Seorang teman saya suatu kali berbelanja ke super market. Itu baru pertama kali ia lakukan. Maklum, ia orang desa. Karena itu, ia bingung. Bagaimana mungkin semua harga sudah tertera pada barang yang akan ia beli. Tidak ada kesempatan baginya untuk tawar-menawar. Kalau di pasar desa, ia masih bisa tawar-menawar. Sehingga uang yang sedikit bisa beli banyak barang yang ia butuhkan.
Daripada susah-susah, ia tidak mau belanja apa-apa di super market. Ia hanya melihat-lihat sambil menghirup aroma baru pasar modern. Kalau di desa, aroma pasar kental dengan kekunoan. Bagi teman saya ini, pasar desa masih segalanya. Pasar desa masih yang terbaik. Ia masih bisa bersendagurau dengan para pedagang. Masih ada kontak batin di antara mereka.
Setelah pulang, dia berkata kepada saya, “Wah, susah jadi orang kota, ya?! Semua serba modern. Semua serba canggih. Sayang, sentuhan kemanusiaannya sudah luntur. Semua serba otomatis.”
Saya hanya tersenyum mendengar omelan teman saya itu. Dalam hati, saya berpikir, benar juga gurauannya. Dalam kehidupan manusia modern ini kemanusiaan itu semakin luntur. Manusia seolah-olah diikat oleh aturan-aturan yang ketat. Mau beli suatu barang, harga sudah dicatumkan, tinggal bayar di kasir. Tidak perlu banyak omong. Setelah dihitung oleh kasir, kita bawa pulang ke rumah. Kontak batin sangat minim.
Lalu soal yang mendalam yang perlu diperhatikan itu apa? Atau apa yang masih bisa dipakai untuk membangkitkan lagi suasana persaudaraan dalam kancah kehidupan modern ini? Ada berbagai cara. Misalnya, mencari motivasi utama dalam membangun persaudaraan itu. Kiranya orang-orang yang beriman akan setuju kalau motivasi utama membangun persaudaraan adalah cinta kasih. Setiap manusia hanya bisa hidup dan meneruskan kehidupan ini hanya karena daya tarik cinta kasih itu.
Karena itu, motivasi membangun persaudaraan mesti dilandaskan pada cinta kasih. Tiada orang yang hidup tanpa cinta kasih. Kalau ia nekat hidup tanpa cinta kasih, ia tidak akan lama bertahan. Hidupnya tidak akan memiliki makna sedikit pun. Hidupnya bagai sayur tanpa garam. Kalau garam itu sudah hambar, ia tidak bisa diasinkan lagi.
Hidup kita semua selalu diawali oleh cinta kasih. Kita dikandung oleh ibu kita masing-masing, karena ada cinta kasih yang begitu kuat di antara ibu dan bapak kita. Kita dilahirkan ke dunia juga karena ibu yang begitu mencintai kita. Kalau ibu tidak mengcintai kita, mungkin dia tidak mau melahirkan kita. Atau mungkin dia sudah mencekik leher kita begitu kita lahir. Karenaa itu, kita mesti senantiasa sadar bahwa hidup kita didasarkan pada cinta kasih.
Setiap hari ini kita merasakan dan mengalami sendiri getar-getar cinta kasih dari orang-orang yang ada di sekitar kita. Mari kita bawa getar-getar itu dalam haribaan kita. Biar Tuhan yang mahapengasih dan penyayang senantiasa melindungi kita dengan kasih sayangnya. Biarlah Tuhan sendiri yang memberikan berkat dan rahmatNya bagi kita. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
339
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.