Semua headline surat kabar Indonesia pada 16 September 2008 lalu menampilkan peristiwa mengenaskan yang terjadi di Pasuruan, Jawa Timur, hari sebelumnya. Maksud hati berbuat baik. Tetapi yang terjadi justru menewaskan 21 jiwa. Warga Pasuruan berdukacita secara mendalam gara-gara berebut zakat sebesar Rp 30.000,-.
Sulit dibayangkan bahwa ribuan orang mesti berdesak-desakan untuk mendapatkan zakat itu. Sebenarnya bukan hal baru pembagian zakat yang dilakukan oleh seorang pengusaha ini. Sejak tahun 1980-an, pengusaha kulit yang sukses ini merelakan sebagian penghasilannya untuk mereka yang miskin.
Namun kali ini, pembagian zakat justru berakhir dengan maut. Dunia ini tampaknya begitu kejam. Maksud baik bisa berubah menjadi sesuatu yang mengerikan bagi kehidupan. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Tentu saja maksud baik pengusaha kulit itu tidak bisa disalahkan begitu saja. Ia sudah berusaha untuk memperhatikan sesamanya yang membutuhkan. Ia ingin berbuat amal bagi sesamanya yang kekurangan. Namun usahanya yang mulia itu justru berubah menjadi peristiwa mengenaskan. Jiwa manusia melayang. Jiwa manusia tidak bisa diselamatkan.
Situasi kemiskinan begitu mendera kehidupan manusia Indonesia. Mereka terlilit oleh kebutuhan yang begitu mendesak. Berbagai cara mereka tempuh untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Peristiwa pembagian zakat di Pasuruan menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Kebutuhan pokok hidup manusia mesti dipenuhi. Kalau tidak, kemiskinan akan terus mendera kehidupan manusia.
Kita semua dihadapkan pada suatu realitas bahwa masih ada begitu banyak masyarakat di negeri ini yang miskin. Untuk memenuhi kebutuhan pokok saja belum bisa mereka penuhi. Lantas siapa yang mesti bertanggung jawab atas hal seperti ini? Menurut undang-undang dasar negara kita, fakir miskin dan anak-anak terlantar ditanggung oleh negara. Sampai sejauh mana negara kita memiliki kepedulian terhadap rakyat yang miskin dan terlantar?
Dari peristiwa ini kita bisa belajar sesuatu yang bernilai bagi hidup manusia. Kepedulian terhadap sesama yang miskin dan menderita memang penting. Hal ini mesti menjadi bagian dari hidup orang beriman. Namun persoalannya terletak pada bagaimana cara melaksanakan kepedulian kita itu. Orang beriman mesti memiliki banyak cara untuk mendahulukan keselamatan jiwa manusia.
Sebagai orang beriman, kita diingatkan untuk memiliki berbagai kreativitas dalam membantu sesama yang miskin dan menderita. Keselamatan hidup sesama kita juga menjadi tanggung jawab kita semua. Karena itu, mari kita meningkatkan kepedulian kita terhadap sesama yang miskin dan menderita. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (97)
Sulit dibayangkan bahwa ribuan orang mesti berdesak-desakan untuk mendapatkan zakat itu. Sebenarnya bukan hal baru pembagian zakat yang dilakukan oleh seorang pengusaha ini. Sejak tahun 1980-an, pengusaha kulit yang sukses ini merelakan sebagian penghasilannya untuk mereka yang miskin.
Namun kali ini, pembagian zakat justru berakhir dengan maut. Dunia ini tampaknya begitu kejam. Maksud baik bisa berubah menjadi sesuatu yang mengerikan bagi kehidupan. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Tentu saja maksud baik pengusaha kulit itu tidak bisa disalahkan begitu saja. Ia sudah berusaha untuk memperhatikan sesamanya yang membutuhkan. Ia ingin berbuat amal bagi sesamanya yang kekurangan. Namun usahanya yang mulia itu justru berubah menjadi peristiwa mengenaskan. Jiwa manusia melayang. Jiwa manusia tidak bisa diselamatkan.
Situasi kemiskinan begitu mendera kehidupan manusia Indonesia. Mereka terlilit oleh kebutuhan yang begitu mendesak. Berbagai cara mereka tempuh untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Peristiwa pembagian zakat di Pasuruan menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Kebutuhan pokok hidup manusia mesti dipenuhi. Kalau tidak, kemiskinan akan terus mendera kehidupan manusia.
Kita semua dihadapkan pada suatu realitas bahwa masih ada begitu banyak masyarakat di negeri ini yang miskin. Untuk memenuhi kebutuhan pokok saja belum bisa mereka penuhi. Lantas siapa yang mesti bertanggung jawab atas hal seperti ini? Menurut undang-undang dasar negara kita, fakir miskin dan anak-anak terlantar ditanggung oleh negara. Sampai sejauh mana negara kita memiliki kepedulian terhadap rakyat yang miskin dan terlantar?
Dari peristiwa ini kita bisa belajar sesuatu yang bernilai bagi hidup manusia. Kepedulian terhadap sesama yang miskin dan menderita memang penting. Hal ini mesti menjadi bagian dari hidup orang beriman. Namun persoalannya terletak pada bagaimana cara melaksanakan kepedulian kita itu. Orang beriman mesti memiliki banyak cara untuk mendahulukan keselamatan jiwa manusia.
Sebagai orang beriman, kita diingatkan untuk memiliki berbagai kreativitas dalam membantu sesama yang miskin dan menderita. Keselamatan hidup sesama kita juga menjadi tanggung jawab kita semua. Karena itu, mari kita meningkatkan kepedulian kita terhadap sesama yang miskin dan menderita. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB. (97)
1 komentar:
Terima kasih.
Karena dengan peristiwa ini saya bisa belajar sesuatu yang bernilai bagi hidup manusia
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.