Apa yang akan Anda lakukan ketika seorang yang sangat dekat dengan Anda membuat hati Anda kesal? Anda menyingkirkannya? Atau Anda membantunya untuk memperbaiki dirinya menjadi lebih baik?
Ada seorang ibu yang kesal luar biasa. Pasalnya, anaknya telah menipu dirinya. Uang SPP yang seharusnya dibayarkan ke sekolah, digunakan sang anak untuk beli jajan. Anaknya mentraktir teman-temannya makan di restoran. Akibatnya, tagihan untuk SPP sang anak membengkak.
Padahal ibu itu bukan seorang yang kaya. Ia seorang perempuan biasa yang hidup dari jualan makanan di pinggir jalan. Ia mesti bangun pagi-pagi untuk menyiapkan jualannya. Tidak ada orang yang membantunya, karena sudah lama suaminya meninggal dunia. Ia mesti menanggung hidup tiga orang anaknya.
Karena itu, ibu itu merasa sangat kesal begitu mendengar sang anak telah menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu. Ibu itu menunjukkan kekesalan hatinya dengan menghukum sang anak. Untuk sementara, ia tidak memberi uang jajan untuk sang anak. Sang anak harus menyatakan penyesalan atas kebodohan yang telah dilakukannya. Sang ibu juga memaksa anaknya untuk menjaga warung selama beberapa bulan sepulang dari sekolah.
“Ini sebagai pelajaran bagi kamu. Kamu harus sadar bahwa kita ini orang miskin. Kita harus hemat dalam hidup ini,” kata ibu itu.
Sahabat, kekesalan boleh saja hadir dalam diri seseorang. Tentu saja ketika kekesalan itu sungguh-sungguh didasari oleh suatu alasan yang jelas dan kuat. Suatu kekesalan yang tidak didasari oleh alasan yang kuat hanyalah membuat hati orang sakit. Orang menjadi sulit untuk bertumbuh dalam iman akan Tuhan.
Bila kita jatuh dalam kegagalan atau dosa, kita mesti memeriksa kehidupan kasih kita. Yang mesti kita lakukan adalah duduk bersama Tuhan. Kita minta kepadaNya untuk menunjukkan kepada kita apakah kita sedang berselisih dengan seseorang atau kita merasa kesal. Jika kita merasa kesal, kita harus hati-hati, karena iblis dapat masuk dan membuat kita tersandung.
Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa sang ibu punya alasan yang kuat untuk mengungkapkan kekesalannya. Namun dalam kekesalan itu, ia juga berusaha untuk mendidik sang anak. Ia ingin agar sang anak menjadi orang yang baik. Ia ingin agar sang anak menemukan jalan yang benar dalam hidupnya. Dengan demikian, sang anak tidak tersandung dalam dosa.
Orang yang percaya senantiasa mendidik sesamanya untuk melakukan hal-hal yang baik dan benar. Orang beriman senantiasa mengutamakan hidup yang baik bagi sesamanya. Karena itu, setiap tindakannya menjadi kesempatan untuk memperbaiki hidup menjadi lebih baik. Tentu saja dasar dari semua itu adalah kasih terhadap sesama. “Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada di dalam terang dan di dalam dia tidak ada penyesatan” (1Yoh 2:10). Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
891
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.