Suatu sore seorang bapak menuntun anaknya yang baru berusia delapan tahun untuk berlatih sepeda di sebuah lapangan. Sepeda itu baru dibelikan ayahnya sebagai hadiah ulang tahunnya. Anak itu sangat senang, karena dia boleh naik sepeda.
Awalnya, ayahnya terus memegangi sadel sepeda, agar anaknya tidak jatuh. Tiga empat kali ayahnya melakukan hal yang sama. Anaknya belum jatuh. Kali kelima ia melepaskan tangannya dari sepeda. Anaknya sendirian di atas sepeda. Belum seberapa jauh, anaknya terjatuh. Ayahnya membiarkan saja. Anaknya bangun lalu naik lagi sepeda itu. Tidak seberapa jauh, ia jatuh lagi. Ia menengok ke arah ayahnya yang sedang tersenyum memandangnya. Anak itu bangun lagi dan meneruskan latihannya.
Jatuh pada kali yang kesepuluh, lutut anak itu memar. Ia meringis kesakitan. Tetapi ia bangun lagi begitu melihat ayahnya tersenyum kepadanya. Akhirnya, anak itu dapat mengendarai sepeda barunya hari itu juga.
Setelah pulang ke rumah, anak itu bertanya kepada ayahnya, “Mengapa ayah tidak menolong saya waktu saya jatuh? Mengapa ayah malah menertawakan saya?”
Sambil tersenyum lebar, ayahnya menjawab, “Kalau ayah terus-menerus memegangi sepeda, kamu tidak akan pernah bisa naik sepeda. Kalau kamu belum jatuh dari sepeda, kamu belum bisa naik sepeda dengan baik.”
Anak itu tercengang akan kebijaksanaan ayahnya. Ia dapat mengendarai sepeda, karena ia pernah mengalami jatuh. Memang terasa sakit, bahkan lutut sampai memar. Tetapi derita itu telah mendatangkan sukacita. Cita-citanya dapat ia raih. Dapat naik sepeda dalam satu hari.
Kadang-kadang hidup ini dilalui dengan trial dan error. Orang mesti berani mencoba sesuatu yang ingin dijalaninya, apa pun sulitnya. Jatuh dan bangun dalam kehidupan itu biasa. Bahkan jatuh dan bangun dalam iman itu hal yang lumrah. Kesucian, kekudusan tidak diraih dengan berpangku tangan. Orang mesti memperjuangkannya dalam hidup sehari-hari.
Orang yang ingin mengalami keberhasilan dalam hidup mesti berani pula mengalami sakit, karena pengalaman jatuh. Ada seorang teman yang dua kali gagal dalam ujian akhirnya. Tetapi ia terus berjuang sampai ujian yang ketiga kali baru lulus. Tetapi dalam hidup sehari-hari ia menjadi orang yang bijaksana dan sukses. Ternyata ia belajar dari kegagalan itu. Ilmu yang ia pelajari dapat ia terapkan dengan sangat baik dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu, kita jangan dihantui oleh kegagalan. Bagi kita, kegagalan itu hal yang biasa dalam hidup kita. Soalnya adalah apakah kita berani bangkit dari kegagalan atau tidak? Orang yang beriman mesti berani bangkit dari kegagalannya. Orang yang beriman itu bukan orang yang hanya meringis kesakitan lalu lari dari kegagalannya. Orang beriman mesti menegakkan kepala untuk meraih kesuksesan yang tertunda.
Ada di antara kita yang mungkin mengalami kegagalan dalam usahanya. Kita mendorong mereka untuk tetap bangkit. Hanya dengan bangkit, mereka dapat meraih kesuksesan. Ada di antara kita yang meraih kesuksesan pada hari ini. Kita berhadap bahwa mereka tidak cepat puas dan berhenti berjuang. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
389
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.