Dalam hidup sehari-hari, kita jatuh ke dalam dosa atau sesama kita melakukan dosa terhadap kita. Saat kita menyakiti hati sesama kita, kita berusaha untuk meminta pengampunan. Apa yang kita lakukan, ketika sesama kita menyakiti hati kita?
Enrico ditangkap Gestapo dan dipenjarakan karena ketahuan menyembunyikan keluarga Yahudi selama 2 tahun. Pada malam Natal 1944, komandan kamp Jerman memanggil dan mengejeknya.
“Aku ingin kau melihat makan malam Natal yang dikirim istrimu untukmu. Istrimu juru masak yang hebat! Dia telah mengirimimu makanan setiap hari, tetapi akulah yang menikmati semua itu,” kata komandan kamp.
Enrico yang kurus dan lapar melihat ke makanan di atas meja itu. “Aku tahu istriku ahli masak yang hebat! Aku yakin engkau pasti menikmati makan malam Natal ini,” kata Enrico.
Komandan itu heran dan memintanya untuk mengulangi apa yang dikatakannya. Enrico mengulangi ucapannya. Ia menambahkan, “Aku harap engkau menikmati makan malam ini, karena aku mengasihimu.”
“Keluarkan dia dari sini! Dia sudah gila,” serta merta komandana itu berteriak.
Perang berakhir dan Enrico dibebaskan. Tuhan memulihkan kesehatan dan usahanya. Suatu kali ia mengajak istrinya kembali ke kota ke tempat dia pernah dipenjarakan. Ia ingin mengunjungi komandan kamp Jerman itu.
Enrico teringat bahwa komandan itu menyukai masakan istrinya. Mereka pun berbelanja dan mencari sebuah tempat memasak. Setelah selesai, mereka mendatangi rumah komandan itu dengan dua keranjang makanan.
Begitu berhadapan dengan komandan itu, Enrico bertanya, “Engkau tidak mengenali saya tuan?”
Komandan itu menggelengkan kepalanya.
“Pada Natal 1994, saya berada di kantormu. Saya mengatakan bahwa saya mengasihimu dan engkau menganggap saya gila,” kata Enrico sambil menatap mata mantan komandan itu.
Komandan yang sudah tua tenta itu merasa takut. Ia mundur beberapa langkah. Namun dengan tegas, Enrico meyakinkan dirinya bahwa tidak ada apa-apa yang akan terjadi atas dirinya.
“Dulu saya mengatakan bahwa saya mengasihimu dan saya masih tetap mengasihimu. Perang telah usai. Istri saya dan saya ingin duduk bersama keluargamu untuk makan bersama. Maukah engkau menerima permohonan kami?” tandas Enrico.
Sahabat, pengampunan yang tulus merupakan keutamaan yang mesti selalu dipegang teguh oleh manusia. Dengan pengampuna itu, orang mampu menjalani hidup ini dengan baik dan benar. Mengampuni orang yang berdosa jauh lebih baik daripada membinasakannya.
Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa mengampuni mesti menjadi gaya hidup dalam hidup orang beriman. Pengampunan yang dengan tulus kita ungkapkan kepada sesama menjadi suatu kesempatan untuk hidup baru. Orang yang melakukan dosa dan kesalahan dapat bangkit untuk hidup secara baik dan benar.
Tentu saja memiliki gaya hidup mengampuni seperti ini tidak mudah. Orang mesti berani meninggalkan gengsi dan harga diri. Mengapa? Karena dosa dan kesalahan itu menyakitkan. Dosa dan kesalahan itu bagai pisau yang menyayat-nyayat. Karena itu, yang dibutuhkan adalah suatu kerendahan hati untuk rela mengampuni sesama yang berdosa itu.
Yang mesti selalu kita ingat adalah mengampuni adalah sebuah keputusan yang penuh resiko untuk menyelamatkan sesama. Mengampuni menantang kita segera meninggalkan masa lalu dan mendorong kita masuk ke masa depan yang cerah. Mari kita berusaha untuk memiliki gaya hidup mengampuni. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih indah. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales, SCJ
853
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.