Suatu hari Organus sangat resah. Soalnya beberapa hari belakangan ini ia penghasilannya mulai berkurang. Apalagi banyak orang mulai tidak menyukai pekerjaannya sebagai rentenir, orang yang meminjamkan uang dengan bunga sangat tinggi. Pekerjaannya itu telah membuat resah begitu banyak warga di kampung dan desa-desa yang didatangi Organus.
Organus ingin berhenti dari pekerjaannya. Tetapi ia merasa berat, karena itulah satu-satunya pekerjaan yang membuat asap dapurnya terus mengepul. Tetapi suara hatinya pun mulai mempertanyakan pekerjaan yang sangat mencekik leher masyarakat desa itu.
“Saya tidak mungkin melanjutkan pekerjaan saya ini. Tetapi bagaimana saya bisa berhenti? Bagaimana modal-modal yang sudah saya pinjamkan kepada orang-orang itu dapat kembali?” tanya Organus dalam hatinya.
Ia bergulat dengan suara hatinya. Bermalam-malam ia tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya selalu dikuasai oleh pekerjaannya itu.
Akhirnya suatu hari ia menemui seorang bijak di kota. Kepada orang bijak itu ia menceritakan semua persoalan yang dihadapi berkenaan dengan pekerjaannya sebagai rentenir. Setelah mendengarkan kisah-kisah Organus, orang bijak itu berkata, “Kalau kamu ingin hidup tenang dan damai, pekerjaan seperti itu harus kamu tinggalkan. Begitu banyak orang sudah menderita akibat perbuatanmu. Kamu harus mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan imanmu.”
Organus sangat terpukul mendengar nasihat orang bijak itu. Ia semakin bergulat dengan suara hatinya. “Apalagi yang masih harus saya lakukan?” tanya Organus.
“Kamu juga harus mengembalikan uang yang kamu pungut dengan bunga yang sangat tinggi itu. Hanya dengan cara itu kamu akan hidup bahagia,” kata orang bijak itu.
Batin Organus semakin terpukul. Tetapi ia masih bisa menegakkan kepalanya. Lantas dalam ketenangan batinnya, ia berkata, “Ya, saya siap meninggalkan pekerjaan saya. Saya juga siap mengembalikan empat kali lipat uang hasil pemerasan saya. Saya siap untuk hidup melarat.”
Organus melaksanakan janjinya itu. Ia melepaskan pekerjaannya sebagai rentenir. Kepada para pelanggannya yang telah ia rugikan, ia mengembalikan uang mereka. Ada yang dua kali lipat. Ada yang tiga kali lipat. Ada yang empat kali lipat.
Berbagai bentuk korupsi yang sedang melanda negeri kita bersumber dari ketamakan atau kerakusan. Orang ingin mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri. Mereka lupa bahwa masih ada orang lain di sekitar mereka yang membutuhkan bantuan untuk hidup.
Karena ketamakan itu orang menggunakan fasilitas-fasilitas umum seolah-olah sebagai milik pribadi. orang menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan utuk kepentingan pribadi atau kelompok. Orang tidak peduli bahwa hal-hal itu mesti digunakan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Akibatnya, ada sejumlah kecil orang atau kelompok yang hidup dengan harta yang berlimpah, tetapi ada sejumlah besar orang atau kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak usah heran kalau kita mendengar ada berita tentang busung lapar atau gizi buruk di berbagai daerah di negeri ini.
Padahal harta atau kekayaan itu sesuatu yang relatif. Artinya, sesuatu yang tidak abadi. Sesuatu yang bisa hilang kapan saja. Ketika seseorang meninggal dunia, ia tidak membawa serta kekayaan yang dimilikinya.
Karena itu, langkah yang mesti diambil oleh manusia saat ini adalah bertobat. Artinya, mewaspadasi ketamakan atau kerakusan yang sering menggoda hati manusia. Orang mesti berani meninggalkan cara hidup yang mengandalkan korupsi, manipulasi dan nepotisme. Dengan cara ini orang dapat hidup tenang. Orang dapat hidup bahagia. Orang justru akan memperoleh harta yang abadi di surga.
Mari kita belajar dari sikap Organus yang berjuang untuk meninggalkan cara hidup lamanya. Ia berani mengambil langkah baru dalam hidupnya. Dengan demikian ia memperoleh hidup yang bahagia. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
335
Bagikan
Organus ingin berhenti dari pekerjaannya. Tetapi ia merasa berat, karena itulah satu-satunya pekerjaan yang membuat asap dapurnya terus mengepul. Tetapi suara hatinya pun mulai mempertanyakan pekerjaan yang sangat mencekik leher masyarakat desa itu.
“Saya tidak mungkin melanjutkan pekerjaan saya ini. Tetapi bagaimana saya bisa berhenti? Bagaimana modal-modal yang sudah saya pinjamkan kepada orang-orang itu dapat kembali?” tanya Organus dalam hatinya.
Ia bergulat dengan suara hatinya. Bermalam-malam ia tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya selalu dikuasai oleh pekerjaannya itu.
Akhirnya suatu hari ia menemui seorang bijak di kota. Kepada orang bijak itu ia menceritakan semua persoalan yang dihadapi berkenaan dengan pekerjaannya sebagai rentenir. Setelah mendengarkan kisah-kisah Organus, orang bijak itu berkata, “Kalau kamu ingin hidup tenang dan damai, pekerjaan seperti itu harus kamu tinggalkan. Begitu banyak orang sudah menderita akibat perbuatanmu. Kamu harus mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan imanmu.”
Organus sangat terpukul mendengar nasihat orang bijak itu. Ia semakin bergulat dengan suara hatinya. “Apalagi yang masih harus saya lakukan?” tanya Organus.
“Kamu juga harus mengembalikan uang yang kamu pungut dengan bunga yang sangat tinggi itu. Hanya dengan cara itu kamu akan hidup bahagia,” kata orang bijak itu.
Batin Organus semakin terpukul. Tetapi ia masih bisa menegakkan kepalanya. Lantas dalam ketenangan batinnya, ia berkata, “Ya, saya siap meninggalkan pekerjaan saya. Saya juga siap mengembalikan empat kali lipat uang hasil pemerasan saya. Saya siap untuk hidup melarat.”
Organus melaksanakan janjinya itu. Ia melepaskan pekerjaannya sebagai rentenir. Kepada para pelanggannya yang telah ia rugikan, ia mengembalikan uang mereka. Ada yang dua kali lipat. Ada yang tiga kali lipat. Ada yang empat kali lipat.
Berbagai bentuk korupsi yang sedang melanda negeri kita bersumber dari ketamakan atau kerakusan. Orang ingin mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri. Mereka lupa bahwa masih ada orang lain di sekitar mereka yang membutuhkan bantuan untuk hidup.
Karena ketamakan itu orang menggunakan fasilitas-fasilitas umum seolah-olah sebagai milik pribadi. orang menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan utuk kepentingan pribadi atau kelompok. Orang tidak peduli bahwa hal-hal itu mesti digunakan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat. Akibatnya, ada sejumlah kecil orang atau kelompok yang hidup dengan harta yang berlimpah, tetapi ada sejumlah besar orang atau kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak usah heran kalau kita mendengar ada berita tentang busung lapar atau gizi buruk di berbagai daerah di negeri ini.
Padahal harta atau kekayaan itu sesuatu yang relatif. Artinya, sesuatu yang tidak abadi. Sesuatu yang bisa hilang kapan saja. Ketika seseorang meninggal dunia, ia tidak membawa serta kekayaan yang dimilikinya.
Karena itu, langkah yang mesti diambil oleh manusia saat ini adalah bertobat. Artinya, mewaspadasi ketamakan atau kerakusan yang sering menggoda hati manusia. Orang mesti berani meninggalkan cara hidup yang mengandalkan korupsi, manipulasi dan nepotisme. Dengan cara ini orang dapat hidup tenang. Orang dapat hidup bahagia. Orang justru akan memperoleh harta yang abadi di surga.
Mari kita belajar dari sikap Organus yang berjuang untuk meninggalkan cara hidup lamanya. Ia berani mengambil langkah baru dalam hidupnya. Dengan demikian ia memperoleh hidup yang bahagia. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.
Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
335
Bagikan
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.