Ia tergolong siswi yang tangguh, cerdas, dan tegas. Betapa tidak? Baru SMA ia sudah menjadi pramusaji di sebuah restoran. Menurut pengakuan gadis berusia 15 tahun ini, ia harus melakukan pekerjaan itu untuk menghidupi keluarganya. Ia datang dari keluarga tidak mampu. Apalagi ayahnya sudah tidak bisa bekerja lagi. Ayahnya mengalami suatu kecelakaan yang menyebabkan kedua kakinya diamputasi.
Ketika pertama kali menyaksikan kondisi ayahnya yang tak berdaya, ia tidak tahan. Ia berbisik kepada ibunya, “Bu, saya yang harus menggantikan peran ayah dalam keluarga kita. Ibu tidak usah kuatir.”
Sang ibu hanya sedih memandangnya. Sebenarnya ia tidak tega menyaksikan anak yang masih kecil itu banting tulang bekerja untuk keluarga. Namun demi kelangsungan hidup keluarga, ia pun rela. Ia masih punya dua orang anak yang mesti ia hidupi. Dua anak itu masih kecil-kecil. Mereka masih butuh pendampingan darinya.
Si sulung mesti berkorban untuk keluarganya. Ia pergi ke kota yang terdekat. Di sana ia mulai bekerja di sebuah restoran. Setiap bulan ia pulang ke rumahnya dengan segepok uang di tangan. Uang itulah menjadi biaya hidup bagi orangtua dan kedua adiknya. Ia merasa bahagia. Ia merasa senang menjalani pekerjaan itu. Hidupnya pun tetap ugahari. Tidak berubah.
Sahabat, kita hidup dalam dunia yang begitu menantang. Tantangan itu bisa saja datang dari orang lain di sekitar kita. Tantangan itu juga datang dari diri kita sendiri. Soalnya adalah bagaimana orang menghadapi tantangan-tantangan itu?
Kalau orang tidak berani menghadapi tantangan, ia akan terpuruk dalam kehidupan ini. Namun kalau ia kuat dan berani menghadapi tantangan, ia akan tegar menjalani kehidupan ini. Ada kreativitas yang akan tumbuh dalam perjalanan hidupnya. Ada cara-cara yang baik yang dapat ditemukan untuk keluar dari persoalan-persoalan hidup.
Gadis dalam kisah di atas mengatakan kepada kita bahwa tantangan hidup mesti ia jawab. Ia tidak bisa menghadapi kehidupan ini dengan menyerah begitu saja pada keadaannya. Ia mesti bangkit. Ia mesti mengambil alih tanggung jawab. Yang ia pikirkan bukan dirinya sendiri lagi. Yang ia pikirkan adalah keselamatan keluarganya. Karena itu, ia berani berkorban. Ia memberikan dirinya demi cinta yang besar kepada sesamanya. Cinta itu menjadi nyata dalam tindakan. Cinta itu tidak hanya di mulut saja.
Sebagai orang beriman, kita mesti sadar bahwa kita hidup bukan hanya untuk diri kita sendiri. Kita juga hidup untuk orang lain. Kita memberikan hidup kita untuk orang lain.
Ketika kita menyatakan kita mencintai sesama kita, yang mesti kita lakukan adalah berbuat baik kepada sesama itu. Kita mesti berani melakukan hal-hal yang berguna bagi kehidupan bersama. Dengan demikian, hidup ini menjadi bermakna bagi sesama. Mari kita berusaha untuk memberi hidup kita bagi kesejahteraan bersama melalui cinta yang nyata. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
723
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.