Suatu hari seorang pemuda bingung. Kepadanya diberi pertanyaan, ”Siapakah sesamamu?” Ia tidak tahu harus menjawab apa. Soalnya, bagi pemuda itu, sesama berarti orang yang dekat dengannya. Sesama itu orang yang selalu membantu dirinya di kala ia mengalami kesulitan-kesulitan.
Ia berkata dalam hati, ”Saya tidak bisa menjawab dengan tepat siapa sesama bagi saya. Yang saya tahu adalah sesama itu orang yang dekat dengan saya. Orang yang selalu peduli terhadap hidup saya. Yang lain-lain, bukan sesama saya.”
Karena itu, pemuda itu hanya mengasihi orang-orang yang dekat dengan dirinya. Ia tidak bisa menaruh belas kasih kepada mereka yang jauh dari dirinya. Bahkan ia cenderung menaruh curiga terhadap orang-orang yang jauh dari dirinya. Ia kurang bisa menerima kehadiran mereka. Akibatnya, tumbuhlah kebencian dalam dirinya terhadap mereka yang jauh dari dirinya.
Namun pemuda itu tidak tinggal diam dengan kondisi dirinya. Ia mulai belajar dari sesamanya yang dekat dengan dirinya bahwa setiap orang adalah sesamanya. Setiap orang berkehendak baik itu sesamanya. Ia pun bertumbuh dalam pandangan yang lebih luas tentang sesamanya. Ia memurnikan cara pandangnya tentang kehadiran sesamanya dalam hidupnya. Ternyata sesama itu bukan hanya orang-orang yang dekat dengannya. Orang-orang jauh dari dirinya pun adalah sesamanya.
Sahabat, manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendirian. Manusia selalu hidup dengan orang lain. Karena itu, orang mesti membangun hidupnya dengan orang lain. Orang mesti berani keluar dari dirinya sendiri untuk membangun relasi yang lebih dalam dengan sesamanya.
Mengapa orang jatuh ke dalam pandangan yang sempit tentang sesamanya? Karena orang hidup dalam keterkungkungan dengan dirinya sendiri. Orang hidup seperti katak dalam tempurung. Pandangan hidupnya hanya seluas dirinya sendiri. Tentu saja cara pandang seperti ini berbahaya bagi kehidupan. Manusia mesti menyadari bahwa ia bukan hidup hanya untuk dirinya sendiri. Ia juga hidup bagi orang lain.
Karena itu, orang mesti memurnikan cara pandangnya tentang kehadiran sesama dalam hidupnya. Kisah tadi membantu kita untuk menyadari diri bahwa kita hidup juga untuk orang lain. Kita adalah makhluk sosial yang hidup juga bagi sesama kita. Untuk itu, kita mesti mengatasi egoisme yang sering menguasai diri kita.
Sebagai orang beriman, kita diberi semangat oleh Tuhan sendiri. Tuhan mencintai semua ciptaanNya. Tuhan memelihara kehidupan manusia. Tuhan memberikan sesama kepada kita untuk kita kasihi, bukan hanya untuk keuntungan diri kita sendiri. Tuhan menghadiahkan sesama kepada kita itu untuk kita kembangkan, agar sesama juga bertumbuh dengan baik.
Mari kita berusaha untuk menerima kehadiran sesama dengan mengasihi mereka apa adanya. Ketika kita mengasihi sesama, kita juga mengasihi Sang Pencipta yang tidak kita lihat. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
Mengisi Renungan Malam di Sonora Palembang
763
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.