Manusia dapat hidup berkat kasih yang mendalam dari sesamanya. Kasih itu menumbuhkan semangat berkorban dalam hati manusia.
Seorang gadis mengisahkan bahwa ia beruntung memiliki seorang ibu yang sangat peduli terhadap dirinya. Ibunya yang miskin tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Ia selalu memikirkan kebahagiaan anak semata wayangnya. Karena itu, sang ibu tidak kenal lelah bekerja. Ia melakukan apa saja untuk anak tercintanya itu.
Suatu hari, sang ibu terserempet motor. Ia jatuh terjerembab. Wajahnya menampar aspal jalanan. Meski darah keluar dari pipinya, sang ibu tidak menghiraukan. Malah ia sibuk memunguti jeruk yang hendak ia bawa ke pasar untuk dijual. Ia baru sadar setelah seorang ibu yang lain menegurnya. Lantas ibu itu dibawa ke rumah sakit untuk berobat.
Dokter menyarankan agar dia menjalani rawat inap untuk satu atau dua hari. Namun ibu itu mengatakan ia tidak apa-apa. Ia ingin pulang ke rumah. Ia tidak tega putrinya tinggal sendirian di rumah. Kasih ibu itu begitu besar terhadap putrinya. Ia mau mengorbankan dirinya bagi kebahagiaan putrinya itu.
Saat putrinya lulus dari perguruan tinggi, ibu itu sangat bergembira. Namun kegembiraan itu tidak ia tujukan kepada dirinya sendiri. Ia justru menyiapkan makanan yang paling enak kesukaan putrinya. Sementara ia sendiri makan makanan kesukaannya, yaitu tempe, sambal dan nasi.
“Hidup saya bukan untuk diri saya sendiri. Saya ingin putri saya mengalami bahagia dalam hidupnya,” katanya.
Karena itu, ketika putrinya sukses dalam pekerjaan, ibu itu tetap hidup bersahaja. Ketika putrinya mengajaknya untuk pindah ke kota besar, tempat ia bekerja, sang ibu menolak. Ia memilih untuk tinggal di rumah. Ia tidak ingin mengganggu kesibukan putrinya. Namun ketika putrinya mengatakan bahwa kepindahan ke kota besar bukan untuk kebahagiaan sang ibu, ibu itu pun menurutinya. Ia pindah demi kebahagiaan putrinya.
Sahabat, dalam hidup ini ada orang-orang yang mengorbankan hidupnya untuk kebahagiaan sesamanya. Orang rela melepaskan hal-hal yang terbaik yang mereka miliki demi kebahagiaan orang yang mereka cintai. Tentu saja korban seperti ini dilatarbelakangi oleh kasih yang mendalam. Mustahil orang mau berkorban tanpa cinta.
Kisah ibu tadi menjadi inspirasi bagi kita untuk senantiasa menempatkan kasih di atas segala-galanya. Kasih menumbuhkan dan mengembangkan hidup. Ibu itu berkorban untuk kebahagiaan putrinya. Ia merelakan hidupnya, agar putrinya mampu meraih cita-citanya. Kesuksesan sang putri didukung oleh kasih yang melimpah.
Alangkah indahnya kita hidup dalam suasana kasih yang mendalam. Suasana hidup menjadi lebih menyenangkan. Damai senantiasa hadir dalam hidup manusia. Orang tidak perlu cemas akan hidup ini. Orang tidak perlu kuatir akan dirugikan oleh sesamanya. Orang justru senantiasa mengalami kegembiraan dan damai dalam hidup ini.
Namun banyak orang sering mengabaikan kasih yang mendalam ketika mereka mesti berkorban. Mereka memperhitungkan untung rugi saat harus berkorban bagi hidup sesamanya. Mereka menghitung berapa atau apa yang akan mereka peroleh saat mereka berkorban untuk sesamanya.
Sebagai orang beriman, tentu kita tidak demikian. Kita berkorban bagi kebahagiaan sesama, karena kasih mendalam yang tumbuh dan berkembang dalam hati kita. Kita tergerak untuk berkorban melulu karena cinta dan perhatian kita terhadap sesama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
871
Seorang gadis mengisahkan bahwa ia beruntung memiliki seorang ibu yang sangat peduli terhadap dirinya. Ibunya yang miskin tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Ia selalu memikirkan kebahagiaan anak semata wayangnya. Karena itu, sang ibu tidak kenal lelah bekerja. Ia melakukan apa saja untuk anak tercintanya itu.
Suatu hari, sang ibu terserempet motor. Ia jatuh terjerembab. Wajahnya menampar aspal jalanan. Meski darah keluar dari pipinya, sang ibu tidak menghiraukan. Malah ia sibuk memunguti jeruk yang hendak ia bawa ke pasar untuk dijual. Ia baru sadar setelah seorang ibu yang lain menegurnya. Lantas ibu itu dibawa ke rumah sakit untuk berobat.
Dokter menyarankan agar dia menjalani rawat inap untuk satu atau dua hari. Namun ibu itu mengatakan ia tidak apa-apa. Ia ingin pulang ke rumah. Ia tidak tega putrinya tinggal sendirian di rumah. Kasih ibu itu begitu besar terhadap putrinya. Ia mau mengorbankan dirinya bagi kebahagiaan putrinya itu.
Saat putrinya lulus dari perguruan tinggi, ibu itu sangat bergembira. Namun kegembiraan itu tidak ia tujukan kepada dirinya sendiri. Ia justru menyiapkan makanan yang paling enak kesukaan putrinya. Sementara ia sendiri makan makanan kesukaannya, yaitu tempe, sambal dan nasi.
“Hidup saya bukan untuk diri saya sendiri. Saya ingin putri saya mengalami bahagia dalam hidupnya,” katanya.
Karena itu, ketika putrinya sukses dalam pekerjaan, ibu itu tetap hidup bersahaja. Ketika putrinya mengajaknya untuk pindah ke kota besar, tempat ia bekerja, sang ibu menolak. Ia memilih untuk tinggal di rumah. Ia tidak ingin mengganggu kesibukan putrinya. Namun ketika putrinya mengatakan bahwa kepindahan ke kota besar bukan untuk kebahagiaan sang ibu, ibu itu pun menurutinya. Ia pindah demi kebahagiaan putrinya.
Sahabat, dalam hidup ini ada orang-orang yang mengorbankan hidupnya untuk kebahagiaan sesamanya. Orang rela melepaskan hal-hal yang terbaik yang mereka miliki demi kebahagiaan orang yang mereka cintai. Tentu saja korban seperti ini dilatarbelakangi oleh kasih yang mendalam. Mustahil orang mau berkorban tanpa cinta.
Kisah ibu tadi menjadi inspirasi bagi kita untuk senantiasa menempatkan kasih di atas segala-galanya. Kasih menumbuhkan dan mengembangkan hidup. Ibu itu berkorban untuk kebahagiaan putrinya. Ia merelakan hidupnya, agar putrinya mampu meraih cita-citanya. Kesuksesan sang putri didukung oleh kasih yang melimpah.
Alangkah indahnya kita hidup dalam suasana kasih yang mendalam. Suasana hidup menjadi lebih menyenangkan. Damai senantiasa hadir dalam hidup manusia. Orang tidak perlu cemas akan hidup ini. Orang tidak perlu kuatir akan dirugikan oleh sesamanya. Orang justru senantiasa mengalami kegembiraan dan damai dalam hidup ini.
Namun banyak orang sering mengabaikan kasih yang mendalam ketika mereka mesti berkorban. Mereka memperhitungkan untung rugi saat harus berkorban bagi hidup sesamanya. Mereka menghitung berapa atau apa yang akan mereka peroleh saat mereka berkorban untuk sesamanya.
Sebagai orang beriman, tentu kita tidak demikian. Kita berkorban bagi kebahagiaan sesama, karena kasih mendalam yang tumbuh dan berkembang dalam hati kita. Kita tergerak untuk berkorban melulu karena cinta dan perhatian kita terhadap sesama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
871
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.