari dan awal suatu hari. Dalam keheningan, ia bertanya, “Bagaimana kalian dapat mengatakan kapan malam berakhir dan kapan mulai hari baru?”

Para muridnya itu tertegun lalu mereka saling memandang. Tiba-tiba salah seorang muridnya menjawab, “Bukankah itu terjadi, ketika engkau melihat seekor binatang di kejauhan dan tidak dapat membedakan entah itu seekor domba atau sapi?”

Dengan singkat, guru bijaksana itu menjawab, “Tidak!”

Para muridnya agak bingung. Mereka saling memandang. Lalu salah seorang lain lagi menjawab, “Bukankah itu terjadi, ketika engkau melihat sebatang pohon di kejauhan dan dapat mengatakan bahwa itu pohon mangga atau pohon durian?”

Dengan tegas dan jelas, guru bijaksana itu menjawab, “Tidak!”

Para murid semakin bingung. Setiap jawaban yang mereka berikan selalu salah. Lantas salah seorang murid yang lain lagi berkata, “Kalau begitu kapan, guru?”

Dengan bijaksana guru itu menjawab, “Ketika engkau memandang wajah seorang pria atau wanita dan melihat mereka sebagai saudara atau saudarimu. Sebab jika engkau tidak dapat berbuat demikian, tidak peduli kapan saat itu, maka itulah malam bagimu.”

Hari itu para murid mendapat suatu pelajaran baru tentang siapa sesama mereka. Mereka menyimpan pelajaran itu baik-baik. Suatu saat mereka mesti mempraktekkan pelajaran itu.

Setiap saat kita berjumpa dengan sesama di sekitar kita. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Ada sesama yang kita kenal dengan baik. Ada sesama yang kurang begitu kita kenal. Ada juga sesama yang sama sekali tidak kita kenal. Mereka dapat menjadi partner yang baik dalam hidup kita. Tetapi mereka juga dapat menjadi pesaing atau kompetitor yang handal bagi kita.

Yang menarik adalah bahwa siapa pun sesama itu, mereka dapat memainkan peran-peran yang sangat membantu kita dalam pertumbuhan kepribadian kita. Mungkin ada yang memainkan peran negatif, sehingga memacu kita untuk memiliki kepribadian yang kuat. Mungkin ada yang memainkan peran positif, sehingga kita menjadi gembira dan bersukacita bersamanya.

Kisah tadi mau mengajak kita untuk bersikap baik terhadap setiap orang yang kita jumpai dalam hidup kita kapan saja. Mengapa? Karena setiap orang itu menjadi sesama yang berguna bagi kehidupan kita. Sesama itu menjadi saudara atau saudari kita. Karena itu, kita tidak perlu bertanya tentang siapa saudara atau saudari kita. Mereka yang kita jumpai dalam hidup sehari-hari itu saudara dan saudari kita. Merekalah sesama kita yang paling dekat.

Setiap hari kita berjumpa dengan begitu banyak orang. Mereka semua memainkan peranan masing-masing. Ada dari peran itu berguna bagi pertumbuhan hidup kita. Mungkin ada yang tidak. Kita bersyukur atas semua itu. Kita boleh mendapatkan begitu banyak orang yang begitu baik kepada kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com



394

Bagikan

30 Mei 2010

Terbuka terhadap Kemajuan Jaman



Ada seorang teman saya yang suka sekali belajar sesuatu yang baru. Ia suka bertanya, kalau ada hal baru. Ia juga suka mencoba sesuatu yang baru. Kadang-kadang orang yang baru mengenalnya dibuatnya kesal. Habis, dia nanya-nanya terus. Namun kalau sudah lama mengenalnya, teman saya ini orang yang menyenangkan.

Yang menarik dari diri teman saya ini adalah dia tidak merendahkan orang lain. Justru dia sangat menghargai orang lain. Karena itu, dia bertanya dari orang lain tentang sesuatu yang baru ia lihat atau ia temukan. Dengan begitu, dia bisa belajar sesuatu yang baru. Pengetahuannya menjadi banyak dan luas. Teman-teman saya yang lain menjulukinya sebagai kamus hidup. Ditanya apa saja, dia bisa menjawab. Hal itu terjadi, karena dia memiliki kemampuan untuk terus-menerus belajar.

Orang yang mau belajar sesuatu yang baru itu orang yang tetap terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan jaman. Kalau orang tidak mau belajar lagi, itu berarti orang sudah berada di ambang kematian.

Ada tiga hal yang dapat mengajar kita untuk terus-menerus belajar. Pertama, pengamatan. Kita menggunakan indra-indra kita untuk mengamati alam dan peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Mengamati itu berarti kita memandang lama terhadap sesuatu atau suatu peristiwa. Kita memandang dengan teliti dan merefleksikannya.

Kedua, kita dapat belajar tentang kehidupan lewat penderitaan. Sakit dan derita tidaklah negatif atau positif. Setiap perkembangan selalu mengandung rasa sakit dan derita dalam prosesnya. Karena itu, sakit dan derita itu bagian hidup yang nyata. Orang tidak perlu menghindari sakit dan derita. Yang dituntut adalah orang mesti berani menghadapinya.

Ketiga, kekeliruan. Orang mengatakan bahwa kekeliruan itu bukan suatu malapetaka yang sangat besar. Tetapi kekeliruan itu membuka jalan menuju kesempurnaan. Kekeliruan itu batu loncat untuk lebih cepat menjadi rendah hati dan menjadi penuh belas kasihan terhadap orang lain (sesama).

Kita dapat bertanya kepada diri masing-masing, apakah saya berani untuk belajar terus-menerus dari peristiwa-peristiwa hidup saya? Ataukah saya lebih suka mencari yang enak dengan menghindari kesulitan dalam hidup? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

393




Bagikan

29 Mei 2010

Mengagumi Ciptaan Tuhan

Suatu hari di tahun 1995, di musim dingin, saya mengagumi patung salju yang dibuat oleh seorang seniman di kota Milwaukee, Amerika Serikat. Saya meraba-raba patung salju itu. Halus. Bersih meski kekuningan. Indah. Ketika diterpa matahari siang, warna patung itu menjadi keemasan. Karena udara dingin hingga minus 10 derajat celcius, patung itu tidak cair.

Saya mengagumi patung es itu, karena itulah pertama kali saya menyaksikannya. Teman-teman saya bilang bahwa kalau suhu udara naik sampai satu derajat celcius, patung itu akan mencair. Lama-kelamaan patung itu hilang, menjadi air yang membasahi bumi.

Tetapi karena Kota Milwaukee termasuk kota yang dingin, bisa-bisa sampai tujuh bulan, maka patung itu bisa berdiri lama di tengah kota. Untuk itu, saya meminta teman saya untuk mengabadikan patung itu bersama saya. Ini menjadi suatu kenangan yang tak akan pernah hilang.

Suatu hari lain di musim panas, pada minggu kedua bulan Mei, saya kembali terpesona oleh indahnya bunga-bunga tulip di botanical garden yang tidak jauh dari rumah kami. Menurut pengelola di botanical garden itu, bunga tulip hanya mekar pada minggu kedua bulan Mei. Setelah itu tahun depan baru muncul dan mekar lagi.

Bagi saya, ini sesuatu yang luar biasa. Ini suatu misteri alam yang mempesona. Karena itu, hampir setiap hari saya mendatangi botanical garden untuk menikmati warna-warni bunga-bunga tulip. Memang, di tempat itu juga terdapat bunga mawar dengan berbagai warna, bunga dahlia dengan berbagai warna dan bunga krisant serta bunga aster dengan berbagai warna pula. Semua itu membangkitkan rasa kagum saya pada alam dan juga sang pencipta.

Pernahkah Anda merasa kagum atau terpesona terhadap sesuatu yang indah atau menakjubkan mata Anda? Kalau Anda masih memiliki rasa kagum atau terpesona, berarti Anda masih memiliki hidup yang sehat. Tetapi kalau tidak, Anda sudah dalam proses kematian. Mengapa? Karena kagum atau terpesona itu getaran kehidupan. Orang yang tidak mampu terpukau dalam ketakjuban, orang itu praktis sudah mati.

Kekaguman atau keterpesonaan itu membangkitkan gairah untuk hidup. Orang yang mudah terpesona itu orang yang mengakui ada sesuatu yang agung dan luhur yang mengatasi dirinya. Keterpesonaan mendorong orang untuk memiliki sikap penyerahan yang lebih mendalam kepada Sang Khalik. Orang yang kagum itu orang yang rendah hati. Orang yang ingin tahu lebih lanjut tentang yang dikaguminya itu.

Karena itu, mari kita pupuk dan kembangkan rasa kagum kita terhadap apa yang kita lihat dan amati. Kita dapat belajar dari pengamatan kita betapa indah dunia ini, betapa besarnya karya Tuhan bagi kita. Mari kita bawa setiap keterpesonaan kita dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


392
Bagikan

28 Mei 2010

Kasih Itu Menenteramkan

Sebut saja namanya Mery. Hampir setiap hari ia merasa resah dan gelisah. Lantas tumbuh perasaan dalam dirinya bahwa hidup ini sia-sia. Ia ingin mengakhiri hidupnya. Pasalnya, ia merasa tidak ada yang menaruh perhatian padanya. Tiada seorang pun yang mencintai dia. Padahal ia punya paras yang cantik. Tutur katanya juga baik. Tetapi itulah fakta, ia merasa dirinya tidak laku-laku.

Akibatnya, ia pun mengalami kelesuan dalam hidupnya. Ia kurang bergairah dalam pekerjaannya. Untuk hal ini, ia pernah ditegur oleh bosnya. Suatu hari Mery jatuh sakit. Di rumahnya ia tinggal sendirian. Ayah dan ibunya sedang pulang ke kampung, ke rumah neneknya. Adik-adiknya pun berangkat bersama orangtuanya. Dalam keadaan sakit seperti itu, ada seorang teman kantornya yang justru mengunjunginya. Bukan hanya mengunjunginya, tetapi ia juga membawakan semangkok bubur ayam kesukaan Mery.

Setelah menyantap bubur ayam dari teman sekantornya itu, Mery berkata kepada temannya itu, “Ternyata selama ini saya salah. Saya selalu merasa bahwa saya tidak dicintai oleh orang lain. Bahkan oleh kedua orangtua saya dan adik-adik saya. Saya merasa teman-teman di kantor sudah meninggalkan saya sendirian. Saya mohon maaf, teman.”

Sambil menatap mata Mery dalam-dalam, temannya itu menyahut, “Mery, kami semua di kantor mencintaimu. Bos juga menyayangimu. Selama beberapa hari ini kami merasa kehilanganmu.”

Hati Mery terasa tenteram, damai. Ternyata masih ada cinta yang tertanam dalam hati teman-temannya. Ia memiliki semangat lagi untuk meneruskan hidup yang sudah ia vonis sia-sia itu. Kondisi tubuhnya yang sakit itu segera pulih. Keesokan harinya, ia kembali ke kantor untuk bekerja.

Ternyata cinta mampu memberi semangat hidup kepada mereka yang merasa dicuekin orang lain. Cinta yang tulus mampu membangkitkan semangat hidup yang sudah hilang. Dan inilah yang sering dialami manusia jaman kini. Manusia jaman kini begitu mudah kehilangan cinta. Mengapa? Karena cinta mereka hanya di bibir saja. Tidak merasuk sampai di hati. Cinta seperti ini sering kali membuat hidup menjadi loyo, tak bertenaga. Orang merasa hidupnya tak bermakna, sia-sia.

Karena itu, dibutuhkan suatu cinta sejati, cinta yang murni yang datang dari hati yang tulus. Tidak dibuat-buat karena ada maunya. Cinta seorang sahabat yang rela mengorbankan waktu, tenaga dan kesenangannya bagi sesamanya. Mencintai berarti melihat aspek baik dari orang lain. Cinta yang tulus itu menutup segala kekeliruan, rasa sakit hati, kebencian dan dendam yang mungkin pernah tertanam dalam hati. Cinta sejati itu memberi tanpa mengharapkan balasannya. Inilah letaknya kebesaran cinta yang tulus itu.

Setiap hari ini kita mengalami betapa banyak orang peduli terhadap kita. Ada yang rela melepaskan jaketnya untuk kita pakai, ketika kita merasa dingin menusuk tulang-tulang kita. Ada yang rela membawakan kita secangkir kopi atau teh kesayangan kita. Ada yang menyediakan waktunya untukk menjemput kita dan mengantar kita pulang ke rumah. Itu semua bentuk-bentukk cinta sejati yang dilakukan dengan tulus hati.

Karena itu, kita patut mensyukurinya karena semua bentuk cinta itu telah digerakkan oleh Dia yang memiliki cinta sejati, yaitu Tuhan sendiri. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


391





Bagikan

27 Mei 2010

Tidak Kehilangan Harapan

Seorang raja yang hendak menikah harus membuat suatu perjalanan yang lama dan panjang. Hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun berlalu tanpa suatu berita pun dari sang raja. Tunangannya menanti dengan sedih, tetapi tanpa kehilangan harapan bahwa sang raja akan kembali.

Beberapa sahabat gadis itu berkata dengan rasa belaskasihan yang palsu, “Teman yang malang, nampaknya kekasihmu sudah melupakan engkau. Dia tidak akan pernah kembali.”

Gadis itu sangat bersedih hati mendengar kata-kata sahabat-sabahatnya. Ia mengurung diri di kamar berhari-hari. Air matanya sudah begitu banyak ia tumpahkan. Beberapa saat kemudian ia mengambil surat terakhir dari sang raja. Dalam surat itu sang raja bersumpah bahwa dia tetap setia dan sungguh mencintainya.

Gadis itu merasa dikuatkan kembali oleh tulisan tangan sang raja. Ia berhenti menangis. Batinnya terasa damai. Semangatnya pulih kembali. Dia terus menanti dengan sabar hingga sang raja kembali.

Sesudah bertahun-tahun, sang raja itu pulang. Ia menepati janjinya untuk tidak menikah dengan gadis lain di negeri yang jauh. Meski begitu, ia heran melihat gadis pujaannya masih menanti kedatangannya.

Dalam suasana kagum, ia bertanya kepada gadis itu, “Bagaimana mungkin engkau tetap setia kepadaku? Padahal sudah bertahun-tahun lamanya saya meninggalkan kerajaan ini?”

Sambil menatap mata raja itu, gadis itu menjawab, “Rajaku, saya masih tetap menyimpan suratmu. Saya tetap percaya akan kata-katamu.”

Sang raja terharu. Padahal ia sudah lupa isi surat yang ia tulis sendiri dengan tangannya itu.

Kesetiaan itu ternyata sesuatu yang bisa dilakukan. Tentu saja ada motivasi mendalam yang membuat seseorang setia kepada yang lain. Motivasi yang paling mencolok adalah kesetiaan yang didasari oleh cinta kasih. Cinta telah mendorong orang untuk memiliki ketahanan dalam komitmen bersama.

Dalam kisah tadi, cinta sang raja telah mendorong gadis itu untuk penuh pengharapan menanti kedatangannya. Ia percaya bahwa cinta itu akan mempersatukan mereka dalam bahtera perkawinan. Suatu perkawinan yang tidak didasari oleh cinta dan kesetiaan cepat atau lambat akan hancur berkeping-keping.

Mengapa perselingkuhan begitu marak dalam dunia dewasa ini? Karena tidak ada cinta yang mendalam di antara pasangan-pasangan. Kalau tidak ada cinta yang mendalam, kesetiaan satu terhadap yang lain pun mudah luntur. Akhirnya, perselingkuhan terjadi. Orang merasa dikhianati oleh pasangannya. Karena itu, keretakan hidup berkeluarga sangat mudah terjadi.

Sebagai orang beriman, cinta merupakan perwujudan iman dalam situasi yang konkret. Suami istri yang beriman itu mesti menunjukkan imannya dengan cinta yang mendalam akan pasangannya. Percuma mereka menyatakan diri sebagai orang beriman, tetapi tidak saling mencintai secara mendalam.

Setiap hari ini kita mengalami cinta dan kesetiaan yang mendalam dari orang-orang di sekitar kita. Mari kita bawa cinta dan kesetiaan itu dalam hidup kita. Dengan demikian, kita selalu disemangati oleh cinta dan kesetiaan dalam hidup yang nyata. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

390
Bagikan

26 Mei 2010

Trial and Error





Suatu sore seorang bapak menuntun anaknya yang baru berusia delapan tahun untuk berlatih sepeda di sebuah lapangan. Sepeda itu baru dibelikan ayahnya sebagai hadiah ulang tahunnya. Anak itu sangat senang, karena dia boleh naik sepeda.

Awalnya, ayahnya terus memegangi sadel sepeda, agar anaknya tidak jatuh. Tiga empat kali ayahnya melakukan hal yang sama. Anaknya belum jatuh. Kali kelima ia melepaskan tangannya dari sepeda. Anaknya sendirian di atas sepeda. Belum seberapa jauh, anaknya terjatuh. Ayahnya membiarkan saja. Anaknya bangun lalu naik lagi sepeda itu. Tidak seberapa jauh, ia jatuh lagi. Ia menengok ke arah ayahnya yang sedang tersenyum memandangnya. Anak itu bangun lagi dan meneruskan latihannya.

Jatuh pada kali yang kesepuluh, lutut anak itu memar. Ia meringis kesakitan. Tetapi ia bangun lagi begitu melihat ayahnya tersenyum kepadanya. Akhirnya, anak itu dapat mengendarai sepeda barunya hari itu juga.

Setelah pulang ke rumah, anak itu bertanya kepada ayahnya, “Mengapa ayah tidak menolong saya waktu saya jatuh? Mengapa ayah malah menertawakan saya?”

Sambil tersenyum lebar, ayahnya menjawab, “Kalau ayah terus-menerus memegangi sepeda, kamu tidak akan pernah bisa naik sepeda. Kalau kamu belum jatuh dari sepeda, kamu belum bisa naik sepeda dengan baik.”

Anak itu tercengang akan kebijaksanaan ayahnya. Ia dapat mengendarai sepeda, karena ia pernah mengalami jatuh. Memang terasa sakit, bahkan lutut sampai memar. Tetapi derita itu telah mendatangkan sukacita. Cita-citanya dapat ia raih. Dapat naik sepeda dalam satu hari.

Kadang-kadang hidup ini dilalui dengan trial dan error. Orang mesti berani mencoba sesuatu yang ingin dijalaninya, apa pun sulitnya. Jatuh dan bangun dalam kehidupan itu biasa. Bahkan jatuh dan bangun dalam iman itu hal yang lumrah. Kesucian, kekudusan tidak diraih dengan berpangku tangan. Orang mesti memperjuangkannya dalam hidup sehari-hari.

Orang yang ingin mengalami keberhasilan dalam hidup mesti berani pula mengalami sakit, karena pengalaman jatuh. Ada seorang teman yang dua kali gagal dalam ujian akhirnya. Tetapi ia terus berjuang sampai ujian yang ketiga kali baru lulus. Tetapi dalam hidup sehari-hari ia menjadi orang yang bijaksana dan sukses. Ternyata ia belajar dari kegagalan itu. Ilmu yang ia pelajari dapat ia terapkan dengan sangat baik dalam kehidupan sehari-hari.

Karena itu, kita jangan dihantui oleh kegagalan. Bagi kita, kegagalan itu hal yang biasa dalam hidup kita. Soalnya adalah apakah kita berani bangkit dari kegagalan atau tidak? Orang yang beriman mesti berani bangkit dari kegagalannya. Orang yang beriman itu bukan orang yang hanya meringis kesakitan lalu lari dari kegagalannya. Orang beriman mesti menegakkan kepala untuk meraih kesuksesan yang tertunda.

Ada di antara kita yang mungkin mengalami kegagalan dalam usahanya. Kita mendorong mereka untuk tetap bangkit. Hanya dengan bangkit, mereka dapat meraih kesuksesan. Ada di antara kita yang meraih kesuksesan pada hari ini. Kita berhadap bahwa mereka tidak cepat puas dan berhenti berjuang. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


389

Bagikan

25 Mei 2010

Pertaruhkan seluruh Hidup kepada Tuhan




Seorang turis berdiri terlalu dekat di pinggir salah satu danau dari Danau tiga warna, Kelimutu, di Flores. Ia kehilangan tempat berpijak dan jatuh terperosok. Ia berusaha mati-matian untuk mencari pegangan untuk menyelamatkan dirinya. Sebab kalau ia jatuh ke dalam danau itu, ia pasti tidak bisa kembali lagi. Jurangnya sangat terjal. Akhirnya, turis itu dapat memegang semak belukar yang tumbuh di dinding tebing itu.

Karena ketakutan, dia berteriak, “Ada orang di atas? Tolong saya!”

Dia mendengar suara yang sangat meyakinkan, “Saya di sini, Tuhanmu.”

Turis itu sangat terkejut. Hampir saja tangannya terlepas dari semak belukar itu. Lalu ia berkata, “Saya senang Engkau ada di sini. Saya tidak dapat lebih lama berpegangan pada semak belukar ini.”

Suara itu bertanya, “Sebelum saya menolong engkau, saya mau tahu apakah engkau sungguh-sungguh percaya kepadaKu?”

Serta merta turis itu menjawab, “Tuhan, saya tentu percaya kepadaMu. Lihat, saya selalu beribadat setiap hari. Saya selalu berbuat amal untuk saudaraku yang menderita.”

Suara itu bertanya lagi, “Apakah engkau percaya kepadaKu?”

Turis itu semakin putus ada dan berkata, “Tuhan, Engkau tidak dapat percaya betapa bearnya kepercayaanku padaMu. Saya sungguh percaya!”

Dengan tenang Tuhan berkata kepadanya, “Baik. Sekarang lepaskan pegangganmu itu.”

Dalam keraguan, turis itu berteriak, “Tetapi Tuhan...”

Suara Tuhan berkata lagi, “Jika engkau percaya kepadaKu, lepaskan peganganmu pada ranting itu.”

Turis itu diam sejenak lalu berteriak lagi, “Apakah ada orang di atas sana?”

Iman berarti orang menyerahkan seluruh hidup kepada Tuhan. Orang membiarkan dirinya dikuasai oleh Tuhan. Apa pun resiko yang akan dihadapi, orang mesti berani mempertaruhkan seluruh hidupnya kepada Tuhan.

Dalam hidup ini banyak orang menjadi resah, gelisah dan kecewa. Mereka merasa Tuhan tidak pernah membantu mereka dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Padahal Tuhan begitu dekat dengan manusia. Tuhan hadir dalam setiap pergumulan hidup manusia. Bahkan Tuhan bersedia mengulurkan bantuan kepada manusia.

Soalnya, apa yang membuat manusia merasa Tuhan tidak peduli terhadap hidup mereka? Jawabannya adalah manusia terlalu mementingkan egoismenya sendiri. Manusia terlalu melayani kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri. Manusia lupa bahwa kalau dia terbuka kepada Tuhan, kalau dia melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan, dia akan memperoleh sukacita berlimpah dalam hidupnya.

Sebagai orang-orang beriman, kita diajak untuk senantiasa memberikan hidup kita kepada Tuhan. Biar Tuhanlah yang menyelenggarakan perjalanan hidup kita. Serahkanlah hidup dan matimu hanya pada Allah semata, agar damai senantiasa hatimu. Tuhan memberkati.**



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


388



Bagikan

24 Mei 2010

Membagikan Kabar Sukacita




Ada empat orang yang berjalan melewati hutan yang lebat sekali. Semakin jauh berjalan, mereka menghadapi berbagai aral yang melintang di depan mereka. Rintangan yang terakhir adalah sebuah tembok yang tinggi.

Lantas mereka sepakat untuk membuat tangga dan menaiki tembok tinggi itu. Mereka ingin melihat apa yang sesungguhnya ada dan terjadi di balik tembok itu. Satu per satu mereka bergantian menaiki tembok itu. Ketika orang pertama naik dan melihat ke seberang tembok itu, ia sangat bersorak kegirangan. Ia menari-nari di atas tembok yang lebar itu.

Lalu orang kedua naik ke atas tembok itu. Lama ia tertegun di atas tembok itu. Ia sangat mengagumi pemandangan alam di balik tembok itu. Ia melambai-lambaikan tangannya seolah di sana berdiri teman-temannya. Ia bersorak kegirangan.

Orang yang ketiga juga mengalami hal yang sama. Hari itu ia dapat tertawa terbahak-bahak menyaksikan kehidupan di balik tembok itu. Baginya, itulah kehidupan yang mesti dijalani oleh seluruh makhluk. Bagaimana tidak?! Singa dan harimau dapat bermain-main dengan domba dan kambing. Ada kedamaian dan sukacita di sana.

Ketika orang keempat sampai ke atas tembok itu, ia juga sangat kegirangan. Ia menyaksikan pemandangan indah penuh bunga-bunga. Ada sungai yang mengalir tenang dengan buah-buahan yang segar di atas pohon-pohon. Seperti tiga temannya yang lain, ia juga mau turun ke sebelah. Tetapi ia mengurungkan niatnya. Ia ingat akan keluarganya, teman-temannya dan tetanggga-tetangganya. Ia pun pulang ke kampung halamannya. Ia membagikan kabar sukacita itu kepada sahabat-sahabatnya.

Adalah tugas setiap orang beriman untuk membagikan kabar sukacita kepada sesamanya. Kebahagiaan yang kita terima itu bersifat sosial pula. Bukan hanya untuk diri kita sendiri. Karena itu, kabar sukacita yang kita alami itu juga menjadi bagian hidup sesama yang kita jumpai.

Syaratnya adalah kabar sukacita itu murni sebuah kebaikan dan kebajikan. Kita tidak mau memberitakan kabar sukacita karena ada teman kita yang kaya mendadak karena korupsi atau menang dalam suatu perjudian. Itu bukan kabar kebaikan dan kebajikan. Itu suatu kabar tipu muslihat. Suatu kabar yang membuat banyak orang menderita karena perbuatan korupsi atau judi itu.

Karena itu, kabar sukacita yang mau kita sampaikan kepada keluarga, teman-teman dan tetangga-tetangga kita adalah sukacita karena hasil dari suatu kerja keras. Misalnya, kita naik golongan karena kita bekerja dengan penuh kejujuran, ketulusan dan keuletan. Itulah kabar sukacita yang mau kita beritakan kepada sesama. Tujuannya agar sesama memperoleh dukungan moral dalam melakukan kegiatan-kegiatannya untuk meraih masa depannya yang lebih cerah.

Setiap hari kita telah bekerja keras untuk membangun hidup yang lebih baik. Kita mau agar dengan begitu kita memperoleh suatu hasil yang memadai. Karena itu, mari kita bawa dan persembahkan jerih payah kita itu kepada Tuhan. Biarlah Dia yang memberikan kelegaan kepada kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

387


Bagikan

23 Mei 2010

Jangan Toleh ke Belakang



Ada dua orang pelari yang sama-sama mencapai garis finish. Panitia penyelenggara tidak bisa memutuskan mana yang menjadi juara satu dan mana yang juara kedua. Mereka menginjak garis finish pada detik yang sama. Tubuh mereka pun dalam jejeran yang sama. Tidak ada tubuh yang lebih maju ke depan. Sama persis di atas garis finish.

Panitia memang bingung mau menetapkan juara pertama. Juara tiga sudah didapat, tetapi kesulitannya adalah juara satu dan dua. Beberapa saat setelah melakukan perundingan, akhirnya diputuskan agar kedua pelari itu bertanding lagi. Kedua pelari itu tidak keberatan. Mereka bersiap-siap untuk berlari lagi, bertanding lagi.

Setelah pistol dibunyikan sebagai tanda start, salah satu pelari melesat cepat seperti anak panah. Ia merasa sudah di atas angin. Ia pasti memenangkan pertandingan itu. Untuk membuktikan bahwa dirinya bakal menang, ia menoleh ke belakang. Saat menoleh itu, kecepatannya menurun. Lawannya menyusul dia lalu mendahuluinya. Ia pun kalah. Ia sangat menyesal atas peristiwa itu, tetapi apa boleh buat. Ia sudah kalah. Ia tidak bisa menjadi juara satu. Lagu kebangsaannya tidak bisa dinyanyikan saat penerimaan medali.

Pesan kisah di atas adalah jangan menoleh ke belakang. Ketika pelari itu menoleh ke belakang, habislah dia. Dia tidak dapat mempertahankan apa yang telah ia rebut.

Dalam kehidupan ini ada banyak peristiwa yang terjadi. Peristiwa-peristiwa itu membantu kita untuk membentuk pribadi-pribadi kita dengan baik. Ada peristiwa masa lampau yang baik yang patut dikenang. Ada peristiwa masa lampau yang menyakitkan yang boleh dikenang, tetapi boleh juga dibuang dari ingatan kita.

Karena itu, kalau kita menoleh ke belakang melihat kembali peristiwa-peristiwa masa lampau, kita akan mengalami suatu stagnasi. Kita tidak dapat bergerak maju dengan bebas dan leluasa. Kita terpaku pada peristiwa-peristiwa itu. Padahal yang kita inginkan adalah kita maju terus untukk meraih kebahagiaan hidup.

Kalau kita ingin lebih maju, kita mesti berani meninggalkan masa lampau kita yang runyam. Kerunyaman itu biarlah hilang bersama gerus arus jaman. Sedangkan kita mesti tetap berlangkah maju. Hanya dengan terus maju kita dapat mencapai garis finish yang membahagiakan. Memang sering ada godaan untuk bernostalgia tentang masa-masa silam yang indah dan menyakitkan. Boleh-boleh saja. Tetapi janganlah nostalgia itu memberi pengaruh buruk atas diri kita. Janganlah masa lalu yang runyam membuat semangat untuk membangun masa depan yang lebih baik itu kendor. Kita mesti terus-menerus menatap ke depan. Di sanalah masa penuh bahagia bagi kita.

Setiap hari kita telah mengalami berbagai hal yang indah. Pengalaman itu menjadi kekayaan bagi kita untuk membangun masa depan kita. Kita ingin sukses. Kita ingin hidup kita bahagia. Karena itu, mari kita bawa dan persembahkan pengalaman-pengalaman kita kepada Tuhan. Bersama Tuhan kita akan memperoleh kebahagiaan yang sejati. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

386
Bagikan

22 Mei 2010

Terbuka terhadap Pengaruh Jaman

Seorang gadis muda mengalami kebutaan sejak lahir. Ketika ia berusia 12 tahun, para dokter mampu melakukan sejenis operasi baru yang, kalau berhasil, akan dapat membuat gadis itu melihat. Hasilnya baru diketahui setelah beberapa hari kemudian. Setelah perban dibuka, kedua mata gadis itu harus dilindungi dari cahaya. Karena itu, gadis itu pun duduk menunggu dalam kegelapan. Tetap seperti dulu, sebelum ia dioperasi.

Selama berjam-jam sang ibu mendengarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan putrinya mengenai apa yang dapat dilihatnya nanti. Mereka berdua begitu antusias hingga keduanya tidak cukup tidur. Tanpa henti, bahkan dalam kegelapan, mereka membicarakan setiap hal indah yang dapat mereka bayangkan seperti segala warna, bentuk dan keindahan.

Akhirnya, saatnya tiba. Mata gadis itu telah cukup kuat untuk dapat melihat ke luar jendela. Ia berdiri di jendela itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di luar jendela taman bunga yang indah telah menyambutnya. Ada bunga bakung merah bergaris putih yang sedang merekah berdiri anggun seolah ingin menyapa ‘selamat datang’ kepada gadis itu. Ada kelinci berwarna-warni yang berseliweran di sekitar taman itu. Ada rumput hijau yang bergoyang-goyang di tiup angin pagi. Lantas evorbia yang memenuhi pinggir jalan setapak di taman itu dengan warna-warninya. Gadis itu membiarkan warna-warni indah itu menerobos matanya yang baru itu.

Beberapa saat kemudian gadis itu menoleh kepada ibunya yang sedang tersenyum bahagia melihatnya. Air mata mengalir membasahi pipi gadis itu. Ia tersenyum kepada ibunya dan berkata, “Oh, ibu. Mengapa tidak engkau katakan bahwa semuanya akan begini indah?”

Ibunya memeluknya dalam keharuan lalu berkata, “Anakku, ibu sengaja membiarkan engkau merasakan sendiri betapa indahnya hidup ini. Dan seperti itulah kehadiran Tuhan bagimu.”

Manusia sering terjebak dalam pandangannya sendiri tentang kehidupan dan sesama di sekitarnya. Akibatnya, kehidupan dan sesama itu bisa menjadi ancaman bagi hidupnya. Manusia merasa bahwa hanya dirinya yang dapat mempengaruhi kehidupan itu. Ternyata tidak. Ada begitu banyak unsur yang memberi pengaruh terhadap kehidupan seseorang. Ada unsur dari luar yang begitu kuat berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

Karena itu, orang mesti terbuka terhadap setiap pengaruh jaman ini. Orang tidak bisa menganggap diri buta terhadap dunia sekitarnya. Dunia ini menyiapkan berbagai hal positif yang dapat digunakan untuk kehidupan manusia.

Setiap hari kita telah menyaksikan banyak hal baik dalam kehidupan kita. Ada seorang suami yang mendapat perhatian yang begitu mesra dari istrinya. Ada seorang istri yang begitu bahagia digandeng oleh suaminya. Ada anak-anak yang bergembira ria karena orangtua mereka begitu bahagia.

Mungkin ada juga hal-hal negatif yang kita alami. Tetapi tentu saja itu hanyalah setitik debu yang mengotori sepatu kita. Karena itu, mari kita bersyukur kepada Tuhan atas semua pengalaman yang indah dan baik itu. Biar Tuhan sendiri yang memberikan berkatNya untuk kita, agar kita mengalam hidup yang damai. Tuhan membekati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

385


385
Bagikan

21 Mei 2010

Tetap Setia pada Iman



Seorang perempuan terjebak dalam badai yang menakutkan di tengah samudera. Ketika itu ia sedang melakukan suatu perjalanan. Ribuan penumpang ada di kapal itu. Dalam kondisi seperti itu, perempuan itu berusaha menghibur anak-anak yang berlayar bersamanya agar tidak panik. Caranya ialah ia menceritakan kepada mereka kisah-kisah yang menarik. Anak-anak itu begitu tertarik kepada cerita-ceritanya, sehingga mereka lupa bahwa mereka sedang dihantam badai yang hebat.

Setelah mereka selamat, kapten kapal itu mendekati perempuan itu. Rupanya selama di perjalanan ia memperhatikan perempuan bersama anak-anak itu.

Kapten itu bertanya, “bagaimana Anda dapat tetap tenang ketika semua orang takut kalau kapal ini akan tenggelam?”

Saat perempuan itu mengangkat wajahnya, kapten kapal itu menemukan kedamaian dan ketenangan di matanya. Perempuan itu telah mempertahankan hal itu sepanjang perjalanan di atas kapal itu.

“Saya punya dua putri. Seorang tinggal di Bali dan seorang lagi tinggal di surga. Di atas kapal itu saya tahu bahwa dalam waktu beberapa jam saya akan bertemu dengan salah seorang dari mereka. Siapa yang akan saya temui benar-benar tidak masalah bagi saya,” kata perempuan itu, menjelaskan.

Kapten itu terhenyak. Ia memandang penuh kagum terhadap perempuan itu. Ia sungguh-sungguh seorang yang beriman. Ia pasrah apapun yang akan terjadi atas dirinya. Adakah dalam dunia seperti sekarang ini kita temukan iman sebesar ini?

Dalam hidup ini orang sering kehilangan pegangan hidup. Orang merasa bahwa hidupnya terus-menerus dihantui oleh hal-hal yang tidak menyenangkan. Akibatnya, orang lari kepada hal-hal negatif seperti ke dunia perdukunan, perjudian, tahayul. Orang suka mencoba-coba hal-hal seperti itu. Kalau sudah tidak jalan lalu mereka frustrasi.

Mengapa semua ini mesti terjadi? Karena orang sudah kehilangan nilai-nilai luhur kehidupan. Orang menjalankan kehidupan agamanya hanya di permukaan saja. Orang tidak sampai pada transformasi nilai-nilai dan makna kehidupan yang telah diajarkan oleh agama yang dianut itu. Orang lebih suka mencari jalan pintas. Tidak peduli bahwa nilai-nilai yang diajarkan oleh agamanya membutuhkan suatu proses untuk mampu meresap ke dalam kehidupan seseorang.

Karena itu, orang beriman itu dituntut memiliki kesabaran, ketekunan, konsistensi dan keuletan dalam menghadapi berbagai persoalan hidup ini. Kita perlu bertanya diri, apakah kita sudah memiliki keempat hal ini dalam hidup sehari-hari sebagai orang beriman? Apakah kita sabar ketika menghadapi berbagai persoalan dalam hidup? Apakah kita tekun menjalankan ibadah kita ketika begitu banyak tawaran yang menggiurkan atau godaan untuk meninggalkan ibadah kita? Apakah kita punya konsistensi dalam menghayati iman kepada Tuhan, ketika ada tawaran dari dunia perdukunan, perjudian dan bentuk-bentuk tahayul lainnya? Apakah kita ulet menghidupi iman dan amal perbuatan kita bagi sesama yang kekurangan di sekitar kita?

Setiap hari kita mengalami berbagai pergolakan hidup. Ada yang bertahan dalam pergolakan itu. Ada yang cemas dan ragu-ragu apakah mau terus atau berhenti di jalan. Ada yang terpuruk lemas, karena tidak tahu jalan benar yang mesti ia lewati. Karena itu, mari kita bawa ke hadapan Tuhan. Biar Tuhan yang akan memberikan kekuatan kepada kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


384



Bagikan

20 Mei 2010

Membangun Arah Hidup

Ada seorang teman yang mengalami depresi yang luar biasa setelah kerusuhan Mei 1998 lalu. Ia kehilangan usahanya, hartanya, rumahnya bahkan istrinya kemudian meninggal dunia. Beberapa saat ia seolah-olah kehilangan pegangan hidup. Ia tidak tahu mau buat. Tetapi kemudian ia menemukan dirinya sebagai orang yang beriman. Iman itulah yang menjadi pegangan satu-satunya baginya.

Suatu hari teman ini berjalan-jalan di sebuah gedung tinggi yang sedang dibangun. Ia berhenti di situ lalu menyaksikan para tukang melakukan pekerjaan mereka. Kepada seorang tukang yang sedang memasang batu, ia bertanya, “Apa yang Anda lakukan dengan batu itu?”

Tukang batu itu menjawab, “Apakah Anda melihat celah di atas sana, di dekat puncak atap itu? Ya, saya membentuk batu ini di bawah sini, agar ia cocok terpasang di atas sana.”

Teman itu terhenyak. Lantas air mata menggenangi matanya. Ia sadar, ia mesti tetap bangkit dari keterpurukannya. Orang beriman itu tidak boleh putus asa. Orang beriman mesti bangkit dari kegagalannya. Orang beriman mesti menghadapi setiap penderitaan dengan kepala tegak. Mengapa? Karena Tuhan selalu menyertai orang yang menyerahkan seluruh hidup kepadaNya.

Seringkali orang mudah menyerah pada setiap kegagalan yang mereka hadapi. Seorang mahasiswa, misalnya, begitu mudah memutuskan berhenti kuliah hanya karena bosan atau capek. Padahal untuk meraih cita-cita orang mesti berani capek. Orang mesti berani jatuh dan bangun kembali dari kegagalan.

Soalnya, mengapa orang begitu mudah menyerah dalam hidup ini? Mengapa orang tidak berani bangkit dari keterpurukannya? Ada banyak alasan. Tetapi satu hal bisa dikatakan bahwa orang seperti ini tidak punya arah hidup yang jelas. Ia bagai layang-layang putus yang terbang tanpa arah. Tidak tahu mau terbang ke mana. Kalau dia memiliki arah hidup, dia tetap akan berdiri tegak kembali ketika dia mengalami kegagalan atau cobaan-cobaan dalam hidup. Dia akan tetap gigih berjuang sampai meraih cita-cita yang ia inginkan.

Karena itu, kita mesti mulai membangun suatu arah hidup yang jelas. Kita perlu membuat suatu komitmen dalam hidup ini. Kita mau apa dengan hidup ini. Misi apa yang kita bawa dalam perjalanan hidup kita di dunia ini. Ini yang penting. Untuk itu, kita perlu menyusun program dan strategi dalam hidup kita. Dengan demikian, hidup kita menjadi lebih tertata dan memiliki arah yang jelas.

Saya yakin, setiap hari ini kita menata hidup kita sedemikian rupa. Kita telah berjuang, agar hidup ini tidak sia-sia belaka. Tetapi kita telah berusaha memaknai hidup ini dengan semakin baik. Kita mohon agar Tuhan yang mahapengasih dan penyayang senantiasa memberi berkat berlimpah bagi kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


383

Bagikan

19 Mei 2010

Memelihara Sikap Empati

Suatu malam, seorang bapak didatangi oleh temannya. Ia berkata kepada bapak itu, “Ada sebuah keluarga dengan delapan anak. Mereka belum makan selama beberapa hari.”

Bapak itu sangat terkejut mendengar berita itu. Ia meminta istrinya untuk menyiapkan makanan secukupnya untuk sepuluh orang. Kemudian ia dan temannya itu menuju keluarga yang dimaksud.

Ketika tiba di rumah itu, bapak itu menyaksikan wajah-wajah bocah yang muram dan pucat karena kelaparan. Namun tidak tampak derita atau kesedihan di wajah mereka. Yang tampak hanya rasa sakit yang mendalam karena lapar.

Bapak itu lalu memberikan makanan itu kepada ibu keluarga itu. Namun ia malah membaginya menjadi dua. Lalu dengan sisa-sisa tenaganya ia keluar rumah sambil membawa setengah dari makanan itu. Sementara itu, anak-anaknya makan makanan yang diberikan bapak itu.

Ketika ibu itu kembali, bapak itu bertanya, “Dari mana?”

Sang ibu menjawab dengan lugu, “Ke rumah tetangga saya. Mereka juga lapar.”

Bapak itu sangat terkejut, bukan karena ibu itu memberikan makanan itu kepada tetangganya. Atau bukan karena orang miskin biasanya dermawan. Tetapi karena ia tahu bahwa tetangganya juga lapar. Padahal biasanya kalau seseorang sedang menderita orang begitu memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ia tidak sempat memikirkan orang lain yang juga menderita.

Betapa mulia perbuatan ibu itu. Ia masih memiliki kepekaan terhadap sesamanya yang menderita. Sikap empatinya masih bekerja di dalam hatinya, sehingga ia mampu berbagi dengan sesama yang menderita. Tentu saja perbuatan ibu itu patut dicontoh di jaman kini. Mengapa? Karena tampaknya sikap empati terhadap sesama yang menderita kian luntur.

Kita bisa menyaksikan sikap empati yang luntur ini pada saat bencana alam menimpa suatu wilayah. Banyak orang mulai berinisiatif untuk menggalang dana. Mereka berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara.

Tetapi kemudian yang terjadi adalah bantuan bagi korban bencana tidak datang-datang juga. Padahal para korban bencana sangat membutuhkan uluran kasih dari sesamanya. Lalu ke mana hasil penggalangan dana itu? Ternyata sebagian besar sudah habis dipakai untuk kepentingan pribadi. Atau bantuan yang mulai berdatangan itu dipakai untuk orang atau kelompok tertentu saja, tidak untuk korban bencana alam. Kalau hal seperti ini terus-menerus terjadi, berarti ini suatu potret memilukan dari bangsa ini. Bangsa ini sudah kehilangan rasa empati dan solidaritas terhadap sesamanya.

Setiap hari kita berjuang semaksimal mungkin untuk kelanjutan hidup kita. Banyak hal kita raih dalam hidup ini. Satu hal yang masih perlu kita kembangkan adalah sikap empati dengan mereka yang kurang beruntung.

Karena itu, kita mohon kekuatan dari Tuhan, agar kita boleh memiliki sikap empati itu. Mari kita bawa semua pengalaman hidup kita sepanjang dalam perjalanan hidup kita. Kita persembahkan semua itu kepada Tuhan. Biarlah Tuhan menguatkan kita dengan rahmat dan anugerahNya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


382

Bagikan

18 Mei 2010

Cinta Mengatasi Segalanya



Di suatu jalan yang ramai terjadi tabrakan antara dua mobil. Kerusakan tidak parah. Hanya lecet-lecet pada bemper masing-masing. Namun bagi salah seorang pengendara, seorang perempuan, tabrakan kecil itu menyimpan rasa cemas luar biasa dalam hatinya. Bukan karena ia yang salah dalam peristiwa itu. Tetapi mobil yang dia kendarai itu mobil baru. Tiga hari yang lalu suaminya baru membeli mobil itu. Baru keluar dari showroom.

Akibatnya, perempuan itu menjadi panik. Setelah kedua mobil itu minggir, perempuan itu keluar dari mobilnya. Ia mendekati pengendara mobil yang lain yang duduk tenang-tenang di dalam mobilnya. “Bagaimana, pak? Apa yang harus segera kita lakukan?” tanya perempuan itu.

Lelaki yang ada di belakang kemudi itu bertanya, “Ibu mau apa? Yang jelas, ibu yang salah. Ibu yang menabrak mobil saya. Ibu mau ke polisi?”

Dalam kebingunan, perempuan itu menjawab, “Kita damai saja. Saya harus menanggung biaya perbaikan mobil bapak.”

Dengan sigap, lelaki itu berusaha menenangkan perempuan itu. Ia sadar, mobilnya tidak perlu perbaikan. Paling, lecet sedikit saja. Lelaki itu berkata, “Ibu, kenapa ibu begitu panik? Mobil saya tidak apa-apa.”

“Tetapi.... suami saya...” kata perempuan itu.

Lelaki itu tersenyum. Dalam hatinya ia berpikir bahwa perempuan itu seorang yang taat kepada suaminya. Lalu ia berkata, “Ibu, lebih baik ibu kembali ke mobil. Coba lihat surat-surat ibu. Jangan-jangan ibu tidak punya SIM.”

Perempuan itu kembali ke mobilnya. Ia membuka laci mobilnya dan menemukan sepucuk surat dari suaminya. Tulisan tangan suaminya tertulis jelas, “Kalau suatu saat terjadi kecelakaan, ingatlah sayang, engkaulah yang lebih kucintai, bukan mobil ini.”

Perempuan itu menjadi lega. Cinta suaminya atas dirinya mengatasi segalanya. Sesaat kemudian perempuan itu meninggalkan tempat itu. Ternyata suaminya lebih menaruh cintanya kepadanya daripada pada mobil yang baru ia beli tiga hari yang lalu.

Dalam kehidupan sehari-hari cinta personal sering kali dikaburkan oleh hadirnya hal-hal lain dalam hidup. Cinta sejati itu dilunturkan oleh pandangan mengenai hal-hal sekunder dalam hidup ini. Harta kekayaan, misalnya, sering menjadi pemicu hancurnya cinta kasih dua insan yang telah membina hidup berkeluarga bertahun-tahun.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa harta kekayaan bukanlah segala-galanya. Harta itu hanyalah hal sekunder dalam hidup ini. Yang utama dalam hidup ini adalah jalinan cinta kasih yang mesti dipelihara terus-menerus oleh manusia yang saling mencintai.

Setiap hari ini merajut cinta kasih di antara kita dengan berbagai cara. Yang diharapkan adalah kita mau memelihara cinta kasih itu bagi hidup kita dan sesama yangg ada di sekitar kita. Dengan demikian, tercipta suatu dunia yang baik, aman, damai dan sejahtera.

Karena itu, mari kita bawa seluruh pengalaman cinta kita dalam hidup kita sehari-hari. Jangan biarkan cinta sejati itu dikaburkan oleh hal-hal yang sekunder. Untuk itu, kita mohon agar Tuhan yang mahacinta menguatkan dan menyempurnakan cinta kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

381
Bagikan

17 Mei 2010

Tuhan Hadir Lewat Berbagai Cara


Suatu pagi ada seorang pemuda ingin menemukan Tuhan. Ia memang sedang bingung, karena sudah lama berdoa tetapi Tuhan tidak mengabulkan permohonannya. Ia lalu pergi ke sebuah tempat ziarah yang dianggap tempat suci. Di sana di bawah sebatang pohon yang rindang ia duduk menyandarkan kepalanya pada sebuah bangku.

Dia berpikir bahwa di bawah pohon yang sejuk itu dia dapat mengalami kehadiran Tuhan. Sejenak dia menutup matanya lalu melipat kedua tangannya di atas pangkuannya. Dia khusyuk dalam doa. Lama ia tenggelam dalam doanya.

Setengah jam kemudian dia merasakan ada yang menepuk bahunya. Ia terkejut. Ia merasa terganggu. Setelah menoleh ke belakang, dia melihat seorang perempuan tua yang kusut berdiri di belakangnya.

Perempuan tua itu bertanya kepadanya, “Anda lapar?”

Pemuda itu menggelengkan kepalanya. Lantas perempuan tua keriput itu berkata kepadanya sambil memberikan sejumlah uang, “Saya dapat memberikan kepadamu sedikit uang untuk membeli makanan.”

Pemuda itu menerima uang itu lalu berkata, “Terima kasih sudah memperhatikan saya, nek. Uang ini akan saya pakai untuk membeli makanan. Semoga Tuhan memberkati nenek.”

Beberapa saat kemudian, pemuda itu tertinggal seorang diri lagi. Perempuan tua itu sudah sirna dari hadapannya. Pemuda itu lalu menyadari bahwa dia telah menemukan kehadiran Tuhan lewat lebih dari satu cara.

Banyak orang ingin berjumpa dengan Tuhan dalam hidup mereka. Tetapi Tuhan seolah-olah tidak pernah mengabulkan keinginan mereka. Orang lalu menjadi resah dan gelisah. Orang lalu mencari berbagai cara untuk menemukan Tuhan dalam hidup mereka.

Padahal Tuhan hadir lewat berbagai cara. Tuhan dapat hadir lewat seorang nenek tua yang baik hati. Tuhan dapat hadir lewat suami yang penuh tanggung jawab atas keluarganya atau istri yang penuh perhatian terhadap keluarganya. Mengapa? Karena pada hakekatnya Tuhan itu baik kepada semua orang. Tuhan tidak memandang bulu. Tuhan tidak mendiskriminasikan siapa pun.

Karena itu, mari kita sadari kehadiran Tuhan dalam hidup kita. Dia hadir melalui cinta kasih sesama yang dekat dengan kita. Dia juga hadir melalui sentuhan-sentuhan orang di sekitar kita.

Setiap hari kita mengalami betapa Tuhan itu begitu baik kepada kita. Ia rela menyertai perjalanan hidup kita pada hari ini. Ia menyertai kita dalam bekerja. Karena itu, mari kita syukuri kehadiran Tuhan itu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com




380

Bagikan

16 Mei 2010

Menimba Semangat Juang


Suatu hari seorang anak muda mendatangi seorang seniman terkenal yang telah menghasilkan jendela-jendela kaca yang sangat indah. Ia ingin belajar pada seniman itu untuk melukis di atas kaca. Ia merasa dirinya memiliki bakat di bidang seni lukis. Setiap hari ia belajar di tempat seniman itu. Seniman itu dengan sabar membimbing anak muda itu.

Suatu ketika ia merasa penasaran, mengapa ia tidak bisa melukis seindah seniman itu. Lalu dia meminjam alat-alat yang digunakan oleh gurunya. Ia berpikir, jangan-jangan alat-alat itu yang membuat seniman itu tidak bisa disamainya. Dia berpikir, dengan meminjam alat-alat itu dia akan menjadi sama dengan gurunya.

Anak muda itu mulai melukis dengan alat-alat gurunya. Namun hasilnya masih jauh dari yang ia harapkan. Ia merasa kesal. Ia kecewa. Lalu dia mendatangi gurunya dan berkata, “Saya tidak dapat melukis lebih baik meski menggunakan alat-alat guru.”

Seniman itu menjawab, “Bukan alat-alat itu yang engkau butuhkan. Yang engkau butuhkan sekarang ialah semangat gurumu.”

Anak muda itu tertegun. Ia menyadari semangat gurunya belum ia transfer ke dalam dirinya. Ia masih memiliki semangat lama, semangat dari dirinya sendiri. Karena itu, semangatnya itu mesti diganti dengan semangat gurunya. Dengan demikian dia dapat melukis lebih baik lagi, bahkan kalau bisa lebih indah daripada gurunya.

Yang kita butuhkan dalam perjalanan hidup kita adalah semangat dari orang yang kita ikuti. Banyak anak muda di jaman kini mengikuti suatu trend tertentu. Misalnya, model rambut atau pakaian. Seringkali yang terjadi adalah mereka cepat bosan. Mereka merasa itu bukan dari diri mereka sendiri. Karena itu, mereka suka gonta-ganti model rambut atau pakaian. Trend itu ternyata hanyalah suatu tempelan, bukan menjadi semangat hidup.

Atau banyak anak muda yang mengikuti gaya para bintang olahraga tertentu. Mereka cepat bosan juga karena mereka tidak bisa mentransfer nilai-nilai baik yang dihidupi oleh bintang-bintang itu. Seseorang menjadi bintang lapangan hijau itu setelah melalui suatu perjuangan yang panjang. Ia mesti latihan setiap hari sepuluh jam, misalnya. Ia hidup secara teratur. Tidak begadang hingga larut malam. Nah, anak-anak muda lupa akan hal ini. Yang mereka tiru adalah gaya bintang di lapangan hijau itu. Mereka tidak menimba semangat juangnya. Karena itu, banyak anak muda menjadi stress karena tidak bisa menyamai bintang yang mereka idolakan.

Mari kita timba semangat juang, kesabaran, keuletan dan keberanian dari sesama yang kita jumpai. Setiap hari kita berjuang untuk meraih keinginan-keinginan kita. Mari kita memetik semangat juang dari sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

379


Bagikan

15 Mei 2010

Kita Semua Saling Membutuhkan





Suatu hari seorang buta dan seorang pincang kebetulan sampai pada suatu sudut jalan pada saat yang sama. Orang buta itu meminta si pincang untuk membimbingnya agar dapat melewati kesulitannya.

Orang pincang itu berkata, “Bagaimana saya dapat melakukannya, sebab saya tidak dapat berjalan sendiri.”

Orang buta itu tidak percaya. Ia terus memaksa orang pincang itu untuk menuntunnya pergi dari sudut itu. “Tuntunlah saya. Saya ingin melanjutkan perjalanan saya,” kata orang buta itu.

Orang pincang itu meyakinkan orang buta itu, “Saya hanya dapat melakukannya, kalau engkau menggendong saya. Saya dapat mengingatkan engkau tentang segala sesuatu di jalan. Mataku menjadi matamu. Kakimu menjadi kakiku.”

Orang buta itu tercengang, “Ah, jadi engkau sungguh-sungguh tidak punya kaki?”

Orang pincang itu menjawab, “Saya sangat membutuhkan kakimu untuk pergi dari sudut ini!”

Jawab orang buta itu, “Oh, dengan senang hati. Mari kita saling melayani.”

Beberapa saat kemudian orang pincang itu naik ke bahu orang buta itu. Orang buta itu mulai berjalan dengan senang hati. Ia tidak perlu cemas, karena orang pincang itu dapat menunjukkan arah yang mesti mereka tempuh.

Banyak hal dapat dilakukan oleh orang-orang yang mengalami senasib sepenanggungan. Kebutuhan mereka sering kali sama. Yang biasa terjadi dalam hidup sehari-hari adalah orang hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri. Orang merasa bahwa hanya dirinyalah yang dapat membantu dirinya sendiri dalam kesulitan-kesulitan hidup. Padahal ada begitu banyak orang yang siap membantu bila terjadi suatu kesulitan dalam hidup.

Kisah di atas mengajak kita untuk menyadari keterbatasan kita sebagai manusia. Manusia itu makhluk yang terbatas. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, kalau ia menyingkirkan orang lain dalam hidupnya.

Karena itu, saling melayani dalam hidup ini menjadi sangat penting. Suami mesti melayani istrinya yang membutuhkan bantuannya. Suami membutuhkan bantuan istrinya. Anak-anak membutuhkan bantuan dari orangtuanya untuk hidup lebih baik. Kita semua saling membutuhkan, sehingga kita mesti saling melayani.

Setiap hari kita mengalami begitu baiknya sesama terhadap kita. Ada yang membantu kita dengan membersihkan lantai yang kotor. Ada yang membantu kita dengan menyediakan minuman. Ada yang memberi kita seteguk air untuk melepaskan dahaga. Karena itu, mari kita syukuri kebaikan-kebaikan itu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
378

Bagikan

14 Mei 2010

Melihat dari Perspektif Lain





Ada seorang miskin yang tinggal di sebuah gubuk kecil. Pada suatu hari datang seorang kaya yang ingin membeli gubuk itu. Orang miskin itu tidak keberatan. Apalagi di hadapannya berdiri seorang kaya yang sangat menginginkan gubuknya itu.

Lalu orang miskin itu berniat untuk memperbaiki gubuknya. Dia pergi ke mana-mana mencari bahan untuk memperbaiki gubuk itu. Dia sangat bangga ada orang yang sangat kaya yang menginginkan gubuknya. Hasil perbaikan itu memperindah gubuk itu. Ia sangat senang melihatnya.

Ia berkata dalam hatinya, “Wah, orang kaya itu pasti akan senang memiliki gubuk saya ini. Bukankah sewaktu jelek pun dia menyukainya?”

Setelah beberapa hari, orang kaya itu datang kepada orang miskin itu. Dengan segepok uang di tangannya, ia menyerahkan uang kepada orang miskin itu. Orang miskin itu sangat gembira. Bukan pertama-tama ia memiliki uang yang banyak. Tetapi karena orang kaya itu ternyata menghargai karyanya. Hari itu juga gubuk itu menjadi milik orang kaya itu.

Keesokan harinya, orang kaya itu datang ke tempat gubuk itu berdiri. Ia membawa serta sebuah buldozer. Hanya sekali gerakan, gubuk itu sudah rata dengan tanah. Melihat peristiwa itu, orang miskin itu berteriak-teriak. Ia protes kepada orang kaya itu, “Jangan bongkar gubuk saya. Saya sudah berusaha untuk memperbaikinya begitu bagus.”

Orang kaya itu tersenyum kepadanya. Lalu ia berkata kepada orang miskin itu, “Saya tidak menginginkan gubuk reyotmu. Tetapi saya hanya menginginkan tanahmu.”

Hati orang miskin itu sangat pilu. Tetapi ia tidak bisa melawan. Gubuk dan tanah itu bukan miliknya lagi. Sudah menjadi milik orang kaya itu. Ia tidak punya hak apa-apa lagi terhadap gubuk dan tanah itu.

Sering kali kita merasa bahwa yang kita milik saat ini adalah segala-galanya. Tidak ada yang lebih indah atau bagus daripada yang kita miliki. Ini yang namanya kita melihat diri hanya dari satu perspektif. Sebenarnya masih ada perspektif-perspektif lain yang perlu dilihat, agar kita dapat kembangkan diri kita secara utuh.

Untuk itu, kita butuh orang lain untuk melihat diri kita dari sudut pandang yang lain. Orang akan melihat baik dan buruk diri kita dari sisi yang lain. Kalau hal ini kita terima, akan sangat membantu kita dalam proses pertumbuhan kepribadian kita. Hal ini menjadi sumbangan yang besar bagi hidup kita.

Karena itu, kita butuh keterbukaan hati untuk menerima semua penilaian terhadap diri kita. Hanya melalui hati yang terbuka kita dapat mengembangkan diri kita secara utuh.

Setiap hari kita berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangakn pribadi kita. Ada orang yang menyoroti aspek hidup batin kita yang mungkin labil. Ada yang menilai aspek relasi kita yang kurang harmonis dengan sesama di sekitar kita. Ada yang memberi pujian terhadap setiap perbuatan baik yang kita lakukan untuk sesama kita. Semua itu menjadi sarana bagi kita untuk mengembangkan hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

377
Bagikan

13 Mei 2010

Menemukan Arti Hidup





Ada seorang guru besar dari sebuah universitas terpandang belum puas dengan hidupnya. Ia masih mencari arti hidup itu sesungguhnya bagi dirinya. Memang, dia sudah menguasai bidang ilmunya dengan sangat baik. Harta, dia punya. Istri dan anak-anak dia sudah punya. Persoalan baginya adalah arti hidup itu.

Karena itu, suatu hari guru besar itu memutuskan untuk melakukan suatu perjalanan jauh. Ia ingin menemukan arti hidup itu. Ia meninggalkan istri dan anak-anaknya dengan menulis pesan singkat di atas secarik kertas, “Jangan cari saya.”

Setelah beberapa tahun dan ribuan kilometer berjalan, guru besar itu tiba di sebuah gubuk seorang pertapa yang terkenal kudus. Guru besar itu meminta kepada sang pertapa agar memberikan keterangan. Orang kudus itu mengundang sang guru besar itu masuk ke dalam tempat tinggalnya yang sederhana. Ia menyuguhkan secangkir teh kepadanya.

Pertapa itu mengisi cangkir tehnya sampai penuh, malah sampai tumpah di lantai. Guru besar itu memperhatikan terus ulah sang pertama sampai akhirnya dia tidak bisa menahan diri. Lalu guru besar itu berteriak, “Berhenti! Itu sudah penuh! Tidak ada lagi teh yang dapat masuk.”

Pertapa itu tidak peduli. Ia mengisi terus cangkir teh itu. Lantai penuh dengan air. Guru besar itu tidak sabar menyaksikan ulah sang pertapa itu.

Guru besar itu menatap wajah pertapa itu dan berkata, “Berhenti, pak pertapa. Lantai ini sudah terlalu penuh dengan air. Tidak usah buang-buang teh.

Sang pertapa itu lantas memandang wajah guru besar yang tampak panik itu. Dengan penuh kesabaran, ia tersenyum kepada guru besar itu. Lalu ia berkata, “Seperti cangkir ini, demikian juga dirimu. Engkau sudah penuh dengan pendapatmu sendiri dan gagasan-gagasanmu. Bagaimana saya dapat mengajarkan kepada Anda tentang arti hidup, kalau engkau tidak mengosongkan cangkir dirimu?”

Guru besar itu terperanjat mendengar kata-kata bijak sang pertapa itu. Ia sadar, situasi itulah yang melingkupi dirinya selama ini. Ia terlalu memaksakan kehendak kepada orang lain. Ia selalu merasa menang sendiri, karena ia seorang guru besar yang sangat ahli. Ia kurang mendengarkan pandangan orang lain.

Kita sering bersikap seperti guru besar itu. Kita menutup telinga kita rapat-rapat untuk setiap bentuk nasihat atau pandangan dari orang lain tentang diri kita. Bagi kita, pendapat kita yang paling benar. Pandangan orang lain tentang diri kita tidak bermanfaat apa-apa.

Karena itu, sebagai orang yang beriman kepada Tuhan, kita perlu mengubah persepsi tentang kehidupan kita. Kita perlu mengosongkan cangkir-cangkir diri kita. Lantas kita biarkan gagasan-gagasan yang baik masuk ke dalam diri kita.

Setiap hari kita mengalami begitu banyak hal baik. Ada begitu banyak orang yang mau ikut terlibat dalam pergulatan hidup kita. Mereka memberikan nasihat, pengarahan dan gagasan-gagasan yang baik bagi pertumbuhan kepribadian kita. Kita mensyukuri semua itu. Tuhan bekerja melalui orang-orang di sekitar kita. Tuhan membantu pertumbuhan hidup kita melalui orang-orang di sekitar kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

376
Bagikan

12 Mei 2010

Tuhan Hadir dalam Kegelapan Hidup


Pada suatu malam sebuah rumah terbakar. Api berkobar begitu hebat. Semua anggota keluarga itu sudah keluar rumah. Tinggal salah seorang anak yang masih terperangkap di dalam rumah itu. Ayahnya tidak berani masuk kembali ke dalam rumah, karena kobaran api yang begitu hebat.

Tetapi anak itu mendapat akal. Ia berhasil melarikan diri ke atas atap rumah yang belum terbakar. Melihat anaknya berada di atas atap, ayahnya memanggil-manggil namanya. Ia mengulurkan tangannya dan berkata, “Lompat! Saya akan menangkap engkau.”

Bapak itu sadar bahwa anaknya hanya bisa selamat, kalau ia berani melompat dari atas atap itu. Namun yang dilihat oleh anaknya hanyalah api, asap dan kegelapan. Anak itu sangat kebingungan. Ia mendengar suara ayahnya, tetapi bagaimana ia bisa terjun dari atas atap itu?

Ayahnya berteriak lagi, “Lompat anakku! Saya siap menangkap engkau.”

Anak itu ragu-ragu. Apalagi ia tidak bisa melihat ayahnya. Anak itu berteriak, “Bagaimana saya bisa melompat, kalau saya tidak bisa melihat ayah?”

Jawab ayahnya, “Lompat saja. Dan engkau akan selamat di tangan ayah. Jangan takut.”

Anak itu pun memberanikan diri untuk melompat. Tangan ayahnya telah terulur. Ia pun merangkul anaknya yang selamat dari bahaya api yang kian membesar.

Mukjijat sering terjadi dalam situasi kepepet. Yang dibutuhkan dari sikap seseorang adalah sikap iman. Artinya, orang mesti berani melangkahkan kaki meski dalam suasana yang mengancam hidupnya. Dalam hidup ini orang mesti berani melompat, kalau suasana hidup semakin kusut. Orang mesti berani meninggalkan rutinitas hidupnya dan mencari cara-cara baru untuk meraih kesuksesan.

Banyak orang dapat meraih kesuksesan berkat keberanian untuk melakukan suatu inovasi terhadap bidang-bidang kehidupan yang baru. Untuk itu, orang tidak bisa hanya mengandalkan apa yang sudah ada dan sudah berjalan secara rutin itu. Orang mesti berani berubah. Namun tidak berarti orang memiliki sikap plinplan, sikap yang berubah-ubah.

Iman akan Tuhan itu juga mesti membuat orang berani keluar dari kehidupan yang biasa-biasa saja. Kalau orang hidup bertahun-tahun dalam kondisi kemiskinan yang berat, ia mesti berani mencari jalan lain untuk keluar dari kemiskinan itu. Tentu sebagai orang beriman, jalan lain itu jalan yang benar. Cara-cara yang tulus. Bukan melalui kecurangan-kecurangan.

Rasanya setiap hari kita sudah berusaha keras untuk berubah. Mungkin ada di antara kita yang telah menemukan cara-cara yang baik untuk keluar dari rutinitas hidup kita. Mungkin ada yang sudah menemukan contoh-contoh yang cespleng untuk membangun suatu hidup yang lebih baik.

Atau mungkin ada yang masih kesal terhadap dirinya sendiri, karena belum mampu menemukan jalan baru menuju kesuksesan. Untuk hal ini, orang seperti ini membutuhkan suatu lompatan dalam hidupnya. Ia perlu meninggalkan cara hidup lamanya yang membosankan. Ia perlu mengubah diri, agar meraih suatu hidup yang lebih baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

375
Bagikan

11 Mei 2010

Berusaha Hidup baik di Hadapan Tuhan






Seorang pelukis keliling berhenti di suatu kota kecil sambil berharap akan memperoleh pekerjaan untuk hari itu. Salah seorang kliennya terkenal sebagai seorang pemabuk di kota itu. Dia kotor. Janggutnya semrawut. Pakaiannya sangat kumal.

Begitu melihat pelukis keliling itu, dia duduk di depan pelukis itu. Dia meminta untuk dilukis sesuai dengan segala gaya yang dia inginkan. Kadang-kadang ia memiringkan kepalanya sambil tersenyum. Kadang-kadang ia berjongkok dan berkacak pinggang. Sementara pelukis itu terus melukisnya.

Setelah jadi, ia menyerahkan lukisan itu kepada pemabuk itu. Setelah beberapa lama mengamati lukisan itu, ia berteriak, “Ini bukan saya!”

Soalnya, hasil lukisan itu sangat berbeda dengan kondisi wajahnya saat itu. Wajah pemabuk di lukisan itu sangat rapih. Karena itu, ia protes. Tidak biasanya ia tampil rapih seperti di lukisan itu.

Pelukis itu berkata kepadanya, “Pak, itu wajah bapak yang sebenarnya. Apa yang bapak ekspresikan selama ini hanyalah pelampiasan dari kondisi hidup bapak.”

Pemabuk itu berkata dengan sangat heran, “Apa? Ini kondisi hidup saya yang seharusnya? Tetapi tidak ada yang mau peduli terhadap hidup saya. Istri saya selalu melecehkan saya. Dia acuh tak acuh terhadap saya.”

Pelukis itu memandang wajah pemabuk itu dalam-dalam. Ia menyaksikan sinar mata yang begitu jujur dari pemabuk itu. Lalu ia berkata, “Kalau bapak ingin orang lain peduli terhadap bapak, bapak semestinya peduli terhadap diri sendiri.”

Pemabuk itu langsung memeluk pelukis itu. Ia menangis sejadi-jadinya. Beberapa saat kemudian, ia berkata, “Saya mau jadi seperti lukisan wajah saya ini.” Ia pun memeluk erat lukisan itu di dadanya.

Banyak persoalan hidup yang kita hadapi semestinya tidak membuat kita frustrasi. Masih ada begitu banyak jalan dan cara bagi kita untuk menghadapi setiap persoalan hidup kita. Frustrasi hanya akan membuat hidup kita semakin suram. Karena itu, orang mesti menghadapi setiap persoalan hidupnya dengan siasat-siasat yang baik.

Sebagai orang beriman, kita mesti tetap berpegang teguh pada iman kita akan Tuhan. Tuhan telah mempercayakan hidup ini kepada kita untuk kita kembangkan. Untuk itu, orang mesti senantiasa mengembangkan hidupnya. Inilah bagian dari iman. Orang yang membiarkan kemampuan dan bakat-bakatnya tidak dikembangkan sebenarnya memiliki iman yang dangkal. Ada sedikit persoalan datang menghadang, dia sudah takut, cemas lalu lari dari hadapan Tuhan.

Mari kita kuatkan hidup kita. Mari kita berserah diri kepada Tuhan dengan hidup baik di hadapanNya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
374

Bagikan

10 Mei 2010

Memaknai Peristiwa-peristiwa Sederhana



Ada seorang bapak yang sudah lama menderita sakit kusta. Penyakit itu datang ketika ia masih berusia 21 tahun, tiga tahun setelah menikah. Ia ingin sekali disembuhkan, entah dengan cara apa pun. Suatu hari datang ke kotanya seorang tabib yang terkenal dengan penyembuhan-penyembuhan yang sangat sederhana. Misalnya, ada orang yang bisa dia sembuhkan hanya dengan minum air putih yang diberikan kepadanya.

Bapak yang menderita kusta itu pun datang ke tempat praktek tabib itu. “Pak Tabib, apa Anda bisa menyembuhkan sakit saya?” tanya bapak itu.

Jawab tabib itu, “Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Kalau Tuhan menghendaki Anda sembuh, Anda pasti bisa sembuh.”

Bapak itu tidak begitu saja percaya kepada tabib itu. Pasalnya, sudah berbagai obat ia gunakan untuk menyembuhkan penyakitnya. Tetapi hingga sekarang belum terjadi perubahan apa-apa pada dirinya. Segala nasihat sudah ia ikuti, tetapi penyakitnya tetap ada.

Namun dalam keraguan itu, ia bertanya lagi,” Jadi apa yang harus saya lakukan?”

“Untuk penyakit bapak, bapak cukup tujuh kali mandi di sungai di belakang rumah bapak,” jawab tabib itu.

“Sesederhana itu? Mana mungkin! Saya tidak percaya,” seru bapak itu.

Istri bapak yang duduk di sampingnya menariknya keluar tempat praktek tabib itu. “Pak, kenapa bapak berkata begitu? Bapak semestinya mengikuti petunjuk tabib itu,” kata istrinya.

“Ah, sudahlah. Itu hanya omong kosong murahan. Sudah begitu banyak uang yang kita habiskan untk penyakit saya. Lalu datang petunjuk murahan seperti itu kamu percaya?” kata bapak itu dengan wajah yang penuh marah.

Istrinya terus-menerus memberi pengertian kepadanya. Ia terus-menerus membujuknya. “Pak, kalau tabib itu menyuruhmu untuk melakukan sesuatu yang jauh lebih sulit, bapak akan buat juga kan? Karena itu, seharusnya bapak melaksanakan nasihat yang sangat sederhana itu,” kata istrinya.

Bapak itu masih ragu-ragu. Berulang kali ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kalau bapak mandi di sungai itu dan tidak sembuh toh tidak apa-apa. Tidak ada biaya yang kita keluarkan untuk itu, pak. Itu perbuatan yang sangat sederhana. Yang dibutuhkan hanyalah kepercayaan, pak,” kata istrinya, meyakinkan suaminya.

Suaminya menyerah. Ia melakukan nasihat tabib itu. Setelah tujuh kali mandi di sungai itu, ia menjadi sembuh.

Seringkali hal yang sederhana dalam hidup kita berlalu begitu saja. Padahal hal-hal seperti itu sering berguna bagi perjalanan hidup kita. Yang dibutuhkan dari diri seseorang adalah keyakinan pada apa yang ia lakukan. Keyakinan itu dapat menyembuhkan hati orang yang sedang sedih. Keyakinan itu dapat membebaskan orang dari penyakit yang sudah puluhan tahun dideritanya.

Dari kisah tadi kita diajak untuk memaknai hal-hal atau peristiwa-peristiwa sederhana yang kita jumpai dalam hidup kita. Ada begitu banyak pengalaman sederhana yang sering berlalu begitu saja dari hadapan kita. Karena itu, mari kita bawa pengalaman sederhana itu dalam hidup kita. Biarlah pengalaman-pengalaman itu menjadi kekuatan baru bagi hidup kita besok. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

373


Bagikan

09 Mei 2010

Mendamba Kehidupan yang Damai, Tenteram, Aman





Seorang raja muda ingin menjadi orang baik, bijaksana dan memerintah rakyatnya menurut kehendak Tuhan. Dia mengumpulkan semua orang paling bijaksana dari seluruh kerajaan dan memerintahkan mereka untuk mengumpulkan semua kebijaksaan ke dalam buku-buku. Dengan demikian dia dapat membaca dan belajar sendiri bagaimana memerintah dengan baik.

Orang-orang bijaksana itu segera memulai pekerjaan raksasa itu. Sesudah tiga puluh tahun pekerjaan itu baru selesai. Satu barisan unta panjang membawa lima ribu jilid buku berjalan menuju istana. Pada saat itu, raja sudah berusia lima puluh tahun. Ia dipenuhi dengan banyak tugas dan rencana. Dia melihat unta-unta yang bermuatan buku-buku dan berkata, “Saya terlalu sibuk untuk membaca begitu banyak buku. Bawa semua buku ini kembali dan ringkaskan lagi untuk saya.”

Pekerjaan meringkaskan buku-buku itu memakan waktu lima belas tahun. Lantas orang-orang bijaksana itu dengan bangga menghasilkan lima ratus jilid. Ketika mereka menyerahkan kepada raja, ia berkata, “Masih terlalu banyak. Lima puluh cukup.”

Saat itu, banyak orang bijaksana telah meninggal dunia. Tetapi para pengganti mereka meneruskan karya itu. Dalam waktu sepuluh tahun mereka membawa lima puluh buku kepada raja.

Pada saat itu raja sudah tua dan kelelahan. Raja berkata, “Kamu harus dapat meringkaskannya ke dalam satu buku.”

Mereka dapat menyelesaikannya dalam waktu lima tahun. Tetapi ketika mereka membawa buku yang sangat berharga itu kepada raja, itu sudah terlambat. Raja sudah terbaring di dalam ranjang kematiannya.

Suatu pekerjaan yang bernilai akan lebih bernilai lagi kalau memiliki tepat guna. Sering kali orang menciptakan sesuatu yang bernilai harganya, tetapi hanya bisa disimpan untuk dirinya sendiri. Benda itu kemudian karat dan hancur oleh waktu. Tidak berguna bagi kehidupan manusia.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita ingin menciptakan sesuatu yang berguna bagi kehidupan kita. Kita ingin menciptakan damai, kerukunan dan ketenangan di tengah-tengah masyarakat. Kita yakin, melalui tiga hal ini kita dapat mencapai cita-cita membangun keluarga yang harmonis, aman, sejahtera dan tenteram.

Coba Anda bayangkan, kalau di sekitar Anda selalu terjadi keributan. Misalnya, selalu saja ada orang yang mabuk. Pasti Anda merasa tidak senang. Pasti Anda merasa terganggu oleh teriakan-teriakan orang yang mabuk di malam hari. Padahal di saat-saat seperti itu Anda sangat membutuhkan waktu untuk beristirahat dari segala kelelahan sepanjang hari.

Karena itu, sebagai orang beriman, kita diajak untuk menciptakan suatu kehidupan yang damai, tenteram, aman di sekitar kita. Untuk itu, orang berimanlah yang pertama-tama mesti menunjukkan keimanannya dengan hidup yang baik. Misalnya, selalu peduli terhadap lingkungan sekitar, selalu mau ikut berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.

Kalau hal-hal ini dilakukan, kehidupan yang lebih baik akan dapat tercapai. Orang berimanlah yang mesti memulainya dari lubuk hatinya yang terdalam. Mari kita bawa cita-cita kita untuk memiliki masyarakat yang baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


372

Bagikan

08 Mei 2010

Berusaha Tetap di Jalan yang Benar



Sudah lama seorang pemuda mengembara di sebuah hutan yang sangat lebat. Ia dapat menikmati indah dan nyamannya hutan. Suatu hari, ia ingin keluar dari hutan itu. Ia berkata dalam hati, “Sekarang saya yakin untuk menemukan jalan yang benar untuk keluar dari hutan ini.”

Namun hari itu ia tidak menemukan jalan keluar. Setelah berhari-hari mencari jalan keluar, ia tidak juga menemukan jalannya. Ia hampir putus asa. Namun di waktu malam ia melihat nyala obor yang berada jauh di depannya. Cahaya obor itu makin lama makin mendekat kepadanya. Dan akhirnya ia bertemu dengan orang yang membawa obor itu.

Awalnya pemuda itu merasa cemas. Ia takut kalau-kalau orang yang ia jumpai itu seorang perampok yang bermaksud merampas barang-barang miliknya. Meski begitu, ia berani bertanya kepada orang itu. “Saudara, maukah Anda mengatakan kepada saya jalan keluar dari hutan ini? Saya telah mengembara di dalam hutan ini beberapa minggu. Namun waktu saya mau keluar, saya tidak dapat menemukan jalan keluar,” kata pemuda itu.

Orang itu berkata kepadanya, “Saudara, saya juga tidak tahu jalan keluar, sebab saya juga tersesat. Tetapi inilah yang dapat saya katakan. Jangan lewati lagi jalan yang telah saya lalui ini. Sebab saya tahu bahwa itu bukan jalan keluar. Sekarang, marilah kita mencari bersama-sama jalan keluar dari hutan ini.”

Kadang-kadang orang tersesat dalam perjalanan. Pepatah kuno mengatakan, jangan malu bertanya, kalau Anda tersesat di jalan. Soalnya, mengapa orang bisa sesat di jalan? Ada banyak sebab. Mungkin orang sungguh-sungguh tidak tahu jalan yang benar. Mungkin ada orang yang kurang punya daya ingat tentang jalan. Akibatnya, setiap kali melewati jalan yang sama ia selalu tersesat. Atau ada juga yang kurang punya perhatian. Yang penting lewati saja suatu jalan.

Nah, kalau mau tidak tersesat, orang mesti memiliki strategi-strategi. Misalnya, menghafal tanda-tanda yang ada di jalan tersebut atau menghafal rumah-rumah yang ada di sekitar jalan itu. Atau membawa peta dalam kendaraan atau di saku baju.

Sebagai orang beriman, kita kadang-kadang juga tersesat. Kita tidak mengikuti ajaran agama yang sudah kita pelajari. Akibatnya, kita jatuh ke dalam dosa. Kita mudah tergoda oleh kesenangan-kesenangan duniawi. Untuk itu, kita butuh rambu-rambu.

Setiap hari kita sudah berjuang untuk tetap setia kepada Tuhan. Kesetiaan itu menjadi sangat bermakna, kalau kita tetap berada di jalan Tuhan. Kita tidak menyimpang ke jalan lain yang menjerumuskan kita. Karena itu, mari kita bangun hati yang bersih, agar kita tetap setia kepada Tuhan yang kita sembah. Tuhan selalu setia kepada kita dengan melindungi kita dari marabahaya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

371

Bagikan

07 Mei 2010

Berlaku Adil terhadap Sesama





Seorang tukang permata yang miskin, tetapi jujur dipenjarakan atas tuduhan kejahatan yang pernah dibuatnya. Dia ditempatkan di dalam sebuah penjara yang tinggi dan ketat terlindung di tengah pusat kota. Pada suatu hari, ketika dia sudah dipenjarakan berbulan-bulan, istrinya datang ke gerbang utama. Wanita itu mengatakan kepada para penjaga tentang suaminya, tukang permata yang miskin tetapi sangat saleh dan seorang pendoa. Dia akan hilang tanpa tikar sembahyangnya yang sederhana. Tidakkah mereka mengijinkan dia untuk memiliki satu-satunya harta ini? Para penjaga setuju, karena itu tidak merugikan dan memberikan kepadanya tikar sembahyang. Lima kali sehari dia membuka tikarnya dan berdoa.

Banyak minggu telah berlalu. Pada suatu hari tukang permata itu berkata kepada para penjaga, “Saya bosan duduk saja di sini dari hari ke hari tanpa berbuat sesuatu. Saya seorang tukang permata yang trampil. Bila tuan-tuan membiarkan saya memiliki potongan-potongan logam dan beberapa alat sederhana, saya akan membuat untuk Anda permata. Tuan-tuan dapat menjual itu di pasar untuk menambah gaji tuan-tuan yang rendah. Saya hanya meminta sedikit saja, sekedar mengisi waktu luang dan tetap mempertahankan ketrampilan saya.”

Para penjaga itu setuju. Hari-hari berlalu, menjadi minggu dan bulan. Pada suatu pagi yang cerah, ketika para penjaga sampai pada sel tukang permata, ternyata sel itu kosong. Tidak ditemukan tanda bagaimana dia dapat meloloskan diri. Beberapa waktu kemudian, penjahat yang sesungguhnya dipenjarakan. Tuduhan terhadap tukang permata itu memang palsu.

Pada suatu hari, di pasar kota, lama sesudah pelarian diri si tukang permata, salah seorang penjaga bertemu dengan mantan narapidana: tukang permata itu. Segera petugas penjara itu menjelaskan bahwa penjahat yang sebenarnya sudah tertangkap. Kemudian dia bertanya kepada tukang permata bagaimana dia dapat meloloskan diri. Tukang permata itu menceritakan kisah yang menarik.

Istrinya sudah pergi kepada arsitek utama yang merancang pembangunan penjara. Istrinya memperoleh dari arsitek itu denah pintu-pintu dan kunci-kunci sel. Kemudian denah itu disulam pada tikar sembahyang. Setiap hari ketika dia berdoa, kepalanya menyentuh denah itu. Perlahan, dia mulai melihat bahwa di dalam denah yang satu dan yang lainnya, ada rancangan kunci pintu selnya. Dari sisa-sisa logam dan dengan alat-alat sederhana, dia membentuk sebuah kunci dan melarikan diri. Penjaga itu sangat tercengang mendengar kisah itu. Luar biasa akal sang tukang permata.

Dari kisah ini kita diajarkan betapa manfaat kreatifitas dapat mengubah hidup manusia. Orang yang tidak bersalah mesti dilepaskan dari hukuman. Namun karena hukum tidak fair, maka orang yang tidak bersalah mesti menggunakan kelihaiannya untuk membebaskan diri.

Kita semua dipanggil untuk membebaskan diri dan sesama yang tidak bersalah dari kecurangan dan ketidakadilan yang sering terjadi di dunia ini. Tugas orang beriman adalah menegakkan keadilan bagi hidupnya dan bagi sesama. Pertanyaanya, sudahkah kita memperjuangkan kebenaran selama hari ini? Atau apakah kita terlibat dalam ketidakadilan terhadap sesama? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


Bagikan

06 Mei 2010

Berani Menyerahkan Diri


Ada seorang anak yang terperosok ke dalam sebuah danau. Ia berjuang mati-matian untuk keluar dari danau itu. Di tepi danau itu berdiri ibunya yang berteriak histeris. Ibunya sendiri tidak bisa membantunya, karena tidak bisa berenang. Ia ketakutan melihat anaknya yang masih berusia lima tahun itu meronta-ronta dari tengah danau itu.

Di samping ibu itu berdiri seorang lelaki kuat yang tampak acuh tak acuh terhadap keselamatan anak itu. Berulang kali ibu itu meminta lelaki itu untuk menyelamatkan anaknya, tetapi dia tetap tidak bergerak sedikit pun. Beberapa saat kemudian perjuangan anak itu mulai berkurang. Tenaganya mulai habis. Akhirnya, ia kehilangan tenaga dan muncul di permukaan air dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Pada saat itu, lelaki itu melompat ke dalam kolam itu dan menyelamatkan anak itu.

Ibu itu terheran-heran. Mengapa lelaki itu baru turun di saat anaknya sudah tidak berdaya? Setelah air dikeluarkan dari perut anaknya dan anaknya dapat bernafas kembali, ibu itu mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan lelaki itu.

Namun di dalam hati ibu itu masih tersimpan rasa penasaran. Ia pun bertanya, “Mengapa engkau tidak lebih cepat menyelamatkan anak saya?”

Lelaki itu menjawab, “Nyonya, saya tidak dapat selamatkan anakmu selama dia masih berjuang. Dia akan menenggelamkan kami berdua. Tetapi ketika dia semakin lemah dan berhenti berjuang, maka mudah bagi saya untuk menyelamatkannya.”

Ibu itu mengangguk-angguk, meski ia tidak dapat mengerti maksud lelaki itu. “Apa artinya berhenti berjuang baru bisa diselamatkan?” tanya ibu itu dalam hatinya.

Ketika orang masih bisa berjuang, ia tidak dapat menyerahkan hidupnya, nasibnya ke tangan orang lain. Perjuangan untuk mencapai sesuatu sering juga menyingkirkan orang lain. Atau suatu perjuangan untuk menggapai sesuatu dalam hidup dapat juga menjerumuskan sesama. Orang yang mau berjuang sendiri juga tidak akan menghasilkan banyak hal.

Karena itu, orang mesti berani menyerahkan hidup kepada sesama untuk dibantu agar dapat meraih kesuksesan dalam hidup. Orang yang ingin dibantu mesti percaya kepada orang yang dimintai bantuan itu. Kepercayaan itu penting artinya bagi yang membantu, karena ia akan membantu dengan segenap hati.

Bagi orang-orang beriman, penyerahan diri kepada Tuhan secara total menjadi suatu tuntutan yang mesti dijalani. Orang beriman mesti berani mempercayakan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan itu segalanya bagi orang beriman. Tuhan mampu menyelamatkan orang dari kemalangan hidupnya. Hanya Tuhan yang dapat memberi petunjuk yang jelas kepada manusia.

Sadar atau tidak, hari ini kita sudah berusaha untuk menyerahkan hidup kita kepada Tuhan. Kita merasa diri sebagai orang-orang yang tidak berdaya. Kita adalah makhluk yang terbatas. Karena itu, kita meminta bantuan dari Tuhan. Kita yakin, hanya Tuhan yang mampu memberi kita pertolongan.

Karena itu, mari kita serahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan, Sang Penolong sejati kita. Jangan tergoda oleh berbagai tawaran dunia yang menggiurkan yang sering membuat kita tidak berdaya. Kalau kita mau Tuhan membantu perjalanan hidup kita, kita mesti pasrah secara total kepadaNya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

369


Bagikan

05 Mei 2010

Mensyukuri Anugerah Tuhan


Ada seorang pemuda yang sedang mendalami hidup spiritual. Ia mendatangi seorang pertapa yang terkenal di kotanya. Kepada pertapa yang saleh itu, pemuda itu mengajukan permintaan, “Bapak Pertapa, tunjukkan kepadaku bagaimana saya dapat menemukan Tuhan.”

Pertapa itu bertanya, “Berapa besar kerinduanmu ini?” Pertapa itu menatap wajah pemuda itu dalam-dalam.

Orang muda itu menjawab, “Lebih dari apa pun di dunia ini.”

Pertapa itu membawa orang muda itu ke tepi sebuah danau yang ada di pekarangan pertapaan itu. Tanpa berkata apa-apa, pertapa itu masuk bersama pemuda itu ke dalam danau. Mereka masuk hingga ke leher mereka.

Kemudian pertapa itu mengangkat tangannya dan menekan kepala orang muda itu ke dalam air. Orang muda itu meronta-ronta. Ia berjuang untuk melepaskan diri dari tangan pertapa itu. Ia berteriak-teriak, agar pertapa itu melepaskan dirinya. Tetapi pertapa itu tidak melepaskan dirinya sampai ia hampir tenggelam.

Ketika mereka kembali ke pinggir danau, pertapa itu bertanya kepada pemuda itu, “Anakku, ketika engkau berada di dalam air, apa yang engkau inginkan lebih dari segala yang lain?”

Tanpa ragu-ragu pemuda itu menjawab, “Udara!”

Kata pertapa itu, “Baik, ketika engkau ingin menemukan Tuhan seperti engkau menginginkan udara, maka matamu akan terbuka terhadap keajaiban Tuhan.”

Tuhan senantiasa hadir dalam setiap langkah hidup kita. Seringkali kita tidak merasakannya. Ia hadir seperti udara yang secara otomatis kita hirup untuk kehidupan kita. Sering kita tidak peduli bahwa Tuhan selalu menyertai kita dalam perjalanan hidup kita. Karena itu, di saat-saat kita mengalami kesulitan dan derita, kita seringkali menganggap Tuhan jauh dari kita. Tuhan tidak peduli lagi terhadap hidup kita.

Ada seorang suami yang tega mengkhianati cintanya kepada istri dan anak-anaknya. Ia tidak peduli terhadap pergulatan hidup mereka. Bahkan ia menghabiskan uangnya di meja judi. Ia membiarkan mereka terlantar. Padahal setiap kali ia pulang ke rumah, istri dan anak-anaknya menyambutnya dengan penuh kasih sayang.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi atas diri suami itu? Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam hidup. Sebagai orang beriman, kita meyakini bahwa Tuhan selalu membimbing langkah hidup manusia. Tuhan tidak pernah meninggalkan ciptaanNya berjuang sendirian di dunia ini.

Setiap hari kita mendapatkan begitu banyak berkat dari Tuhan. Dia memberi kita makan, minum, pakaian, semangat bekerja dan teman sekerja yang baik. Dia memberi kesempatan kepada kita semua untuk membangun suatu hidup yang lebih baik.

Karena itu, mari kita bersyukur atas anugerah Tuhan yang kita terima hari ini. Mari kita bawa setiap usaha kita hari ini di dalam kuasa Tuhan. Dengan demikian, kita selalu mendapat berkat untuk hari esok. Hari esok akan menjadi suatu kesempatan yang sangat bermakna bagi pertumbuhan iman kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


368

Bagikan

04 Mei 2010

Memiliki Kepekaan terhadap Sesama

Setelah terjadi hujan lebat yang mendatangkan banjir dan menghanyutkan puluhan rumah penduduk di daerah kumuh, seorang pendeta datang mengunjungi tempat itu. Ketika tiba di daerah kumuh yang terkenal itu, pendeta itu melihat seorang anak berdiri telanjang di depan sebuah rumah. Dinding rumah yang terbuat dari sisa-sisa sampah itu telah hanyut dibawa banjir. Sekilas pandang, segala yang ada dalam rumah tersebut bisa dilihat tanpa hambatan apa pun, karena memang rumah tersebut tak berdinding. Dengan penuh rasa belas kasih pendeta itu bertanya, “Di mana ibumu?”

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut anak itu. Matanya memandang jauh ke depan. Namun pancaran matanya mengatakan bahwa ia tak memiliki masa depan yang jelas. Ia telah kehilangan segalanya. Kedua orangtuanya telah hanyut bersama banjir. Dan satu-satunya yang kini ia miliki cuma sebuah rumah tak berdinding, sebuah rumah tak beratap. Matanya jauh menatap sebuah kehampaan.

Sang pendeta seakan mendapat pukulan yang keras dalam batinnya. Kata-kata Sang Gurunya terdengar jelas di telinga pendeta itu, “Aku datang agar kamu memperoleh kepenuhan hidup.”

Namun apakah anak ini memperoleh kehidupan yang penuh? Suatu kepenuhan dalam kehampaan? Dalam kebisuannya, anak itu seakan berkata, “Aku butuh uluran tanganmu.”

Pendeta itu bertanya keras, “Apakah yang harus aku perbuat?” Peristiwa ini ternyata menjadi awal pertobatan pendeta tersebut, yang selanjutnya mengabdikan diri untuk hidup bersama kaum miskin, membantu mereka untuk bangun dan membantu diri sendiri.

Di sekitar kita ada begitu banyak orang yang kurang beruntung. Tentu itu bukan kehendak mereka untuk hidup dalam kemalangan dan kemiskinan. Mereka hidup dalam situasi terpaksa.

Ada seorang bupati yang sangat memiliki perhatian bagi rakyatnya yang menderita. Ia membuat program-program untuk mengentas kemiskinan di wilayahnya. Dia menggunakan dana taktis yang biasanya dikucurkan setiap tahun. Jadilah para tukang becak di wilayah kabupatennya dapat memiliki rumah sederhana melalui kredit murah. Ia juga memberi beasiswa bagi anak-anak miskin. Bahkan ia membebaskan biaya sekolah bagi warganya sampai sembilan tahun. Cita-citanya adalah setiap warga di kabupatennya memiliki hidup yang lebih baik.

Tentu hal seperti ini sungguh luar biasa. Seorang pemimpin mesti memiliki kepekaan terhadap sesamanya. Seorang pemimpin mesti memperhatikan sesamanya yang menderita. Dan caranya adalah dengan membuat program-program kerja yang dapat mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Setiap hari Anda sudah bekerja keras untuk keluarga Anda. Pertanyaannya, apakah di sela-sela kesibukan Anda, Anda masih memiliki hati bagi sesama yang kurang beruntung? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

367

Bagikan