Suatu malam, seorang bapak didatangi oleh temannya. Ia berkata kepada bapak itu, “Ada sebuah keluarga dengan delapan anak. Mereka belum makan selama beberapa hari.”
Bapak itu sangat terkejut mendengar berita itu. Ia meminta istrinya untuk menyiapkan makanan secukupnya untuk sepuluh orang. Kemudian ia dan temannya itu menuju keluarga yang dimaksud.
Ketika tiba di rumah itu, bapak itu menyaksikan wajah-wajah bocah yang muram dan pucat karena kelaparan. Namun tidak tampak derita atau kesedihan di wajah mereka. Yang tampak hanya rasa sakit yang mendalam karena lapar.
Bapak itu lalu memberikan makanan itu kepada ibu keluarga itu. Namun ia malah membaginya menjadi dua. Lalu dengan sisa-sisa tenaganya ia keluar rumah sambil membawa setengah dari makanan itu. Sementara itu, anak-anaknya makan makanan yang diberikan bapak itu.
Ketika ibu itu kembali, bapak itu bertanya, “Dari mana?”
Sang ibu menjawab dengan lugu, “Ke rumah tetangga saya. Mereka juga lapar.”
Bapak itu sangat terkejut, bukan karena ibu itu memberikan makanan itu kepada tetangganya. Atau bukan karena orang miskin biasanya dermawan. Tetapi karena ia tahu bahwa tetangganya juga lapar. Padahal biasanya kalau seseorang sedang menderita orang begitu memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ia tidak sempat memikirkan orang lain yang juga menderita.
Betapa mulia perbuatan ibu itu. Ia masih memiliki kepekaan terhadap sesamanya yang menderita. Sikap empatinya masih bekerja di dalam hatinya, sehingga ia mampu berbagi dengan sesama yang menderita. Tentu saja perbuatan ibu itu patut dicontoh di jaman kini. Mengapa? Karena tampaknya sikap empati terhadap sesama yang menderita kian luntur.
Kita bisa menyaksikan sikap empati yang luntur ini pada saat bencana alam menimpa suatu wilayah. Banyak orang mulai berinisiatif untuk menggalang dana. Mereka berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara.
Tetapi kemudian yang terjadi adalah bantuan bagi korban bencana tidak datang-datang juga. Padahal para korban bencana sangat membutuhkan uluran kasih dari sesamanya. Lalu ke mana hasil penggalangan dana itu? Ternyata sebagian besar sudah habis dipakai untuk kepentingan pribadi. Atau bantuan yang mulai berdatangan itu dipakai untuk orang atau kelompok tertentu saja, tidak untuk korban bencana alam. Kalau hal seperti ini terus-menerus terjadi, berarti ini suatu potret memilukan dari bangsa ini. Bangsa ini sudah kehilangan rasa empati dan solidaritas terhadap sesamanya.
Setiap hari kita berjuang semaksimal mungkin untuk kelanjutan hidup kita. Banyak hal kita raih dalam hidup ini. Satu hal yang masih perlu kita kembangkan adalah sikap empati dengan mereka yang kurang beruntung.
Karena itu, kita mohon kekuatan dari Tuhan, agar kita boleh memiliki sikap empati itu. Mari kita bawa semua pengalaman hidup kita sepanjang dalam perjalanan hidup kita. Kita persembahkan semua itu kepada Tuhan. Biarlah Tuhan menguatkan kita dengan rahmat dan anugerahNya. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
382
Bagikan
Bapak itu sangat terkejut mendengar berita itu. Ia meminta istrinya untuk menyiapkan makanan secukupnya untuk sepuluh orang. Kemudian ia dan temannya itu menuju keluarga yang dimaksud.
Ketika tiba di rumah itu, bapak itu menyaksikan wajah-wajah bocah yang muram dan pucat karena kelaparan. Namun tidak tampak derita atau kesedihan di wajah mereka. Yang tampak hanya rasa sakit yang mendalam karena lapar.
Bapak itu lalu memberikan makanan itu kepada ibu keluarga itu. Namun ia malah membaginya menjadi dua. Lalu dengan sisa-sisa tenaganya ia keluar rumah sambil membawa setengah dari makanan itu. Sementara itu, anak-anaknya makan makanan yang diberikan bapak itu.
Ketika ibu itu kembali, bapak itu bertanya, “Dari mana?”
Sang ibu menjawab dengan lugu, “Ke rumah tetangga saya. Mereka juga lapar.”
Bapak itu sangat terkejut, bukan karena ibu itu memberikan makanan itu kepada tetangganya. Atau bukan karena orang miskin biasanya dermawan. Tetapi karena ia tahu bahwa tetangganya juga lapar. Padahal biasanya kalau seseorang sedang menderita orang begitu memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ia tidak sempat memikirkan orang lain yang juga menderita.
Betapa mulia perbuatan ibu itu. Ia masih memiliki kepekaan terhadap sesamanya yang menderita. Sikap empatinya masih bekerja di dalam hatinya, sehingga ia mampu berbagi dengan sesama yang menderita. Tentu saja perbuatan ibu itu patut dicontoh di jaman kini. Mengapa? Karena tampaknya sikap empati terhadap sesama yang menderita kian luntur.
Kita bisa menyaksikan sikap empati yang luntur ini pada saat bencana alam menimpa suatu wilayah. Banyak orang mulai berinisiatif untuk menggalang dana. Mereka berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara.
Tetapi kemudian yang terjadi adalah bantuan bagi korban bencana tidak datang-datang juga. Padahal para korban bencana sangat membutuhkan uluran kasih dari sesamanya. Lalu ke mana hasil penggalangan dana itu? Ternyata sebagian besar sudah habis dipakai untuk kepentingan pribadi. Atau bantuan yang mulai berdatangan itu dipakai untuk orang atau kelompok tertentu saja, tidak untuk korban bencana alam. Kalau hal seperti ini terus-menerus terjadi, berarti ini suatu potret memilukan dari bangsa ini. Bangsa ini sudah kehilangan rasa empati dan solidaritas terhadap sesamanya.
Setiap hari kita berjuang semaksimal mungkin untuk kelanjutan hidup kita. Banyak hal kita raih dalam hidup ini. Satu hal yang masih perlu kita kembangkan adalah sikap empati dengan mereka yang kurang beruntung.
Karena itu, kita mohon kekuatan dari Tuhan, agar kita boleh memiliki sikap empati itu. Mari kita bawa semua pengalaman hidup kita sepanjang dalam perjalanan hidup kita. Kita persembahkan semua itu kepada Tuhan. Biarlah Tuhan menguatkan kita dengan rahmat dan anugerahNya. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
382
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.