Suatu kali seorang anak menemukan sebuah kaleng berisi permen yang tertinggal oleh pemiliknya di depan pintu tokonya. Dengan hati girang anak itu melihat sekeliling. Ketika tahu bahwa dia hanya sendirian di situ, tak ada orang lain yang melihat, dia segera memasukkan tangannya ke dalam kaleng itu. Karena dia anak yang rakus, dia mencoba mengambil permen sebanyak mungkin dalam satu genggaman.
Pada saat itu terdengar bunyi langkah orang. Karena takut tertangkap, anak itu berusaha mengeluarkan tangannya. Tetapi tangannya tidak bisa keluar, karena mulut kaleng itu terlalu sempit. Untuk mengeluarkan tangannya, dia harus mengurangi jumlah permen dalam genggamannya, tetapi dia tidak mau melepaskannya. Anak itu terus-menerus menarik-narik tangannya tetapi sia-sia. Segera ia ketahuan pemilik toko itu. Ia harus melepaskan semua permen itu.
Milik orang lain itu memang selalu menggoda. Orang begitu ingin memiliki milik orang lain. Kisah di atas merupakan salah satu sisi kehidupan manusia. Seorang anak yang tidak didik untuk menahan diri terhadap milik orang lain akan dengan mudah menguasai milik orang lain. Apalagi kalau milik orang lain itu dibiarkan begitu saja.
Tetapi orang yang sejak awal dididik untuk menghormati milik orang lain, pasti akan memiliki sikap menghargai milik orang lain itu. Ia tidak akan menguasainya di kala milik orang lain itu dibiarkan begitu saja. Bahkan bila perlu ia menyelamatkannya. Ia akan menempatkannya di tempat yang aman untuk kemudian diberikannya kepada pemiliknya. Tentu perbuatan seperti ini akan mendapatkan penghargaan yang besar dari pemilik barang itu.
Untuk sampai pada sikap seperti ini, orang mesti belajar terus-menerus untuk menghargai dan menghormati milik sesama. Kadang-kadang ada godaan yang begitu besar untuk melanggar norma-norma yang ada, karena keinginan untuk memiliki itu begitu besar.
Berhadapan dengan situasi seperti ini, apa yang mesti dibuat oleh seorang beriman? Orang beriman mesti mendengarkan suara hatinya. Untuk itu, orang beriman mesti belajar untuk memilah mana suara hati yang murni dan mana suara hatinya yang kurang murni. Setelah menemukan suara hati yang murni, ia mesti tetap setia kepada suara hatinya itu. Ia mengambil keputusan berdasarkan suara hati yang murni itu. Dengan demikian, ia akan mengalami kebahagiaan dalam hidup.
Mari kita berusaha untuk mendengarkan suara hati kita. Kita gunakan suara hati kita yang baik untuk mengambil sikap yang baik terhadap hal-hal yang kita hadapi dalam hidup ini. Dengan demikian kita menjadi bahagia dalam perjalanan hidup kita. **
Frans de Sales, SCJ
NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.(116)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan mengisi
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.