Seorang ibu menceritakan pengalaman pahitnya dalam hidup berkeluarga. Ia sering disiksa oleh suaminya. Ia sering ditinggal pergi oleh suaminya berbulan-bulan. Bahkan suaminya itu telah menjalin kasih dengan perempuan lain.
Hati ibu itu terasa hancur. Ia merasa seolah-olah sudah jatuh ditimpa tangga pula. Hidup terasa berat baginya. Padahal, ia menikah dengan suaminya itu untuk menemukan kebahagiaan dalam hidup. Ia ingin mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya.
Dari segi materi, ibu itu tidak berkekurangan. Ia punya usaha sendiri yang sungguh-sungguh mendatangkan banyak keuntungan. Ia tidak perlu kuatir akan masa depan tiga orang anaknya. Ia mampu menyekolahkan mereka hingga perguruan tinggi. Ia mampu membimbing anak-anaknya untuk memiliki masa depan yang cerah. Satu hal kekurangan dalam hidupnya, yaitu ketidakharmonisannya dengan sang suami. Kalau suaminya berada di rumah, mereka selalu bertengkar. Tidak ada damai di antara mereka.
Ibu itu berkata, ”Yang membuat saya bertahan adalah anak-anak saya. Mereka begitu mencintai saya. Mereka mau berbagi dengan saya.”
Namun suatu hari tumbuh pula rasa sesal dalam diri ibu itu. Ia menyesal, mengapa suaminya pergi meninggalkannya berbulan-bulan. Mengapa ia selalu melihat segi negatif dalam diri suaminya? Ibu itu tidak hanya berhenti pada rasa sesal. Ia berusaha untuk mengembalikan suaminya ke sisinya. Untuk itu, ia mesti mengubah sikap-sikapnya. Ia mau melihat segi-segi positif yang ada dalam diri suaminya. Ia mengakui bahwa ketidakharmonisan yang terjadi selama ini juga buah dari kesalahan dirinya.
Usaha itu berhasil. Setelah lama berpisah, sang suami kembali ke sisinya. Mereka pun hidup bahagia sebagai suami istri. Derita yang lama dialami oleh ibu itu pun berakhir dengan sukacita dan damai.
Sahabat, banyak pasangan suami istri di zaman sekarang mengalami kekeringan hidup rohani. Mereka punya banyak masalah dalam hidup. Ada yang berhasil menemukan solusi atas persoalan-persoalan mereka. Namun ada juga yang hidup di bawah tekanan, karena persoalan-persoalan yang tidak terselesaikan.
Pertanyaannya, mengapa pasangan suami istri mengalami kekeringan hidup rohani? Salah satu jawabannya adalah relasi mereka kurang mendalam. Mereka kurang saling mengenal. Pengenalan mereka hanya di kulit luar saja. Akibatnya, mereka mudah tersulut di saat ada persoalan yang menghadang kehidupan berkeluarga mereka. Mereka kurang punya dasar yang kokoh untuk meneruskan perjalanan hidup mereka sebagai suami istri. Banyak pasangan suami istri akhirnya memutuskan untuk berpisah. Sayang, memang. Tetapi itulah kenyataan yang ada.
Karena itu, apa yang mesti dibuat untuk mempertahankan hidup sebagai suami istri? Yang pertama-tama mesti dibuat adalah berusaha untuk mengenal pasangan masing-masing. Tentu saja hal ini menjadi tantangan yang tidak ringan. Seseorang mesti mengenal betul isi hati pasangannya. Orang mengatakan, dalamnya laut dapat diduga. Tetapi dalamnya hati siapa yang tahu.
Namun berkat bantuan rahmat Tuhan, orang beriman mampu mengenal pasangannya dengan baik. Untuk itu, orang mesti berani menyerahkan hidupnya dan pasangannya ke dalam kuasa Tuhan. Orang beriman membiarkan Tuhan mengintervensi hidupnya. Dengan demikian, hidup ini menjadi indah dan membahagiakan. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
800
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.