Ada seorang guru besar dari sebuah universitas terpandang belum puas dengan hidupnya. Ia masih mencari arti hidup itu sesungguhnya bagi dirinya. Memang, dia sudah menguasai bidang ilmunya dengan sangat baik. Harta, dia punya. Istri dan anak-anak dia sudah punya. Persoalan baginya adalah arti hidup itu.
Karena itu, suatu hari guru besar itu memutuskan untuk melakukan suatu perjalanan jauh. Ia ingin menemukan arti hidup itu. Ia meninggalkan istri dan anak-anaknya dengan menulis pesan singkat di atas secarik kertas, “Jangan cari saya.”
Setelah beberapa tahun dan ribuan kilometer berjalan, guru besar itu tiba di sebuah gubuk seorang pertapa yang terkenal kudus. Guru besar itu meminta kepada sang pertapa agar memberikan keterangan. Orang kudus itu mengundang sang guru besar itu masuk ke dalam tempat tinggalnya yang sederhana. Ia menyuguhkan secangkir teh kepadanya.
Pertapa itu mengisi cangkir tehnya sampai penuh, malah sampai tumpah di lantai. Guru besar itu memperhatikan terus ulah sang pertama sampai akhirnya dia tidak bisa menahan diri. Lalu guru besar itu berteriak, “Berhenti! Itu sudah penuh! Tidak ada lagi teh yang dapat masuk.”
Pertapa itu tidak peduli. Ia mengisi terus cangkir teh itu. Lantai penuh dengan air. Guru besar itu tidak sabar menyaksikan ulah sang pertapa itu.
Guru besar itu menatap wajah pertapa itu dan berkata, “Berhenti, pak pertapa. Lantai ini sudah terlalu penuh dengan air. Tidak usah buang-buang teh.
Sang pertapa itu lantas memandang wajah guru besar yang tampak panik itu. Dengan penuh kesabaran, ia tersenyum kepada guru besar itu. Lalu ia berkata, “Seperti cangkir ini, demikian juga dirimu. Engkau sudah penuh dengan pendapatmu sendiri dan gagasan-gagasanmu. Bagaimana saya dapat mengajarkan kepada Anda tentang arti hidup, kalau engkau tidak mengosongkan cangkir dirimu?”
Guru besar itu terperanjat mendengar kata-kata bijak sang pertapa itu. Ia sadar, situasi itulah yang melingkupi dirinya selama ini. Ia terlalu memaksakan kehendak kepada orang lain. Ia selalu merasa menang sendiri, karena ia seorang guru besar yang sangat ahli. Ia kurang mendengarkan pandangan orang lain.
Kita sering bersikap seperti guru besar itu. Kita menutup telinga kita rapat-rapat untuk setiap bentuk nasihat atau pandangan dari orang lain tentang diri kita. Bagi kita, pendapat kita yang paling benar. Pandangan orang lain tentang diri kita tidak bermanfaat apa-apa.
Karena itu, sebagai orang yang beriman kepada Tuhan, kita perlu mengubah persepsi tentang kehidupan kita. Kita perlu mengosongkan cangkir-cangkir diri kita. Lantas kita biarkan gagasan-gagasan yang baik masuk ke dalam diri kita.
Setiap hari kita mengalami begitu banyak hal baik. Ada begitu banyak orang yang mau ikut terlibat dalam pergulatan hidup kita. Mereka memberikan nasihat, pengarahan dan gagasan-gagasan yang baik bagi pertumbuhan kepribadian kita. Kita mensyukuri semua itu. Tuhan bekerja melalui orang-orang di sekitar kita. Tuhan membantu pertumbuhan hidup kita melalui orang-orang di sekitar kita. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
376
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.