Konon ada seorang raja di timur tengah yang sangat lalim. Ia begitu kecanduan akan kekuasaan bagai dewa, sampai dia tidak segan-segan menjatuhkan hukuman mati kepada ayahnya sendiri. Ia tidak peduli terhadap siapa pun. Baginya, yang penting ia dapat memenuhi keinginan hatinya untuk melakukan sesuatu, ia akan lakukan. Ia tidak peduli akibat dari perbuatannya.
Namun ia mesti membayar mahal atas perbuatan-perbuatan kejamnya itu. Suatu hari anak sulungnya menggerakkan tentara penjaga istana untuk melawan sang raja. Ia menangkap ayahnya, merantai dan menjebloskannya ke dalam penjara. Kemudian ia memerintahkan agar ayahnya dibawa menghadapnya.
Ia menuduh kejahatan dan kekejaman ayahnya dengan berkata, “Karena kamu telah membunuh ayahmu, saya akan menjatuhkan hukuman yang sama.”
Lantas ia memerintahkan tentara istana untuk membunuh ayahnya. Ayahnya meninggal setelah dimasukkan ke jurang yang sangat dalam. Ayahnya mati perlahan-lahan di dalam jurang itu.
Namun hukuman yang hampir sama menimpa anak sulung itu. Karena kekejamannya terhadap rakyat dan ayahnya, ia ditangkap, disiksa dan dihukum mati. Ngerinya lagi adalah ia juga dihukum mati oleh orang yang sangat dekat dengannya, yaitu istrinya sendiri. Istrinya tidak ingin melihat penderitaan rakyat yang berlarut-larut. Ia meminta salah seorang pengawal suaminya untuk membunuhnya.
Kalau Tuhan kita jadikan raja dalam hidup kita tentu tidak akan sekejam dua raja dalam kisah di atas. Tuhan kita pasti memerintah umatNya tidak dengan tangan besi. Pasti Tuhan memerintah dengan penuh kasih sayang. Mengapa? Yang dimiliki oleh Tuhan hanyalah kasih. Pada hakekatnya Tuhan itu kasih. Dengan kasih itu, Tuhan menghendaki agar kita berjuang menghidupkan kasih itu dalam hidup kita sehari-hari.
Tuhan yang adalah kasih itu ingin merepotkan diri untuk hadir di tengah-tengah umatNya. Tuhan itu tidak hanya tinggal jauh dalam singgasana surgawi. Tetapi Tuhan juga hadir dalam hati manusia. Ia hidup dan menggerakkan hati manusia untuk berbuat kasih bagi sesama. Karena itu, perbuatan baik kita manusia mesti berasal dari Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu. Kalau perbuatan kasih kita hanya didorong oleh keinginan manusiawi kita, maka yang timbul adalah balas dendam, iri, cemburu dan kompetisi yang tidak sehat. Tetapi kalau perbuatan baik kita sungguh-sungguh dilandasi oleh kasih Tuhan, saya yakin kita akan bertumbuh menjadi orang-orang yang tetap setia kepada Tuhan.
Karena itu, jabatan atau kedudukan yang kita miliki, apa pun bentuknya, mesti menjadi suatu bentuk ungkapan kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Jabatan atau kedudukan tidak dipakai hanya untuk keuntungan diri sendiri. Jabatan atau kedudukan itu mesti digunakan untuk kesejahteraan semua orang. Untuk itu, seorang yang beriman mesti menghindari kesewenang-wenangan. Orang yang beriman mesti mengandalkan kedudukannya atau jabatannya untuk memperjuangkan martabat dan kehormatan manusia. Ia tidak menindas sesamanya. Ia tidak menjadikan sesamanya sebagai obyek kekuasaan atau kedudukannya. Ia memandang sesamanya sebagai orang yang mesti diperjuangkan hak-haknya. Orang beriman itu aktif membela sesamanya yang menderita.
Mari kita terus-menerus berjuang untuk kesejahteraan manusia seutuhnya. Kita mau agar masyarakat kita menjadi suatu masyarakat yang damai, rukun dan saling membantu dalam semangat kasih dan persaudaraan. Tuhan yang hidup di dalam diri kita pasti akan menggerakkan usaha-usaha baik kita. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
365
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.