Pages

17 Februari 2014

Berproses Menuju Kedewasaan

 
Banyak orang merasa bahwa hidup mereka menjadi aman, ketika umur mereka bertambah semakin tua. Mereka merasa bahwa itulah puncak kedewasaan bagi mereka. Benarkah demikian?

Ada seorang bapak yang punya emosi yang meledak-ledak. Apa saja yang ditujukan kepadanya selalu ditanggapi dengan emosi. Ia sangat marah, apabila ada orang yang mengkritik dirinya. Ia akan membenci orang yang mengkritik dirinya. Banyak orang menilai bahwa bapak ini tidak pernah dewasa dalam hidupnya. Orang yang dewasa itu orang yang tidak mudah terbakar emosinya. Justru orang yang dewasa itu semakin sabar dalam hidupnya.

Namun bapak ini tetap ngotot. Ia tidak mau dikatakan tidak dewasa. Ia yakin bahwa dirinya orang yang sudah dewasa. Apalagi ia sudah punya anak dan istri. Usianya pun sudah kepala lima. Ia berkesimpulan bahwa emosi yang ada dalam dirinya itu wajar-wajar saja. Itulah gaya hidupnya. Itulah yang ingin dilakoni selama perjalanan hidupnya.

“Dewasa tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari emosi yang ada dalam dirinya. Orang bisa menjadi dewasa dengan tetap memiliki emosi,” katanya.

Sahabat, menjadi dewasa merupakan dambaan seseorang. Ia tidak ingin dianggap sebagai anak kecil lagi. Tetapi menuju kedewasaan bukan proses yang instan. Orang butuh proses untuk menjadi semakin dewasa dalam hidupnya. Untuk itu, dalam prosesnya orang perlu banyak melangkah.

Kisah di atas memberi kita inspirasi untuk terus-menerus berusaha untuk menjadi semakin dewasa. Memang, orang tidak bisa menanggalkan seluruh emosi dirinya. Orang tetap membawa emosi dirinya itu dalam kehidupannya sehari-hari.

Yang penting adalah orang mampu mengolah emosi itu menjadi sesuatu yang berguna bagi hidupnya. Emosi itu bisa dikembangkan menjadi suatu kekuatan dalam perjalanan hidupnya. Bapak dalam kisah di atas tetap mempertahankan emosinya. Ia tetap terbakar emosinya. Ia tidak mau dikritik, ketika melakukan kesalahan. Tentu saja hal ini bisa menjadi suatu kerugian bagi dirinya. Semestinya ia mengolah emosinya menjadi suatu kekuatan bagi hidupnya.

Untuk itu, proses menuju dewasa itu membutuhkan langkah-langkah. Salah satu langkah dalam proses menuju dewasa adalah menerima tanggung jawab sebagai siapa kita. Kepribadian kita tidak dibentuk sepenuhnya oleh apa yang terjadi pada kita, tetapi pada bagaimana kita menjawab hal-hal yang ada di sekitar kita. Ada begitu banyak hal yang ditujukan kepada kita yang perlu kita jawab. Di sini kita dituntut untuk menjawab hal-hal itu dengan bijaksana. Mengapa? Karena hal ini menjadi ukuran dewasa tidaknya kita.

Misalnya, ketika ada kebencian ditujukan kepada kita, bagaimana kita bereaksi? Kalau ada kata-kata yang tajam dan menyakitkan ditusukkan kepada kita, bagaimana kita bereaksi? Kalau ada perlakuan tidak adil terhadap kita, bagaimana kita bereaksi? Banyak bentuk emosi diperlihatkan sebagai pilihan reaksi. Beberapa di antaranya tampak benar dan wajar-wajar saja. Misalnya, marah, kecewa dan sakit hati adalah reaksi alami dan paling umum dari seorang manusia.

Untuk itu, kita perlu mengolah terus-menerus kedewasaan diri kita. Tidak ada kata ‘berhenti’ dalam mengolah kedewasaan kita. Tidak ada kata ‘akhir’ dalam berproses menuju kedewasaan itu. Mari kita terus-menerus berproses dalam kehidupan ini. Dengan demikian, hidup kita menjadi semakin dewasa. Tuhan memberkati. **





Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


1052

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.