Pages

01 April 2012

Tinggal Sesaat Saja

 Minggu, 01 April 2012
Hari Minggu Palma - Mengenangkan Sengsara Tuhan

"Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi dan tinggal sesaat saja pula kamu akan melihat Aku" (Yoh. 16:16).

Sangat sering Yesus berbicara mengenai SAAT. Ketika ibunda-Nya Maria meminta anggur kepadanya waktu pesta perkawinan di Kana, dengan tegas Ia mengatakan bahwa saatnya belum tiba (bdk.Yoh-2:4; 8:20). Yesus juga berbicara mengenai akan tiba saatnya (Yoh.4:21). Yesus pun tidak segan-segan mengatakan bahwa saatnya sudah tiba (Yoh.12:23). Dan dalam ayat di atas Yesus menegaskan bahwa tinggal sesaat saja.

Gaya bahasa saat yang digunakan Yohanes dalam Injil-Nya menunjuk pada peristiwa penderitaan Yesus. Penderitaan yang tinggal sesaat saja itu merupakan suatu puncak pemuliaan oleh Allah. Allah yang berkenan kepada Yesus tidak membiarkan Yesus masuk dalam suatu penderitaan di luar kehendak-Nya. Yesus tetap berada dalam lingkup Bapa-Nya, sehingga peristiwa penderitaan itu menjadi karya penyelamatan Allah.

Pernyataan Yesus mengenai tinggal sesaat saja itu menimbulkan salah paham di antara para murid. Bagi mereka Yesus akan tetap tinggal bersama mereka. Ia akan mendirikan suatu kerajaan seperti yang dicita-citakan oleh orang Israel. Suatu kerajaan yang bebas dari belenggu penindasan dari penjajah Romawi. Dalam Kerajaan itu mereka akan memperoleh jabatan di sekitar Yesus (bdk. Mat. 4:21-22).

Yesus menjadi tumpuan hidup mereka. Ke mana saja Yesus pergi mereka siap mengikuti. Mereka ingin tetap terlibat dalam karya pewartaan Yesus di dunia ini. Mereka siap memberikan nyawa bagi Yesus (bdk. Yoh. 13:37).

Karena itu, sangat aneh kalau Yesus mengatakan bahwa tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi. Yesus mau ke mana? Apa maksudnya “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku?” (Yoh. 13:36). Bukankah selama ini Yesus selalu pergi bersama mereka?

Dalam pembicaraan tentang tinggal sesaat saja Yesus mengarahkan para murid kepada suatu situasi yang mencekam. Suatu peristiwa yang membuat mereka merasa takut dan seorang diri. Persaudaraan yang selama ini mereka jalin seolah-olah tidak bernilai sama sekali. Benang-benang persahabatan akan berubah menjadi kusam dan kusut. Mereka bagai layang-layang putus yang tercerai-berai kehilangan arah. Mereka terombang-ambing dihempas angin dan gelombang badai yang menerjang terjang. Mengapa? Karena orang yang mengendalikan mereka telah tiada.

Dalam situasi seperti itu mereka akan ditantang untuk benar-benar percaya bahwa Yesus sang guru itu masih tetap berada bersama mereka. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Jadi sabda Yesus di atas seolah-olah suatu ancaman atas kemapanan kelompok Yesus yang sudah begitu mantap bersama Yesus.

Namun Yesus juga menginagtkan bahwa ketidakpastian yang dialami para murid itu hanya bersifat sementara saja. Karena ternyata habis gelap terbitlah terang. Setelah saat yang mencekam itu muncul suatu saat yang membahagiakan. Mereka tidak perlu lama-lama tinggal dalam dukacita yang menakutkan. Ucapan belasungkawa segera diikuti dengan proficiat atas terang benderang yang datang.

Jadi dengan mengungkapkan sabda-sabda di atas, Yesus mengungkapkan dua segi yang saling berkaitan. Di satu segi sebagai murid-murid Yesus, Yesus menghendaki agar mereka selalu siap untuk memberi kesaksian tentang Yesus dan Kerajaan Allah yang dibawaNya. Artinya, siap untuk memasuki saat yang mencekam seperti ditolak, dicemooh, ditindas oleh orang-orang yang menentang kehadiran Yesus. Tetapi di sisi lain Yesus memberikan harapan akan datangnya saat yang membahagiakan bagi mereka yang tetap bertahan dalam namaNya. Jadi ada saat di mana orang masuk dalam solidaritas dengan penderitaan Yesus, tetapi ada saat orang ikut serta dalam kemuliaan kebangkitan Yesus.


Dewasa Ini: Saat Itu Masih Ada


Akhir-akhir ini dunia semakin panas dan ganas. Ribuan bahkan jutaan manusia bergelimang darah terbujur kaku dalam kematian yang mengerikan. Mereka tidak lebih berharga daripada seekor anjung. Mereka bagai nyamuk-nyamuk yang sekali tepuk langsung mati terkulai tak ada yang mempersoalkan. Harkat dan martabat mereka sungguh-sungguh dilucuti moncong-moncong senjata pembasmi kehidupan.

Tibalah saatnya bagi mereka memasuki suatu situasi kegelapan yang paling gelap. Kalau saja masih ada belaskasihan dari sesama, barangkali masih ada air mata yang mengucur deras meratapi kegelapan mereka. Mereka sungguh-sungguh sendirian melintasi jalan penuh gelap gulita. Tiada teman yang dapat melipur lara jiwa mereka yang haus akan uluran kasih. Mereka tertatih-tatih di jalan panjang tak berujung. Sementara itu sorak-sorai, pekik tawa menambah luka-luka batin mereka. Banyak orang memalingkan wajah kepada mereka, tetapi hanya sekilas, karena kehadiran mereka hanyalah pengganggu keamanan dan ketenteraman yang sudah lama tercipta dari percikan darah-darah yang tertumpah di jalan-jalan.

Keadilan dan damai yang didambakan hanyalah sebuah ilusi yang sebentar saja menyejukkan hati yang dahaga. Saat yang datang menjemput mereka adalah saat yang sangat mencekam. Kalau begitu masih adakah harapan akan masa depan yang terang benderang bagi jiwa yang tetap menaruh harapan kepada Kristus?

“Tinggal sesaat saja pula kamu akan melihat Aku,” kata Yesus. Yesus tidak membiarkan manusia yang menaruh harapan padaNya mati konyol dan musna ditelan ketidakpastian. Bagi orang-orang yang demikian, penderitaan memiliki makna yang lebih dalam. Penderitaan bukanlah akhir dari segala-galanya. Justru bagi orang beriman penderitaan merupakan awal dari kebahagiaan yang gilang-gemilang bersama Yesus. Manusia yang menderita itu ikut memanggul salib bersama Yesus menapaki jalan-jalan berbatu menuju puncak kemenangan.

Di dunia ini kecemasan masih saja menggayut di wahaj-wajah manusia modern. Berbagai problem hidup yang dihadapi semakin menambah beban-beban kehidupan. Manusia akut akan masa depannya. Harta kekayaan dikumpulkan agar kenyamanan hidup di hari tua itu sungguh-sungguh terjamin. Maka tidak perlu heran kalau terjadi banyak penyelewengan demi egoisme, korupsi, manipulasi dan nepotisme. Hasilnya adalah penderitaan demi penderitaan baru bagi manusia lain.

Kecemasan dan ketakutan itu justru membawa manusia ke dalam jurang kegelapan. Manusia terjebak dalam terowongan hitam pekat tak berujung yang dibuatnya sendiri.

Dalam situasi seperti ini satu-satunya tindakan adalah pertobatan. Manusia mesti rela meninggalkan kegelapan yang memberikan kebahagiaan semu. Ia mesti berbalik ke jalan yang menar menjadi satu-satunya jawaban bagi suatu harapan untuk ikut serta dalam kemuliaan Kristus. Mengapa perlu bertobat? Karena hidup dalam kemuliaan Kristus menuntut hati yang murni. **



Frans de Sales, SCJ

(2)
Baca juga renungan dari Pastor Antonius Purwono, SCJ (klik disini)

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.