Oleh
Pastor Felix Supranto, SS.CC
Malam itu jalan raya di Tangerang lengang. Aku dengan antusias merayakan Misa Requiem untuk memperingati empat puluh hari seorang nenek yang luar biasa. Senyuman ramah dari umat yang datang melenyapkan kelelahan setelah sebelumnya menjadi nara sumber dalam Raker Bimas Katolik Banten yang diikuti oleh beberapa pastor dari Dekenat Tangerang Keuskupan Agung Jakarta dan Dekenat Barat Keuskupan Bogor pada tanggal 06 Maret 2012. Menanamkan penghayatan Ekaristi sejak kanak-kanak sehingga mereka mempunyai semangat berbagi merupakan program yang harus dihidupi.
Semangat berbagi itu ada dalam diri nenek yang dipanggil Tuhan pada usia delapan puluh lima tahun itu. Pengabdian merupakan semangat hidupnya. Berbagi dan terus berbagi menjadi ciri khasnya. Dalam keadaan susah dan senang, ia terus berbagi. “Jangan menjarah milik Tuhan” merupakan keyakinannya. Tuhan memberikan anugerah kepadanya. Seorang pria kaya, penjual kaset piringan hitam, menikahinya. Perkawinan mereka dikaruniai dua anak perempuan.
Pada saat kaya, nenek ini sangat murah hati/dermawan kepada siapa yang membutuhkan pertolongannya. Banyak anak-anak dari saudara-saudaranya di luar kota yang tidak mampu dibawanya ke Jakarta untuk disekolahkan sampai memperoleh pendidikan yang layak. Ia tahu betapa pentingnya pendidikan, walaupun dirinya sendiri buta aksara. Ketika suaminya tiada, hartanya mulai berkurang dan terus berkurang. Walaupun begitu, hatinya tetap senantiasa mengalirkan kebaikan. Ia menjual apa saja yang masih ada, termasuk peniti emas kebanggaannya, untuk menghidupi anak-anaknya dan membantu sesama yang kekurangan. Meskipun pada masa tuanya tidak lagi mempunyai harta dunia yang diunggulkan, ia mendapatkan karunia harta surgawi, harta yang tidak bisa lenyap, yaitu iman akan Tuhan Yesus. Setelah menjadi seorang Katolik, ia selalu berdoa jam tiga siang. Hatinya sangat gembira ketika ia diberitahu bahwa jam tiga siang merupakan saat Yesus wafat. Ia menyatakan kegembiraan imannya yang mendalam walaupun ia buta pengetahuan: “Aku gembira karena selama ini aku ternyata berdoa bersama Bunda Maria di bawah kaki Yesus di salib”. Nenek ini memang buta aksara, tetapi ia tidak buta iman dan hati nuraninya, sehingga kedua anak dan ketiga cucunya sangat bangga dengannya. Ia pun dianugerahi Tuhan dengan diperkenankan menghadap Bapa di Surga pada hari Jumat, hari wafatnya Tuhan, 27 Januari 2012 lalu.
Sukacita sejati bukan sukacita karena uang yang mengalir deras memenuhi depositonya. Sukacita karena menumpuknya uang bagaikan sebuah balon yang ditiup. Semakin ditiup, balon itu semakin membesar dan bisa melayang, tetapi besarnya balon hanya berisi angin saja. Pada waktunya balon itu akan meledak sampai menghancurkan dirinya tanpa bekas. Ia habis dengan sia-sia. Sukacita sempurna didapatkan dengan menghidupi Tema Minggu Prapaskah keempat, yaitu Minggu Laetare (Bersukacita). Sukacita yang sempurna didapatkan dengan mengisi hidupnya dengan iman. Sukacita iman adalah sukacita yang bukan berasal dari dunia, tetapi suka cita yang diwariskan oleh senyuman Allah yang sabar dan penuh kasih. Sukacita yang tidak terlihat sebagai sukacita, tetapi terasa sebagai sukacita. Sukacita iman adalah sukacita cinta: “Arti cintaku untukmu. Aku cinta kamu.... berarti aku sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah kamu dan kita. Aku menghambakan dan menghampakan hatiku hanya untukmu. Aku tetap ada, tetapi ada hanya untukmu”. Sukacita cinta dialami melalui pengorbanan dan pemberian diri, yaitu mau menjadi Hosti yang diambil, diberkati, dipecah-pecah, dan dibagi dalam konsekrasi. Karena itu, yang mencintai Tuhan dan sesama dengan menanggung dukacita sebagai resikonya akan bersukacita: “Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! Bergiranglah bersama-sama dia segirang-girangnya, hai semua orang yang berkabung karenanya!” (Yesaya 66:10). Tuhan memberkati.
Sumber: Warta RC Tahun V Edisi 48
Pastor Felix Supranto, SS.CC
Malam itu jalan raya di Tangerang lengang. Aku dengan antusias merayakan Misa Requiem untuk memperingati empat puluh hari seorang nenek yang luar biasa. Senyuman ramah dari umat yang datang melenyapkan kelelahan setelah sebelumnya menjadi nara sumber dalam Raker Bimas Katolik Banten yang diikuti oleh beberapa pastor dari Dekenat Tangerang Keuskupan Agung Jakarta dan Dekenat Barat Keuskupan Bogor pada tanggal 06 Maret 2012. Menanamkan penghayatan Ekaristi sejak kanak-kanak sehingga mereka mempunyai semangat berbagi merupakan program yang harus dihidupi.
Semangat berbagi itu ada dalam diri nenek yang dipanggil Tuhan pada usia delapan puluh lima tahun itu. Pengabdian merupakan semangat hidupnya. Berbagi dan terus berbagi menjadi ciri khasnya. Dalam keadaan susah dan senang, ia terus berbagi. “Jangan menjarah milik Tuhan” merupakan keyakinannya. Tuhan memberikan anugerah kepadanya. Seorang pria kaya, penjual kaset piringan hitam, menikahinya. Perkawinan mereka dikaruniai dua anak perempuan.
Pada saat kaya, nenek ini sangat murah hati/dermawan kepada siapa yang membutuhkan pertolongannya. Banyak anak-anak dari saudara-saudaranya di luar kota yang tidak mampu dibawanya ke Jakarta untuk disekolahkan sampai memperoleh pendidikan yang layak. Ia tahu betapa pentingnya pendidikan, walaupun dirinya sendiri buta aksara. Ketika suaminya tiada, hartanya mulai berkurang dan terus berkurang. Walaupun begitu, hatinya tetap senantiasa mengalirkan kebaikan. Ia menjual apa saja yang masih ada, termasuk peniti emas kebanggaannya, untuk menghidupi anak-anaknya dan membantu sesama yang kekurangan. Meskipun pada masa tuanya tidak lagi mempunyai harta dunia yang diunggulkan, ia mendapatkan karunia harta surgawi, harta yang tidak bisa lenyap, yaitu iman akan Tuhan Yesus. Setelah menjadi seorang Katolik, ia selalu berdoa jam tiga siang. Hatinya sangat gembira ketika ia diberitahu bahwa jam tiga siang merupakan saat Yesus wafat. Ia menyatakan kegembiraan imannya yang mendalam walaupun ia buta pengetahuan: “Aku gembira karena selama ini aku ternyata berdoa bersama Bunda Maria di bawah kaki Yesus di salib”. Nenek ini memang buta aksara, tetapi ia tidak buta iman dan hati nuraninya, sehingga kedua anak dan ketiga cucunya sangat bangga dengannya. Ia pun dianugerahi Tuhan dengan diperkenankan menghadap Bapa di Surga pada hari Jumat, hari wafatnya Tuhan, 27 Januari 2012 lalu.
Sukacita sejati bukan sukacita karena uang yang mengalir deras memenuhi depositonya. Sukacita karena menumpuknya uang bagaikan sebuah balon yang ditiup. Semakin ditiup, balon itu semakin membesar dan bisa melayang, tetapi besarnya balon hanya berisi angin saja. Pada waktunya balon itu akan meledak sampai menghancurkan dirinya tanpa bekas. Ia habis dengan sia-sia. Sukacita sempurna didapatkan dengan menghidupi Tema Minggu Prapaskah keempat, yaitu Minggu Laetare (Bersukacita). Sukacita yang sempurna didapatkan dengan mengisi hidupnya dengan iman. Sukacita iman adalah sukacita yang bukan berasal dari dunia, tetapi suka cita yang diwariskan oleh senyuman Allah yang sabar dan penuh kasih. Sukacita yang tidak terlihat sebagai sukacita, tetapi terasa sebagai sukacita. Sukacita iman adalah sukacita cinta: “Arti cintaku untukmu. Aku cinta kamu.... berarti aku sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah kamu dan kita. Aku menghambakan dan menghampakan hatiku hanya untukmu. Aku tetap ada, tetapi ada hanya untukmu”. Sukacita cinta dialami melalui pengorbanan dan pemberian diri, yaitu mau menjadi Hosti yang diambil, diberkati, dipecah-pecah, dan dibagi dalam konsekrasi. Karena itu, yang mencintai Tuhan dan sesama dengan menanggung dukacita sebagai resikonya akan bersukacita: “Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! Bergiranglah bersama-sama dia segirang-girangnya, hai semua orang yang berkabung karenanya!” (Yesaya 66:10). Tuhan memberkati.
Sumber: Warta RC Tahun V Edisi 48
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.