Apa sikap Anda terhadap orang yang Anda sayangi ketika musibah menimpa dirinya? Anda biarkan saja? Atau Anda menolak kehadirannya?
Ada seorang gadis cantik yang cerdas. Setelah menyelesaikan sekolahnya di perguruan tinggi, gadis itu bekerja di sebuah perusahaan terkenal. Gajinya cukup tinggi. Meski begitu, gaya hidupnya sangat sederhana. Ia jarang berfoya-foya. Ia tinggal di sebuah apartemen dekat kantornya. Hal itu ia lakukan untuk menghindari biaya mahal, kalau ia mesti tinggal di rumah ibunya yang berada di luar kota.
Di rumah gadis itu, hidup ibunya yang sudah janda. Sebagian kepala dari ibunya botak. Kulit kepalanya menampakkan borok yang baru mengering. Rambut kepalanya tinggal sedikit di bagian kiri dan belakang. Wajahnya pun cacat seperti luka bakar. Ia seperti sebuah monster yang mengerikan.
Gadis itu tidak pernah tahu tentang penyebab dari kondisi ibunya. Namun ia selalu mencintainya. Ia selalu menerima kehadiran sang ibu dengan penuh kasih. Apalagi sang ibu telah membesarkan dan membiayai sekolahnya hingga selesai. Sesekali di akhir pekan, gadis cantik itu membawa sang ibu berjalan-jalan di pantai.
“Nak, apa kamu tidak malu punya ibu seperti ini? Bukankah wajah ibu jelek dan penuh koreng-koreng?” Tanya ibunya suatu hari.
Gadis itu terkejut mendengar pertanyaan ibunya. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang menusuk hatinya itu. Gadis itu tersenyum. Ia hanya menggelengkan kepala. Ia tidak pernah merasa malu. Baginya, sang ibu telah mengasihinya begitu tulus. Ia ingin membalas kasih yang tulus itu, meskipun sebenarnya ia tidak pernah dapat membalasnya dengan sempurna.
Sahabat, kita hidup dalam dunia yang nyata. Artinya, kita hidup bersama orang lain yang tidak selamanya sempurna dalam berbagai hal. Ada saja orang-orang yang dekat dengan kita memiliki cacat dalam hidupnya. Ada saja orang-orang yang kita kasihi menderita penyakit yang ganas. Ada saja orang-orang yang begitu kita kagumi jatuh ke dalam kesalahan dan dosa yang berat.
Apa sikap kita yang paling baik terhadap kondisi seperti ini? Kita menolak kenyataan seperti itu? Atau dengan lapang dada dan penuh kasih setia kita menerima kenyataan itu?
Kisah di atas sangat menyentuh hati kita. Gadis cantik itu bisa saja meninggalkan ibunya seorang diri. Bisa saja ia tidak mengakui perempuan tua itu sebagai ibu kandungnya. Namun ia tidak lakukan itu. Mengapa? Karena ia mengalami betapa kasih sang ibu memampukan dirinya untuk meraih sukses dalam hidupnya. Berkat kasih itu pula ia memiliki masa depan yang cerah dan baik.
Kebahagiaan dapat tercipta dalam hidup kita, kalau kita mau menerima kehadiran sesama kita dengan tangan terbuka. Ketika kita menerima kenyataan diri sesama yang kita cintai sebenarnya kita menerima diri kita sendiri. Ketidaksempurnaan yang dimiliki oleh orang-orang yang dekat dengan kita sebenarnya juga menjadi milik kita.
Menerima cacat fisik atau psikis dari orang yang kita cinta itu butuh kebesaran jiwa. Kita mesti berani mengabaikan gengsi yang ada dalam diri kita. Hal ini bisa kita lakukan, kalau kita memiliki cinta yang tulus dan mendalam terhadap orang-orang yang ada di sekitar kita. Mari kita tumbuhkan kasih yang tulus dalam diri kita dengan menerima kehadiran sesama kita. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
867
Ada seorang gadis cantik yang cerdas. Setelah menyelesaikan sekolahnya di perguruan tinggi, gadis itu bekerja di sebuah perusahaan terkenal. Gajinya cukup tinggi. Meski begitu, gaya hidupnya sangat sederhana. Ia jarang berfoya-foya. Ia tinggal di sebuah apartemen dekat kantornya. Hal itu ia lakukan untuk menghindari biaya mahal, kalau ia mesti tinggal di rumah ibunya yang berada di luar kota.
Di rumah gadis itu, hidup ibunya yang sudah janda. Sebagian kepala dari ibunya botak. Kulit kepalanya menampakkan borok yang baru mengering. Rambut kepalanya tinggal sedikit di bagian kiri dan belakang. Wajahnya pun cacat seperti luka bakar. Ia seperti sebuah monster yang mengerikan.
Gadis itu tidak pernah tahu tentang penyebab dari kondisi ibunya. Namun ia selalu mencintainya. Ia selalu menerima kehadiran sang ibu dengan penuh kasih. Apalagi sang ibu telah membesarkan dan membiayai sekolahnya hingga selesai. Sesekali di akhir pekan, gadis cantik itu membawa sang ibu berjalan-jalan di pantai.
“Nak, apa kamu tidak malu punya ibu seperti ini? Bukankah wajah ibu jelek dan penuh koreng-koreng?” Tanya ibunya suatu hari.
Gadis itu terkejut mendengar pertanyaan ibunya. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan pertanyaan yang menusuk hatinya itu. Gadis itu tersenyum. Ia hanya menggelengkan kepala. Ia tidak pernah merasa malu. Baginya, sang ibu telah mengasihinya begitu tulus. Ia ingin membalas kasih yang tulus itu, meskipun sebenarnya ia tidak pernah dapat membalasnya dengan sempurna.
Sahabat, kita hidup dalam dunia yang nyata. Artinya, kita hidup bersama orang lain yang tidak selamanya sempurna dalam berbagai hal. Ada saja orang-orang yang dekat dengan kita memiliki cacat dalam hidupnya. Ada saja orang-orang yang kita kasihi menderita penyakit yang ganas. Ada saja orang-orang yang begitu kita kagumi jatuh ke dalam kesalahan dan dosa yang berat.
Apa sikap kita yang paling baik terhadap kondisi seperti ini? Kita menolak kenyataan seperti itu? Atau dengan lapang dada dan penuh kasih setia kita menerima kenyataan itu?
Kisah di atas sangat menyentuh hati kita. Gadis cantik itu bisa saja meninggalkan ibunya seorang diri. Bisa saja ia tidak mengakui perempuan tua itu sebagai ibu kandungnya. Namun ia tidak lakukan itu. Mengapa? Karena ia mengalami betapa kasih sang ibu memampukan dirinya untuk meraih sukses dalam hidupnya. Berkat kasih itu pula ia memiliki masa depan yang cerah dan baik.
Kebahagiaan dapat tercipta dalam hidup kita, kalau kita mau menerima kehadiran sesama kita dengan tangan terbuka. Ketika kita menerima kenyataan diri sesama yang kita cintai sebenarnya kita menerima diri kita sendiri. Ketidaksempurnaan yang dimiliki oleh orang-orang yang dekat dengan kita sebenarnya juga menjadi milik kita.
Menerima cacat fisik atau psikis dari orang yang kita cinta itu butuh kebesaran jiwa. Kita mesti berani mengabaikan gengsi yang ada dalam diri kita. Hal ini bisa kita lakukan, kalau kita memiliki cinta yang tulus dan mendalam terhadap orang-orang yang ada di sekitar kita. Mari kita tumbuhkan kasih yang tulus dalam diri kita dengan menerima kehadiran sesama kita. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
867
1 komentar:
benar sekali papa kata kamu.ketidaksempurnaan yang di miliki oleh orang yg dekat dgn kita sebenarnya menjadi milik kita juga....
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.