Apakah Anda hari-hari ini merasa diperlakukan tidak adil oleh orang-orang di sekeliling Anda? Apa yang Anda lakukan? Anda membalasnya atau Anda memaafkannya?
Di akhir abad ke-19, seluruh dunia dilingkupi rasa takut yang begitu besar, ketika terjadi pemberontakan di Rusia. Saat itu, para pemberontak Chechen membunuh ratusan orang yang terkurung di sebuah sekolah di Beslan, Rusia. Kebanyakan para korban yang mati adalah mereka yang masih berusia masih sangat kecil. Enam anak yang turut terbunuh pada peristiwa itu adalah anak dari Totiev bersaudara.
Salah seorang dari Totiev bersaudara itu memberikan reaksi yang bagi kebanyakan kita merupakan pilihan yang sulit. Ia berkata, "Ya, kami mengalami kehilangan yang tidak dapat digantikan oleh apa pun. Tetapi kami tidak melakukan balas dendam."
Meski kehilangan saudara-saudaranya, Totiev bertumbuh menjadi orang yang memaafkan para pembunuhnya. Ia telah kehilangan mereka. Karena itu, ia tidak ingin kehilangan banyak orang lain. Yang ia lakukan adalah ia mengkampanyekan hidup yang penuh damai, jauh dari balas dendam.
Sahabat, sadar atau tidak, kita hidup dalam dunia yang tidak mudah memaafkan sesamanya yang bersalah. Lebih mudah orang membalas kesalahan sesamanya daripada orang melupakan dan memaafkannya. Lebih gampang orang membalas tamparan dari orang lain, daripada mengatakan, ‘saya mengampuni kesalahanmu’.
Beberapa atau mungkin banyak dari kita yang sangat sulit menghilangkan kepahitan atas ketidakadilan yang sebenarnya tidak sebesar apa yang dialami oleh keluarga Totiev dalam kisah di atas. Mereka mengambil sebuah sikap untuk mengikhlaskan anak-anak mereka dan tidak membalas dendam. Hal itu tidak akan mungkin dapat dilakukan apabila Roh Tuhan tidak diam di dalam hati mereka.
Kisah di atas menunjukkan kepada kita bahwa mengampuni lebih luhur daripada membalas perbuatan jahat orang lain. Kehilangan yang begitu besar tidak harus dibalas dengan kehilangan. Ketika orang memaafkan kesalahan sesamanya, sebenarnya ia mendapatkan kembali orang itu. Orang yang melakukan kesalahan itu dapat menyadari dirinya dan mempunyai kesempatan untuk bertobat.
Tentu saja kemampuan untuk mengampuni itu tidak dapat dimiliki oleh manusia, kalau manusia menutup diri terhadap rahmat Tuhan. Semangat untuk mengampuni mesti senantiasa tumbuh dalam diri manusia. Hanya dengan mengampuni orang dapat hidup berdampingan secara damai.
Sebaliknya, balas dendam hanya meninggalkan kepahitan demi kepahitan. Hati orang tidak lepas dari usaha untuk melakukan kejahatan terhadap sesamanya. Orang tidak hidup dalam damai. Hati orang selalu dikejar-kejar oleh keinginan untuk menghancurkan orang yang bersalah kepadanya.
Sebagai orang beriman, kita diajak untuk mendahulukan pengampunan. Mengapa? Karena hanya dengan mengampuni hati kita akan mengalami damai. Kita akan menikmati bahagia dalam hidup ini. Tidak ada beban yang mesti kita tanggung, karena kita tidak membawa rasa benci di dalam hati kita. Mari kita dahulukan pengampunan. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales SCJ
Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT
951