Pages

23 Januari 2013

Tetap Berusaha meski dalam Keterbatasan



Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda menjumpai diri Anda lemah tak berdaya? Anda putus asa? Atau Anda mau bangkit untuk meraih sukses yang gilang gemilang?

Erik Weihenmayer lahir pada 23 September 1968 merupakan orang buta pertama yang menjejakkan kakinya di puncak Everest pada 25 Mei 2001 lalu. Ia juga melakukan hal yang sama saat mendaki gunung Ararat. Ia juga mendaki tujuh puncak gunung dunia pada September 2002 lalu.

Ketika lahir, Erik didiagnose punya kelainan pada retinanya bagi seorang anak yang masih sangat muda, berusia tiga tahun. Hati orangtuanya hancur luluh saat mendengar penjelasan dokter bahwa retinanya melekat pada bola matanya yang menghalanginya untuk langsung melihat. Ia mempunyai keterbatasan pandangan, tetapi begitu usia belasan ia mesti buta. Erik menyaksikan keputusasaan orangtuanya terhadap kondisi matanya.

Erik memang kehilangan pandangannya, namun bukan keberaniannya. Setelah menjadi buta, pertama-tama Erik tidak mau menggunakan tongkat atau belajar huruf braile. Ia ingin membuktikan bahwa ia dapat melanjutkan perjalanan hidupnya. Ia mencoba untuk bermain bola, tetapi kemudian ia sadar bahwa ia tidak bisa. Ia kemudian belajar gulat. Di sekolah mengenah, ia mengikuti kejuaraan gulat gaya bebas di Iowa, Amerika Serikat. Lantas ia masuk Boston College dan meraih gelar sarjana dalam Bahasa Inggris. Kini ia menjadi seorang guru di Phoenix Country Day School.

Erik mengatakan, proses pelatihan dan meraih keinginannya merupakan hadiah tertingginya, saat-saat yang paling bahagia dalam hidupnya. Ia berkata, “Menjejakkan kaki di puncak tertinggi dunia menjadi suatu tanda bahwa pada hari itu Anda membawa situasi yang tidak terkontrol berada di bawah kontrol.

Sahabat, banyak orang terpaku pada keterbatasan mereka. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk menjadi penonton yang baik daripada menjadi pemain di tengah-tengah lapangan. Orang hanya mau duduk manis sambil bertepuk tangan saat menyaksikan para pemain berjuang di lapangan.

Kisah tadi memberi kita inspirasi bahwa keterbatasan membuka kesempatan untuk mengembangkan diri. Terbatas dalam hal fisik tidak berarti akhir dari segala-galanya. Ketika ada keberanian, orang mesti mencoba untuk melakukan sesuatu yang terbaik bagi kehidupannya. Erik Weihenmayer yang buta memberikan harapan yang besar kepada dunia. Tidak ada yang mustahil ketika orang berani menghadapi tantangan-tantangan kehidupan.

Untuk itu, orang mesti mengubah cara pandang terhadap kondisi hidupnya. Orang mesti memandang hidup ini dengan lebih optimis. Cacat atau keterbatasan mesti memacu orang dalam meraih cita-cita yang didambakan sejak lahir. Citra diri yang benar dan sehat adalah cara pandang diri kita seperti Tuhan melihat kita sebagai ciptaan yang mulia dan berharga.

Orang yang punya tekad membaja akan meraih kesuksesan dalam hidupnya. Sebaliknya, orang yang mudah menyerah pada keadaan akan menyesali diri seumur hidup. Mengapa? Karena orang seperti ini tidak mau melakukan apa-apa untuk kemajuan dirinya dan sesama. Orang seperti ini hanya menggantungkan diri pada orang lain.

Sebagai orang beriman, tentu saja kita mau melibatkan Tuhan dalam karya-karya kita. Mari kita membuka hati bagi Tuhan, agar Tuhan menuntun dan membimbing kita dalam perjalanan hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Majalah FIAT

934

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.