Adalah suatu rahmat Tuhan saya dapat berjumpa dengan Percy N. Khambatta, pendeta agama Zarathustra. Penampilannya yang sederhana dengan pakaian putih-putih hingga topi, menampakkan suatu kesejukan tersendiri. Bicaranya sangat sederhana. Ia selalu menatap wajah lawan bicaranya sebagai tanda hormat dan perhatian.
Meski baru pertama kali berjumpa, tidak ada rasa asing di antara kami. Padahal agama kami berbeda. Warga negara kami juga berbeda. Dia seorang warga negara Singapura yang menginjakkan kaki di kota mpek-mpek Palembang, karena tragedi jatuhnya pesawat Silk Air di Sungsang, Sumatera Selatan, 19 Desember 1997.
Kami berjumpa dalam acara peresmian monumen Silk Air untuk menghormati dan mendoakan 104 korban di pemakaman Kebun Bunga, 19 Desember 1998 silam. Saya adalah satu-satunya ulama Indonesia yang diundang untuk mendoakan arwah para korban itu. Sementara semua ulama yang lain, dari berbagai agama, berasal dari Singapura.
Saya memang buta mengenai Agama Zarathustra. Yang terlintas dalam pikiran saya cuma nama pendirinya, yaitu Zoroaster yang memulai agamanya di Iran ribuan tahun silam. Tetapi soal inti ajarannya? Saya buta! Karena itu, saya berdialog dengan Khambatta. Saya ingin tahu.
“Our religion teaches us to be good person,” kata Khambatta. Artinya, agama kami mengajar kami untuk menjadi orang baik.
Menjadi orang baik! Itulah titik tolaknya. Lantas dalam hidup sehari-hari agama Zarathustra merealisasikannya dalam good thoughts (berpikir baik), good words (berkata baik) dan good deeds (berbuat baik).
Falsafahnya sangat sederhana. Seandainya semua orang memiliki falsafah seperti itu, tentu dunia akan jadi lain. Dunia ini akan menjadi tempat manusia memanen damai, kasih, persaudaraan sejati. Bukan badai kekacauan seperti yang sudah, sedang dan akan kita alami dan kita saksikan dalam hidup kita sehari-hari. Tentu dunia ini akan selalu diwarnai oleh suasana hidup yang saling menghormati. Hak-hak asasi manusia sungguh-sungguh dihargai. Tidak perlu lagi ada diskriminasi terhadap suku, agama, dan ras atau etnis tertentu. Semua hidup dalam damai.
“Most of all, we have to love each other,” kata Khambatta. Artinya, yang terpenting adalah kita mesti saling mengasihi. Bukankah ini sungguh-sungguh indah?
Untuk merealisasikan kasih itu, Khambatta, yang mengaku sebagai pendeta part time karena jumlah umat Zarathustra di Singapura sangat sedikit (202 orang), memberi makan kepada kaum fakir miskin yang datang ke restorannya di Jalan Orchard 391, Singapura.
Kasih! Satu kata inilah yang mesti menjadi pegangan hidup setiap orang yang beriman kepada Tuhan. Kiranya setiap agama dan kepercayaan mengajarkan tentang kasih. Kasih menjadi andalan utama setiap agama dan kepercayaan. Kasih ini menjadi jimat kita orang beriman. Karena ketika orang mengingkari kasih, yang terjadi justru kegalauan. Ketika mata manusia terkatup rapat karena benci, iri hati kehancuranlah yang ditemukan. Pengampunan tidak terjadi dalam kehidupan ini kalau orang mengabaikan kasih kepada sesamanya.
St Paulus berkata, “Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya.”
Apa artinya ungkapan ini bagi orang beriman? Artinya, kasih itu mesti menjadi nyata dalam hidup sehari-hari. Kasih itu diungkapkan dalam perbuatan nyata seperti rela mengampuni yang bersalah, tidak cemburu, ramah terhadap sesama, memberikan pertolongan kepada yang berkesusahan dan masih banyak lagi perbuatan baik lainnya. Kalau hal-hal ini terjadi dalam hidup yang nyata, dunia ini menjadi tempat yang aman untuk dihuni. Lingkungan di mana kita hidup dipenuhi dengan suasana yang menyenangkan.
Mari kita mempraktekkan kasih itu dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih bermakna bagi hidup semua orang. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
363
Bagikan
Meski baru pertama kali berjumpa, tidak ada rasa asing di antara kami. Padahal agama kami berbeda. Warga negara kami juga berbeda. Dia seorang warga negara Singapura yang menginjakkan kaki di kota mpek-mpek Palembang, karena tragedi jatuhnya pesawat Silk Air di Sungsang, Sumatera Selatan, 19 Desember 1997.
Kami berjumpa dalam acara peresmian monumen Silk Air untuk menghormati dan mendoakan 104 korban di pemakaman Kebun Bunga, 19 Desember 1998 silam. Saya adalah satu-satunya ulama Indonesia yang diundang untuk mendoakan arwah para korban itu. Sementara semua ulama yang lain, dari berbagai agama, berasal dari Singapura.
Saya memang buta mengenai Agama Zarathustra. Yang terlintas dalam pikiran saya cuma nama pendirinya, yaitu Zoroaster yang memulai agamanya di Iran ribuan tahun silam. Tetapi soal inti ajarannya? Saya buta! Karena itu, saya berdialog dengan Khambatta. Saya ingin tahu.
“Our religion teaches us to be good person,” kata Khambatta. Artinya, agama kami mengajar kami untuk menjadi orang baik.
Menjadi orang baik! Itulah titik tolaknya. Lantas dalam hidup sehari-hari agama Zarathustra merealisasikannya dalam good thoughts (berpikir baik), good words (berkata baik) dan good deeds (berbuat baik).
Falsafahnya sangat sederhana. Seandainya semua orang memiliki falsafah seperti itu, tentu dunia akan jadi lain. Dunia ini akan menjadi tempat manusia memanen damai, kasih, persaudaraan sejati. Bukan badai kekacauan seperti yang sudah, sedang dan akan kita alami dan kita saksikan dalam hidup kita sehari-hari. Tentu dunia ini akan selalu diwarnai oleh suasana hidup yang saling menghormati. Hak-hak asasi manusia sungguh-sungguh dihargai. Tidak perlu lagi ada diskriminasi terhadap suku, agama, dan ras atau etnis tertentu. Semua hidup dalam damai.
“Most of all, we have to love each other,” kata Khambatta. Artinya, yang terpenting adalah kita mesti saling mengasihi. Bukankah ini sungguh-sungguh indah?
Untuk merealisasikan kasih itu, Khambatta, yang mengaku sebagai pendeta part time karena jumlah umat Zarathustra di Singapura sangat sedikit (202 orang), memberi makan kepada kaum fakir miskin yang datang ke restorannya di Jalan Orchard 391, Singapura.
Kasih! Satu kata inilah yang mesti menjadi pegangan hidup setiap orang yang beriman kepada Tuhan. Kiranya setiap agama dan kepercayaan mengajarkan tentang kasih. Kasih menjadi andalan utama setiap agama dan kepercayaan. Kasih ini menjadi jimat kita orang beriman. Karena ketika orang mengingkari kasih, yang terjadi justru kegalauan. Ketika mata manusia terkatup rapat karena benci, iri hati kehancuranlah yang ditemukan. Pengampunan tidak terjadi dalam kehidupan ini kalau orang mengabaikan kasih kepada sesamanya.
St Paulus berkata, “Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya.”
Apa artinya ungkapan ini bagi orang beriman? Artinya, kasih itu mesti menjadi nyata dalam hidup sehari-hari. Kasih itu diungkapkan dalam perbuatan nyata seperti rela mengampuni yang bersalah, tidak cemburu, ramah terhadap sesama, memberikan pertolongan kepada yang berkesusahan dan masih banyak lagi perbuatan baik lainnya. Kalau hal-hal ini terjadi dalam hidup yang nyata, dunia ini menjadi tempat yang aman untuk dihuni. Lingkungan di mana kita hidup dipenuhi dengan suasana yang menyenangkan.
Mari kita mempraktekkan kasih itu dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih bermakna bagi hidup semua orang. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
363
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.