Pages

03 Januari 2011

Menyusun Strategi-stategi untuk Tahun Baru

Tadi pagi Johan agak sewot sama mamanya. Pasalnya, kemarin ia sudah merengek-rengek meminta dibelikan terompet, namun ditolak. Anak berusia sepuluh tahun itu kemudian meninggalkan rumahnya. Selama seharian ia pergi. Ia baru muncul di sore hari, ketika matahari sudah menuju peraduannya.

Menurut Johan, alasan yang dibuat ibunya itu hanya mengada-ada. Alasanya adalah sang ibu ingin menggunakan uang seefisien mungkin. Tidak untuk beli hal-hal yang kurang berguna. Apalagi hal-hal itu hanya untuk kesenangan sesaat. Johan tersinggung mendengar alasan ibunya itu. Ia ingin sekali bergembira. Ia ingin sekali bersukacita pada malam tahun baru. Ia ingin merayakannya bersama teman-teman sebayanya dengan meniup terompet pada malam tahun baru.

Keinginan Johan tak tercapai. Maksud hati ingin merayakan malam tahun baru dengan meriah. Tetapi ganjalan ekonomi keluarga membuat ia mesti mengikuti nasihat sang mama. Alasan itu membuat ia sedih. Ia sewot. Namun ia mesti berusaha untuk mengatasi kemarahannya. Mengapa? Karena itulah kenyataan hidupnya. Ia hanyalah anak seorang janda yang profesinya sebagai tukang cuci.

Johan kemudian sadar. Cara menyambut tahun baru tidak harus dengan meniup terompet. Tidak mesti dengan membuang-buang uang untuk membeli terompet. Ia dapat merayakan tahun baru bersama teman-temannya di rumah kontrakan ibunya yang sederhana itu. Artinya, ia dapat merayakannya dalam kesederhanaan.

Sahabat, berapa banyak dari kita yang merayakan tahun baru dengan gegap gempita? Berapa banyak dari kita yang menghabiskan sekian banyak uang untuk menyambut tahun baru? Dengan alasan untuk melepas tahun yang lama dan menyambut tahun baru, begitu banyak orang yang mengorbankan begitu banyak hal.

Kisah tadi mau mengingatkan kita bahwa tahun baru dapat dimaknai secara sederhana. Yang penting adalah suasana batin yang sungguh-sungguh bersih dan gembira. Yang penting adalah orang dapat memiliki suatu disposisi batin yang baik dan menyenangkan untuk menyambut tahun baru dengan penuh optimis.

Karena itu, kita dapat bertanya pada diri kita masing-masing tentang apa yang telah kita buat selama tahun yang silam. Apakah saya memiliki hati yang mudah tergerak oleh penderitaan sesama saya? Apakah saya mau peduli terhadap sesama yang hidup bersama saya? Apakah saya punya cinta yang lebih besar terhadap sesama saya? Atau apakah saya lebih mementingkan diri sendiri, sehingga egoisme justru menguasai diri saya?

Kalau kita sudah bertanya tentang apa yang telah kita buat setahun yang silam, kita juga boleh memiliki kiat-kiat untuk tahun yang baru ini. Sebagai orang beriman, kita ingin agar tahun yang baru memiliki makna yang mendalam bagi hidup kita. Karena itu, berpijak pada hal-hal baik yang telah kita buat selama tahun yang silam, kita ingin meraih sukses yang lebih besar di tahun yang baru. Untuk itu, kita mesti menyusun strategi-strategi yang tepat untuk meraih keinginan-keinginan kita. Tentu saja kita masih tetap menyertakan Tuhan dalam perjuangan kita. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

583

1 komentar:

sammy mengatakan...

Terima kasih, hal ini sangat bermanfaat baik saya sebagai pribadi - suami - bapak - saudara.Karena sering saya memaksakan kehendak dan ingin orang lain ikut, bila menuruti keinginan orang lain itu sering didasari rasa terpaksa - sulit melakukan pelayanan agar orang lain merasa senang sedangkan saya ikut karena terpaksa. Semoga renungan ini mampu merubah pemikiran saya selama ini.

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.