Ada seorang ibu yang mesti memelihara anaknya sendirian selama empat puluh tahun. Suaminya meninggal dalam suatu kecelakaan. Sedangkan satu dari tiga orang anaknya mengalami cacat fisik sejak kecelakaan bersama ayahnya. Sejak bangun pagi hingga beranjak ke tempat tidurnya, ibu itu selalu punya perhatian terhadap anaknya. Apalagi sang anak tidak bisa berjalan sendiri. Ia hanya bisa terbaring di tempat tidur. Kaki dan tangannya lumpuh.
Suatu hari seorang teman kelasnya dulu datang mengunjungi ibu itu beserta anaknya. Temannya itu merasa tersentuh oleh situasi hidup ibu itu. Ia berkata, “Kamu pasti merasa capek. Kamu pasti merasa terbebani dengan kondisi anakmu.”
Ibu itu tersenyum mendengar kata-kata teman lamanya itu. Ia berkata kepadanya, “Saya tidak pernah merasa terbebani oleh kondisi anak saya. Sudah empat puluh tahun saya lakukan semua hal untuk dia. Saya merasa bahagia. Saya merasakan begitu besar cinta Tuhan terhadap saya. Tuhan telah memberi tanggung jawab ini kepada saya.”
Temannya terkejut mendengar kata-kata bijak ibu itu. Ia heran, mengapa kondisi seperti itu tidak sedikit pun membuat ia terbebani. Ia berdecak kagum mendengar kata-kata ibu itu. Ia bahkan merasa malu terhadap dirinya sendiri. Ia merasa gagal dalam mendidik anak-anaknya. Dua anaknya tidak berhasil dalam hidup mereka. Mereka menjadi orang-orang yang sering menyusahkan dirinya.
Sahabat, cinta yang begitu besar telah mendorong seorang ibu menerima kehadiran anaknya yang cacat. Tampak cacat fisik yang dimiliki anaknya itu membuat ibu itu mengambil tindakan kasih yang nyata. Ia merawatnya dengan penuh perhatian. Ia tidak mau membiarkan sang anak menderita dalam kondisinya seperti itu.
Banyak orang sering merasa bahwa suatu perbuatan baik bagi sesama itu menjadi suatu beban. Melakukan suatu kebaikan itu memberikan beban terhadap hidupnya. Karena itu, orang enggan untuk melakukan hal-hal yang baik bagi orang lain. Orang merasa bahwa melakukan hal-hal baik bagi orang lain itu membuang-buang waktu saja. Lebih baik melakukan sesuatu untuk diri sendiri saja.
Orang yang berpandangan seperti ini biasanya orang-orang yang kurang punya kasih. Cinta mereka terhadap sesama dibatasi oleh egoisme yang begitu besar. Orang hanya ingin mencari kepuasan bagi dirinya sendiri saja. Orang seperti ini lebih memperhitungkan untung rugi bagi dirinya sendiri saja. Karena itu, orang seperti ini lebih sering mengeluh ketika mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Orang seperti ini lebih mudah sewot ketika terjadi jalan buntu dalam hidupnya.
Kisah ibu tadi memberi inspirasi bagi kita untuk memiliki cinta yang kuat terhadap sesama. Cinta yang kuat itu dilatih dalam pergulatan kehidupan. Cinta yang kuat itu dapat bertumbuh dan berkembang dalam perbuatan baik bagi sesama. Untuk itu, orang mesti terus-menerus menumbuhkembangkannya dalam hidupnya. Orang mesti yakin bahwa hanya dengan melakukan hal-hal baik bagi sesama, orang dapat mengalami cinta yang besar pula dalam hidupnya.
Mari kita bertumbuh dan berkembang dalam cinta kasih terhadap sesama. Kita berusaha untuk terus-menerus mengasihi sesama dengan segenap hati. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
740
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.